Inu_Kencana_Safiie_-_IPDN_Undercover - Jogjabelajar.org
Inu_Kencana_Safiie_-_IPDN_Undercover - Jogjabelajar.org
Inu_Kencana_Safiie_-_IPDN_Undercover - Jogjabelajar.org
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
ikan asin. Saya sempat beberapa kali, setiap Hari Raya Idul<br />
Fitri, memperoleh pembagian baju anak yatim dari masjid.<br />
Satu per satu, sawah dijual Ibunda untuk biaya sekolah<br />
kakak.<br />
Sekitar dua tahun kemudian, kakak saya, Afrida Habni<br />
Syafiie, menikah dengan Mohammad Rifai S.H. Beliau membawa<br />
kakak saya ke Surabaya sehingga harus pindah dari Universitas<br />
Gajah Mada ke Universitas Airlangga. Gelar dokter<br />
gigi ia selesaikan di kota pahlawan ini. Sementara itu, kakak<br />
ipar saya tetap beralumni Gajah Mada.<br />
Waktu pernikahannya, kami tidak hadir karena Ibunda<br />
malu, tidak memiliki uang. Hal itu sudah pasti akan memberatkan<br />
kakak saya. Oleh karena itu, Ibunda menangis di<br />
kampung. Saya hanya dapat menyaksikan semua itu sambil<br />
memijit punggung beliau.<br />
Setelah tamat SD, saya melanjutkan ke SMP Negeri III<br />
Payakumbuh. Walaupun di SD hanya mendapat juara tiga,<br />
tetapi setelah SMP saya mengalahkan pesaing saya dengan<br />
merebut juara umum kedua. Susila Sastri, pesaing yang dapat<br />
saya kalahkan itu, belakangan saya dengar telah menjadi<br />
dokter spesialis di Kota Padang, ibukota Sumatera Barat.<br />
Saya hanya bertahan satu tahun di Payakumbuh. Kakak<br />
saya, Kama Sudra Syafiie, membawa saya ke Jakarta bersama<br />
Ibunda dan Syawardi (saudara sepupu kami). Saya memanggil<br />
28<br />
kakak saya ini dengan sebutan "Uda" dan kakak saya, Rudy<br />
Sukma Syafiie, saya panggil "Iyan". Sementara itu, kakak saya,<br />
Andi Surya Syafiie, saya panggil "Abang", seperti yang lain.<br />
Di Jakarta, saya masuk sekolah di SMP Negeri VIII Jakarta.<br />
Di sana, persaingannya sangat berat. Baru setelah di<br />
SMA Negeri V Filial saya kembali menjadi juara kelas.<br />
Saya dan Syawardi sangat merasakan, kami, yang berasal<br />
dari pedalaman Sumatera, tiba-tiba harus menjadi anak Jakarta.<br />
Di sini, sudah barang tentu kami menjadi orang yang<br />
paling kampungan. Bayangkan saja, dari Jalan Salemba, tepatnya<br />
Gang Haji Murtado, kami harus berjalan kaki sampai<br />
ke Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Kami naik tangga berjalan<br />
(eskalator) di Toserba Sarinah Jakarta dan ditangkap satpam<br />
karena tidak memakai sandal.<br />
Rasanya waktu itu asing. Pengalaman di Simalanggang<br />
yang jaraknya tujuh kilometer dari Kota Payakumbuh, orang<br />
tidak perlu memakai sandal kalau hendak mandi ke sungai.<br />
Untuk buang air besar saja kami menggunakan sungai. Walaupun<br />
anak bupati, itu hanya berlaku di Bengkalis. Di Simalanggang,<br />
saya tetap saja anak kampung.<br />
Bertahun kemudian, kehilangan Ayah semakin memilukan<br />
saya. Bukan saja karena saya tidak merasakan "dibiayai" Ayah,<br />
melainkan juga karena rasa rindu. Saya iri dengan kakak saya<br />
yang pernah ditampar Ayahanda karena kurang jujur. Saya,<br />
29