10.07.2015 Views

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak ... - Elsam

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak ... - Elsam

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak ... - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Pram dan Larangan Buku-BukunyaBUKU, bagi Pramoedya Ananta Toer, d<strong>ia</strong>nggap seperti anaknya sendiri. Setelah dewasa,mereka lepas dari orangtua dan bisa membangun hidup sendiri. “Maka, mau dilarang,diinjak, ataupun dibakar, itu merupakan sejarah buku itu sendiri,” kata ayah enam oranganak itu.Dengan prinsip seperti itu, <strong>ia</strong> tak merasa perlu berutang budi kepada mereka yangmeminta pemerintah agar mencabut pelarangan buku-bukunya. Walau tak bisa dimungkiri,sebagaimana umumnya pengarang, Pram akan senang bila buah pikirannya dibaca orang.Inilah yang mungkin terjadi pada buku Hoak<strong>ia</strong>u di Indones<strong>ia</strong>. Buku karangannya yangdilarang dan dalam waktu dekat akan dicetak lagi ini diduga bakal laris terjual. Ketikaditerbitkan pada 1960, belum lagi turun dari percetakan, 10 ribu eksemplar buku itusudah habis terjual. Cetakan berikutnya, dua kali lipat jumlahnya, langsung disitabegitu turun dari mesin.“Buku itu dilarang karena saya dituduh berkh<strong>ia</strong>nat menjual negara ke RRC,” kata Pram.Ketika itu Menteri Luar Negeri Soebandrio memang sedang terlibat polemik dengan RRC. Idebuku itu, menurut Pram, berangkat dari penindasan pemerintah terhadap warga Tionghoa.Dengan membuat Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1955, saat itu pemerintah melarangwarga Tionghoa berdagang di desa-desa. Bahkan, menurut Pram lagi, sikap diskriminasiitu merembet ke pembunuhan warga Cina di Jawa Barat.Dari peristiwa inilah, Pram tergerak membela mereka dengan menulis surat di koranBintang Timur. Tulisannya itu ternyata mendapat perhat<strong>ia</strong>n luas dari pembaca, sampaikemud<strong>ia</strong>n diterjemahkan ke bahasa Kamboja, Burma, dan Tiongkok. Penerbit Bintang Presspun tertarik untuk membukukannya.Hoak<strong>ia</strong>u di Indones<strong>ia</strong> ini mempunyai kenangan khusus baginya karena buku itu menyebabkan<strong>ia</strong> ditahan. Saat itu, <strong>ia</strong> dipanggil oleh Penguasa Perang Tertinggi untuk diwawancaraioleh Mayor Sudharmono, yang belakangan menjadi wakil presiden. “Lalu, oleh petugasCPM, saya dibawa ke rumah tahanan militer Budi Utomo,” cerita Pram. Tiga bulan <strong>ia</strong>meringkuk di tempat ini sebelum dipindahkan ke LP Cipinang. Keluarganya tak tahudi mana <strong>ia</strong> berada, padahal saat itu anaknya yang nomor enam dilahirkan. Mereka barumengerti setelah diberi tahu seorang pejabat rumah tahanan Budi Utomo, Jakarta Pusat.Soal penahanan sebenarnya bukan hal yang asing bagi putra kelahiran Blora, Jawa Tengahitu. Tahun 1947 <strong>ia</strong> sudah pernah ditahan oleh pemerintah Belanda di penjara Bukitduri,Jakarta Selatan. Tapi aksi itu tak memadamkan semangatnya untuk terus berkarya. Daritangannya lahir Cerita dari Blora, Perburuan dan Keluarga Gerilya, yang bisa beredar dimasyarakat.Namun, setelah itu, pelarangan seolah melekat pada buku-bukunya, terutama setelah<strong>selama</strong> 14 tahun (1965-1979) <strong>ia</strong> dibuang ke Pulau Buru karena dituduh terlibat Lekra,organisasi kebudayaan yang berafil<strong>ia</strong>si ke PKI. Padahal, dari Pulau Buru inilah lahirnovel-novel yang luar b<strong>ia</strong>sa. Sayang, Bumi Manus<strong>ia</strong>, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah,dan Rumah Kaca itu tak bisa beredar karena pemerintah menilai buku-buku tersebutberwarna komunis. Ketika sudah keluar dari Pulau Buru, bukunya Sang Pemula dan NyanyiSunyi Seorang Bisu juga tak luput dari pelarangan.Upaya pembungkaman yang dilakukan pemerintah ini tak sepenuhnya efektif karena secarasembunyi-sembunyi orang bisa mendapatkan buku-buku tersebut. Akankah buku Hoak<strong>ia</strong>udi Indones<strong>ia</strong> yang akan diterbitkan ulang itu bakal dilarang lagi? Semoga saja <strong>tidak</strong>.Sebab, kata penerima had<strong>ia</strong>h Magsasay ini, buku tersebut adalah dokumentasi yangrelevan dengan peristiwa kerusuhan anti-Cina yang sekarang terjadi. Paling <strong>tidak</strong>,kerusuhan pada l740 di Batav<strong>ia</strong>, yang menyebabkan sekitar 10 ribu warga Tionghoaterbunuh, bisa dijadikan pengalaman agar peristiwa serupa tak terulang.(Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/BK/mbm.19981006.BK95613.id.html)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!