08.08.2013 Views

edisi 4 Tahun 2004.pdf - Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI

edisi 4 Tahun 2004.pdf - Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI

edisi 4 Tahun 2004.pdf - Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

cara pengukuran meliputi tersedianya<br />

standar, instrumen, petugas, penilaian<br />

yang memenuhi syarat akademik dan<br />

kewajaran.<br />

Oliver (1985) dalam Akhmad S<br />

Ruky (2002:30) memberikan gambaran<br />

penyebab umum yang sering menimbulkan<br />

kegagalan dan harus dihindarkan<br />

dalam mengembangkan sistem<br />

audit kinerja. Pertama, tidak adanya<br />

standar. Tanpa adanya standar berarti<br />

tidak terjadi pengukuran kinerja yang<br />

obyektif. Sehingga yang terjadi hanyalah<br />

penilaian yang bersifat subyektif<br />

dengan mengandalkan perkiraan dan<br />

perasaan. Kedua, standar yang tidak<br />

relevan dan bersifat subyektif. Standar<br />

seharusnya ditetapkan melalui proses<br />

analisa untuk menetapkan output atau<br />

outcome (hasil) yang diharapkan.<br />

Ketiga, standar yang tidak realistis.<br />

Standar adalah sasaran-sasaran<br />

yang berpotensi merangsang motivasi.<br />

Standar yang masuk akal dan menantang<br />

akan lebih berpotensi untuk merangsang<br />

motivasi. Keempat, ukuran<br />

kinerja yang tidak tepat. Kelima, kesalahan<br />

penilai. Termasuk dalam kesalahan<br />

penilai adalah keberpihakan, perasaan<br />

sak wasangka, halo effect (terpengaruh<br />

oleh yang dinilai), kecenderungan<br />

untuk pelit atau sebaliknya, kecenderungan<br />

untuk memilih nilai tengah<br />

dan takut untuk menghadapi responden/auditan.<br />

Keenam, pemberian umpan balik<br />

secara buruk. Pada awal proses audit<br />

kinerja, standar harus dikomunikasikan<br />

kepada pihak yang diaudit untuk diketahui<br />

dan disepakati. Demikian pula<br />

seluruh proses dan hasil penilaian harus<br />

dikomunikasikan pula kepada pi-<br />

Opini<br />

Fokus Pengawasan, Nomor 4 <strong>Tahun</strong> I Triwulan IV 2004<br />

hak yang dinilai. Ketujuh, komunikasi<br />

yang negatif. Proses penilaian ternyata<br />

terganggu oleh komuniksi yang didasari<br />

dengan sikap negatif seperti arogansi<br />

dan kekakuan pada pihak penilai<br />

dan sikap membela diri dan ketertutupan<br />

pada pihak yang dinilai.<br />

Kedelapan, kegagalan untuk memanfaatkan<br />

data hasil penilaian. Kegagalan<br />

dalam menggunakan seluruh data<br />

yang diperoleh melalui proses penilaian<br />

sebagai dasar pengambilan keputusan<br />

dapat menurunkan kredibilitas<br />

program audit yang telah ditetapkan.<br />

Kondisi kritis dalam setiap audit kinerja<br />

adalah implementasi tindak lanjut hasil<br />

audit.<br />

Penilaian kinerja<br />

Penilaian kinerja merupakan kegiatan<br />

membandingkan kinerja suatu<br />

lembaga/organisasi atau seseorang<br />

dengan suatu standar atau kriteria tertentu<br />

yang telah ditetapkan sebelumnya.<br />

Namun untuk dapat dibandingkan<br />

kinerja harus ‘diukur’ lebih dulu.<br />

Larry D. Stout menyatakan bahwa<br />

penilaian kinerja sebagai proses mencatat<br />

dan mengukur pencapaian pelaksanaan<br />

kegiatan dalam arah pencapaian<br />

misi melalui hasil yang ditampilkan<br />

berupa produk, jasa, ataupun proses .<br />

Sedangkan James B. Whittaker menyatakan<br />

bahwa penilaian kinerja organisasi<br />

adalah suatu alat manajemen<br />

untuk meningkatkan kualitas pengambilan<br />

keputusan dan akuntabilitas.<br />

Mulyadi dan Johny Setyawan<br />

(2000:253) menyatakan penilaian kinerja<br />

diartikan sebagai ‘penentuan secara<br />

periodik efektivitas operasional<br />

suatu organisasi, bagian organisasi,

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!