Majalah GREAT ISS Vol 2 No. 6 Agustus 2017
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
TOPIK TERKINI<br />
BAHAYA LATEN, HOAKS!<br />
NO PICT, HOAX! Pernah baca kalimat itu? Yup, itu kalimat yang biasa<br />
muncul di grup-grup chat media sosial saat ada anggota grup yang posting<br />
suatu berita/kabar tanpa ada gambar (picture). Maksudnya bercanda, sih.<br />
Tapi, kadangkala ditanggapi serius oleh anggota grup lain.<br />
Hoax (baca: hooks) itu apa, sih? Menurut<br />
Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara<br />
singkat, hoaks adalah berita bohong. Berita<br />
bohong tentu saja tidak bisa dipercaya. Tapi,<br />
kenapa publik di negeri ini sering terpedaya<br />
dengan hoaks?<br />
Ketua Masyarakat Indonesia Anti-Hoax,<br />
Septiaji Eko Nugroho, mengatakan bahwa<br />
kemungkinan hal ini karena masalah<br />
penggunaan teknologi telepon pintar tidak<br />
diiringi dengan budaya kritis dalam melihat<br />
persoalan. “Indonesia itu termasuk lima<br />
negara besar di dunia untuk penggunaan<br />
smartphone ; namun tingkat literasi Indonesia<br />
adalah nomor dua terbawah setelah Botswana<br />
di Afrika,” ujar Septiaji ketika berbicara dalam<br />
deklarasi Masyarakat Anti Hoax, awal tahun<br />
ini di Jakarta seperti dikutip Kompas.<br />
Fakta tersebut tentu menyedihkan. Penyair<br />
terkenal sekaliber Taufik Ismail pun pernah<br />
mengungkapkan kegundahannya dalam<br />
hal ini di sebuah acara seminar di Malang<br />
beberapa waktu lalu. “Paradigma baru yang<br />
berkembang sekarang mengarahkan pelajar<br />
lebih banyak gandrung pada media sosial,”<br />
ujar penyair bergelar Datuk Panji Alam<br />
Kalifatullah ini kepada Republika.<br />
Tak heran kalau beberapa kegaduhan<br />
yang terjadi di masyarakat beberapa tahun<br />
belakangan ini terpicu oleh hoaks di media sosial.<br />
Yang baru-baru ini terjadi, Juni lalu, di Bandung<br />
beberapa anak jadi korban terinjak-injak garagara<br />
masyarakat di dalam Mesjid Raya Bandung<br />
panik saat mereka menerima info lewat media<br />
sosial bahwa menara masjid akan roboh.<br />
Kronologi<br />
Berita-berita bohong bernada kebencian pun<br />
kerap memenuhi media umum dan sosial.<br />
Kronologis berita-berita seperti ini biasanya<br />
berawal dari ujaran-ujaran bernada menghina<br />
atau menghujat sesuatu kondisi/kebijakan atau<br />
seseorang dari politisi, pemuka agama atau<br />
pengamat sosial politik (dan lain-lain) di berbagai<br />
acara atau pertemuan. Tak jarang, pertemuan<br />
itu sengaja dirancang dengan mengundang<br />
para wartawan dari berbagai media.<br />
Lalu, para wartawan ini mengutip ujaran-ujaran<br />
tersebut. Nah, biasanya media-media utama<br />
(besar) sudah bisa atau mampu menyaring<br />
mana kutipan yang perlu ditulis atau disiarkan<br />
mana yang tidak perlu. Yang repot adalah<br />
para wartawan dari media-media kecil, blog<br />
atau media-media yang memang diciptakan<br />
untuk tujuan mendiskreditkan seseorang atau<br />
suatu organisasi atau lembaga pemerintahan.<br />
Para wartawan dari jenis media inilah yang<br />
kerap tidak mampu menyaring atau memang<br />
sengaja mengutip ujaran-ujaran penuh<br />
kebencian. Bahkan, media-media ini memang<br />
sengaja mencari uang berdasarkan ‘pesanan’<br />
pihak tertentu untuk menyebarkan kebencian<br />
dengan imbalan sejumlah uang. Tambahan<br />
lagi dengan aksi-aksi para buzzer (pegiat media<br />
sosial yang berbisnis sebagai endorser melalui<br />
akun-akun mereka yang biasanya berjumlah<br />
puluhan bahkan ratusan). Jadilah sebuah berita<br />
menjadi viral dan tujuan pihak tertentu sangat<br />
besar kemungkinan tercapai.<br />
Dewan Pers dan beberapa organisasi<br />
wartawan di Indonesia seperti PWI (Persatuan<br />
Wartawan Indonesia), AJI (Aliansi Jurnalis<br />
Indonesia) atau IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi<br />
Indonesia) sudah berupaya mencegah hoaks.<br />
Namun, mereka tidak mampu atau tidak<br />
mempunyai wewenang mengatasi mediamedia<br />
kecil, para blogger atau buzzer, karena<br />
jenis media ini tidak terdaftar sebagai anggota<br />
organisasi tersebut.<br />
Tips<br />
Kita sendiri sebenarnya bisa mencegah atau<br />
menghindari hoaks. Beberapa tips berikut<br />
bisa dilakukan. Bila ada berita khususnya di<br />
media sosial jangan langsung percaya. Cek<br />
dan cek kembali (re-check) berita serupa ke<br />
media-media besar (seperti Kompas, Media<br />
Indonesia, Republika). Bagaimana caranya?<br />
Ketik judul berita yang Anda terima di kolom<br />
mesin pencari seperti google, yahoo dan lain<br />
sebagainya. Biasanya, mesin-mesin pencari<br />
itu akan langsung menampilkan daftar berita<br />
serupa (bila memang ada). Pilih berita-berita<br />
yang ditulis oleh media-media besar. Bila tak<br />
menemukan berita serupa di media-media<br />
tersebut, besar kemungkinan berita/kabar itu<br />
adalah hoaks.<br />
Mudah, kan? Nah, mari sama-sama<br />
tingkatkan literasi bangsa dengan mulai dari<br />
diri sendiri demi menjaga keutuhan bangsa<br />
dan negara tercinta ini. Bangsa ini terlalu besar<br />
untuk runtuh hanya karena hoaks!<br />
*dari berbagai sumber<br />
<strong>Vol</strong>. 2 - <strong>No</strong>. 06 | <strong>Agustus</strong> <strong>2017</strong> | <strong>GREAT</strong> <strong>ISS</strong><br />
21