Tindakan SubversifSelain mengukuhkan UU no. 4/ Pnps/ 1963,pemerintah Orde Baru juga mengadopsi UU no. 11/Pnps/ 1963 tentang anti subversif, yang melarangtindakan-tindakan yang dapat menggoyahkanpemerintahan atau menghilangkan kepercayaanrakyat terhadap pemerintah. UU yang terakhir inijuga ditelurkan pada masa keadaan darurat perangdi jaman pemerintahan Sukarno. Alhasil, pada masaOrde Baru, tindakan pelarangan buku <strong>tidak</strong> sematamataberdiri sendiri namun hampir selalu terkaitdengan dua hal lain yaitu usaha membangkitkankomunisme dan tindakan subversif.Kasus-kasus berikut ini memperlihatkan dengan jelasbagaimana pelarangan buku dikawinkan dengantuduhan penyebaran ideologi komunis dan tindakansubversif.Kasus Pemenjaraan 3 Mahasiswa UGM(Bambang Subono, Bambang Isti Nugrohodan Bonar Tigor Naipospos)Bambang Subono (BS) adalah mahasiswa Fisip UGMYogyakarta. Pada 12 Juni 1988, <strong>ia</strong> tertangkap sedangmemperjual-belikan buku Rumah Kaca, Anak SemuaBangsa dan Gadis Pantai di tengah kerama<strong>ia</strong>n penontonpentas drama ”Tahanan” di sport hall Kridosono, Yogya.Buku Rumah Kaca sendiri telah dilarang beredar pada 8Juni 1988 melalui SK Kejagung no. KEP-061/JA/6/1988,sedangkan Anak Semua Bangsa dilarang melaluiSK Kejagung no. Kep 052/JA/5/1981. Kodim 0734Yogyakarta kemud<strong>ia</strong>n memeriksa rumah BS di kawasanJatimulyo, dan menyita 20 buku yang d<strong>ia</strong>nggap berbauajaran komunis dan Marxis-Leninis. Pemberitaan med<strong>ia</strong>massa kemud<strong>ia</strong>n menggolongkan tindakan BS sebagaipenyebarluasan ideologi komunisme dan mengajakmasyarakat agar <strong>tidak</strong> ’bersikap lunak’, meskipun BSmengakui bahwa <strong>ia</strong> menjual buku-buku tersebut sematamatauntuk mendapat uang saja. Ia dituduh: melakukankeg<strong>ia</strong>tan yang menyebarkan atau mengembangkanpaham/ ajaran komunis-Marxisme-Leninisme;melakukan perbuatan yang dapat menggulingkan,merusak atau merongrong kekuasaan negara ataukewibawaan pemerintah yang sah; melakukan perbuatanyang dapat menyebarkan rasa permusuhan, perpecahan,pertentangan dan kekacauan serta kegelisahan dikalangan masyarakat luas karena telah mengedarkanbuku-buku tersebut. BS akhirnya dijatuhi hukuman 7tahun penjara pada 1989 dan kemud<strong>ia</strong>n dibebaskanbersyarat pada 1994.Ketika kesatuan intel mengobrak-abrik tempat tinggalBS, mereka menemukan surat tagihan dari perpustakaanSleman kepada BS untuk segera mengembalikanbuku karya Maxim Gorky, Ibunda. Buku tersebut <strong>tidak</strong>ditemukan di rumah BS, namun <strong>ia</strong> mengakui bahwabuku Ibunda dipinjam oleh Bambang Isti Nugroho(BIN). BIN adalah seorang karyawan laboratorium fisikaUGM, koordinator kelompok studi Palagan, penyair dankoresponden majalah Tebuireng, serta aktif di majalahRefleksi yang diterbitkan Forum Studi KebudayaanRefleksi-Yogyakarta. Ia ditangkap pada 20 Juni 1988,dengan tuduhan menyimpan buku-buku terlarang danmenyelenggarakan rapat-rapat gelap atau diskusi tanpaijin pihak yang berwajib. Persidangan BIN baru dimulaipada 25 April 1989 dan divonis 8 tahun penjara.Selain BS dan BIN, Bonar Tigor Naipospos, mahasiswaFISIP UGM yang menjadi koordinator seksi diskusi KSSPYjuga ditangkap. Ia dituduh ’berusaha menghidupkan ataumenyebarkan ataupun se<strong>tidak</strong>-<strong>tidak</strong>nya menonjolkankembali ajaran Marxisme/ Komunisme’ yang nyatanyatatelah dilarang di Indones<strong>ia</strong>; menyebarkanrasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan,kegoncangan atau kegelisahan di antara kalanganpenduduk atau masyarakat yang bersifat luas; memikatorang lain untuk turut menghidupkan atau menyebarkanajaran Marxisme/ Komunisme dengan cara-cara yangsama seperti pada dakwaan primer; menyimpan,memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan,menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembalibarang cetakan terlarang’ yaitu Bumi Manus<strong>ia</strong>, AnakSemua Bangsa, Gadis Pantai, Jejak Langkah dan HikayatSiti Mar<strong>ia</strong>h. Sidang kasus BTN dimulai pada Juni 1990dan berakhir pada Oktober 1990 dengan vonis penjara 8tahun 6 bulan penjara.Keputusan pengadilan terhadap ketiga terdakwamengundang protes dari mahasiswa. Sebanyak 10 orangyang tergabung dalam Komite Pembelaan Mahasiswa(KPM) UGM melakukan aksi protes terhadap keputusantersebut dengan berpaka<strong>ia</strong>n ala klux klux klan. Merekaberusaha mensos<strong>ia</strong>lisasikan masalah-masalah yangdihadapi mahasiswa seperti <strong>tidak</strong> adanya kebebasanakademik, keterbelengguan mahasiswa, dan sebagainya.Aksi lainnya terjadi pada 8 September 1990 yangkemud<strong>ia</strong>n dikenal dengan Jumat Jogja Berdarah.Kasus Pemecatan 3 Mahasiswa UIPada 24 September 1981, senat mahasiswa fakultasilmu-ilmu sos<strong>ia</strong>l UI mengundang Pramoedya untukmempresentasikan papernya tentang Sikap danPeran Intelektual Dun<strong>ia</strong> Ketiga, terutama Indones<strong>ia</strong>.Diskusi ini dibubarkan dan keempat mahasiswa yangtermasuk dalam pihak penyelenggara ditangkap. Merekadibebaskan sekitar Oktober 1981, namun dipecat dariUI. Dalam surat keputusan rektor UI no. 064/ SK/R/UI/1981, disebutkan bahwa ketua dan anggota pengurussenat mahasiswa telah melanggar ketentuan-ketentuantertulis dan bahwa diskusi yang diselenggarakan<strong>tidak</strong> mendapatkan ijin dari Rektor UI. Surat ini jugamenyatakan bahwa Rafendi Jamin, Widi Krastawan,Verdi Jusuf dan Alexander Irwan dicabut kedudukannyasebagai mahasiswa dan warga UI.
Gerakan Reformasi berhasil merebut kembalikemerdekaan berkumpul, berserikat, danberpendapat setelah puluhan tahun diberangusdi bawah Rezim Orde Baru. Kemenangan tersebutdikukuhkan oleh MPR melalui Perubahan KeduaUUD Negara RI Tahun 1945. Pada 2004, DPRmencabut kewenangan Kejaksaan Agung untukmelarang peredaran barang cetakan melalui UUNo. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.Buku yang dilarang pertamakali,pada era ini adalah pamflet yangditulis Ma’sud Simanungkalit yangberjudul Kutemukan Kebenaran Sejatidalam Al Qur’an. Karena UU KejaksaanRI yang baru <strong>tidak</strong> lagi memberikewenangan pada KejaksaanAgung untuk melarang peredaranbuku, maka Kejaksaan Agungbergayut pada UU peninggalankeadaan darurat periode DemokrasiTerpimpin, yaitu No. 4/PNPS/1963,untuk membenarkan keputusannya.Pada 2007 Kejaksaan Agungbertindak semakin agresif denganmelarang 13 buku teks sejarahuntuk SLTP dan SLA yang mengacupada Kurikulum 2004. KejaksaanAgung berdalih buku-buku tersebutmemutar balik sejarah karena<strong>tidak</strong> mencantumkan kata ’PKI’dibelakang ‘G-30-S’ dan <strong>tidak</strong>memasukkan Peristiwa Madiun1948. Di tingkat lapangan, sejumlahkejaksaan negeri/tinggi memperluaspelarangan <strong>tidak</strong> hanya pada 13judul buku, <strong>tapi</strong> juga pada buku-bukuteks sejarah lain. Kejaksaan TinggiPangkal Pinang bahkan memperluaspelarangan hingga mencakup54 judul buku sejarah . Tidakhanya pelarangan yang dilakukankejaksaan, te<strong>tapi</strong> juga pemusnahandengan cara membakar buku-bukuteks yang disita.Selanjutnya, pada akhir 2009Kejaksaan Agung melarang limabuku, d<strong>ia</strong>ntaranya karya JohnRoosa, Dalih Pembunuhan Massal:Gerakan 30 September dan KudetaSuharto (ISSI & Hasta Mitra, 2008)serta karya Rhoma Dwi Yul<strong>ia</strong>ntidan Muhiddin M Dahlan, Lekra takMembakar Buku: Suara Senyap LembarKebudayaan Har<strong>ia</strong>n Rakyat 1950-1965 (Yogyakara a: Merakesumba,2008). Buku-buku itu dilarangkarena d<strong>ia</strong>nggap ‘dapat menggangguketertiban umum’. Kejaksaan Agungmemonopoili definisi atas ‘ketertibanumum’ dan <strong>tidak</strong> merasa perlumembuktikan bahwa peredaran bukuitu memang meresahkan masyarakat.Padahal buku-buku itu telah beredar<strong>selama</strong> satu tahun atau lebih tanpamenimbulkan gejolak sama sekali.Pelarangan buku masih dapat terus terjadi di masamendatang <strong>selama</strong> UU No. 4/PNPS/1963 terusdipertahankan. Pada awal Januari 2010, MenteriHukum dan HAM Patr<strong>ia</strong>lis Akbar mengumumkan akanmerekomendasikan pada Kejaksaan Agung untukmelarang peredaran 20 judul buku.