20151005_MajalahDetik_201

FOKUS
Ketika perusahaan mulai berjalan, giliran warga
Desa Bades yang berdemo karena program
kompensasi tidak dijalankan selama enam bulan.
Mereka pada 2013 merusak dan membakar
kantor IMMS.
Lagi-lagi IMMS maju terus. Bahkan pada
tahun itu perusahaan mengklaim mampu menyetor
hingga Rp 16 miliar kepada Pemerintah
Kabupaten Lumajang. Kontan saja, Dewan
JADI BUKAN HANYA MASALAH KEMATIAN (SALIM), TAPI
KEKAYAAN NEGARA YANG HILANG JUGA HARUS KITA
USUT.
Perwakilan Rakyat Daerah Lumajang mempertanyakan
laporan pemerintah kabupaten yang
menyebut pemasukan bagi hasil pertambangan
pasir hanya berkisar Rp 600 juta.
Lalu, pada 2014, IMMS masuk radar penegak
hukum setelah penambangan pasirnya diketahui
masuk wilayah hutan milik Perhutani. Izin
amdal perusahaan ini pun sampai ditelisik oleh
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Hasilnya, jaksa menemukan adanya dugaan
suap dalam penerbitan amdal, sehingga negara
dirugikan Rp 126 miliar. Kejaksaan juga menemukan,
tersangka Ketua Tim Teknis Dokumen
Amdal Kabupaten Lumajang Abdul Ghofur,
yang meloloskan izin itu, ternyata juga ada
dalam struktur manajemen IMMS.
Lam Chong San juga dijadikan tersangka dan
aset perusahaan sempat disita. Namun kasus
ini seolah menguap tanpa pernah sampai ke
pengadilan.
IMMS akhirnya menghentikan operasinya
akibat belum tersedianya fasilitas pengolahan
dan pemurnian. Kepala Dinas Energi Sumber
Daya dan Mineral Provinsi Jawa Timur Dewi
J. Putriatmi mencatat ,sejak 13 Juni 2014 PT
IMMS melayangkan surat pemberitahuan penambangannya.
Menurut Direktur PT Dampar Golden International
Toni Nurdianto, IMMS bahkan vakum
sejak Januari 2014. Sehingga Toni keberatan
bila kematian Salim dikaitkan dengan perusahaan
tambang.
“Ada pernyataan resmi dari Dinas Pertambangan
Jawa Timur, yang menjelaskan kejadian
MAJALAH DETIK 5 - 11 OKTOBER 2015