mekanisme domestik untuk mengadili pelanggaran ham ... - Elsam
mekanisme domestik untuk mengadili pelanggaran ham ... - Elsam
mekanisme domestik untuk mengadili pelanggaran ham ... - Elsam
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Kursus HAM <strong>untuk</strong> Pengacara X, 2005<br />
Bahan Bacaan<br />
Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia<br />
e. Komandan tidak harus melihat sendiri terjadinya kekejaman (has actual knowledge); cukup apabila dia<br />
mengetahui bahwa bawahannya sedang dalam proses melakukan kejahatan atau telah melakukan<br />
kejahatan dan yang bersangkutan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan atau beralasan<br />
<strong>untuk</strong> menjamin ditaatinya hukum perang atau memidana para pelaku ; (Kasus My Lai /Song My). Hal<br />
ini sesuai pula dengan Art. 86 para. 2 Protocol Additional I;<br />
f. “Position of Responsibility” bisa juga berkaitan dengan “Civilian Authorities”. Dalam Rwanda ad hoc<br />
Tribunal, seorang direktur pabrik telah dituntut dan dipidana karena tidak melakukan tindakan<br />
campur tangan dan pencegahan kejahatan genosida yang dilakukan bawahannya di luar jam kerja;<br />
g. Pertanggungjawaban komando tidak hanya diterapkan terhadap “Formal Commanders”, tetapi juga<br />
terhadap orang-orang yang memperoleh suatu posisi informal dalam hal mana dia bisa menggunakan<br />
kekuasaaannya sebagai seorang komandan. Hal ini bisa terjadi dalam perang saudara (civil war). Dalam<br />
Tribunal ad hoc Former Yugoslavia, seorang yang bertindak sebagai komandan penjara (camp) di<br />
Bosnia/Herzegowina sekalipun secara formal tidak pernah ditunjuk dalam jabatan tersebut, tetapi de<br />
facto dia adalah komandan (de facto commander), yang tidak melakukan pencegahan pembunuhanpembunuhan<br />
dan penyiksaan yang dilakukan oleh para penjaga penjara;<br />
h. Atas dasar “case law” dari kedua ad hoc Tribunal dan juga Art. 28 Statuta Roma tentang ICC,<br />
“Effective Control” secara umum ditafsirkan sebagai suatu kondisi di mana atasan secara sungguhsungguh<br />
mampu menggunakan kekuasaannya bilamana dia menginginkannya. Dengan demikian<br />
istilah tersebut menunjuk kepada “material ability” <strong>untuk</strong> mencegah dan menahan tindak pidana.<br />
Apakah seseorang berada dalam posisi <strong>untuk</strong> mengontrol atau tidak akan tergantung pada apakah<br />
seseorang mempunyai kekuasaan <strong>untuk</strong> mengeluarkan perintah yang mengikat bawahannya dan<br />
<strong>untuk</strong> mencegah atau menghukum setiap pelaku tindak pidana yang mungkin dilakukan. Dengan<br />
demikian “control” harus diartikan sebagai sambungan atau akibat komando (sequel of command).<br />
Perkecualian bisa terjadi apabila komandan tidak mempunyai kontrol efektif. Hal ini bisa terjadi apabila<br />
komunikasi sama sekali terputus atau karena sesuatu alasan tidak mungkin dilakukan. Contoh lain<br />
adalah apabila terjadi suatu pemberontakan (mutiny). Dalam keadaan darurat/bahaya (sipil, militer<br />
atau perang), kontrol tidak harus berasal dari komando militer, tetapi juga bisa berasal dari orang yang<br />
berwenang, misalnya pimpinan politik atau pejabat pemerintah. Tingkatan komando dan kontrol<br />
bervariasi. Bisa operasional, taktis, administratif, eksekutif dalam teritori di bawah kontrol atasan.<br />
Tanggung jawab atasan akan banyak tergantung pada derajat kontrol dan cara pelaksanaannya;<br />
i. Seorang Staf sekalipun memiliki pengaruh besar, belum tentu mampu mencegah kejahatan. Sebagai<br />
contoh adalah kasus yang diadili Trial C<strong>ham</strong>ber ICTY. Seseorang bertindak sebagai “co-ordinator of<br />
logistic support” tetapi tidak dalam posisi sebagai “superior authority” terhadap pelaku kejahatan,<br />
sehingga dibebaskan. Kasus lain yang menarik dalam hal ini adalah apa yang terjadi dalam Tokyo<br />
Tribunal (IMTFE) yang <strong>mengadili</strong> Letjen Akira Muto, yang bebas dalam kasus Rape of Nanking, karena<br />
kedudukannya sebagai seorang perwira staf dari Jendral Iwane Matsui. Muto kemudian dipromosikan<br />
menjadi Chief of Staff Jendral Yamashita di Filipina. Dalam kasus kekejaman di Filipina, Muto tidak<br />
bebas dari pertanggungjawaban komander (shares responsibility) karena dia dalam posisi yang dapat<br />
mempengaruhi kebijakan (in a position to influence policy);<br />
j. Istilah “Cognitive Element” mencakup tiga derajat kesadaran :<br />
1. Actually knew;<br />
2. Deliberately took the risk that this would happen, if not knowing it ; dan<br />
3. He should have known that such crimes were about to occur”.<br />
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 24