12.05.2013 Views

qkmhN

qkmhN

qkmhN

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Foto: Henry Lopulalan<br />

bang untuk bersikap kritis. Mereka curiga<br />

curiga pada “pembangkitan” isu lingkungan.<br />

Ini dilihat sebagai ikhtiar negara maju untuk<br />

menghambat proses industrialisasi negara<br />

berkembang. Itu yang membuat, dari podium<br />

pembicara, sang Menteri Brasil mengundang<br />

investor untuk membangun industri di<br />

negerinya. Beliau tak ambil peduli pada kemungkinan<br />

timbulnya polusi dengan berseru:<br />

“for the sake of development, we welcome<br />

pollution!”. Beberapa negara berkembang<br />

lainnya bisa menerimanya dengan syarat jika<br />

diikuti penambahan bantuan (new and additional<br />

aid).<br />

Indira Gandhi adalah satusatunya<br />

kepala pemerintahan<br />

dari negara berkembang yang<br />

menghadiri Konferensi<br />

Stockholm ini. Pendapat India<br />

pada waktu itu, “kemiskinan<br />

adalah perusak utama<br />

lingkungan”. Karena itu usaha<br />

penanggulangan lingkungan<br />

harus dimulai dengan<br />

pemberantasan kemiskinan.<br />

Dalam kemelut<br />

perkembangan aneka aliran<br />

pikiran ini, Indonesia yang<br />

baru keluar dari krisis dan<br />

mulai menata negara untuk<br />

merintis pembangunan,<br />

mengambil sikap hati-hati dan<br />

membuka diri untuk bekerja<br />

sama dengan berbagai pihak<br />

merintis jalan “membangun<br />

tanpa merusak lingkungan.”<br />

Dan sejak itu tumbuh<br />

berkembang keinginan untuk<br />

mencari pola “pembangunan<br />

berwawasan lingkungan.”<br />

Kedua, kehadiran dan peranan NGO<br />

(non-governmental organization). Ini adalah<br />

konferensi PBB pertama yang melibatkan<br />

NGO berbagai negara. Mereka membantu<br />

penyiapan konsep, penyelenggaraan dan<br />

kegiatan konferensi dengan dukungan penuh<br />

dari Maurice Strong, Sekretaris Jenderal Konferensi<br />

ini. Para pemimpin NGO ini mempunyai<br />

pendekatan permasalahan nonkonvensional<br />

dan berpikir “di luar kotak”<br />

(outside the box thinking). Menurut pandangan<br />

mereka, pembangunan konvensional<br />

sudah tidak memadai lagi. Saya memperoleh<br />

banyak hal-hal baru di luar buku teks<br />

ekonomi sehingga meluaskan cakrawala<br />

pembangunan. Dan, dari Maurice Strong,<br />

saya peroleh banyak kiat dan pengetahuan<br />

tentang hal-ihwal NGO ini. Sungguh pun<br />

begitu, dalam pikiran saya belum terjawab<br />

pertanyaan apa, mengapa dan untuk apa<br />

peranan NGO dalam pembangunan?<br />

Ketika bertugas selaku menteri di bidang<br />

lingkungan hidup (1978-1993) saya mendapat<br />

kesempatan untuk lebih mendalami masalah<br />

lingkungan dan hal-ihwal NGO. Masa<br />

belajar yang sangat berarti ketika saya ikuti<br />

World Commission on Environment and Development<br />

(WCED) atau lebih dikenal<br />

dengan Brundtland Commission selama<br />

Oktober 1984 hingga Maret 1987, yang<br />

dipimpin Perdana Menteri Norwegia Gro<br />

Harlem Brundtland. Menariknya, saat bersidang<br />

di Jakarta (Maret 1985) untuk pertama<br />

kali dilaksanakan acara public hearings dengan<br />

berbagai kelompok masyarakat, pengusaha<br />

dan wakil Pemerintah. Melihat<br />

manfaatnya, pola sidang ini kemudian dijadikan<br />

model pendekatan kerja WCED dan<br />

diterapkan juga di Brasil, Zimbabwe, Uni<br />

Sovyet, Jepang, Kanada dan Norwegia.<br />

Pembelajaran berharga kedua, ketika<br />

saya mengikuti rangkaian pertemuan internasional,<br />

seperti Konperensi Tingkat Tinggi<br />

“Sepuluh tahun sesudah Stockholm” (Nairobi,<br />

1982), KTT Bumi Rio (1992), KTT Pem-<br />

MEROMBAK PARADIGMA PEMBANGUNAN 23

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!