mekanisme domestik untuk mengadili pelanggaran ham ... - Elsam
mekanisme domestik untuk mengadili pelanggaran ham ... - Elsam
mekanisme domestik untuk mengadili pelanggaran ham ... - Elsam
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Kursus HAM <strong>untuk</strong> Pengacara X, 2005<br />
Bahan Bacaan<br />
Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia<br />
5. Dalam hal berlakunya asas retroaktif yang dianggap bertentangan dengan asas legalitas (nullum<br />
delictum nulla poena sine lege) merupakan hal yang ‘debatable’. Alasan yang tertera dalam Penjelasan<br />
Umum UU No. 26 Tahun 2000 atas dasar Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 (“Dalam menjalankan hak dan<br />
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang<br />
dengan semata-mata <strong>untuk</strong> menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang<br />
lain dan <strong>untuk</strong> memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,<br />
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”), tidak sepenuhnya tepat, sebab<br />
perkecualian yang nampaknya didasarkan atas Pasal 29 Piagam HAM PBB tersebut hanya berlaku<br />
<strong>untuk</strong> ‘derogable rights’. Padahal hak <strong>untuk</strong> tidak diadili dengan peraturan yang berlaku surut adalah<br />
‘non-derogable rights’. Atas dasar ‘international customary law’, alasan yang dapat digunakan adalah :<br />
(a) Atas dasar ‘the principle of justice’. Artinya ‘impunity’ terhadap pelaku <strong>pelanggaran</strong> HAM berat akan<br />
dirasakan lebih tidak adil dibandingkan dengan tidak menerapkan asas legalitas, yang juga<br />
ditujukan <strong>untuk</strong> menciptakan kepastian hukum dan keadilan; dan<br />
(b) Dalam hal ini tidak ada persoalan asas legalitas, sebab tidak ada perundang-undangan yang baru.<br />
Yang terjadi adalah penerapan hukum kebiasaan internasional (international customary law) dalam<br />
peradilan ad hoc dengan locus dan tempos delicti tertentu yang sudah dikenal dalam praktek hukum<br />
internasional (Nuremberg, Tokyo, Rwanda, Yugoslavia). Dalam hal ini berlaku asas ‘nullum delictum<br />
nulla poena sine iure’.<br />
6. Pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) disebut sebagai ‘extraordinary crimes’ sebab<br />
perbuatan yang keji dan kejam tersebut dapat menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock<br />
the conscience of humanity) dan dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional (a threat to<br />
international peace and security). Apalagi bilamana dilakukan secara ‘sistematic or widespread” and<br />
‘flagrant’. Di dalam Art. 1 Statuta Roma kejahatan tersebut dinamakan ‘the most serious crimes of<br />
international concern’, yang penanganannya membutuhkan bantuan internasional.<br />
7. Beberapa catatan tambahan terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) :<br />
(a) Kejahatan terhadap kemanusiaan sudah bersifat ‘sui generis’/autonomous/self-contained category/new<br />
category of crime’, dalam arti tidak ada kaitannya dengan kejahatan perang (war crimes). Pengaturan<br />
ICC merupakan puncak dari perkembangan hukum kebiasaan internasional (customary international<br />
law);<br />
(b) Dalam perumusan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebelum kata<br />
’penduduk sipil’ (civilian population) ada kata “any” (any civilian population). Hal ini mengandung arti<br />
bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilakukan terhadap mereka yang mempunyai<br />
nasionalitas seperti pelaku atau mereka yang ‘stateless’ atau mereka yang mempunyai nasionalitas<br />
berbeda. Pengertian ‘civilian’ harus diartikan luas termasuk pasien di rumah sakit baik orang sipil<br />
atau pejuang yang telah meletakkan senjata;<br />
(c) Sekalipun istilah ‘population’ menunjuk pada kejahatan kolektif (crime in collective nature) dan<br />
mengecualikan apa yang disebut ‘single or isolated or random acts’, namun seorang individu yang<br />
melakukan suatu kejahatan dengan korban tunggal (single victim) dapat dipersalahkan melakukan<br />
kejahatan terhadap kemanusiaan apabila perbuatannya merupakan bagian dari ‘cruel and barbarous<br />
political system‘ atau apabila perbuatan tersebut ‘is the product of a political system based on terror or<br />
persecution’. Istilah ‘widepread’ menunjuk pada sejumlah korban sedangkan ‘systematic’<br />
mengindikasikan adanya bentuk rencana yang terpola atau metodis dan jelas (a pattern or<br />
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 10