02.04.2013 Views

S2 PLOD UGM (2003), Kajian Resolusi Permasalahan Papua

S2 PLOD UGM (2003), Kajian Resolusi Permasalahan Papua

S2 PLOD UGM (2003), Kajian Resolusi Permasalahan Papua

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>S2</strong> <strong>PLOD</strong> <strong>UGM</strong> (<strong>2003</strong>), <strong>Kajian</strong> <strong>Resolusi</strong> <strong>Permasalahan</strong> <strong>Papua</strong> dari Aspek Politik, Hukum dan Pemerintahan<br />

filosofis. 30 Dengan menggunakan 3 (tiga) teori tersebut, dilakukan analisis terhadap UU<br />

No. 45 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun 2001.<br />

Menurut teori materiil, yang dikemukakan oleh Leopold Pospisil dalam bukunya<br />

“Anthropological of Law”, hukum yang berlaku di suatu negara terdiri dari hukum yang<br />

berasal dari penguasa (authoritarian law) dan hukum yang berlaku dalam masyarakat<br />

(common law).<br />

Secara teoritis, authoritarian law memiliki kepastian hukum dan daya paksa tinggi,<br />

tetapi bersifat statis dan objektifitas keadilannya sulit dibuktikan. Sebaliknya, ketentuan<br />

hukum dari common law daya lakunya bersifat dinamis dan objektifitas keadilannya<br />

relatif mudah terwujud, tetapi memiliki kepastian hukum dan daya berlaku yang rendah.<br />

Menurut teori material ini, hukum yang baik adalah peraturan hukum yang materialnya<br />

semaksimal mungkin mengambil dari common law, akan tetapi wadahnya diberi bentuk<br />

authoritarian law.<br />

Dengan mendasarkan pada teori ini, UU No. 45 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun<br />

2001 dapat dianalogikan sebagai authoritarian law, sedangkan common law-nya adalah<br />

keinginan dan aspirasi masyarakat yang tercermin dalam Keputusan DPRD Provinsi<br />

<strong>Papua</strong> No. 10/DPRD/1999 dan Keputusan DPRD Provinsi <strong>Papua</strong> No. 11/DPRD/1999.<br />

Untuk menganalisis instrumen yuridis kebijakan pemekaran dan otonomi khusus<br />

<strong>Papua</strong> dengan “teori formil”, sebagaimana dianut oleh Dickerson dalam bukunya<br />

“Legislative Drafting Theory”, dilakukan dengan melihat “persyaratan” hukum yang<br />

baik, yang harus memenuhi tiga syarat, yaitu: (a) mengatur secara tuntas, (b) minimalnya<br />

ketentuan yang mengandung delegatieven wetgeving, dan (c) tidak memuat pasal karet<br />

yang tidak menjamin adanya kepastian hukum.<br />

Secara umum, UU No. 45 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun 2001 telah memenuhi<br />

tiga syarat ini. Hanya saja, kuatnya pengaruh peraturan pelaksanaan akibat adanya<br />

delegatieven wetgeving dalam kedua undang-undang tersebut telah menyebabkan<br />

timbulnya masalah yang semakin hari menjadi semakin terakumulasi sebagaimana yang<br />

terjadi saat ini. Undang-undang No. 21 Tahun 2001 memuat perintah pembuatan<br />

sembilan Peraturan Pemerintah. Munculnya Inpres No. 1 Tahun <strong>2003</strong>, yang sebenarnya<br />

merupakan peraturan yang bersifat “juklak”, justru membuka ruang interpretasi baru<br />

30 Muchsan, 2002: 2-3<br />

26

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!