02.04.2013 Views

S2 PLOD UGM (2003), Kajian Resolusi Permasalahan Papua

S2 PLOD UGM (2003), Kajian Resolusi Permasalahan Papua

S2 PLOD UGM (2003), Kajian Resolusi Permasalahan Papua

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>S2</strong> <strong>PLOD</strong> <strong>UGM</strong> (<strong>2003</strong>), <strong>Kajian</strong> <strong>Resolusi</strong> <strong>Permasalahan</strong> <strong>Papua</strong> dari Aspek Politik, Hukum dan Pemerintahan<br />

antar elit dan kelompok suku. Dengan demikian, kebijakan ini dalam perkembangannya<br />

tidak mendapat dukungan masyarakat yang luas.<br />

Kedua, lahirnya kebijakan untuk mengijinkan pengibaran bendera Bintang<br />

Kejora, pemberian ijin dan dukungan dana terhadap Konggres Rakyat <strong>Papua</strong>, serta<br />

perubahan nama Provinsi “Irian Jaya” menjadi Provinsi “<strong>Papua</strong>” oleh Presiden<br />

Abdurahman Wahid. Sama dengan kebijakan yang lalu, kebijakan-kebijakan ini pada<br />

awalnya dimaksudkan untuk menarik simpati terhadap pemerintah pusat dalam kerangka<br />

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun dalam perkembangannya, realitas yang ada<br />

justru menunjukkan bahwa bukan saja kebijakan tersebut gagal untuk menarik dukungan<br />

terhadap pemerintah pusat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun<br />

juga kebijakan-kebijakan ini digunakan untuk memobilisasi dan mengkonsolidasi<br />

elemen-elemen yang mendukung kemerdekaan <strong>Papua</strong>.<br />

Ketiga, dilaksanakannya Crash Program di <strong>Papua</strong> dimana dialokasikan dana<br />

sebesar Rp 28 Milyar untuk tiap-tiap kabupaten di Provinsi <strong>Papua</strong> selama 4 bulan (dari<br />

Agustus - Desember 2001). Dalam perspektif pemerintah pusat, kebijakan ini<br />

dikonsentrasikan untuk memenuhi kewajiban negara dalam pelayanan publik minimum<br />

dan pengembangan infrastruktur yang memang sangat tertinggal di <strong>Papua</strong>. Tetapi dalam<br />

implementasi di tingkat lokal, kebijakan ini menjadi arena konsolidasi clientelism dan<br />

korupsi di lingkungan elit lokal yang menyebabkan program ini gagal dalam<br />

mengkonsolidasikan dukungan bagi pemerintah pusat dalam kerangka Negara Kesatuan<br />

Republik Indonesia.<br />

Puncak dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat untuk merespon<br />

tuntutan masyakat <strong>Papua</strong> adalah UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi<br />

Provinsi <strong>Papua</strong>. Kebijakan ini memberlakukan prinsip desentralisasi asimetris yang<br />

memberikan kewenangan politik, ekonomi dan kultural yang jauh lebih besar kepada<br />

<strong>Papua</strong> dibandingkan daerah lain ataupun masa sebelumnya. Hal ini terlihat dari diakuinya<br />

eksistensi dari elit-elit lokal <strong>Papua</strong> yang terlembaga dalam Majelis Rakyat <strong>Papua</strong> (MRP),<br />

eksistensi struktur pemerintahan lokal <strong>Papua</strong>, eksistensi masyarakat adat, hukum adat,<br />

dan lain-lain. Sampai saat ini, belum terlihat apakah UU No. 21 Tahun 2001 tentang<br />

Otonomi Khusus bagi Provinsi <strong>Papua</strong> akan sama nasibnya dengan kebijakan-kebijakan<br />

yang telah lalu, yaitu gagal melahirkan dukungan bagi pemerintah pusat dalam kerangka<br />

4

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!