Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
"Sudah, Mandor, jangan begitu bersedih. Sekarang kembali kita<br />
ke soal semula. Sudah 4 hari ini saya tanya rencana untuk mandorbesar<br />
mengenai Siti Mariah, yang saya cintai dan mencintai saya.<br />
Mariah saya pinta untuk saya piara sampai berumur 23 tahun, lalu<br />
hendak saya kawini di kantor. Ketika itu Mariah saya pinta dengan<br />
sopan tapi mandor-besar sudah marah-marah. Sekarang mandor-besar<br />
sudah tidak marah-marah lagi, maka saya datang lagi untuk meminta<br />
Mariah. Mudah-mudahan permintaan saya dikabulkan."<br />
"Gusti Allah," sebut Joyopranoto, "oo, Tuan Dam, beribu terima<br />
kasih, beribu suka hati. Jangankan di waktu siang, kendati tengah<br />
malam juga pasti akan saya serahkan, tapi..."<br />
Setelah mendengar ucapan suaminya Waginah datang dari arah<br />
belakang sambil bertanya: "Tapi.... tapi.... apalagi, Kang Joyo? Mau<br />
bikin gara-gara lagi?"<br />
Joyopranoto terlompat mendengar bicara bininya dari belakang,<br />
menjawab gagab: "Ya, ibu Mariah, dengan segala senang hati akan<br />
saya serahkan Mariah pada tuan Dam, tapi.... tapi...."<br />
"Tapi, ha, ha, ha, tapi, tapi, apa? Bilanglah."<br />
"Bagaimana ibu Mariah ini bicara? Apa yang hendak<br />
diserahkan? Maria yang mau diserahkan? Mana Mariah? Mengapa<br />
tertawa?"<br />
"Ha-ha, O Allah, Mandor Joyo, Kang Mas Mandor. Sudah tua , ya?<br />
Sudah banyak lupa, banyak keliru, sering sesat. Mariah mana, tanyanya.<br />
Kan dia di rumah. Itu siapa yang berdiri di belakang kursi Akang?"<br />
Joyopranoto menoleh cepat. Betul, Mariah ada di belakangnya.<br />
la terkesima dan hampir pingsan. Kepalanya la rasakan terputar,<br />
berdiri tertatih-tatih dan menubruk anaknya, dipeluk dan diciumnya.<br />
"Alhamdulillah, ya anakku, ya Mariah. Ampun, ampuni." Lebih<br />
dari itu mandor-besar tak bisa bicara lagi. la rebah di kursi,<br />
berkeringat dingin, pandangannya berpusing dan diangkutlah ia ke<br />
kamar, ke tempat tidurnya.<br />
Henri Dam menolong membasahi kepalanya, menyiramnya<br />
dengan kolonyo. Tak lama kemudian mandor-besar itu kembali sadar,<br />
tapi masih nampak gemeteran dan pandangannya masih juga<br />
berputar-putar.<br />
Menegakkan Keadilan 181