Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Fokus<br />
Polemik KRi Usman-harun<br />
Asiyah, adik Harun.<br />
Imam Wahyudiyanta/detikcom<br />
kasih tahu kepada<br />
utjuk Astiah serta Hasniti,<br />
apakah surat-surat adinda<br />
“Tolong<br />
yang dikirim kepadanya tiada<br />
yang sampai? Atau masih belum ada waktu<br />
untuk membalasnya kepada adinda? Dan, kalau<br />
utjuk Astiah dan Hasniti ada kelapangan,<br />
supaya sudilah kiranya mengirim sepatah kata<br />
khabar kepada adinda yang sedang merindui<br />
berita dari padanya.”<br />
Demikian penggalan bagian akhir surat yang<br />
dituliskan Harun Said bin Muhammad Ali dari<br />
balik penjara Changi, Singapura, kepada kakaknya,<br />
Samsuri Tohir, di Tanjung Priok, Jakarta.<br />
Surat dengan tulisan sambung itu dikirimkan<br />
pada 31 Agustus 1968, atau dua bulan sebelum<br />
Harun dan rekannya, Sersan Dua Usman bin<br />
Haji Ali, menjalani eksekusi di tiang gantung.<br />
Tiga tahun berpisah dari keluarga bukanlah<br />
perkara mudah bagi prajurit Korps Komando<br />
Operasi (KKO) berpangkat kopral itu. Rasa<br />
rindu dan keresahan menanti putusan pengampunan<br />
atas hukuman mati yang dijatuhkan<br />
Pengadilan Tinggi Singapura pada Oktober<br />
1965, berkelindan menjadi satu.<br />
Curahan kerinduan pun dituliskan Usman<br />
dalam surat-suratnya. Kerinduan itu ditimpali<br />
keresahan menanti surat-surat balasan dari<br />
anggota keluarganya yang tak kunjung datang.<br />
Lewat surat tertanggal 9 April 1968, kepada<br />
kakaknya, Chalimi, di Desa Tawangsari, Purbalingga,<br />
Usman menunjukkan rasa resahnya itu.<br />
“Dan dengan tibanya surat ini djuga tidak<br />
Majalah detik 17 - 23 februari 2014