Medicinus - Dexa Medica
Medicinus - Dexa Medica
Medicinus - Dexa Medica
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
saja, sehingga pengobatan dilanjutkan. Pemeriksaan<br />
DPL pasca transfusi telah menunjukkan perbaikan,<br />
di mana Hb 9,7, Ht 27, leukosit 2860, serta trombosit<br />
pasien 73.000. Pemeriksaan dengue blot yang dimintakan<br />
terhadap pasien pada saat pasien masuk<br />
menunjukkan hasil negatif baik pada pemeriksaan<br />
dengue IgG maupun dengue IgM.<br />
Setelah dosis terakhir Arsuamoon® diberikan, pulasan<br />
darah tebal-tipis menunjukkan tidak diketemukannya<br />
plasmodium (laboratorium RSP), sebagai<br />
konfirmasinya dilakukan juga pemeriksaan yang<br />
sama di laboratorium parasitologi FKUI, didapati<br />
Plasmodium falciparum dalam fase gametosit. Berdasarkan<br />
hasil konsultasi terhadap divisi tropik infeksi<br />
RSCM, dikatakan bahwa gametosit tidaklah berbahaya<br />
terhadap pasien, namun pasien akan menjadi<br />
carrier dan menjadi sumber penularan Plasmodium<br />
falsiparum, sebab gametosit tersebut akan menjadi<br />
aktif bila masuk ke tubuh nyamuk. Maka disarankan<br />
pemberian Primakuin 3 tablet single dose, serta dilakukan<br />
pengecekan pulasan darah tebal-tipis setiap<br />
7 hari (H+7, 14, 21, 28) sebagai tindak lanjutnya.<br />
Pada hari kesepuluh perawatan, dilakukan<br />
pemeriksaan DPL dan pulasan darah tebal-tipis di<br />
RSP dengan hasil perbaikan, yaitu Hb 9,6, Ht 29, leukosit<br />
3220, trombosit 107.000, serta tidak ditemukan<br />
plasmodium. Pada hari kesebelas perawatan, yaitu 7<br />
hari pasca pemberian Arsuamoon®, hasil pemeriksaan<br />
hitung CD4 pada awal perawatan telah keluar<br />
dengan hasil CD4 absolut 109 (16%) dan berdasarkan<br />
hasil konsultasi dengan konsultan HIV di RSP,<br />
dikatakan perlunya penggunaan ARV sesuai standar,<br />
yaitu Duviral® (zidovudin + lamivudin) 2x1 dan Neviral®<br />
(Efavirenz) 1x1, serta perlunya dilakukan edukasi<br />
dan konseling terhadap pasien dan keluarga. Selain<br />
itu, dilakukan pula pemeriksaan pulasan darah tebal-tipis<br />
kembali di parasitologi FKUI dan hasilnya<br />
adalah tidak ditemukannya lagi parasit malaria. Infeksi<br />
telah teratasi, dan pasien dipulangkan dalam<br />
keadaan sehat.<br />
PEMBAHASAN<br />
Malaria pada manusia disebabkan oleh satu dari<br />
empat jenis parasit: Plasmodium falciparum, Plasmodium<br />
malariae, Plasmodium ovale, dan Plasmodium<br />
vivax. P. falciparum yang terutama memiliki risiko<br />
kematian tertinggi, dan merupakan penyebab morbiditas<br />
dan mortalitas tertinggi. 1<br />
Diagnosis malaria ditegakkan melalui beberapa<br />
aspek. Diagnosa klinis ditegakkan berdasarkan gejala<br />
dan pemeriksaan fisik. Gejala utama malaria yaitu<br />
demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, nyeri<br />
otot, mual, dan muntah. Pada malaria berat yang<br />
disebabkan Plasmodium falciparum, gejalanya lebih<br />
original article<br />
case report<br />
mencolok, seperti delirium, koma, gejala neurologis<br />
fokal, anemia berat, dan kesulitan bernafas. Pada<br />
sebagian besar kasus, gejala klinis ini tidak khas di<br />
awal, sehingga diagnosa tersebut perlu dikonfirmasi<br />
dengan pemeriksaan laboratorium. 9<br />
Diagnosa pasti malaria ditegakkan melalui diagnosa<br />
mikroskopik, yang ditegakkan dengan mengidentifikasi<br />
adanya parasit malaria pada apus darah<br />
pasien di bawah mikroskop. Biasanya preparat diberi<br />
pewarnaan Giemsa untuk memperjelas warna parasit<br />
malaria. Teknik ini masih menjadi gold standard<br />
dari konfirmasi diagnosis malaria. Namun demikian,<br />
akurasi pemeriksaan ini sangat tergantung kualitas<br />
reagen, mikroskop, dan pengalaman dari laboran.<br />
Deteksi antigen parasit malaria dengan metode<br />
imunologik disebut tes imunokromatografik (ICT),<br />
biasanya dilakukan dengan menggunakan dipstik<br />
dan hasilnya dapat dibaca dalam 2–15 menit. ICT<br />
sangat berguna di mana pemeriksaan mikroskopis<br />
sukar disediakan. Namun demikian, setelah penggunaan<br />
ICT tetap sangat disarankan untuk dilakukan<br />
pemeriksaan lanjutan secara mikroskopis untuk<br />
mengkonfirmasi hasilnya, dan seandainya positif,<br />
perlu dilakukan kuantifikasi jumlah eritrosit yang<br />
terinfeksi. 9<br />
Metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dikatakan<br />
bahkan lebih akurat dibandingkan pemeriksaan<br />
mikroskopis. Namun demikian, harganya yang<br />
masih tinggi dan diperlukannnya laboratorium dengan<br />
alat-alat khusus menyebabkan pemeriksaan ini<br />
tidak mudah diaplikasikan, terutama di daerah endemis<br />
malaria. 9<br />
Bukti-bukti mutakhir mulai menunjukkan adanya<br />
interaksi patologis antara HIV dan malaria pada<br />
infeksi ganda, walaupun implikasinya di masyarakat<br />
masih belum jelas. 1 Beberapa peneliti mempostulasikan<br />
bahwa HIV merubah presentasi klinis malaria.<br />
7 Hal ini semakin meningkatkan angka kesukaran<br />
diagnosis malaria pada pasien HIV. Demam, yang<br />
merupakan keluhan utama pada pasien-pasien HIV<br />
dan dapat disebabkan oleh sekumpulan penyebab<br />
lainnya selain malaria, termasuk infeksi viral, bakterial,<br />
infeksi oportunistik atau parasitik, di mana gejala-gejala<br />
klinisnya sukar dibedakan dari malaria. 8<br />
Efek samping dari obat-obatan antiretroviral dan<br />
beberapa obat lainnya, dan juga IRIS (immune reconstitution<br />
syndrome) juga dapat menyebabkan gejala<br />
demam. Namun demikian, fakta bahwa penduduk<br />
daerah endemis dapat mengalami parasitemia malaria<br />
yang asimptomatik membuat diagnosis malaria<br />
pada pasien HIV tampak semakin kompleks. 8<br />
Berg dalam penelitiannya menyebutkan bahwa<br />
dari perbandingan antara temuan gejala, tanda, dan<br />
hasil laboratorium pasien-pasien yang didiagnosis<br />
pasti di akhir sebagai malaria dengan pasien-pasien<br />
MEDICINUS 24(1), January 2011 31