02.07.2013 Views

Bab I

Bab I

Bab I

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

"Sudah, Mandor, jangan begitu bersedih. Sekarang kembali kita<br />

ke soal semula. Sudah 4 hari ini saya tanya rencana untuk mandorbesar<br />

mengenai Siti Mariah, yang saya cintai dan mencintai saya.<br />

Mariah saya pinta untuk saya piara sampai berumur 23 tahun, lalu<br />

hendak saya kawini di kantor. Ketika itu Mariah saya pinta dengan<br />

sopan tapi mandor-besar sudah marah-marah. Sekarang mandor-besar<br />

sudah tidak marah-marah lagi, maka saya datang lagi untuk meminta<br />

Mariah. Mudah-mudahan permintaan saya dikabulkan."<br />

"Gusti Allah," sebut Joyopranoto, "oo, Tuan Dam, beribu terima<br />

kasih, beribu suka hati. Jangankan di waktu siang, kendati tengah<br />

malam juga pasti akan saya serahkan, tapi..."<br />

Setelah mendengar ucapan suaminya Waginah datang dari arah<br />

belakang sambil bertanya: "Tapi.... tapi.... apalagi, Kang Joyo? Mau<br />

bikin gara-gara lagi?"<br />

Joyopranoto terlompat mendengar bicara bininya dari belakang,<br />

menjawab gagab: "Ya, ibu Mariah, dengan segala senang hati akan<br />

saya serahkan Mariah pada tuan Dam, tapi.... tapi...."<br />

"Tapi, ha, ha, ha, tapi, tapi, apa? Bilanglah."<br />

"Bagaimana ibu Mariah ini bicara? Apa yang hendak<br />

diserahkan? Maria yang mau diserahkan? Mana Mariah? Mengapa<br />

tertawa?"<br />

"Ha-ha, O Allah, Mandor Joyo, Kang Mas Mandor. Sudah tua , ya?<br />

Sudah banyak lupa, banyak keliru, sering sesat. Mariah mana, tanyanya.<br />

Kan dia di rumah. Itu siapa yang berdiri di belakang kursi Akang?"<br />

Joyopranoto menoleh cepat. Betul, Mariah ada di belakangnya.<br />

la terkesima dan hampir pingsan. Kepalanya la rasakan terputar,<br />

berdiri tertatih-tatih dan menubruk anaknya, dipeluk dan diciumnya.<br />

"Alhamdulillah, ya anakku, ya Mariah. Ampun, ampuni." Lebih<br />

dari itu mandor-besar tak bisa bicara lagi. la rebah di kursi,<br />

berkeringat dingin, pandangannya berpusing dan diangkutlah ia ke<br />

kamar, ke tempat tidurnya.<br />

Henri Dam menolong membasahi kepalanya, menyiramnya<br />

dengan kolonyo. Tak lama kemudian mandor-besar itu kembali sadar,<br />

tapi masih nampak gemeteran dan pandangannya masih juga<br />

berputar-putar.<br />

Menegakkan Keadilan 181

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!