Peran Media dalam Pembangunan Perdamaian dan ... - UNDP

Kajian Tematis 

Peran Media dalam Pembangunan 

Perdamaian dan Rekonsiliasi 

Sulawesi Tengah, Maluku dan Maluku Utara 

Penelitian dan Penyusunan Laporan oleh: 

Institut Studi Arus Informasi (ISAI) 

(Jakarta, Indonesia) 

Dengan Pendampingan Teknis dari: 

International Media Support (IMS) 

(Kopenhagen, Denmark) 

Juli 2004 

Laporan independen ini disusun oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dengan 

pendampingan teknis dari International Media Support (IMS) dan tidak harus mewakili 

pandangan UNDP atau BAPPENAS.

Media di Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan Maluku 

Singkatan 

AJI Aliansi Jurnalis Independen 

ARSSI Asosiasi Radio Siaran Swasta Indonesia 

BBC British Broadcasting Corporation 

CG Common Ground (Indonesia) 

CPRU Crisis Prevention and Recovery Unit 

DANIDA Danish International Development Agency 

DFID Department for International Development (UK) 

EC European Commission 

FKKAUB Forum Kerukunan dan Komunikasi Antarumat Beragama 

HRW Human Rights Watch 

ICCO Interchurch Organisation for Development Co-operation (NL) 

ICFJ International Centre for Journalists 

ICG International Crisis Group 

IDP Internally Displaced Person 

IFJ International Federation of Journalists 

IMS International Media Support 

INGO International Non-Governmental Organisation 

INSI International News Safety Institute 

ISAI Institut Studi Arus Informasi 

KPI Komisi Penyiaran Indonesia 

LPS-HAM Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia 

MDG Millennium Development Goals 

MDLF Media Development Loan Fund 

MMC Maluku Media Centre 

NGO Non-Governmental Organisation 

NORAD Norwegian Agency for Development Cooperation 

OTI Office of Transitional Initiatives (USAID) 

PRSSNI Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia 

PWI Persatuan Wartawan Indonesia 

RRI Radio Republik Indonesia 

SEAPA Southeast Asian Press Alliance 

SIDA Swedish International Development Cooperation Agency 

SIUPP Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (tidak berlaku lagi) 

SPS Serikat Penerbit Suratkabar 

TAF The Asia Foundation 

UNDP United Nations Development Programme 

UNESCO United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation 

UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees 

UNICEF United Nations Children’s Fund 

USAID United States Agency for International Development 

VOA Voice of America 

2


Kata Pengantar 

Unit Pencegahan Krisis dan Pemulihan (Crisis Prevention and Recovery Unit/CPRU), salah satu 

unit di United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, telah aktif di Maluku Utara 

dan Maluku selama tiga tahun terakhir ini dengan kegiatan utama meliputi prakarsa-prakarsa 

pemulihan multisektoral yang melengkapi upaya Pemerintah Republik Indonesia mencapai 

pemulihan pascakonflik, melaksanakan pembangunan perdamaian jangka panjang dan 

pembangunan yang berkelanjutan. UNDP juga sedang mengembangkan program tiga tahun di 

Sulawesi Tengah yang bertujuan mendukung proses perdamaian, memberikan tanggapan jangka 

pendek bagi masyarakat rentan, dan merancang program untuk masa depan melalui kerjasama 

dengan pemerintah setempat dan masyarakat madani. Di tiga provinsi tersebut UNDP bekerja 

sama dengan berbagai mitra pada tingkat provinsi dan kabupaten seperti Pemerintah, lembagalembaga 

PBB, LSM Internasional, dan organisasi masyarakat madani. 

Pada tahun 2004, CPRU bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 

memulai suatu proses perencanaan dalam rangka mengidentifikasi tantangan dan peluang utama 

pencegahan krisis dan perdamaian yang berkelanjutan di daerah-daerah yang bergejolak di 

Indonesia. Dari proses tersebut akan diperoleh prioritas-prioritas fase program selanjutnya di 

daerah provinsi, serta revisi strategi dan prioritas Program Pencegahan Krisis dan Pemulihan 

secara keseluruhan. Analisis di daerah tersebut menekankan tiga provinsi - Maluku Utara, Maluku 

dan Sulawesi Tengah - tempat CPRU/UNDP telah mendukung berbagai program semenjak tahun 

2001. Masing-masing analisis provinsi memiliki tiga komponen, yaitu (i) lokakarya multipemangku 

kepentingan (multistakeholder) tingkat provinsi, (ii) penelitian yang mencakup studi 

pustaka, survei persepsi lokal serta studi kasus, dan (iii) kajian tematis atas aspek-aspek utama 

pencegahan krisis dan pembangunan perdamaian yang telah diidentifikasi. Kajian-kajian tingkat 

provinsi yang diamanatkan oleh UNDP mencakup isu tematis (a) pembangunan ekonomi daerah 

dan pengelolaan sumber daya alam, (b) tata pemerintahan daerah yang demokratis, (c) media 

massa dan informasi, (d) kohesi sosial dan pemuda, dan (e) perempuan dan jender. Kesimpulan 

utama kajian-kajian tersebut dirangkum dalam makalah sintesis yang bersama dengan semua 

laporan tematis lainnya dapat dilihat di website UNDP Indonesia www.undp.or.id. 

Kajian tematis berikut membahas isu peran media dalam konflik dan pembangunan perdamaian 

dan dilaksanakan melalui kerjasama antara Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang 

beralamatkan di Jakarta (lihat www.isai.or.id) dan International Media Support (IMS) yang 

beralamatkan di Kopenhagen (lihat www.i-m-s.dk). IMS diminta oleh UNDP dan ISAI untuk 

memberi pendampingan teknis dan masukan strategis untuk proses kajian. ISAI dan IMS 

mengucapkan terima kasih kepada peneliti-peneliti di daerah untuk pekerjaan yang mereka 

lakukan di Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, serta kepada para narasumber dan 

responden yang berpartisipasi dalam kajian ini. Terima kasih juga diucapkan kepada organisasiorganisasi 

nasional dan internasional untuk informasi dan pengalaman yang mereka bagi dengan 

tim pengkaji. 

UNDP mengucapkan terima kasih kepada Bappenas dan peer reviewer lainnya. Penelitian ini 

terlaksana berkat dukungan dana Department for International Development Inggris dan UNDP. 

3


Daftar Isi 

RINGKASAN EKSEKUTIF .................................................................................................. 5 

1. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 7 

1.1 Media dan Konflik: Analisis dan Definisi ......................................................................................... 7 

1.2 Hubungan Timbal Balik antara Media dan Konflik ......................................................................... 8 

1.3 Struktur................................................................................................................................................. 9 

1.4 Isi Pemberitaan.................................................................................................................................. 10 

1.5 Media dan Konflik di Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan Maluku............................................ 11 

2. LANSEKAP MEDIA DI INDONESIA – PERSPEKTIF NASIONAL ......................... 12 

1.6 Perundang-undangan Media........................................................................................................... 12 

1.7 Lembaga-Lembaga Media ............................................................................................................... 12 

1.8 Organisasi dan Perkumpulan Pers.................................................................................................13 

1.9 Jaringan Media Komersial ............................................................................................................... 14 

MEDIA DAN KONFLIK DI SULAWESI TENGAH............................................................ 15 

1.10 Latar Belakang Konflik..................................................................................................................... 15 

1.11 Media di Sulawesi Tengah ............................................................................................................... 17 

1.12 Media Tradisional.............................................................................................................................. 25 

1.13 Teknologi Informasi Baru ................................................................................................................ 26 

1.14 Arus Informasi................................................................................................................................... 27 

2 MEDIA DAN KONFLIK DI MALUKU ......................................................................... 29 


2.2 Media di Maluku ................................................................................................................................ 30 




3 MEDIA DAN KONFLIK DI MALUKU UTARA........................................................... 41 


3.2 Media di Maluku Utara...................................................................................................................... 43 




4 SARAN DAN MASUKAN UNTUK DUKUNGAN ATAS MEDIA DI SULAWESI 

TENGAH, MALUKU DAN MALUKU UTARA .................................................................. 51 

4.1 Menguatkan Lingkungan Media di Tingkat Provinsi.................................................................... 52 

4.2 Mengembangkan Ketrampilan dan Sumber Daya yang Profesional ......................................... 54 

4.3 Arus dan Akses terhadap Informasi...............................................................................................58 

4.4 Mendukung Komunikasi Berbasis Masyarakat ............................................................................ 60 

4.5 Pertimbangan-pertimbangan dalam Pelaksanaan ....................................................................... 62 

4

Ringkasan Eksekutif 


Media, baik umum, alternatif maupun 

tradisional/nonkonvensional, yang andal, 

akurat dan objektif, dapat membantu mencegah 

dan menyelesaikan konflik lewat fungsi-fungsi 

yang tertanam di dalamnya, yaitu menyebarkan 

informasi secara bertanggung jawab, 

meningkatkan kesadaran dan pengetahuan, 

memajukan tata pemerintahan yang partisipatif 

dan transparan, dan mengungkapkan keluhankeluhan 

masyarakat. Dalam hal ini, efek media 

terhadap konflik dapat ditilik dari segi dampak 

negatif yang ditimbulkan oleh media yang 

cenderung berpropaganda dalam hal 

meningkatkan ketegangan dan memprovokasi 

konflik, serta dari segi dampak positif yang 

dapat ditimbulkan oleh media jika dilandasi 

pada standar profesional yang baku, yang 

ditimpal dengan ketersediaan berbagai akses 

terhadap informasi, sumber daya keuangan 

yang memadai dan kepatuhan kepada kode 

etik. Media seperti itu dapat memberikan 

sumbangan positif terhadap rekonsiliasi 

masyarakat, mengubah persepsi yang salah dan 

memperluas saling pengertian mengenai 

penyebab dan akibat konflik. 

Provinsi Maluku, Maluku Utara dan 

Sulawesi Tengah dilanda konflik tidak lama 

setelah dimulainya era reformasi pada tahun 

1998. Reformasi membawa kebebasan pers, 

yang tertang dalam UU Pers (30 Agustus 

1999), yang berarti bahwa konflik yang terjadi 

di ketiga provinsi tersebut diliput oleh media 

‘bebas’ untuk pertama kali dalam 30 tahun 

lebih. 

Media nasional melakukan liputan yang 

cukup menyeluruh atas konflik yang terjadi di 

ketiga provinsi itu. Meskipun begitu, 

kontinuitas dan kedalaman peliputan sangat 

bervariasi akibat timbulnya beberapa konflik di 

Indonesia di awal era pasca-Orde Baru. 

Peliputan nasional juga cenderung 

menitikberatkan Ambon dan Maluku, 

sementara perhatian untuk kedua provinsi 

lainnya kurang konsisten. 

Media di masing-masing provinsi (umum, 

alternatif, tradisional, dan nonkonvensional) 

mengangkat konflik dari berbagai sudut dan 

dengan intensitas yang beragam. Banyak yang 

tidak berhasil menyajikan liputan yang 

konsisten, independen dan berimbang dan di 

masa-masa awal media di ketiga provinsi 

menjadi sasaran serangan fisik dan tindak 

perlakuan salah (abuse) yang dilakukan 

kelompok-kelompok kombatan. Prasarana dan 

bangunan-bangunan media dirusak atau dijarah 

sehingga kemudian banyak yang memutuskan 

untuk tutup pada saat konflik mencapai suhu 

tertinggi. Ini berarti bahwa ketiga-tiganya 

pernah melewati masa tanpa atau hampir tanpa 

peliputan oleh media masa lokal, sehingga 

menjadikan rumor dan propaganda sebagai 

sumber informasi lokal yang utama. 

Media lokal di ketiga provinsi waktu itu, 

dan sampai sekarang, dituding bias. Terkadang 

tuduhan dilancarkan oleh pihak kombatan yang 

beranggapan bahwa media seharusnya menjadi 

corong mulut mereka, dan saat terjadi konflik 

kadang media memang berpihak atau dipaksa 

untuk memihak kelompok tertentu. Dalam 

beberapa kasus, peliputan yang tidak 

memenuhi kaidah independensi dan 

keberimbangan disebabkan karena pemilikpemilik 

media tidak cukup terisolasi dari 

masyarakat dan pemberitaan mereka seringkali 

bias karena opini publik. Selain itu, usahausaha 

media itu merupakan bagian dari 

lingkungan bisnis lokal dan oleh karena itu 

keberlanjutannya tergantung kepada 

pemasukan dari masyarakat setempat. Kendala 

lain dalam peliputan yang berimbang sampai 

sekarang adalah ‘jurnalisme amplop’, yakni 

praktek jurnalisme yang memberikan imbalan 

kepada wartawan yang meliput peristiwa 

tertentu untuk menambah pemasukan pribadi. 

Barangkali kendala terbesar dalam 

peliputan profesional adalah rendahnya tingkat 

pendidikan dan profesionalisme di kalangan 

praktisi media. Pemahaman konseptual dan 

ketrampilan profesi kewartawanan untuk 

melakukan peliputan yang objektif dan 

independen masih lemah, terutama karena 

lebih dari 30 tahun media dikekang oleh 

pemerintah. Tidak seperti kebebasan yang 

sekarang terjadi di era pasca-Orde Baru, pada 

jaman pemerintahan Soeharto berita 

diturunkan secara terpusat dari media dan 

kantor berita negara. 

Banyak media dan tenaga profesional telah 

menerima dukungan dan berpartisipasi dalam 

lokakarya yang diselenggarakan LSM dan 

5


perkumpulan nasional dan internasional, 

lembaga-lembaga PBB, dan donor 

internasional. Tetapi, meskipun telah menerima 

pengetahuan baru lewat lokakarya, masyarakat 

media masih harus berhadapan dengan 

kendala-kendala struktural yang menghalangi 

penerapan ketrampilan yang mereka peroleh di 

lapangan. Selain itu, penafsiran lokal atas isi 

pemberitaan (content) seringkali dianggap 

sebagai sesuatu yang bukan menjadi masalah. 

Rendahnya profesionalisme media di masa lalu 

telah seringkali menyulut rumor dan kesalahan 

persepsi dengan konsekuensi yang sangat 

destruktif. Status quo ini juga telah 

menghalangi upaya untuk menangani dan 

menyelesaikan isu-isu konflik laten. Di 

samping itu, pasar komersial yang lemah dan 

tidak adanya struktur peraturan perundangundangan 

yang jelas menjadikan media rentan 

terhadap bentuk-bentuk manipulasi dan tindak 

perlakuan salah yang dapat memicu konflik. 

Saran-saran yang diberikan dalam laporan 

ini bertujuan untuk mendukung peran media 

dalam mengurangi potensi terjadinya konflik 

kekerasan sesuai dengan keunikan masingmasing 

provinsi sebagaimana diuraikan dalam 

bab-bab tentang masing-masing provinsi. 

Saran-saran tersebut berkisar dari perspektif 

jangka panjang yang bersifat paling umum, 

yaitu mengembangkan lingkungan yang kuat 

dan bergairah tempat media dapat memenuhi 

peranannya sebagai ‘kekuatan keempat’ 

(fourth estate), sehingga memberi dampak 

yang positif terhadap pencegahan dan 

penyelesaian konflik, hingga tingkatan yang 

paling spesifik yang secara langsung 

berdampak positif pada masyarakat akar 

rumput melalui pemanfaatan saluran 

komunikasi alternatif dan tradisional di daerah. 

Lewat pendekatan ini masing-masing 

media tradisional dan alternatif dapat memberi 

andil dalam menyelesaikan konflik dengan 

cara yang sesuai dengan ciri khas lingkungan 

setempat, dan media massa umum dan 

alternatif dapat berperan secara jangka panjang 

dalam mencegah dan menyelesaikan konflik 

dengan cara bertindak melawan manipulasi 

dan tindak perlakuan salah, memberagamkan 

penyebaran dan akses terhadap informasi, dan 

menyediakan ketrampilan dan sumber daya. 

Kegiatan-kegiatan yang disarankan 

berkenaan dengan empat bidang, yaitu (i) 

memperkuat lingkungan media massa pada 

tingkat provinsi, (ii) mengembangkan 

ketrampilan dan sumber daya profesional, (iii) 

memfasilitasi arus dan akses terhadap 

informasi, dan (iv) mendukung komunikasi 

berbasis masyarakat. 

6


1. Pendahuluan 

Media yang profesional merupakan 

komponen penting untuk kestabilan negara 

demokrasi yang majemuk. Sebagai ‘kekuatan 

keempat’ (fourth estate), media adalah 

‘pelindung demokrasi, pembela kepentingan 

umum… menyingkapkan penyelewengan 

wewenang pemerintah dan membela hak-hak 

demokratis warga negara’. 1 Dalam hal ini, 

diasumsikan bahwa negara dengan demokrasi 

yang kuat dan mapan lebih tahan terhadap 

konflik. Masyarakat media yang profesional 

dan bergairah dapat mencegah dan 

menyelesaikan konflik melalui fungsi yang 

tertanam di dalamnya, yaitu menyebarkan 

informasi, meningkatkan kesadaran dan 

pengetahuan, memajukan tata pemerintahan 

yang partisipatif dan transparan, dan 

mengangkat keluhan-keluhan masyarakat. 

Walaupun pengaruh media semasa konflik 

dari dulu telah diakui, sebenarnya baru dalam 

beberapa tahun belakangan ini saja organisasi 

pembangunan internasional menggarapnya 

sebagai aspek yang dapat memberi dampak 

positif terhadap konflik, baik melalui fungsinya 

sebagai penyalur informasi maupun melalui 

kemampuannya untuk mengangkat 

permasalahan dan peristiwa secara objektif, 

andal dan akurat. Hal ini telah diakui oleh para 

peserta pertemuan roundtable SIDA/UNESCO 

bertopik ‘Bantuan bagi Media di Wilayah 

Panas dan Situasi Konflik’ yang 

diselenggarakan pada bulan Mei 2003: 

‘Media menyangga pembangunan dan 

demokratisasi dan merupakan unsur vital dalam 

penyelesaian konflik dan pembangunan perdamaian… 

Media yang independen adalah fondasi demokrasi 

dan seringkali menjadi satu-satunya jaminan untuk 

transparansi dan tata pemerintahan yang baik dalam 

penanganan konflik dan upaya pembangunan 

pascakonflik’. 2 

Pemikiran yang dijabarkan di bagian ini 

berlandaskan pada pertimbangan metodologis 

dan pengalaman lapangan International Media 

Support (IMS) dan Institut Studi Arus 

1 ‘Mass Media: Fourth Estate’ (Mick Underwood, 

www.cultsock.ndirect.co.uk, Juni 2003). 

2 Seminar bertajuk Assistance to Media in Tension 

Areas and Conflict Situations: Conclusion of Seminar 

Discussions and Proposed Recommendations 

(SIDA/UNESCO, Vaxholm 25-27 Mei 2003). 

Informasi (ISAI) di bidang pengembangan 

media dan kebebasan berekspresi di daerahdaerah 

yang terkena dampak konflik. Sejumlah 

akademisi dan praktisi media telah diminta 

untuk memberi saran dan masukannya untuk 

laporan ini. 3 

1.1 Media dan Konflik: Analisis dan 

Definisi 

Untuk bisa membantu media agar dapat 

secara efektif berperan dalam penanganan 

konflik, maka sangat penting untuk memahami 

dengan jelas akar sebab, pola kekerasan dan 

dinamika konflik. Proses ini membutuhkan 

pendekatan yang rinci dan spesifik, yang 

idealnya akan menjadi landasan untuk 

pengkajian permasalahan-permasalahan 

tematis. Konflik sebaiknya dipandang sebagai 

sesuatu yang sirkular dan bukan linear, yang 

tahap-tahap prakonflik, sedang konflik, dan 

pascakonfliknya saling bertumpang tindih, dan 

belum tentu mengikuti kaidah tertentu. Dengan 

demikian, secara teori konflik dapat saja 

bergerak dari tahap konflik terselubung ke 

tahap prakonflik atau ke tahap pascakonflik, 

dan seterusnya. 4 

3 Pustaka yang digunakan dalam menyusun bagian ini 

termasuk ‘Conflict Sensitive Journalism’ (IMS/ 

IMPACS, Ross Howard, Maret 2003); ‘An 

Operational Framework for Media and Peacebuilding’ 

(IMPACS, Ross Howard, Januari 2002); ‘Assistance 

to Media in Tension Areas and Conflict Situations’ 

(SIDA/ UNESCO, Vaxholm Mei 2003); ‘Working 

with the Media in Conflicts and other Emergencies’ 

(Conflict and Humanitarian Affairs Department and 

Social Development Department, DFID, September 

2000); ‘Special Report: Use and Abuse of Media in 

Vulnerable Societies’ (USIP, Special Report 110, 

Oktober 2003); ‘Reporting the World’ (Conflict & 

Peace Forums, Jake Lynch, 2002); ‘Using the Media 

for Conflict Transformation: the Common Ground 

Experience’ (Berghof Handbook for Conflict 

Transformation, www.berghof-handbook.net, 2003). 

4 Michael Lund dalam karyanya yang berjudul ‘Media 

as an Instrument for Managing Conflicts and Building 

Peace’ (Juni 2002) menulis bahwa konflik dapat 

dianggap sebagai sesuatu yang melewati berbagai 

tahapan: “Tahapan-tahapan tersebut biasanya meliputi 

berbagai aspek yang berlangsung pada saat yang 

bersamaan seperti perdamaian stabil sebagai kebalikan 

dari perdamaian tidak stabil; krisis yang ditingkahi 

ketegangan dan konfrontasi yang tinggi, dan macetnya 

mekanisme-mekanisme politik regional; peperangan, 

7


Pada dasarnya, media diartikan sebagai 

beberapa medium atau saluran yang digunakan 

secara terorganisir untuk berkomunikasi 

dengan individu-individu dan kelompokkelompok. 

Bentuk media yang paling banyak 

dikenal adalah media cetak, audio, video dan 

teknologi informasi baru yang, berdasarkan 

struktur, fokus dan isi pemberitaan, dapat 

dibagi menjadi media ‘umum’ dan ‘alternatif’. 

Jika media ‘umum’ (atau mainstream) sudah 

dikenal secara umum, maka pengertian untuk 

media ‘alternatif’ masih simpang siur. Laporan 

ini tidak bermaksud untuk memberi definisi 

yang tuntas, tetapi di sini diasumsikan bahwa 

media ‘alternatif’ dapat digolongkan ke dalam 

salah satu kategori di bawah ini: 

• Media terkait berbasis isu (issue-driven) 

dan secara aktif mendukung media lain 

dan prakarsa masyarakat madani yang 

sepemikiran; 

• Media terkait mempromosikan 

pendekatan-pendekatan alternatif terhadap 

kegiatan kemasyarakatan dan bukannya 

mengejar kepentingan komersial dan 

hierarki sosial ekonomi; 

• Tajuk seringkali menekankan perspektifperspektif 

‘baru’, memberikan penafsiran 

yang berbeda atas permasalahan atau 

peristiwa; 

• Lazimnya membidik segmen pasar yang 

spesifik (niche); 

• Keuntungan bukan pertimbangan utama; 

• Organisasi media tersebut biasanya 

memiliki struktur dan sistem penggajian 

yang horisontal. 

Meskipun informasi dan berita seringkali 

menjadi basis kegiatan media dan konflik, 

program hiburan, mulai dari talk show sampai 

drama radio, juga merupakan medium yang 

penting. Semua bentuk media, asalkan 

memenuhi standar keakuratan dan 

keberimbangan, dapat menyampaikan pesan 

keragaman dan saling pengertian. 5 

kebuntuan; penurunan eskalasi atau gencatan; 

perundingan penyelesaian konflik; pelaksanaan hasil 

perundingan; dan rekonstruksi dan rekonsiliasi 

pascakonflik. Dan acapkali karakteristik-karakteristik 

tersebut berlangsung pada saat yang bersamaan. 

Konflik adalah fenomena yang unilinear.” 

5 

‘An Operational Framework for Media and 

Peacebuilding’ (IMPACS, Ross Howard, Januari 

2002). 

Laporan ini juga membahas media 

‘tradisional dan nonkonvensional’, seperti 

kesusasteraan, puisi, musik, kesenian, forum 

sosial ekonomi pedesaan dan perkotaan, 

kelompok keagamaan dan upacara sosia-etnis. 

Beberapa pokok bahasan mengenai isi 

pemberitaan dan struktur di bawah ini lebih 

menyentuh media ‘umum’ dan ‘alternatif’, 

tetapi beberapa diantaranya memiliki relevansi 

yang sama untuk media ‘tradisional dan 

nonkonvensional’. 

1.2 Hubungan Timbal Balik antara Media 

dan Konflik 

‘Media ibarat pedang bermata dua. Ia dapat 

menjadi senjata kekerasan yang mengerikan bila 

menyiarkan pesan-pesan yang bersifat tidak toleran 

atau disinformasi yang memanipulasi sentimen 

masyarakat… Tetapi ia juga memiliki aspek lain. Ia 

dapat menjadi instrumen penyelesaian konflik, yaitu 

bila informasi yang disajikannya terandalkan, 

menghormati HAM, dan mewakili berbagai sudut 

pandang. Media seperti ini memungkinkan 

masyarakat untuk menetapkan pilihan secara baik 

yang dilandasi pada informasi, sesuatu yang menjadi 

komponen dasar (precursor) tata pemerintahan yang 

demokratis. Ia dapat meredakan konflik dan memupuk 

rasa aman manusia’. 6 

Seperti tersirat dalam kutipan di atas, kajian 

hubungan ‘sebab akibat’ antara media dan 

konflik dapat lebih memperjelas bagaimana 

kedua hal itu saling mempengaruhi. 

Efek Media terhadap Konflik - Efek media 

terhadap konflik dapat ditilik dari akibat 

negatif yang ditimbulkan oleh jurnalisme yang 

secara tidak sengaja atau secara terselubung 

menyebarkan propaganda atau bersifat 

memihak dalam bentuk eskalasi ketegangan 

dan memprovokasi terjadinya konflik. 

Sebaliknya, media dapat memiliki dampak 

positif bila dilandasi standar profesional yang 

baku, yang dibarengi dengan keragaman akses 

terhadap informasi, sumber daya keuangan 

yang memadai dan kepatuhan terhadap kode 

etik. Media seperti ini dapat membantu 

rekonsiliasi masyarakat, mengubah kesalahan 

persepsi dan memperbesar saling pengertian 

tentang sebab dan akibat konflik. 

Efek Konflik terhadap Media - Efek negatif 

konflik kekerasan terhadap media telah 

dipetakan dengan baik. Saat konflik sedang 

6 



2002). 

8


berkembang, kebebasan berekspresi dan 

ketidakberpihakan media seringkali menjadi 

korban pertama. Di negara-negara dengan 

demokrasi yang lemah yang belum 

memberikan independensi keredaksian, baik 

entitas negara maupun nonnegara seringkali 

berhasil dalam menjadikan media sebagai 

suatu instrumen propaganda nasionalistik dan 

cupet (xenophobic). Hal ini berlaku baik untuk 

media negara maupun media independen. 

Propaganda media yang menciptakan konflik 

dapat memprovokasi atau mengeskalasi 

kekerasan dan seringkali pemerintah 

memanfaatkan situasi tersebut untuk 

mengekang kebebasan pers dan kebebasan 

berekspresi. 

Konflik juga mengikis lingkungan media 

dan merongrong kelayakan ekonomis pasar. 

Media baru biasanya menjamur sewaktu 

konflik, tetapi sebagian besar bersumber daya 

pas-pasan dan murni dibentuk untuk 

kepentingan propaganda kelompok tertentu. 

Pada umumnya mereka tidak berumur panjang 

setelah konflik mereda, walaupun degradasi 

terhadap lingkungan media yang terjadi 

sebagai akibatnya biasanya terasa untuk waktu 

yang lama setelah konflik. 

Hubungan timbal balik antara media dan 

konflik dipengaruhi oleh konteks tempat 

interaksi ini berlangsung. Faktor-faktor yang 

berkaitan dengan konteks menentukan peran 

dan ruang lingkup media dalam mempengaruhi 

akar sebab, pola kekerasan dan dinamika 

konflik di masa sekarang/mendatang. Faktorfaktor 

ini ada baiknya dibahas menurut 

‘struktur’ dan ‘isi pemberitaan’. 

1.3 Struktur 

Dalam mengkaji dampak timbal balik yang 

ditimbulkan media dan konflik perlu 

diperhatikan sejumlah isu struktural. Isu 

struktural berkaitan dengan cara organisasi 

media dan praktisi media berfungsi dan 

berinteraksi, baik antara satu dengan yang lain 

maupun dengan pemerintah, masyarakat 

madani dan masyarakat umum. 7 

7 

Berdasarkan pengkategorian dan struktur 

metodologis di dalam ‘Special Report: Use and Abuse 

of Media in Vulnerable Societies’ (USIP, Special 

Report 110, Oktober 2003). 

Kebijakan dan Lingkungan – Besarnya 

ruang gerak media yang dapat disediakan oleh 

kebijakan dan peraturan perundang-undangan 

dan kemampuan sistem peradilan untuk 

mengatur dan melindungi ruang gerak tersebut 

sangatlah krusial. Jika peraturan perundangundangan 

dipakai untuk membungkam media 

atau jika pengadilan gampang dipengaruhi atau 

rentan praktek korupsi, maka fungsinya 

sebagai ‘kekuatan keempat’ dan perannya 

dalam pencegahan dan penyelesaian konflik 

menghadapi kendala besar. 

Sebaliknya, lingkungan kebijakan media 

yang terlalu longgar dan absennya mekanisme 

verifikasi (checks and balances) hukum dan 

swa-atur (self-regulatory) memberi 

kesempatan bagi media ‘jahat’, yang ingin 

menyebar fitnah (hate speech) dan/atau 

memprovokasi terjadinya konflik, untuk 

melanjutkan aksi mereka tanpa ada sumber 

daya yang memadai untuk menjerakan atau 

melarang mereka. Ini terutama relevan untuk 

negara-negara transisi tempat munculnya 

secara tiba-tiba lansekap media yang tidak 

diatur sistem peraturan perundang-undangan 

atau media yang telah ‘dilepas’ yang berujung 

dengan menjamurnya media politik, 

keagamaan dan kesukuan yang kemungkinan 

hanya tertarik untuk memantapkan pengaruh 

mereka, walaupun merugikan pihak lain. 

Jaringan dan Perkumpulan Wartawan - 

Jaringan dan perkumpulan wartawan baik 

antarkalangan maupun di tingkat regional dan 

dunia merupakan sarana yang dapat 

memfasilitasi pertukaran pengalaman, promosi 

praktek terbaik (best practices), pendirian 

bersama, dan ‘penggalangan kekuatan dengan 

bersatu-padu’. Hal ini dapat meningkatkan 

kepercayaan praktisi media untuk menegakkan 

standar profesional, karena mereka seringkali 

berada dalam situasi dan kondisi yang 

terisolasi yakni saat tekanan sosial, politik dan 

ekonomi memaksa mereka untuk tidak 

menghiraukannya. Kegiatan ini juga membuka 

jalan untuk mendapatkan dukungan dari rekan 

seprofesi, mulai dari pelatihan standar 

profesional dasar sampai akses ke dana 

bantuan hukum. 

Arus Informasi – Diseminasi suatu media 

sangat penting mengingat potensinya untuk 

mempengaruhi masyarakat. Media dengan 

diseminasi yang rendah menjadi sangat 

terkendala dalam komunikasinya dengan 

9


masyarakat luas, sehingga kemampuannya 

untuk mempengaruhi opini publik juga 

menjadi sangat terbatas. Selain itu, 

kemampuan media menjangkau masyarakat 

sangat menentukan pengaruhnya terhadap 

masyarakat. Jika media tidak bisa diakses 

(artinya, jika terjadi ‘kevakuman media’) baik 

karena rendahnya sarana dan prasarana teknis, 

kendala biaya, penghambatan yang disengaja, 

atau rendahnya minat, maka peran media akan 

berkurang. Keberagaman bentuk media 

tertentu juga memiliki dampak yang nyata, 

karena jika hanya terdapat satu lembaga yang 

bergerak di media tertentu yang paling populer 

dan/atau paling mudah untuk diakses, maka 

pengaruhnya terhadap masyarakat akan 

meningkat secara nyata karena tidak adanya 

pesaing. 

Selain itu, akses media terhadap informasi 

terkini dan akurat dari narasumber primer 

sangat penting untuk menghasilkan 

pemberitaan yang berimbang, obyektif dan 

terandalkan. Dalam hal ini, relasi dan 

kerjasama dengan pemerintah lokal, 

masyarakat madani, akademisi, dan 

masyarakat donor yang bergerak dalam bidang 

pembangunan adalah sangat penting. 

Masyarakat Media Homogen atau 

Heterogen – Komposisi masyarakat media 

berdasarkan agama, suku dan politik sangat 

berpengaruh dalam menentukan orientasi 

media dan kemungkinan bagi media tersebut 

untuk menjadi bias. Tanpa keanekaragaman, 

ada kemungkinan media tidak akan mewakili 

kebutuhan dan permasalahan ‘pihak yang lain’. 

Dengan demikian, stereotipe dan mitos rakyat 

dapat disebarkan melalui media tulis maupun 

lisan. Selain itu, jika mandat (ownership) 

tertumpu pada satu kelompok tertentu, maka 

media dapat dimanipulasi atau tidak dapat 

mewakili kebutuhan dan permasalahan dari 

berbagai pihak. 

Ketrampilan dan Sumber Daya Media – 

Ketrampilan dan sumber daya yang dimiliki 

suatu media dan para praktisi media, mulai dari 

pemilik sampai editor dan wartawan, sangat 

berpengaruh terhadap peran media. Jika 

pemahaman tentang peran media dan standar 

profesional yang disyaratkan sudah tertanam 

dengan kokoh, maka media berpotensi lebih 

besar untuk memberi dampak positif. 

Sebaliknya, jika kedua hal itu tidak tertanam 

dengan baik maka kemungkinan bagi media 

untuk memprovokasi timbulnya konflik secara 

tidak disengaja, ataupun manipulasi dan tindak 

perlakuan salah yang disengaja, menjadi lebih 

besar. 

Di samping, akses media terhadap sumber 

daya keuangan dan kelembagaan yang sudah 

berkembang dengan baik dapat memfasilitasi 

best practices dan memungkinkan kalangan 

praktisi media untuk menjalankan tugas 

mereka secara efektif dan sesuai dengan 

standar profesional. Kemandirian media di 

bidang keuangan juga menghilangkan 

ketergantungan pada sumber pendanaan dan 

pengaruh (influence) eksternal, sehingga media 

memiliki kesempatan yang lebih besar untuk 

beroperasi secara independen. 

1.4 Isi Pemberitaan 

Isu isi pemberitaan perlu dipertimbangkan 

juga dalam mengkaji saling pengaruh yang 

ditimbulkan antara media dan konflik. Isi 

pemberitaan berkaitan dengan substansi 

produk yang diterbitkan dan/atau disiarkan 

oleh media. 8 

Isi pemberitaan yang mengedepankan 

pencegahan dan penyelesaian konflik adalah isi 

pemberitaan yang setidak-tidaknya 

berlandaskan pada standar dan praktek profesi 

yang bersifat inti. Di sini, penerapan 

ketrampilan jurnalisme tingkat lanjutan, 

misalnya jurnalisme tanggap konflik, 

jurnalisme investigatif dan sebagainya, dapat 

memiliki dampak yang bahkan lebih besar 

dalam hal memfasilitasi penyelesaian dan 

pencegahan konflik. 

Sebaliknya, isi pemberitaan yang sifatnya 

memprovokasi timbulnya konflik secara garis 

besar dapat dibagi menjadi dua kelompok: (i) 

isi pemberitaan yang bermaksud untuk 

memancing emosi berdasarkan anggapan 

bahwa perlu dilakukan langkah-langkah preemptive 

action, dan (ii) isi pemberitaan yang 

bermaksud mementahkan keberatan atau 

oposisi terhadap konflik karena beranggapan 

bahwa konflik adalah buah permusuhan 

historis dan timbulnya kembali konflik 

merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Jika 

lingkungan cukup kondusif bagi penyebaran 

8 Menurut kategori dan struktur metodologis di dalam 

‘Special Report: Use and Abuse of Media in 

Vulnerable Societies’ (USIP, Special Report 110, 

Oktober 2003) 

10


konflik, maka kedua bentuk isi pemberitaan ini 

dapat menyulut kekerasan, baik secara 

disengaja lewat fitnah atau secara tidak 

disengaja akibat standar profesional yang 

rendah. 

Pre-emptive Action – Isi pemberitaan 

seperti digambarkan di atas bertujuan untuk 

menebar anggapan yang tak beralasan bahwa 

pre-emptive action perlu dilakukan demi 

membela diri. Pandangan seperti ini seringkali 

timbul karena kurangnya informasi dan 

pemahaman mengenai niat dan situasi dan 

kondisi si pihak ‘lawan’ maupun karena mitos 

dan stereotipe, perasaan adanya kesenjangan 

dan ketidakadilan, dan ketegangan 

antarmasyarakat di masa lalu (meski kedua 

masyarakat mungkin memiliki sejarah 

kerjasama dan toleransi yang jauh lebih lama). 

Ini dapat menimbulkan histeria, sehingga suara 

yang lebih moderat di dalam masyarakat 

menjadi tidak terdengar. Oleh karena itu, peran 

media dalam menyediakan informasi yang 

berimbang dan objektif menjadi sangat 

penting. 

Selain itu, pelunturan nilai-nilai 

kemanusiaan (dehumanisasi) kelompokkelompok 

masyarakat dan penciptaan citra 

bahwa musuh adalah suatu massa dan bukan 

individu-individu dengan orientasi dan 

kepentingan yang berbeda bertujuan 

menjadikan kekerasan sebagai sesuatu yang 

tidak bersifat pribadi sehingga lebih mudah 

mendapatkan pembenaran. 9 

Permusuhan Historis dan Konflik yang Tak 

Terelakkan – Walaupun mirip dengan model 

‘pre-emptive action’ tersebut di atas, satu hal 

yang sama memrihatinkan adalah apabila isi 

pemberitaan menciptakan citra bahwa 

pecahnya konflik atau terulangnya konflik 

adalah sesuatu yang tak terelakkan. Ini 

merongrong kehendak kolektif kelompok 

masyarakat yang menentang konflik, yang 

mungkin hanya disuarakan oleh sebagian kecil 

unsur masyarakat. Self-fulfilling prophecy (atau 

ramalan-ramalan yang dapat menjadi 

kenyataan) biasanya dibentuk dengan cara 

mencitrakan konflik sebagai suatu pola atau 

proses historis yang kontinyu. Dengan 

demikian ditanamkan anggapan bahwa 

9 



2002). 

kekerasan adalah suatu hal yang biasa atau 

sesuatu yang dapat diterima dalam 

menyelesaikan keluhan (grievances) atau 

tindakan tidak adil yang dirasakan telah terjadi. 

1.5 Media dan Konflik di Sulawesi 

Tengah, Maluku Utara dan Maluku 

Laporan ini membahas tentang media di 

Sulawesi Tengah, Maluku Utara dan Maluku. 

Secara lebih khusus, laporan ini 

menggambarkan lansekap media nasional yang 

merupakan dasar untuk bisa memahami dan 

menafsirkan situasi dan kondisi di tingkat 

provinsi (Bab 2) dan menyajikan temuantemuan 

utama kajian di Sulawesi Tengah, 

Maluku Utara dan Maluku (Bab 3-5). Bab 

terakhir mensintesis semua kajian untuk 

mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dan 

memberi rekomendasi bidang-bidang kegiatan. 

Organisasi / 

Peran 

Koordinator 

UNDP 

ISAI – Tim 

Jakarta 

ISAI – 

Koordinator 

Lapangan 

Tim IMS 

Tabel 1 – Tim Pengkaji 

Nama 

Irawati M. Hapsari 

Emanuel Lalang Wardoyo 

Eriyanto 

Lia Ratna Palupi Nasution 

Hasrul Kokoh (Sulawesi 

Tengah) 

Indarwati Aminuddin (Maluku) 

Agung Jatmiko (Maluku Utara) 

Thomas Hughes 

Torben Brandt 

Kajian yang dilakukan dalam rangka tugas 

penelitian ini dibagi ke dalam dua bagian 

utama. Periode pertama berlangsung dari 

tanggal 14 sampai 30 Juni 2004. Selama 

periode tersebut dilakukan persiapan dan 

pelaksanaan penelitian di ketiga daerah 

provinsi. Kegiatan yang dilakukan adalah 

kunjungan-kunjungan singkat oleh tim 

gabungan UNDP, IMS dan ISAI ke Sulawesi 

Tengah dan Maluku Utara (Maluku tidak dapat 

dikunjungi karena kondisi keamanan) dan 

pengumpulan data penelitian di ketiga provinsi 

oleh tim-tim ISAI. Untuk setiap provinsi, 

masing-masing tim terdiri dari satu koordinator 

lapangan ISAI yang bekerjasama dengan lima 

peneliti setempat. Para koordinator lapangan 

ISAI didukung oleh tim ISAI Jakarta. Susunan 

tim pengkaji disajikan di Tabel 1. 

11


Fase kedua berlangsung dari tanggal 1 

sampai 8 Juli. Selama fase ini dilakukan 

analisis data dan penyusunan rekomendasirekomendasi 

terarah. Selama fase ini para 

koordinator ISAI di ketiga provinsi, tim ISAI 

di Jakarta, tim IMS, dan koordinator kajian 

media UNDP bertemu untuk berkonsultasi dan 

menyusun laporan. 

2. Lansekap Media di Indonesia – Perspektif Nasional 

Media nasional di Indonesia mengalami 

perubahan-perubahan besar sejak tahun 1999. 

Bagian dari laporan ini membahas sejumlah 

pertimbangan dan informasi yang berlaku 

untuk Indonesia di tingkat nasional dan yang 

memiliki dampak langgsung terhadap situasi di 

tingkat provinsi di Sulawesi Tengah, Maluku 

dan Maluku Utara. 

2.1 Perundang-undangan Media 

Ada dua perundang-undangan penting 

yang berkaitan dengan media di Indonesia. 

Masing-masing adalah UU Pers No. 40 tahun 

1999 dan UU Penyiaran No. 32 tahun 2002. 

UU Pers - UU Pers ditetapkan untuk 

menjamin kebebasan dan independensi pers. 

UU ini adalah hasil revisi secara menyeluruh 

atas perundang-undangan pendahulunya (UU 

No. 11 tahun 1966 dan UU No. 21 tahun 1982) 

yang semangatnya adalah mengendalikan dan 

memanipulasi media. Dalam UU pers tahun 

1966 dan 1982, pemerintah berwenang untuk 

menutup suatu media jika mereka melanggar 

ketentuan sensor. Sekurang-kurangnya 237 

perusahaan pers menjadi korban kedua 

undang-undang tersebut. 

Salah satu hal terpenting dalam UU Pers 

No. 40 tahun 1999 adalah pencabutan Surat 

Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Selama 

rezim Orde Baru, SIUPP menjadi kendala 

utama bagi mereka yang ingin mendirikan usa 

pers. UU pers yang baru juga menjamin bahwa 

tidak ada penyensoran atau intervensi 

pemerintah yang dapat membredel media. UU 

ini juga menjamin hak wartawan untuk 

mencari dan menyebarkan informasi. 

UU Penyiaran - UU Penyiaran yang 

dikeluarkan pada bulan Desember 2002 itu 

adalah hasil proses konsultasi yang panjang 

dengan kalangan pemilik media penyiaran, 

akademia, pemerintah, dan sektor 

nonpemerintah. 

Bagian-bagian penting dari UU penyiaran 

adalah pembatasan-pembatasan terhadap 

lembaga penyiaran nasional, kepemilikan 

silang, dan sentralisasi kepemilikan media. UU 

ini mengatur media penyiaran di Indonesia 

berdasarkan pada prinsip kemajemukan 

kepemilikan dan isi siaran. UU ini membagi 

lembaga penyiaran ke dalam tiga kelompok, 

yaitu Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga 

Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran 

Publik. 

Aspek penting lain dari UU Penyiaran 

adalah dibentuknya Komisi Penyiaran 

Indonesia (KPI, lihat bagian 2.2 di bawah ini) 

sebagai lembaga yang bersifat independen 

yang mengatur media penyiaran. Sebelumnya 

peran ini diemban oleh pemerintah melalui 

Departemen Penerangan. 

2.2 Lembaga-Lembaga Media 

Di Indonesia terdapat dua lembaga penting 

yang berkaitan dengan media yaitu Dewan 

Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 

Dewan Pers - Eksistensi Dewan Pers diatur 

di dalam UU No. 40 tahun 1999. Fungsi 

Dewan Pers adalah menetapkan dan memantau 

pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, 

mengembangkan komunikasi antara 

pemerintah dan pers, dan memfasilitasi 

organisasi-organisasi pers dalam menyusun 

peraturan-peraturan di bidang pers. Fungsi 

penting lainnya adalah memberikan 

pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian 

pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang 

berhubungan dengan penyiaran atau 

pemberitaan pers. 

Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal 

dari organisasi usaha pers, bantuan dari negara 

dan bantuan lain yang tidak mengikat. Pada 

zaman Orde Baru sudah ada sebuah Dewan 

Pers, tetapi sebuah dewan yang independen 

baru terbentuk pada bulan Februari 2000. 

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) - KPI 

dibentuk berdasarkan UU Penyiaran No. 32 

tahun 2002. KPI adalah salah satu lembaga 

yang bersifat independen yang mengatur soal 

penyiaran. Perannya mirip dengan Federal 

Communications Commission (FCC) di 

12


Amerika Serikat atau Canada Broadcasting 

Authority (CBA). 

KPI berwenang menetapkan standar 

program siaran, menyusun pedoman dan 

menetapkan pelaksanaannya. KPI juga dapat 

menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran 

peraturan dan pedoman perilaku penyiaran 

serta standar program siaran. KPI dibentuk di 

pusat dan daerah tingkat satu. Anggota KPI 

Pusat berjumlah sembilan orang yang dipilih 

oleh DPR dan dikukuhkan oleh Presiden. 

2.3 Organisasi dan Perkumpulan Pers 

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) - 

PWI dibentuk pada bulan Februari 1946 dan 

merupakan perkumpulan wartawan tertua di 

Indonesia. Selama era Orde Baru (hingga tahun 

1998), PWI adalah satu-satunya perkumpulan 

wartawan. Pada saat itu, semua wartawan 

diwajibkan menjadi anggota PWI. Jika tidak, 

maka wartawan dilarang bekerja. Selain itu, 

semua pemimpin redaksi di Indonesia 

diharuskan menjadi anggota PWI. Dulu PWI 

bekerjasama dengan pemerintah Orde Baru 

dalam mengidentifikasi wartawan-wartawan 

yang kritis. 

Hingga tahun 2002, jumlah anggota PWI 

mencapai 11.212 wartawan yang berasal dari 

berbagai media. Sekarang ini PWI memiliki 27 

cabang di tingkat provinsi dan 69 perwakilan 

di tingkat kabupaten di seluruh Indonesia. 

Meski memiliki banyak anggota, banyak 

diantaranya nonaktif. Citra PWI dilaporkan 

kurang begitu bagus, terutama di mata generasi 

wartawan muda. PWI mengadakan kegiatankegiatan 

seperti pelatihan bagi wartawan dan 

lomba menulis, serta acara-acara olah raga dan 

kesenian. 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) - Aliansi 

Jurnalis Independen (AJI) dibentuk sebagai 

tandingan PWI. AJI dibentuk pada bulan 

Desember 1994 menyusul dibredelnya tiga 

media (Editor, Tempo, dan Detik) di masa 

pemerintahan Soeharto. Pada bulan Oktober 

1995, AJI secara resmi diterima sebagai 

anggota International Federation of Journalists 

(IFJ). 

Selama era Orde Baru, AJI bergerak di 

bawah tanah karena pemerintah tidak 

mengakuinya sebagai suatu lembaga. 

Wartawan yang diketahui berafiliasi dengan 

AJI dikeluarkan dari media. Departemen 

Penerangan kala itu mengeluarkan instruksi 

kepada para pemimpin redaksi untuk 

memberhentikan wartawan yang terlibat 

dengan AJI. Oleh karena itu, selama Orde Baru 

AJI lebih merupakan gerakan oposisi terhadap 

penguasa daripada sebuah organisasi profesi. 

AJI menyelenggarakan diskusi dan seminar 

tentang perjuangan pers, pelatihan profesi 

kewartawanan, kegiatan mahasiswa dan 

prodemokrasi, dan mndukung dilakukannya 

penelitian tentang pers dan menerbitkan bukubuku 

mengenainya. 

Setelah Orde Baru berakhir pada tahun 

1999, AJI tampil sebagai organisasi yang 

murni bersifat profesi. Kegiatan AJI saat ini 

adalah pelatihan bagi wartawan dan advokasi 

melawan kekerasan dan tindak perlakuan salah 

terhadap media. Advokasi lainya adalah 

memberi bantuan dan perlindungan kepada 

wartawan yang berada di bawah ancaman. AJI 

juga mengkampanyekan anti suap di kalangan 

media dan pengembangan serikat pekerja di 

perusahaan-perusahaan media. Jumlah 

anggotanya tidak sebesar PWI, tetapi mereka 

dikenal bersikap lebih proaktif. 

Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional 

Indonesia (PRSSNI) - PRSSNI merupakan 

perkumpulan radio-radio swasta (komersial) di 

Indonesia. Organisasi ini didirikan pada masa 

Orde Baru pada tahun 1974, dan waktu itu 

merupakan satu-satunya wadah bagi radioradio 

swasta. Sekarang ini dilaporkan terdapat 

sekitar 1.200 radio siaran swasta di Indonesia 

dan hingga tahun 2003, 816 diantaranya 

menjadi anggota PRSSNI. Pengurus pusat 

adal di Jakarta dengan cabang-cabang di 

daerah. PRSSNI mengadakan pelatihan bagi 

anggota, menyelenggarakan database, dan 

berupaya meningkatkan sumber daya dan 

kemampuan radio swasta. 

Asosiasi Radio Siaran Swasta Indonesia 

(ARSSI) - ARSSI berdiri pada tahun 1999 

setelah masa Orde Baru berakhir dan ketika 

radio tidak lagi wajib menjadi anggota 

PRSSNI. Hanya saja informasi mengenai 

kegiatan dan jumlah anggotanya sangat sedikit. 

Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) - SPS 

adalah serikat penerbit suratkabar di Indonesia. 

Organisasi ini berdiri pada tahun 1946. SPS 

mewakili kepentingan suratkabar termasuk 

masalah yang berkaitan dengan harga, suplai 

kertas, dan perpajakan. SPS juga 

13


menyelenggarakan pelatihan manajemen pers 

dan memiliki database suratkabar. Sebagian 

besar penerbit merupakan anggota SPS. SPS 

juga memiliki cabang-cabang di daerah. Pada 

tahun 2003 terdapat 20 cabang yang tersebar di 

seluruh wilayah Indonesia. 

2.4 Jaringan Media Komersial 

Jaringan Media Cetak - Indonesia 

mengalami booming media cetak setelah 

tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 dan 

penghapusan SIUPP. Hingga tahun 2002 ada 

1.676 perusahaan media cetak, meski hanya 

695 yang terbit secara teratur. Menurut Serikat 

Penerbit Suratkabar (SPS), hanya 30% dari 695 

itu yang mapan secara keuangan. Suratkabar 

Indonesia menghadapi masalah klasik berupa 

rendahnya minat baca dan daya beli. 

Akibatnya, banyak suratkabar yang telah 

gulung tikar. 

Satu fenomena yang belakangan ini 

muncul adalah pers yang dimiliki oleh 

kelompok penerbitan. Dari 695 perusahaan 

media yang terbit secara reguler, 30% berada 

di bawah kelompok penerbitan. Hingga tahun 

2003 terdapat sepuluh kelompok penerbitan di 

Indonesia, dua yang terbesar adalah Grup Jawa 

Pos dan Kompas-Gramedia (lihat Tabel 2). 

Jawa Pos memiliki 107 suratkabar harian dan 

mingguan di Indonesia, sementara Kompas- 

Gramedia memiliki hampir 50 penerbitan. 

Selain perusahaan-perusahaan nasional juga 

terdapat kelompok penerbitan daerah seperti 

Tabel 2 – Grup Media Cetak di Indonesia 

Kelompok Penerbitan 

Grup Jawa Pos 

Grup Kompas Gramedia 

Grup Media Indonesia 

Pos Kota 

Bisnis Indonesia 

Pikiran Rakyat 

Bali Post 

Grup MRA 

Bintang Advis Media 

(BAM) 

Grup Mediamillenia 

Jumlah Media 

Cetak 

(per 2003) 

107 (satu suratkabar di 

Surabaya, sejumlah 

besar di daerah) 


Jakarta dan di daerah, 

tabloid dan majalah) 


Jakarta dan beberapa di 

daerah) 

4 (suratkabar di Jakarta) 

2 (suratkabar di Jakarta) 

5 (suratkabar di Jawa 

Barat) 

4 (suratkabar di Bali) 

4 (sejumlah media di 

Jakarta) 


Jakarta) 


Jakarta) 

14 

Bali Post dan Pikiran Rakyat (Jawa Barat). 

Jaringan Media Penyiaran - Di Indonesia 

terdapat 53 radio siaran yang bernaung di 

bawah Radio Republik Indonesia (RRI) dan 

sekitar 1.200 radio siaran swasta. Angka 

pastinya tidak diketahui karena banyak radio 

yang beroperasi tanpa ijin (diperkirakan hanya 

850 dari 1.200 radio siaran di seluruh 

Indonesia yang memiliki ijin). Fenomena radio 

di Indonesia mirip dengan yang terjadi di 

media cetak, yakni banyak radio siaran yang 

bergabung dalam suatu jaringan (lihat Tabel 3). 

Sampai tahun 2003, di Indonesia terdapat 

sekitar 17 jaringan radio. 

Jaringan Radio 

MRA Media 

Tabel 3 – Jaringan Radio di Indonesia 

Grup Rajawali Media 

Grup Gajahmada 

Grup Rajawali 

Grup Pentas 

Grup Kartika 

Masima Media 

Investama 

CPP Radio Net 

Suzana Radionet 

Jaringan Arbes 

Jaringan Smarat 

Mayangkara 

Radionet 

Grup Ramako 

RCM Radio Network 

Grup Volare 

Bens Radio 

Grup Nirwana 

Jumlah Anggota 

10 radio siaran di Jakarta, 

Yogyakarta, Bali, Bandung, 

Semarang 

3 radio siaran di Surabaya 

3 radio siaran di Semarang 

4 radio siaran di Lampung 

4 radio siaran di Palembang 

3 radio siaran di Liwa dan 

Lampung 


Bandung, Yogyakarta, Manado, 

Makassar 

40 radio siaran di hampir semua 

kabupaten di Jawa Tengah 

8 radio siaran di Jawa Timur 

9 radio siaran di Sumatera Barat 

6 radio siaran di Manado, 

Makassar, Palembang, Padang, 

Banjarmasin 

6 radio siaran di Jawa Timur 

5 radio siaran di Jakarta dan 

Batam 

9 radio siaran di Yogyakarta 

dan Jawa Tengah 

14 radio siaran di Kalimantan 

Barat 


Banten, Surabaya 

9 radio siaran di Kalimantan 

Selatan


3. Media dan Konflik di Sulawesi Tengah 

Berlokasi di wilayah timur Indonesia, 

Sulawesi Tengah memiliki luas wilayah 68.059 

km 2 . Jumlah penduduknya sekitar 2,07 juta 

jiwa (menempati urutan ke-22 jumlah 

penduduk, satu peringkat di bawah Sulawesi 

Utara), dengan kepadatan penduduk 31 

jiwa/km 2 . Penduduk tersebar di delapan 

kabupaten dan satu kotamadya, dan sebagian 

besar bermukim di Kabupaten Donggala 

(35,21%), Banggai (13,07%), Palu (12,94%), 

dan Poso (11,20%). Sebagian kecil lagi 

bermukim di Kabupaten Tolitoli (8,34%), 

Morowali (7,73%), Kepulauan Banggai 

(6,80%), dan Buol (4,71%). 

Media terutama terkonsentrasi di 

Kabupaten Palu, dan penduduknya yang 

berjumlah 269.083 jiwa menjadi pangsa pasar 

utama bagi media yang ada. Dalam kaitan ini, 

Palu juga menjadi barometer perkembangan 

dan pertumbuhan media. Palu dan kabupatenkabupaten 

lainnya saling terpisah dengan jarak 

ratusan kilometer antara satu dan yang lain 

dengan medan pegunungan dan lembahlembah 

yang curam sehingga menyulitkan 

penyebaran media. Prasarana jalan dan 

transportasi juga masih buruk. 

Bab berikut menyajikan tinjauan atas lima 

bidang kajian permasalahan untuk Sulawesi 

Tengah, yaitu (i) media umum, (ii) media 

alternatif, (iii) media tradisional, (iv) teknologi 

informasi baru, dan (v) arus informasi. 

Tinjauan tentang situasi media ini belum 

memberikan gambaran holistik tentang semua 

lembaga dan bentuk media. Informasi lebih 

lanjut disajikan di Lampiran 1-9. 10 

10 Informasi yang disajikan di bab ini diambil dari data 

yang dikumpulkan oleh ISAI pada tanggal 23 dan 30 

Juni 2004. Data tersebut adalah mengenai kinerja dan 

perkembangan media umum provinsi, alternatif, dan 

tradisional di Sulawesi Tengah, serta hasil kajian atas 

arus informasi yang mengalir dari media lokal dan 

nasional berikut pengaruh masing-masing terhadap 

masyarakat umum. Sampel yang terdiri dari sebelas 

responden yang mewakili pemangku kepentingan 

provinsi, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat 

keamanan, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat 

umum memberikan masukan yang mendalam tentang 

peran media dalam kaitannya dengan konflik. 

Penelitian mendalam mengenai lembaga media 

dilakukan atas empat suratkabar (Radar Sulteng, 

Nuansa Pos, Koran MAL, Poso Pos), dua media cetak 

alternatif (Sangkopo, Baruga), empat radio siaran 

3.1 Latar Belakang Konflik 11 

Pada awal tahun 1900-an, misionarismisionaris 

Belanda menjadikan kelompok 

masyarakat penganut animisme, yang 

bermukim di daerah pegunungan di pedalaman 

daerah yang sekarang adalah Sulawesi Tengah, 

sebagai penganut agama Kristen. Pemerintah 

penjajahan Belanda bermaksud untuk 

menjadikan kelompok masyarakat Kristen 

Protestan ini sebagai lapis penghalang atau 

buffer terhadap kerajaan-kerajaan Islam di 

kawasan pesisir. Sejumlah besar masyarakat 

tani yang mengandalkan perladangan 

berpindah-pindah itu oleh Belanda 

dimukimkan di desa-desa untuk mengolah 

sawah. Sebagian besar kelompok yang hidup 

di sekitar Danau Poso, yang terletak di antara 

Poso dan pusat misionaris di Tentena, 

mengidentifikasi diri mereka sebagai suku 

Pamona. Masa kependudukan Jepang dan 

kemerdekaan pada tahun 1945 diikuti dengan 

periode yang penuh kekacauan, ketika 

pemberontak Muslim dari Sulawesi Selatan 

menyerang kelompok masyarakat penganut 

animisme dan Kristen di daerah pedalaman. 

Ketika rezim Soeharto mengambil alih 

tampuk kekuasaan, mayoritas penduduk daerah 

itu beragama Kristen Protestan dan pemimpinpemimpin 

Pamona mengendalikan sebagian 

swasta (Nebula, Nugraha, RAL, Bulava), dan RRI 

(programa 1, 2, 3). Kendala utama penelitian adalah 

kondisi lapangan, yang terutama berkaitan dengan 

jauhnya jarak ibukota propinsi Palu dari pusat konflik 

di Poso (masyarakat Muslim berkonsentrasi di Kota 

Poso dan masyarakat Kristen di Tentena). Kendala lain 

adalah mengkoordinasi peneliti lokal, karena peneliti 

lokal Muslim terkendala dalam melakukan wawancara 

mendalam dengan tokoh-tokoh agama Kristen. Begitu 

pula sebaliknya. Para peneliti lokal direkrut dari latar 

belakang media dan masyarakat madani, dan mereka 

tidak diperbolehkan mewawancarai narasumber yang 

berafiliasi dengan organisasi mereka sendiri. 

11 

Pustaka: Encyclopaedia Britannica 1999, The 

Jakarta Post, OTI Field Report Indonesia (Juni 2000), 

Central Sulawesi - Program on Humanitarian Policy 

and Conflict Research (Harvard University, USA), 

Human Rights Watch, Inside Indonesia, Lorraine 

Aragon, East Carolina University in Greenville (North 

Carolina, AS), International Crisis Group (Indonesia 

Backgrounder: Jihad in Central Sulawesi, laporan, 03 

Februari 2004). 

15


dari birokrasi setempat. Banyak yang telah 

berubah pada saat masa pemerintahan Soeharto 

berakhir. Pada tahun 1973, Soeharto 

mencanangkan Sulawesi Tengah sebagai salah 

satu dari sepuluh provinsi transmigrasi. Jalan 

Raya Trans Sulawesi dibangun melintasi 

medan hutan pegunungan yang berat untuk 

mempermudah pergerakan masyarakat 

transmigran. Pengembangan prasarana jalan 

dan pemukiman baru lantas menarik 

gelombang migran sukarela, terutama 

masyarakat Muslim suku Bugis dan Makassar 

dari Sulawesi Selatan. Krisis moneter, yang 

berawal pada tahun 1997, mendorong migrasi 

hingga daerah Poso. Persaingan antara 

masyarakat modernis Muslim dan Kristiani 

untuk memperebutkan jabatan militer dan 

pemerintahan, seperti posisi bupati Kabupaten 

Poso, memanas. 

Konflik Poso Terkini 

Pada bulan Desember 1998, pertikaian 

antara dua pemuda, satu beragama Kristen 

Protestan dan satu beragama Islam, pada saat 

kampanye politik setempat yang berlangsung 

tegang, dengan cepat meluas menjadi 

kerusuhan berunsur keagamaan di daerah yang 

semula tentram dan majemuk itu. Pertikaian 

yang berawal di jantung Kota Poso menjelang 

hari raya Natal dan Ramadhan pada tahun 

1998 itu makin menambah ketegangan yang 

mengandung unsur keagamaan yang dipicu 

oleh tulisan-tulisan grafiti yang provokatif 

selama kampanye. 

Tidak lama kemudian, pendukung dari 

kota-kota lain tiba untuk memperkuat 

gerombolan massa dari kelompok masyarakat 

Kristen Protestan maupun Muslim. Dalam 

kerusuhan dan aksi pembakaran yang 

berlangsung selama sepekan itu, sekitar 200 

orang mengalami luka-luka dan 400 rumah 

rusak dibakar. Kerusuhan kedua pecah pada 

pertengahan bulan April 2000. Ketika seorang 

pemuda Muslim dilaporkan ditusuk oleh 

seorang pemuda Kristen Protestan, gerombolan 

massa dari kelompok masyarakat Muslim 

memulai aksi pembalasan yang menurut 

laporan tidak dapat dikendalikan oleh pihak 

kepolisian. Hingga awal bulan Mei, 700 rumah 

dibakar (sebagian besar adalah milik anggota 

kelompok masyarakat Kristiani) berikut 

sejumlah gereja dan barak polisi. Ribuan 

orang, kebanyakan dari kelompok masyarakat 

Kristen, mengungsi keluar dari Poso. 

‘Periode ketiga’ terjadi hanya selang tiga 

minggu kemudian ketika sekelompok orang 

Kristiani melakukan serangan fajar atas warga 

Muslim yang mereka anggap bertanggung 

jawab atas tindak pengrusakan yang telah 

dilakukan terhadap pemukiman kelompok 

masyarakat Kristiani. Kelompok ‘ninja’ 

tersebut terdiri dari selusinan laki-laki yang 

konon adalah warga Kristiani asal Pamona dan 

pendatang asal Flores yang beragama Katolik 

yang tinggal di Poso. Pertikaian makin 

memanas di seluruh daerah, apalagi dengan 

adanya hasutan dari kelompok milisi Kristiani 

setempat. Puncak periode ketiga adalah 

pembantaian massal yang dilakukan atas 

penduduk asal Jawa yang melarikan diri ke 

pesantren di suatu daerah transmigrasi di 

selatan Poso. Dalam insiden itu, lebih dari 

seratus dibunuh dengan senjata rakitan dan 

mayat mereka, dibuang ke Sungai Poso dan 

kuburan massal. Pertikian berlanjut hingga 

akhir bulan Juli 2000 dengan ditahannya tiga 

pemimpin kelompok perusuh. 

Terlepas dari sejumlah upaya rekonsiliasi 

yang mendapat banyak sorotan pada akhir 

tahun 2000, pertikaian sporadis berlanjut dan 

sebagian besar pengungsi internal belum 

kembali ke tempat asal. Bahkan penduduk 

secara de facto makin tersegregasi menurut 

garis agama – penduduk Muslim bertempat di 

Kota Poso, dan penduduk Kristen Protestan di 

kota-kota di pedalaman. 

Selama bulan-bulan pertama tahun 2001, 

aksi kekerasan makin memanas. Selain 

penyerangan terhadap masyarakat tani, 

klompok-kelompok yang tidak puas menanam 

bom di tempat-tempat ibadah dan pos-pos 

polisi. Kekerasan kembali meledak pada akhir 

tahun 2001 ketika ribuan anggota bersenjata 

Laskar Jihad terjun ke daerah konflik dengan 

akibat timbulnya lebih dari seratus korban jiwa. 

Paling tidak enam gereja dan 4.000 rumah di 

30 desa menjadi sasaran aksi pembakaran. 

Sekitar 15.000 warga melarikan diri dari 

rumah. Milisi Muslim mengambil alih kendali 

atas tempat pengisian bahan bakar dan poskoposko 

jalan. 

Setelah kerusuhan sporadis berlangsung 

selama tiga tahun, angka korban jiwa 

diperkirakan berkisar antara 1.000 dan 2.500 

jiwa dengan ribuan korban luka. Sejumlah 

besar gereja dan masjid telah menjadi sasaran 

aksi pembakaran. Hampir 100.000 orang 

16


melarikan diri dari rumah mereka, sampaisampai 

ibukota Kabupaten Poso sempat 

dijuluki ‘kota mati’, meskipun sekarang 

beberapa orang telah kembali ke tempat asal. 

Kesepakatan perdamaian yang dirumuskan di 

Malino, Sulawesi Selatan, diterima dengan 

baik meski pelaksanaannya menghadapi 

berbagai tantangan. 

3.2 Media di Sulawesi Tengah 

3.2.1 Media Nasional 

Media cetak nasional yang beredar di Palu 

adalah Kompas, Media Indonesia, Harian Fajar 

(Makassar), dan The Jakarta Post. Suratkabarsuratkabar 

tersebut melengkapi puluhan tabloid 

infotainment dan majalah cetakan Jakarta yang 

beredar di Sulawesi Tengah. 

Media setempat memiliki rubrik khusus 

untuk informasi dan berita nasional. Radar 

Sulteng mengambil berita dari kelompoknya 

sendiri, sementara Nuansa Post dan suratkabar 

mingguan MAL memanfaatkan Internet. 

Berita-berita utama didominasi oleh berita 

nasional, dengan berita lokal hanya berkisar 

40% dari total pemberitaan. Wartawan yang 

bekerja untuk media lokal biasanya merangkap 

sebagai koresponden bagi media nasional. 

Di Sulawesi Tengah, salah satu sumber 

berita dan informasi yang paling populer di 

kalangan penduduk adalah televisi. Stasiun 

televisi swasta nasional yang memiliki stasiun 

transmisi di Sulawesi Tengah adalah RCTI, 

Metro TV, dan TPI. Penduduk juga dapat 

memilih TVRI Palu, yang menyiarkan 

program lokal selama tiga jam sehari. 

Penduduk Palu juga memiliki akses ke TV 

cable yang melayani komplek-komplek 

perumahan di Palu dan bahkan sejumlah desa 

di luar kota. 

3.2.2 Media Cetak Umum 

Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), 

antara tahun 2000-2002 didirikan 33 media 

cetak baru di Palu. Hanya saja, hingga tahun 

2004 hanya sebagian kecil yang masih 

beroperasi. Sampai sekarang, hanya empat 

suratkabar yang berkantor di ibukota provinsi 

yang masih terbit secara teratur. 12 

12 Data AJI Kota Palu. 

Menyusul penghapusan SIUPP, 

penanaman modal dalam sektor media cetak 

meningkat pesat di Sulawesi Tengah. Seperti 

dilaporkan, perusahaan suratkabar dapat 

didirikan dengan modal Rp 5-10 juta. 13 Hal ini 

berdampak pada munculnya wartawanwartawan 

instan yang bekerja dengan gaji 

UMR, dan yang seringkali tidak mengetahui 

asas-asas profesi kewartawanan. Akibatnya, 

redaktur maupun pemilik kesulitan 

menerapkan kebijakan redaksi secara ketat. 

Setelah konflik, jumlah media cetak 

menurun secara drastis. 14 Kendala media-media 

yang gulung tikar adalah manajemen redaksi 

yang buruk, sarana percetakan yang tidak 

memadai dan keterbatasan modal. 15 Selain itu, 

beberapa diantaranya dibentuk murni dengan 

tujuan untuk menyiarkan propaganda salah 

satu pihak tertentu selama konflik. Meskipun 

jumlah media cetak menurun sejak tahun 2002, 

media yang bertahan masih menghadapi 

kendala-kendala yang sama. 

Media cetak umum di Sulawesi Tengah 

meliputi Radar Sulteng, Nuansa Pos, Koran 

MAL, dan Poso Pos. Suratkabar tertua 

Sulawesi Tengah adalah Radar Sulteng, yang 

dulu bernama Mercusuar dan sekarang sudah 

diambil alih oleh Grup Jawa Pos. Mercusuar, 

yang waktu itu bernaung dalam Yayasan Suara 

Rakyat, didirikan oleh Rusdy Toana pada 

tahun 1969, dan terbit pertama kali pada 

tanggal 1 September 1969 dalam bentuk 

majalah. Karena menurut laporan surat kabar 

ini didirikan oleh kalangan Muhammadiyah, 

media ini sempat dituduh sebagai corong 

Muhammadiyah. Mercusuar akhirnya terbit 

dalam bentuk tabloid dan membidik segmen 

yang lebih luas. Terbitan lain yang tergolong 

tua di Sulawesi Tengah adalah Koran MAL. 

Koran ini didirikan pada tanggal 24 Juli 1971 

oleh Yayasan Al Chairaat Press, yang juga 

menaungi sebuah perguruan tinggi Islam. Pada 

awalnya MAL terbit dalam bentuk stensilan 

dan diketuai Ketua Utama Al Khairat, HS 

Saggaf Al Djufrie. 

13 Data AJI Kota Palu, 2000-2002. 

14 Dikutip dari data AJI Kota Palu, riset media di 

Sulawesi Tengah pada tahun 2000-2002. Lihat Tabel: 

Pertumbuhan Media Cetak di Sulawesi Tengah antara 

tahun 2000-2002. 

15 Wawancara dengan M. Rafik Yahya, pemimpin 

redaksi MAL, 29 Mei 2004. 

17


Suratkabar yang muncul setelah 

dihapusnya SIUPP adalah Nuansa Pos. Surat 

kabar yang terbit pertama kali pada bulan 

November 1998 ini muncul dengan motto 

‘Mengulas Tuntas dan Padat’ dan berukuran 

tabloid (kini berukuran halaman lebar), serta 

mengambil segmen pemberitaan kriminal. 

Pemilik mengatakan pihaknya merasa perlu 

membuat satu suratkabar yang mampu 

menyajikan berita-berita pembangunan dan 

menjadi penyambung lidah antara masyarakat 

dan pemerintah. 16 Poso Pos juga termasuk 

suratkabar yang muncul setelah SIUPP 

dihapuskan. Surat kabar yang terbit pertama 

kali pada bulan November 1999 ini bermotto 

“Palakati Sintuwu Maroso”, yang menurut 

pemiliknya mengandung pesan demokratis. 

3.2.3 Media Cetak Alternatif 

Ketika pemerintahan Abdurrahman Wahid 

digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, 

Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan 

Rakyat (Menko Kesra) waktu itu Jusuf Kalla 

memprakarsai Deklarasi Malino sebagai 

kesepakatan perdamaian untuk Poso pada 

bulan Februari 2002. Di Poso, para pemangku 

kepentingan menindak-lanjuti deklarasi 

tersebut dengan membentuk forum yang 

melingkupi seluruh pemangku kepentingan 

terkait (multi-stakeholder) bernama Kelompok 

Kerja Resolusi Konflik Poso (Pokja RKP). 

Salah satu proyeknya adalah mempromosikan 

dan mengkampanyekan perdamaian melalui 

media alternatif seperti majalah Baruga, yang 

terbit pertama kali pada tahun 2001. 17 

Baruga diterbitkan bulanan dalam format 

majalah sebanyak 20 halaman dan dibentuk 

untuk mengimbangi media umum. Menurut 

Darwis Waru, anggota masyarakat dan 

wartawan, peran media dalam konflik di 

Sulawesi Tengah dapat mendatangkan 

perdamaian tetapi dapat juga melanggengkan 

pertikaian. Oleh karenanya, Pokja RKP 

menerbitkan Baruga dengan harapan bisa 

mengurangi ketegangan. USAID membantu 

penerbitannya sampai edisi keempat, 

sedangkan edisi selanjutnya didanai oleh 

ICCO. Seperti yang biasa terjadi dengan media 

16 Wawancara dengan pemimpin redaksi Andi Attas 

Abdullah dan pemimpin umum Bayu Alexander 

Montang dari Nuansa Pos, 27 Mei 2004. 

17 Baruga berarti suatu tempat untuk berkumpul dan 

bermusyawarah bagi semua kelompok masyarakat dari 

berbagai suku untuk menyelesaikan masalah. 

yang dikelola oleh forum atau LSM, akses 

terhadap dana secara berkelanjutan menjadi 

persoalan yang selalu tidak pernah 

terpecahkan. 18 Majalah ini memiliki 

kemampuan keredaksian yang kuat dan 

manajemennya baru-baru ini berupaya untuk 

mengecernya kepada publik untuk menggalang 

dana untuk menutup biaya produksi (redaksi, 

percetakan, distribusi), dan menurut laporan 

ada juga yang berminat. 19 Pokja RKP juga 

menyebar pesan-pesan perdamaian melalui 

instrumen informasi dan komunikasi seperti 

poster. 20 

Lembaga Pengembangan Studi Hukum 

dan Hak Azasi Manusia (LPS-HAM) Sulawesi 

Tengah juga memanfaatkan media alternatif 

dengan penekanan khusus pada konflik. Pada 

tahun 2002 LPS-HAM menerbitkan majalah 

Sangkopo dengan tujuan mengangkat masalahmasalah 

HAM. Misi lainnya adalah menyikapi 

kurangnya media advokasi di Sulawesi 

Tengah. 21 Media ini dinilai cukup memberikan 

sumbangan dalam membuka arus informasi 

pada masyarakat Sulawesi Tengah, terutama 

yang menyangkut pendidikan HAM dan proses 

perdamaian yang sedang dibangun. 

3.2.4 Media Penyiaran 

Dibandingkan dengan media cetak, di 

Sulawesi Tengah angka media elektronik radio 

yang bertahan pascakonflik lebih tinggi. 

Alasannya, radio memiliki biaya produksi yang 

lebih rendah, jangkauan yang lebih luas, dan 

jin pendiriannya pun tidak terlalu berbelit. 

Namun demikian, sebelum UU Penyiaran 

2003 diloloskan, radio-radio siaran di Palu 

harus berurusan dengan sulitnya perijinan 

pendirian radio yang memberatkan yang 

ditetapkan oleh Departemen Perhubungan 

(Dephub) lewat Direktorat Jenderal Pos dan 

Telekomunikasi (Dirjen Postel). Pada saat itu, 

isi pemberitaan masih diatur oleh Departemen 

Penerangan (Deppen) atas rekomendasi 

PRSSNI. Birokrasi perijinan dipermudah pada 

tahun 2003. 

18 Wawancara dengan Romy, relawan redaksi Bulletin 

Baruga, Pokja RKP. 

19 

Pokja RKP memutuskan untuk tidak menjual 

Baruga secara teratur karena alasan etis dalam 

menerima bantuan donor agar dapat terbit terus. 

20 

Wawancara dengan Darwis Waru, pemimpin 

redaksi Majalah Baruga, 31 Mei 2004. 

21 Wawancara dengan Marthen Salu, sekretaris redaksi 

Bulletin Sangkompo, 27 Mei 2004. 

18


Di Sulawesi Tengah, lima radio siaran 

menggunakan gelombang frekuensi FM dan 

delapan radio siaran menggunakan gelombang 

frekuensi AM secara legal. 22 Padahal, di kota 

Palu setidaknya terdapat 13 stasiun radio yang 

menggunakan kanal-kanal pada frekuensi 

FM. 23 RRI Palu, yang memiliki jangkauan dan 

segmen luas, tak mau kalah. Mereka 

menggunakan enam kanal sekaligus pada 

frekuensi yang berbeda (FM, AM, SW). 

Pengelola radio swasta berasumsi bahwa 

penggunaan kanal ini legal karena UU 

Penyiaran masih dalam penggodokan (saat itu). 

Di samping itu, belum terbentuk suatu Komisi 

Penyiaran Independen Daerah (KPID) 

Sulawesi Tengah yang fungsinya akan 

mengambil alih peran PRSSNI. 

Sebelum radio menjamur pada masa 

pascakonflik Poso, radio-radio pemegang ijin 

frekuensi belum memiliki kapasitas 

keredaksian yang baik dalam mengemas 

program berita karena untuk waktu yang begitu 

lama mereka wajib merelay berita siaran RRI. 

Pembebasan kewajiban merelay ini ditanggapi 

dengan mengubah orientasi yang sebelumnnya 

hanya mengolah program-program hiburan 

menjadi program berita. Radio Nugraha sejak 

tahun 2002 mulai mengelola program berita. 

Sedangkan Nebula, yang memulai siarannya 

pada November 1985 dan bisa didengar di kota 

Palu, sebagian besar wilayah kabupaten 

Donggala dan kabupaten Parigi Moutongg, 

mulai serius mengelola program berita ketika 

konflik Poso merebak. 

Perubahan orientasi ini tidak lepas dari 

masuknya kantor-kantor berita seperti KBR 

68H Jakarta dengan konsep radio jaringan. 

Radio-radio luar negeri seperti BBC dan Voice 

of Amerika (VoA) juga menggunakan mereka 

sebagai jaringan. Selain itu lembaga-lembaga 

yang memproduksi Program Radio seperti 

Internews Indonesia dan Common Ground 

22 Data diolah dari Data dan Potensi Radio Siaran Di 

Sulawesi Tengah PRSSNI Sulawesi Tengah. Lihat 

Lampiran 5 – Media Siaran dan Gelombang Frekuensi 

di Sulawesi Tengah. 

23 Kebanyakan radio siaran di Palu tidak memiliki izin 

legal frekuensi dan tanda panggilan (call sign). Peneliti 

lokal menjaring frekuensi-frekuensi FM di sekitar Palu 

dengan hasil sebagai berikut: 90,6; 95,2; 95,8; 97,5; 

99,1; 93,0; 101,0; 101,8; 102,6; 103,4; 104,2; 105,0; 

105,8. Dari ke-13 radio ini, hanya tiga yang memilki 

izin legal, yaitu 101,0 Nebula FM; 102,6 Nugraha Top 

FM; 101,8 Best FM. 

memperkaya program yang dimiliki radio 

lokal. 

Radio siaran di Sulawesi Tengah meliputi 

Nebula dan Nugraha di wilayah Palu, 

sementara di wilayah Poso ada Bulava, Radio 

Pemerintah Daerah (RPD) milik Pemerintah 

Daerah Kabupaten Poso, dan Radio 

Bayangkara. RRI Palu (dengan programa 1, 2, 

3) memiliki jangkauan yang luas di seluruh 

provinsi. 

Nebula mengudara selama 18 jam sehari. 

Radio ini dibangun oleh sejumlah pelajar 

sekolah di Kota Palu yang sering berkumpul. 

Awal mulanya, mereka mendirikan radio tanpa 

ijin resmi yang diberi nama Voice of Madness. 

Tapi umurnya tidak panjang. Radio ini 

akhirnya mati. Belakangan radio ini diambil 

alih oleh PT Nebula Nada. Sekarang Nebula 

mengudara pada gelombang frekuensi FM 

101,0 MHz. Menurut Tasrif Siara, motivasi 

dalam mendirikan radio ini adalah bisnis, 

kreativitas, dan wadah bagi aspirasi publik. 

Hingga kini Nebula menjadi barometer radio 

swasta dengan program berita di Sulawesi 

Tengah. Nebula juga masuk dalam jaringan 

KBR 68H Jakarta dan VoA. Ia juga 

menyiarkan acara-acara radio yang diproduksi 

oleh Internews Indonesia dan Common 

Ground Indonesia. Prasarana yang dimiliki 

juga cukup memadai dengan sumber daya 

manusia yang sebagian besar telah 

mendapatkan pelatihan ke-radioan. 

Radio swasta lain di Kota Palu yang juga 

mulai menyiarkan materi berita adalah 

Nugraha. Radio ini mengudara pertama kali 

pada tahun 1993. Seperti Nebula, Nugraha 

pertamakali menggunakan kanal pada 

gelombang AM, dan pada tahun 1997 beralih 

ke gelombang FM dengan jangkauan siar 

kurang lebih 30 km. Nugraha mengudara 21 

jam sehari. Pada awalnya, orientasi mendirikan 

Nugraha adalah bisnis dan penyaluran bakat 

semata-mata. Kepemilikan Nugraha kini 

dipegang jaringan bisnis media bernama Media 

Network Consolidated yang berpusat di 

Jakarta. Nugraha juga mengudarakan program 

berita, menjadi bagian dari jaringan BBC dan 

menyiarkan acara-acara yang diproduksi 

Internews Indonesia. 

RAL (Radio Alchairaat) menggunakan 

kanal pada gelombang AM. Seperti halnya 

Koran MAL, RAL juga berada di bawah 

19


naungan Yayasan Alchairaat. Ijin penggunaan 

fruekensi RAL keluar pada tahun 1994 dan 

misinya adalah menyebarkan dakwah-dakwah 

Islam. Ketika mengudara pertama kali, RAL 

mengikuti program siar yang dimiliki oleh 

RAL yang ada di Manado. 24 Dalam 

perkembanganya, RAL mengelola program 

berita dengan menganbil Koran MAL sebagai 

sumber berita. RAL juga telah menjadi anggota 

jaringan KBR 68H Jakarta. 

Radio yang memiliki jangkauan terluas di 

Sulawesi Tengah adalah RRI Palu. Lembaga 

yang kini telah menjadi Perusahaan Jawatan 

(Perjan) ini melakukan ekspansi program 

dengan Programa 1 RRI, Programa 2 RRI, dan 

Programa 3 RRI. Dalam pengoperasiannya, 

ketiga program RRI Palu menggunakan enam 

kanal frekuensi pada gelombang FM, AM, dan 

SW. RRI Palu mendapat suplai berita (lokal) 

dari Bagian Pemberitaan dan mengemasnya 

sesuai segmentasi masing-masing program. 25 

Redaksi bagian pemberitaan bekerja hanya 

dengan tujuh mesin ketik usang, meskipun 

SDM memiliki kapasitas yang baik di bidang 

pemberitaan. Cakupan siaran RRI Palu 

mencakup segmen segala usia dengan 

jangkauan siar hingga lintas provinsi. Selama 

ini RRI Palu bekerjasama dengan departemen 

dan dinas-dinas di lingkungan pemerintah 

daerah dalam meliput berita. Kerjasama ini 

terutama dijalin dengan INFOKOM Pemda 

Tingkat I Provinsi Sulawesi Tengah berkaitan 

dengan masalah konflik Poso dan bencana 

alam. 

Salah satu radio yang berada di daerah 

konflik Poso adalah Bulava. Radio ini 

mengudara pertama kali pada tahun 1996 pada 

gelombang FM 100,2 MHz. Jangkauan siar 

Bulava mencakup seluruh Kota Poso. Seperti 

halnya radio swasta lainnya di Sulawesi 

Tengah, motivasi pendirian radio ini adalah 

bisnis dan sarana hiburan bagi masyarakat 

Kota Poso. Bulava mengelola program berita 

sendiri yang diberi nama 'Bulava Aktual' yang 

mengutip berita-berita media cetak lokal dan 

nasional. Bulava belum memiliki jaringan 

dengan kantor berita atau radio berita. Pokja 

24 Ketua Yayasan Alchairaat, HS Saggaf Aldjufrie, 

banyak menginisiasi media termasuk RAL Palu dan 

RAL Manado, yang berafiliasi dengan jaringan 

Alchairaat yang memiliki lebih dari 2.000 cabang di 

kawasan timur Indonesia. 

25 Lihat Lampiran 6 – Aspek Media Siaran di Sulawesi 

Tengah. 

RKP pernah bekerjasama dengan Bulava 

dalam menayangkan iklan-iklan layanan 

masyarakat bertema perdamaian untuk Poso. 

Radio swasta lain di Poso adalah Radio 

Pemerintah Daerah (RPD) yang merupakan 

radio milik Pemerintah Daerah Kabupaten 

Poso, Radio Bayangkara milik Polres Poso, 

Radio Narwastu, dan Radio Mayasprasta. 26 

3.2.5 Isi Pemberitaan Media 

P4K (Pusat Penelitian Perdamaian dan 

Pengelolaan Konflik) Universitas Tadulako 

(Untad) sudah melakukan penelitian tentang 

peran media dalam masa konflik yang mereka 

golongkan dalam tiga kategori: (1) media 

sebagai pemicu konflik, (2) media menutupi 

konflik, dan (3) media menyelesaikan konflik. 

Kesimpulan P4K adalah bahwa media umum 

seperti suratkabar dan radio sangat berpotensi 

menjadi pemicu konflik karena orientasinnya 

yang cenderung komersial dan rendahnya 

standar profesionalisme, sedangkan media 

pemerintah ketika itu mengambil posisi untuk 

menutupi konflik. 

Saat kerusuhan demi kerusuhan terjadi di 

Poso, media (sebagian besar sukat kabar) 

secara tak sadar berperan dalam tindak 

kekerasan yang terjadi di Poso dengan menjadi 

corong dari pihak yang bertikai. 27 Sejumlah 

berita ataupun artikel menjadi acuan bagi 

banyak kalangan, terutama mereka yang 

bertikai. Pada saat yang bersamaan, pers di 

Indonesia tengah menikmati kebebasan. 

Pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur) 

memberikan kemudahan bagi pertumbuhan 

media tanpa ijin-ijin yang ketat. Suratkabar di 

Palu tumbuh bak jamur di musim hujan. 

Mereka berkompetisi di tengah konflik yang 

semakin sengit dengan orientasi bisnis dan atau 

melalui keberpihakan. Praktis media yang 

sebagian besar berbasis di Palu menjadi “media 

pernyataan”, yakni media yang mengutip 

mentah-mentah hasil wawancara dengan salah 

satu pihak. Terlebih lagi, unsur agama ikut 

mempengaruhi warna pemberitaan saat itu. 

Pada masa pasca konnflik, wajah 

pemberitaan Sulawesi Tengah mengalami 

26 

Selain Radio Bulava yang mengudara pada 

gelombang FM dan Radio Mayaprasta (AM), radio 

siaran lainnya di Poso belum memiliki izin legal 

frekuensi. 

27 Wawancara dengan Bapak Nasrun dari P4K Untad 

Sulawesi Tengah. 

20


perubahan besar. Tekanan publik yang jenuh 

dengan berita-berita konflik memicu redaksi 

media umum untuk mengubah fokus berita. 

Seperti dikatakan Ariyanto Sangaji, aktivis 

Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulawesi 

Tengah: 

“Untuk resolusi konflik Poso, pada masamasa 

awal konflik media cenderung menjadi 

sangat tidak berimbang… Pemberitaannya 

tidak menerapkan prinsip-prinsip 

jurnalisme. Tapi setelah lima tahun terakhir 

ada perkembangan yang luar biasa” 

Umumnya, pengelola media Sulawesi 

Tengah berupaya memperketat kebijakan 

redaksinya, namun disisi lain wartawanwartawan 

yang berhadapan langsung dengan 

sumber dan fakta lapangan mengalami masalah 

cukup besar untuk selalu memunculkan berita 

yang berimbang, benar, dan terverifikasi. 

Sikap redaksi media umumnya berbedabeda. 

Redaksi suratkabar mingguan MAL 

lebih memilih mengambil alih pekerjaan 

wartawan bersangkutan untuk menjaga 

reputasi. MAL diuntungkan karena terbit 

mingguan. Media lainnya memilih tetap 

menurunkan berita itu dengan pertimbangan 

verifikasi bisa dilakukan keesokan harinya. 

Yan Patris Binela, seorang pendeta di Tentena, 

menceritakan bagaimana isu pengkotakan 

agama dengan cepat tersiar saat media 

menurunkan berita yang tidak melalui 

verifikasi. Namun dalam kurun dua tahun ini, 

ia menilai media memperlihatkan perubahan 

fokus berita: 

“Saya kira nanti tahun 2002 hingga 2004 

pemberitaan mereka baru terasa berimbang 

dalam memberitakan kasus Poso. Meski 

seringkali berita yanga disajikan tidak 

menyentuh akar permasalahan” 28 

Meski banyak media tidak lagi 

mengangkat permasalahan-permasalahan 

konflik karena rendahnya profesionalisme, 

kecenderungan untuk menurunkan berita 

bombastis terlihat jelas dalam berita-berita 

kriminal. Seringkali media mengangkat berita 

kriminalitas untuk mendongrak tiras. Soraya, 

aktivis KPKP-ST, 29 mengatakan suratkabar di 

Sulawesi Tengah lebih terfokus pada tindak 

kriminal yang menimpa perempuan, seperti 

28 Wawancara dengan Yan Patris Binela, pendeta di 

Tentena, 28 Mei 2004. 

29 

KPKP-ST: Kelompok Perjuangan Kesetaraan 

Perempuan-Sulawesi Tengah. 

pemerkosaan, dan mengeksploitasinya terus 

menerus. Tak ada perlindungan atas identitas 

korban. 30 

Tidak seperti media cetak, tingkat 

intervensi pemilik dalam urusan keredaksian di 

radio siaran tidak begitu besar. Radio siaran di 

Palu lebih banyak menyajikan hiburan (sedikit 

berita, banyak hiburan dan musik), meski ada 

juga yang memancarluaskan berita, yang 

seringkali di-relay dari jaringan internasional 

atau Jakarta. Hanya saja, jangkauan siaran 

seringkali terhambat karena faktor geografis 

dan perlengkapan siaran yang kurang layak. 31 

Radio tampaknya merupakan media yang 

paling berpengaruh selama masa konflik. 

Berita dapat disebarluaskan secara cepat, meski 

isi beritanya lebih sulit untuk dikontrol oleh 

redaktur sehingga standar profesionalisme 

tidak selalu baik. Pada masa konflik mereda, 

informasi yang terkumpul mengindikasikan 

bahwa masyarakat lebih suka mendengar radio 

yang lebih banyak menyiarkan hiburan 

dibanding berita. 

Meskipun begitu, radio-radio siaran di 

Sulawesi Tengah tampaknya berupaya untuk 

merubah citra dan meningkatkan minat 

terhadap program-program berita. Sebagai 

contoh, Radio Nebula memancarluaskan berita 

lokal selama 30 menit sehari, sementara 

sisanya adalah program-program yang direlay. 

Radio Nugraha mengalokasikan 20 menit 

untuk program lokal, meskipun isinya lebih 

banyak mengutip berita dari suratkabarsuratkabar 

lokal. Biaya produksi yang besarnya 

sekitar Rp 10 juta per bulan (Rp 5,5 juta untuk 

gaji, sisanya biaya operasional) tampaknya 

menjadi momok bagi radio-radio siaran untuk 

memproduksi berita mereka sendiri. Menurut 

laporan, satu-satunya radio siaran yang 

memiliki program berita jangka panjang di 

Sulawesi Tengah adalah RRI. Programa 1, 2, 3 

memiliki jangkauan siar yang luas dan RRI 

memiliki perlengkapan operasional yang 

memadai. 32 

Internews dan Common Ground adalah 

dua LSM internasional yang bekerjasama 

dengan radio siaran di Sulawesi. Mereka 

30 Wawancara dengan Soraya Sultan, direktur KPKP- 

ST. 

31 Lihat Lampiran 8 (Aspek Operasional Media Siaran 

di Sulawesi Tengah). 

32 Lihat Lampiran 6 dan 8. 

21


memproduksi program-program radio yang 

disiarluaskan oleh sejumlah radio siaran di 

Palu. Internews mengirim secara teratur tiga 

program fitur ke radio-radio siaran di Palu, 

yaitu Sahabat Alam, program untuk 

meningkatkan kesadaran tentang ancaman 

terhadap lingkungan hidup; Suara Bangsaku, 

yang mengkaji peristiwa-peristiwa terkini di 

bidang ekonomi, sosial, dan politik; dan Sehat 

Indonesiaku, yang berfokus pada isu-isu 

kesehatan dan solusinya. Common Ground 

mengirim seri drama radio bertajuk Menteng 

Pangkalan ke sejumlah radio siaran di Palu 

lewat jaringan Radio 68H. Drama tersebut 

bertemakan keberagaman dan perdamaian, 

termasuk cara-cara untuk menyelesaikan 

konflik. 

3.2.6 Pendidikan dan Ketrampilan 

Wartawan Palu dan Poso tampaknya cukup 

memperoleh perhatian dari lembaga atau 

institusi yang fokus pada jurnalisme damai. 

LSPP, yang didukung British Council, LP3ES, 

AJI, dan PWI, meski tidak secara rutin, cukup 

aktif dalam melatih wartawan lokal. Upaya 

peningkatan kapasitas internal lembaga 

penyiaran juga dilakukan oleh Internews 

Indonesia, KBR-68H, dan Common Ground 

Indonesia. 33 

Meskipun demikian, sumber daya manusia 

masih menjadi kendala bagi media karena 

rendahnya akses ke pendidikan bagi kalangan 

praktisi media. Selain itu, kebanyakan lembaga 

media merekrut wartawan lulusan SMU atau 

program D3. Hanya suratkabar Radar Sulteng 

yang merekrut wartawan lulusan program S1. 

RRI Palu memiliki program pelatihan terpusat 

yang diadakan secara teratur. Satu hal yang 

patut dicatat adalah bahwa banyak media 

alternatif tampaknya memiliki kapasitas SDM 

yang lebih kuat daripada media umum. 

3.2.7 Isu Keselamatan 

Selama konflik, wartawan bekerja dalam 

situasi dan kondisi yang pelik dan penuh 

bahaya. Pada saat konflik memuncak, kondisi 

lapangan menjadi berbahaya bagi wartawan. 

Menurut AJI Palu, setidaknya satu orang 

wartawan dari Poso Pos terbunuh setelah ia 

33 Seperti terungkap dalam wawancara, semua media 

cetak dan elektronik telah menerima pelatihan dari 

lembaga-lembaga seperti LP3ES, LSPP, KBR-68H, 

AJI, PWI. 

kehilangan kontak dengan rekan-rekan 

kerjanya. 

3.2.8 Perkumpulan dan Jaringan 

Perkumpulan media cetak dan elektronik 

yang ada di Sulawesi Tengah sekarang ini 

adalah AJI Kota Palu dan PWI Sulawesi 

Tengah. Kedua perkumpulan ini telah 

mengadakan kegiatan-kegiatan untuk 

meningkatkan mutu kewartawanan di Sulawesi 

Tengah. Wartawan generasi muda cenderung 

memilih AJI, sementara PWI lebih banyak 

memiliki anggota wartawan senior. Menurut 

laporan, AJI memiliki jumlah anggota yang 

lebih banyak dibanding PWI. AJI juga 

memiliki jaringan yang luas, sehingga 

wartawan dapat berkumpul dan bekerja dengan 

sesama anggota yang berasal dari luar wilayah 

propinsi. Dalam beberapa kegiatan 

advokasinya, AJI mengambil sikap tegas 

dalam pembelaannya terhadap media. Selain 

forum pertemuan, komunitas AJI juga 

berkomunikasi lewat email. Hanya saja, 

layanan yang diberikan oleh perkumpulanperkumpulan 

tersebut cenderung terbatas, yang 

terutama disebabkan oleh keterbatasan sumber 

daya dan pengetahuan mengenai peluangpeluang 

yang ada. Dan sebagaimana halnya 

dengan daerah lain di Indonesia, peran mereka 

sebagai serikat pekerja yang memfasilitasi 

pencapaian kesepakatan bersama belum 

terlihat. 

PWI Sulawesi Tengah dan AJI Palu telah 

aktif melakukan kampanye yang menentang 

tindak suap dan menyerukan pentingnya peran 

serikat pekerja. Serikat Pekerja Pers (SPP) juga 

aktif memperjuangkan hak-hak praktisi media. 

Hanya saja, tidak semua media propinsi 

mampu menyediakan gaji penuh dan 

kesejahteraan lainnya sebagaimana dituntut 

oleh SPP dan organisasi lainnya. 

Konsumen telah melayangkan pengaduan 

atas media lewat Yayasan Lembaga Konsumen 

Indonesia (YLKI). Lembaga ini memiliki 

jaringan di daerah yang meliputi Sulawesi 

Tengah, walaupun kegiatan dan amanatnya 

belum tersosialisasi secara baik di sana. 

PRSSNI adalah asosiasi radio siaran swasta 

utama. Kegiatan PRSSNI Sulawesi Tengah 

berkaitan dengan koordinasi penggunaan 

frekuensi siaran dan distribusi iklan, serta 

akreditasi lembaga-lembaga. 

22


3.2.9 Kebijakan dan Perundang-Undangan 

Media 

Kebijakan nasional tentang media 

berdampak pada bentuk dan lingkungan media 

di propinsi. UU Pers (No. 40 tahun 1999) 

mengamanatkan persyaratan manajemen 

media yang lebih sederhana dan mendekriminalisasi-kan 

pers, sehingga pelanggaran 

pers tidak lagi disidik dengan pasal-pasal 

KUHP. Hanya saja, seperti terlihat pada kasus 

Nuansa Pos baru-baru ini, sistem hukum masih 

merujuk ke hukum pidana jurnalistik 

(pencemaran nama baik atau libel) dalam 

menangani kasus-kasus gugatan terhadap 

media. Selain itu, KUHP juga digunakan untuk 

menetapkan sanksi keuangan, yang, meskipun 

lebih kecil dibanding yang ditentukan oleh 

hukum perdata, dilandasi pada definisi-definisi 

yang lebih luas. 

Sebuah lembaga ombudsman telah 

didirikan dalam bentuk ‘Dewan Pers’. Dewan 

Pers berfungsi untuk memonitor kepatuhan 

terhadap standar dan kode etik wartawan, serta 

penyelesaian tindakan hukum atau pengaduan 

atas media. Dewan Pers tidak berwenang untuk 

menjatuhkan sanksi, karena hal ini tetap 

menjadi wewenang pengadilan, tetapi tidak 

tertutup kemungkinan akan ditempuhnya jalur 

hukum seandai solusi Dewan Pers tidak 

memuaskan. 34 Masalahnya, Dewan Pers 

berpusat di Jakarta dan urusan-urusan daerah 

yang menyangkut media tidak selalu sampai ke 

telinganya. Kendala lain adalah bahwa 

seringkali pengaduan tidak dapat ditangani 

secara cepat. 

Menyusul dikeluarkannya UU Penyiaran 

(No. 32 tahun 2002), tanggung jawab media 

34 Banyak pengaduan pers atau pengaduan konsumen 

atas pers tidak terselesaikan secara baik. 

penyiaran di daerah berada pada KPID. 35 

Hanya saja, KIPD belum terbentuk di Sulawesi 

Tengah. Banyak permasalahan dan kendala 

yang dihadapi media penyiaran bersumber dari 

kondisi ini, seperti ketidakjelasan dalam 

mengalokasikan dan mengelola frekuensi radio 

siaran. 

3.2.10 Kasus Hukum dan Tekanan Eksternal 

Sejumlah media cetak di Sulawesi Tengah 

telah menghadapi tekanan dari pihak luar yang 

berkaitan dengan pemberitaan. Nuansa Pos dua 

kali didakwa melakukan pemberitaan yang 

tidak tepat dan mencemarkan nama baik. 

Gugatan pertama diajukan oleh keluarga Ruly 

Lamadjido, gubernur Sulawesi Tengah kala itu, 

yang menuding suratkabar itu telah 

mencemarkan nama baiknya lewat beritanya 

mengenai kasus pembunuhan seorang 

perempuan. Gugatan kedua berkaitan dengan 

tindak pidana korupsi yang melibatkan Dinas 

Kesehatan Sulawesi Tengah, yang berlanjut 

hingga tingkat pengadilan tinggi. Bayu 

Alexander Montang, pemimpin umum Nuansa 

Pos, mengaku telah mematuhi asas-asas 

jurnalistik profesional, namun ia kalah dalam 

kasus yang dipidanakan dengan pasal-pasal 

hukum pidana jurnalistik itu. 

Kasus-kasus tekanan eksternal terhadap 

media, termasuk ancaman dan serangan 

terhadap praktisi dan lembaga media, juga 

dicatat oleh tim pengkaji. Dalam satu kasus, 

seorang warga setempat yang cukup 

terpandang merasa bahwa suratkabar tertentu 

telah melansir berita yang tidak benar 

mengenai dirinya, dan konon ia menyuruh 

35 

Wewenang KPI: menetapkan standar mutu, 

menyusun peraturan, dan pedoman perilaku tentang 

penyiaran; memberikan sanksi terhadap pelanggaran 

peraturan dan pedoman perilaku tentang penyiaran; 

melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan 

Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. 

Tugas dan kewajiban KPI: menjamin hak masyarakat 

untuk memperoleh informasi yang layak dan benar 

sesuai dengan hak asasi manusia; ikut membantu 

pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; melakukan 

pengaturan persaingan yang sehat antarlembaga 

penyiaran; menjamin terpeliharanya tatanan informasi 

yang adil, merata, dan seimbang; menampung, 

meneliti, dan menindaklanjuti pengaduan, sanggahan, 

serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap 

penyelenggaraan penyiaran; menyusun perencanaan 

pengembangan sumber daya manusia yang menjamin 

profesionalisme di bidang penyiaran. 

23


sopirnya untuk menyerang dan memukul 

wartawan yang menulis berita tersebut. 

3.2.11 Pendapatan 

Sirkulasi dan tingkat penjualan eceren yang 

rendah menjadi kendala yang dihadapi media 

cetak di Sulawesi Tengah pada umumnya. 

Kebanyakan media memiliki jumlah pelanggan 

yang kecil, sistem distribusi yang rendah, dan 

pendapatan yang kurang memadai dari iklan. 

Satu hal yang kemudian dipertanyakan adalah 

independensi keredaksian, karena tugas 

pemasaran seringkali dirangkap oleh staf 

redaksi. Di media cetak, pendapatan terbesar 

dari iklan diperoleh lewat iklan ucapan selamat 

pada hari-hari raya nasional. 36 

Radio-radio siaran di Sulawesi Tengah 

pada umumnya menekan biaya operasional 

serendah mungkin. Biaya operasional tertinggi 

untuk radio siaran yang ditemui adalah Rp 15 

juta per bulan (diantaranya Rp 10 juta untuk 

gaji dan kegiatan operasional). Radio siaran 

swasta mengandalkan penjualan spot iklan 

nasional maupun lokal (sementara) sebagai 

sumber pendapatan. Hanya mereka yang 

memiliki jaringan pemasaran internasional 

yang dapat meraup berpendapatan yang lebih 

tinggi. Karena keterbatasan-keterbatasan inilah 

radio-radio siaran lokal seringkali tidak 

memiliki cukup dana untuk meliputi berita 

lokal sendiri. 

3.2.12 Kepemilikan, Kepegawaian dan 

‘Wartawan Amplop’ 

Sebuah korelasi dapat ditarik secara 

langsung antara independensi media dan 

kepemilikan serta orientasi kelembagaan 

media. Selain memiliki kepentingan bisnis, 

pemilik media dapat mempengaruhi kebijakan 

ruang redaksi dan sistem manajemen redaksi. 

Sejumlah suratkabar di Sulawesi Tengah, 

seperti Nuansa Pos dan Poso Pos adalah milik 

pribadi. Bentuk badan hukum media, termasuk 

yang berkepemilikan pribadi, biasanya adalah 

perseroan terbatas, kecuali Koran MAL, yang 

36 Sumber pendapatan terbesar media cetak lokal 

adalah iklan ucapan selamat, meski penjualannya 

bersifat insidensil. Iklan seperti ini terjual pada saat 

peristiwa tertentu saja, seperti pelantikan pejabat baru. 

Rekan kerja, rekan imbangan di lembaga lain atau 

mitra bisnis mereka lantas mengucapkan selamat lewat 

iklan. 

berbentuk yayasan (Yayasan Al Khairat 

Press). 37 

Secara teori, wartawan tidak selayaknya 

ikut terlibat dalam aspek bisnis dan 

administrasi usaha media, tetapi di Sulawesi 

Tengah wartawan ikut mencari iklan. Gaji 

standar (beberapa media masih membayar 

karyawan dengan sistem honor) dan 

manajemen yang lemah memungkinkan 

wartawan untuk menjalankan peran ganda ini. 38 

Sebagian besar media membayar karyawan 

mereka menurut standar UMR, walaupun 

tunjangan kesejahteraan seringkali tidak 

diberikan. Selain itu, banyak yang dibayar 

dengan sistem “ketengan” atau per tulisan. 

Tidak adanya tingkat gaji yang standar bagi 

wartawan memungkinkan masing-masing 

media untuk menetapkan tingkat gaji sendiri. 

Untuk menambah pendapatan, wartawan 

seringkali merangkap sebagai koresponden 

media nasional atau memiliki pekerjaan 

sampingan. Kondisi seperti ini berdampak 

secara langsung terhadap kapasitas lembaga 

media di Sulawesi Tengah. 

Fenomena ‘wartawan amplop’ menjadi 

topik yang makin hangat diperbincangkan di 

kalangan wartawan Sulawesi Tengah, 

meskipun hanya segelintir wartawan yang 

menyikapi pertentangan mereka atas praktek 

ini lewat komitmen tegas. Di lapangan, 

mayoritas wartawan tergantung pada bantuan 

dan suap, baik untuk mencukupi pemasukan 

maupun untuk mengakses sumber daya, seperti 

transportasi, sehingga memperlancar 

pekerjaan. Seorang wakil redaktur menyatakan 

bahwa sepanjang tidak berdampak terhadap 

kebijakan ruang redaksi dan cara peliputan, 

maka hal ini dapat diterima. 

3.2.13 Jender 

Jumlah wartawan perempuan di media 

cetak relatif terbatas dan tidak ada angka pasti 

mengenai jumlah redaktur perempuan. Budaya 

patriaki yang berkaitan dengan peran jender 

masih tampak jelas di media. Banyak 

pengelola berasumsi bahwa perempuan 

sebaiknya berada di kantor dan tidak turun ke 

lapangan untuk meliput berita. Meskipun 

jumlah perempuan yang bekerja sebagai 

penyiar radio jauh lebih tinggi, perempuan 

37 Lihat Lampiran 1. 


24


biasanya menempati posisi administratif. Porsi 

peliputan isu jender juga rendah. Hj Siti 

Haditjah Toana, seorang tokoh masyarakat di 

Sulawesi Tengah, mengatakan: 

“Saya sendiri masih melihat masalahmasalah 

perempuan tidak diangkat ke 

permukaan, terutama masalah kuota 30 

persen perempuan di parlemen perlu 

diperbincangkan. Kelihatan disini 

ketidakberpihakan media terhadap 

perempuan dan masalah perempuan di 

semua tempat.” 39 

3.3 Media Tradisional 

Sulawesi Tengah setidaknnya memiliki 

tiga suku asli, yakni Kaili, Lore dan Buol. 

Masing-masing komunitas terkonsentrasi 

dalam wilayah administrasi yang berbeda. 

Masyarakat Kaili terkonsentrasi di Kabupaten 

Donggal, Lore di Kabupaten Poso, dan Buol di 

Kabupaten Toli-Toli. Masing-masing 

sukubangsa ini memiliki bentuk lembaga lokal 

masing-masing. Sistem pelapisan sosial terdiri 

dari pelapisan sosial masa lalu dan pelapisan 

sosial masa kini. Ketika sistem pemerintahan 

dan agama belum mempengaruhi perubahan 

social, system social tersebut mampu 

mempertebal keyakinan, memberi imbalan, 

mengembangkan rasa malu, dan 

mengembangkan rasa takut. Kelompokkelompok 

ini juga mempunyai ikatan yang 

kuat dengan unsure-unsur alam yang 

mendukung kehidupan, yang berkaitan dengan 

tempat dan lingkungan mereka. Proses 

perubahan selama ini telah mengubah bentuk 

dan sifat sistem kesatuan hidup mereka yang 

menuntut pula perubahan-perubahan budaya 

yang kemudian menimbulkan keteganganketegangan. 

Masuknya budaya dari luar juga 

tidak membantu meredakan ketegangan.. 

Naskah penelitian bertajuk “Sistem Kesatuan 

Hidup Setempat Daerah Sulawesi Tengah” 

oleh Depdikbud pada tahun 1980 dan 1981 

mengetengahkan analisis tentang ancaman 

yang dimunculkan oleh ekses ini, karena 

perubahan semakin menghilangkan dan 

mengaburkan pranata sosial yang ada. 

Kabupaten Poso memiliki dua suku bangsa 

asli, yaitu Lore dan Pamona. Masyarakat Lore 

39 Wawancara dengan Hj Siti Haditjah Toana, tokoh 

masyarakat Sulawesi Tengah dan anggota Dewan 

Propinsi Sulawesi Tengah, 27 Mei 2004. 

terkonsentrasi di dua kecamatan, yakni 

Kecamatan Lore Utara dan Lore Selatan, yang 

mayoritas menganut agama Kristen Protestan 

dan Katolik. Mereka hidup bersebelahan 

dengan wilayah suku bangsa Pamona yang 

terkonsentrasi di Kecamatan Poso Pesisir. 

Masyarakat Lore cenderung mengelompok dan 

tinggal di perbukitan dengan bercocok tanam. 

Kemampuan mereka dalam mempengaruhi 

kebijakan, baik di tingkat kabupaten maupun 

provinsi, ada pada wilayah administrasi 

ibukota Kecamatan Lore Selatan, Tentena. 

Sedangkan masyarakat Pamona hidup sebagai 

nelayan dan mendiami wilayah Poso pesisir 

yang memiliki jalinan emosional dengan 

wilayah selatan dengan masyarakat migran dari 

sukubangsa Bugis, Makassar dan Gorontalo. 

Kemampuan mereka mempengaruhi 

kebijakan, baik di tingkat kabupaten maupun 

propinsi, ada pada wilayah administrasi Poso 

Kota. 

3.3.1 Forum Masyarakat Asli dan 

Upacara 

Kabupaten Poso terdiri dari 12 kecamatan 

(Poso Kota, Poso Pesisir, Lage, Lore Selatan, 

Lore Utara, Lore Tengah, Ampana Kota, 

Ulubongka, Tojo, Pamona Utara, Pamona 

Timur, Pamona Selatan). Di wilayah ini 

setidaknya terdapat lima masyarakat adat, yaitu 

Lore, Pamona, Baree, To po Ta, dan Tojo yang 

memiliki pranata yang sejak dulu telah berlaku 

di kalangan mereka. Sejak dahulukala konflik 

kerap terjadi antara raja-raja atau dalam hal ini 

panglima-panglima setempat, namun selalu 

ada mekanisme yang mampu secara alami 

mendinginkan suhu konflik. 

Sintuwu Maroso merupakan semboyan 

persatuan masyarakat Sulawesi Tengah. 

Kemudian ada juga yang disebut dengan 

Baruga, yaitu tempat untuk bertemu dan 

bertatap muka ketika ada permasalahan yang 

harus diselesaikan melalui adat yang kala itu 

masih berlaku. Perselisihan di antara penduduk 

dalam satu wilayah akan diselesaikan dengan 

Molibu. Konflik yang melibatkan dua wilayah 

atau lebih dan cenderung menjadi massal akan 

diselesaikan dengan ritual adat Kayori, yang 

berarti berbalas pantun, dan diakhiri dengan 

ritual Motambu Tana yang berarti mengubur 

masa lalu, dan sebagai lambang digunakan 

kepala kerbau. Pada zaman dahulu ritual ini 

dilakukan dengan mengorbankan manusia dari 

25


strata yang rendah (budak) oleh masing-masing 

pihak yang berselisih. Motambu Tana secara 

harfiah adalah forum untuk bertemu dan 

menyelesaikan masalah. 40 

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 

pada masa pemerintahannya sempat 

berkunjung ke Poso pada bulan Agustus 2002. 

Pada saat itu dilangsungkan Rujuk Sintuwu 

Maroso, yang terkenal dengan nama “Bersatu 

Kuat”, namun perhelatan sakral yang ditandai 

dengan penyerahan kesepakatan 14 ketua 

dewan adat Poso kepada presiden ini tidak 

efektif. 41 

Dero, suatu medium pertemuan (forum) 

sekaligus hiburan dan rekreatif ini, tak lagi 

teraktualisasi, apalagi ketika konflik pecah dan 

masyarakat kalangan Muslim yang 

kebanyakan berada di Poso Kota melarang 

kegiatan ini berlangsung. Dero merupak forum 

pertemuan berupa tarian bersama-sama dengan 

gerakan dinamis dan format koreografi yang 

dipahami semua kalangan masyarakat. Dero 

dilakukan dengan bergandengan tangan dan 

melingkar sebagai tanda kebersamaan. 

Sulawesi Tengah juga terkenal dengan 

festival Danau Poso, suatu pesta budaya yang 

sebelum konflik diadakan rutin setiap tahun. 

Perayaan ini terpaksa dihentikan karena alasan 

keamanan, karena warga Muslim merasa tidak 

aman untuk melintas wilayah Tentena yang 

mayoritas berpenduduk Kristiani. 

3.3.2 Migrasi, Pemerintah Lokal dan 

Agama Terorganisasi 

Proses migrasi (transmigrasi dan migrasi 

spontan/sukarela) yang berlangsung sejak 

puluhan tahun, membuat simbolisasi dan ritual 

ini semakin kehilangan makna. Selain itu, 

pranata dan adat atau nilai-nilai sosial yang 

pernah menjadi pegangan masyarakat setempat 

dalam mengatasi konflik nyaris atau bahkan 

hilang sama sekali. Mekanisme ini oleh Orde 

Baru telah diganti dengan sistem pemerintahan 

yang kita kenal pada tingkatan strata dusun 

atau kampung sebagai desa dengan 

pemerintahan desanya. 42 Medium pertemuan 

40 Diskusi bersama beberapa akademisi Untad di 

kantor P4K Untad. 

41 Tomy Waworundeng, Liputan Jurnalisme Damai: 

Kerusuhan Poso dari Dua Sisi, Makassar, ELSIM, 

2002, hlm. 105-112. 

42 UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. 

pun menjadi Balai Desa, yang dulu dikenal 

sebagai “Baruga”. 

Komunitas pesisir merupakan komunitas 

Muslim yang terkonsentrasi di Poso Kota dan 

sekitarnnya, sedangkan komunitas pedalaman 

kebanyakan adalah komunitas Kristiani. 

Konflik di wilayah ini terkonsentrasi di dua 

wilayah, yakni di Poso Kota yang berpenduduk 

masyarakat Muslim dan yang sebagian besar 

adalah pendatang dan di Kecamatan Pamona 

Utara dengan ibukota Kecamatan Tentena 

yang didominasi komunitas Kristiani. 

Sudah sejak lama, jauh sebelum terjadi 

konflik yang mengusung identitas agama, 

terjadi persaingan di berbagai sektor baik itu 

ekonomi, politik, sosial maupun budaya pada 

skala lokal. Masyarakat muslim, yang notabene 

adalah pendatang, tampil sebagai pedagang 

yang berhasil, sementara masyarakat Kristiani 

makin terdesak dalam persaingan. Hal ini 

tercermin dalam komposisi pemegang 

kekuasaan politik lokal (Pemda Kabupaten 

Poso) yang mayoritas di kuasai oleh kalangan 

muslim. Keadaan yang sangat rentan ini 

memudahkan pengganggu untuk memicu 

konflik komunal. 

Ketegangan akhirnya disalurkan lewat 

sentimen keagamaan dan bangunan gereja dan 

masjid menjadi sasaran tindak kekerasan. Pada 

waktu konflik, sejumlah tokoh agama dituding 

telah memicu tindak kekerasan atas nama 

pembelaan diri dan berdasarkan persepsi 

bahwa permusuhan sudah tertanam sejak 

dahulu dan konflik memang tak terelakkan 

lagi. Sementara di tahap pascakonflik, pada 

saat pihak-pihak yang bertikai dapat melihat 

situasi secara lebih jernih, pranata keagamaan 

cukup berperan dalam mendakwah toleransi 

dan pemahaman untuk menanggulangi 

ketegangan-ketegangan konflik. 

3.4 Teknologi Informasi Baru 

3.4.1 Telepon Genggam dan SMS 

Kemunculan telepon genggam di Sulawesi 

Tengah telah membawa perubahan besar 

dalam hal akses terhadap informasi, walaupun 

teknologi ini baru dapat dioperasikan di Poso 

sejak awal tahun 2004. Masyarakat Sulawesi 

Tengah, terutama di Kabupaten Palu dan Poso, 

kini sudah terbiasa dengan media 

26


telekomunikasi yang satu ini. 43 Kemampuan 

akses informasi secara cepat melalui HP 

menempatkan HP sebagai sumber komunikasi 

utama dan dimanfaatkan untuk komunikasi 

langsung antara dua individu. 

3.4.2 Internet 

Penggunaan Internet, terutama di Palu, 

sudah banyak digunakan. Menurut wawancara 

dengan pemangku kepentingan, Internet 

banyak digunakan oleh kalangan 

pemerintahan, akademisi, swasta, dan LSM 

(lokal maupun internasional). Kalangan media 

umum rata-rata telah memanfaatkan Internet 

sebagai alat komunikasi dan sumber informasi. 

Oleh masyarakat umum, terutama mahasiswa, 

Internet juga mulai digunakan sebagai sarana 

hiburan dan informasi. Masih sedikit kalangan 

perorangan yang memakai internet karena 

penyedia jasa internet memberlakukan tariff 

SLJJ. Di Poso akses ke jaringan Internet masih 

sangat terbatas karena Universitas Sintuwu 

Maroso (Unsimar) merupakan satu-satunya 

penyedia jasa Internet. 

3.4.3 Handy Talky 

Handy talky menjadi piranti komunikasi 

yang sering digunakan masyarakat setempat. 

Demografi Sulawesi Tengah yang sulit dan 

buruknya sinyal telepon genggam 

menempatkannya sebagai piranti yang banyak 

dipakai dalam berkomunikasi. Umumnya, 

anggota jaringan radio ini bernaung di bawah 

organisasi pengguna frekuensu radio amatir 

seperti RAPI atau ORARI Sulteng. Piranti ini 

juga sangat membantu koordinasi di lapangan. 

INFOKOM, 44 Biro Informasi dalam 

lingkungan Pemda Tk I Propinsi Sulawesi 

Tengah yang menangani hubungan masyarakat 

dan berkoordinasi dengan Satkorlak di bidang 

penanggulangan bencana dan konflik di Poso, 

sangat bergantung pada piranti komunikasi 

ini. 45 

43 Sinyal telepon genggam tidak begitu bagus di 

wilayah Poso Kota. 

44 

Biro INFOKOM (Informasi dan Komunikasi) 

adalah instansi dibawah kantor gubernur untuk bidang 

hubungan masyarakat. 

45 Wawancara dengan Haris Tandimuso, Koordinator 

Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan 

Bencana dan Pengungsi (Satkorlak PBP), 27 Mei 

2004. 

Sebagai contoh betapa sulitnya tugas 

Satkorlak dalam mengkoordinasi dan 

menyebarkan informasi adalah saat terjadi 

konflik Poso atau bencana alam. Seperti 

diutarakan Haris Tandimuso, Koordinator 

Satkorlak Sulawesi Tengah: 

“Kami memiliki jaringan kebawah yang 

setiap saat kejadian harus kami laporkan. 

Jika terjadi keterlambatan laporan dari 

kabupaten atau kecamatan maka kita 

mengakses berita pertama kali melalui 

koran lokal, kedua televisi, dan ketiga radio 

lokal” 46 

3.5 Arus Informasi 

3.5.1 Rumor dan Gosip 

Menurut sebagian orang yang 

diwawancara di Poso, gossip dan desas-desus 

beredar luas di masyarakat. Hal ini terungkap 

dari beberapa wawancara dengan pemangku 

kepentingan ataupun masyarakat umum. Gosip 

biasanya beredar di pasar, rumah, warungwarung 

makan, dan juga di deker-deker. 47 

Terutama kalangan muda-mudi yang gemar 

‘membagi gosip terbaru’ pada saat berkumpul. 

Selama konflik, gosip berbau SARA beredar 

dengan maraknya. 48 Rumor dan gosip tidak 

dapat dikendalikan dengan mudah, dan 

dampak yang ditimbulkan dapat dengan cepat 

menyulut ketegangan. Ustad Abdul Gani T 

Israil, Ketua Majelis Ulama (MUI) Kota Poso, 

menanggapi bahwa rumor membawa pengaruh 

besar terhadap jiwa manusia. Seperti dikatakan 

olehnya, dampak yang ditimbulkan sudah di 

luar batas kemanusiaan: 

“Saya sendiri yang menyaksikan dengan 

mata kepala sendiri bagaimana orangorang 

dibantai di tengah jalan. Hal ini 

bahkan dilakukan oleh kedua belah pihak” 49 

Tersebarnya isu-isu yang kebanyakan tidak 

memiliki dasar kuat (bukti) sangat mudah 

mempengaruhi masyarakat Poso. Ini terutama 

46 Wawancara dengan Haris Tandimuso, Koordinator 

Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan 

Bencana dan Pengungsi (Satkorlak PBP), 27 Mei 

2004. 

47 Deker merupakan istilah yang lazim digunakan 

masyarakat Sulawesi untuk tempat berkumpul dan 

duduk-duduk di atas beton pembatas parit. 

48 Wawancara dengan Brigda Sudirman, 26 Mei 2004. 

49 Wawancara dengan Ustad Abdul Gani T Israil, 

Ketua MUI Kota Poso, Ketua II Pengda Alchairaat 

Poso, Pengurus Pondok Pesantren Alkautzar Poso, 

Ketua MTsN Poso Pesisir, 28 Mei 2004. 

27


terjadi di Poso tempat akses terhadap media 

massa cukup problematis sehingga membuat 

masyarakat umum kesulitan untuk 

memverifikasi informasi dan menafsirkan 

suatu peristiwa secara lebih terandalkan, 

objektif, dan berimbang. Dilaporkan bahwa 

kurangnya informasi yang objektif 

menimbulkan perasaan tidakaman dan 

keyakinan bahwa komunitas masyarakat 

tertentu sedang diserang dan bahwa mereka 

perlu membalasnya. 

Ibu Mbose, warga Poso yang aktif dalam 

kegiatan-kegiatan perempuan di 

lingkungannya, mengaku bahwa masyarakat 

tidak mudah lagi mempercayai gosip yang 

beredar dan selalu berusaha mengkonfirmasi 

kebenarannya: 

“Saat konflik banyak rumor yang 

beredar dan pada saat itu juga masyarakat 

masih mudah terprovokasi, tapi sekarang 

tidak lagi. Yang kita lakukan sekarang 

banyak-banyak berdiskusi dan membuat 

kegiatan-kegiatan yang lebih mengarah 

kepada perbaikan ekonomi keluarga yang 

habis ketika konflik” 50 

3.5.3 Narasumber Utama 

Kalangan redaktur melaporkan bahwa ada 

empat kelompok narasumber utama, terutama 

untuk informasi yang berkaitan dengan konflik. 

Mereka adalah tokoh agama, militer, 

kepolisian, dan pemerintah. Anggota DPRD 

juga disebutkan namun pada umumnya 

pendapat mereka dianggap bias. 

Sekarang ini hubungan antara media dan 

narasumber utama cukup baik, meskipun 

banyak yang memilih amannya dan tidak 

memberi informasi pada saat standar profesi 

kewartawanan tidak terlalu menggembirakan. 

Seperti diutarakan oleh Amirullah Sia, Kepala 

Kesatuan Bangsa dan Perlindungan 

Masyarakat (Kesbang Linmas) Kabupaten 

Poso: 

“Objektif saja, ada beberapa media 

lokal yang kurang menarik dan tujuan 

bisnisnya itu lebih besar daripada 

bagaimana sebenarnya memberikan 

informasi kepada masyarakat” 51 

3.5.2 Media ke Konsumen 

Distribusi yang lemah dan terbaginya 

wilayah menjadi daerah Muslim dan Kristiani 

menyulitkan sirkulasi media cetak. Media 

terbitan kelompok masyarakat Muslim tidak 

dapat memasuki kelompok masyarakat 

Kristiani, begitu pula sebaliknya. Selain itu, 

daya beli yang lemah dan faktor geografis 

membatasi jangkauan media cetak ke daerahdaerah 

terpencil. Faktor geografis ini pula yang 

makin menyulitkan pemancar radio-radio 

siaran yang berkekuatan lemah untuk 

menjangkau penduduk di daerah-daerah 

terpencil. 

Meskipun akses media ke daerah-daerah 

yang rawan konflik telah membaik, akses 

terhadap media massa tetap lemah. Meskipun 

begitu, munculnya media alternatif, yang 

diprakarsai kemunculannya di tingkat lokal, 

telah sangat membantu dalam memperlancar 

arus informasi. 

50 Wawancara dengan Ibu Mbose, ibu rumah tangga, 

warga Desa Tagolu, Kecamatan Lage Poso, 26 Mei 

2004. 

51 Wawancara dengan Amirudin Sia, Kepala Kesatuan 

Bangsa Kabupaten Poso, 28 Mei 2004. 

28


4 Media dan Konflik di Maluku 

Ambon, wilayah perkotaan utama Maluku 

dan tempat tindak kekerasan terkonsentrasi 

selama konflik, memiliki luas wilayah 377 km 2 

dan jumlah penduduk 206.210 jiwa. Kota ini 

terbelah menurut garis agama, dengan 

kawasan-kawasan tertentu hanya berpenduduk 

orang Kristiani atau Muslim saja. 

Bab ini menyajikan tinjauan atas lima 

bidang kajian permasalahan untuk untuk 

Maluku, yaitu (i) media umum, (ii) media 








Kepulauan Maluku dulu pernah menjadi 

bagian dari Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya 

(Sumatera) sebelum masuknya agama Islam 

52 Informasi yang disajikan di bab ini diambil dari data 

yang dikumpulkan oleh ISAI pada tanggal 23 dan 30 

Juni 2004. Data tersebut adalah mengenai kinerja dan 

perkembangan media umum propinsi, alternatif, dan 

tradisional di Maluku, serta hasil kajian atas arus 

informasi yang mengalir dari media lokal dan nasional 

berikut pengaruh masing-masing atas masyarakat 

umum. Sampel yang terdiri dari sebelas responden 

yang mewakili pemangku kepentingan propinsi, tokoh 

masyarakat, tokoh agama, aparat keamanan, 

pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat umum 

memberikan masukan yang mendalam tentang peran 

media dalam kaitannya dengan konflik. Narasumber 

diwawancarai secara perorangan di lokasi-lokasi 

netral. Sejumlah kendala ditemui pada saat melakukan 

penelitian. Kendala tebesar adalah situasi keamanan di 

propinsi ini, apalagi karena kajian berlangsung tidak 

lama setelah ketegangan kembali terjadi di daerah itu. 

Sebagai contoh, seorang peneliti lokal, Mey Cresentya 

Rahail (Kristen), yang berteman dengan peneliti lokal 

Sahira Sangaji yang beragama Islam harus menjaga 

jarak setelah pihak luar mengancamnya jika mereka 

tetap bergaul. Situasi seperti ini sangat membatasi 

ruang gerak kelima peneliti lokal kajian ini dan 

sebagian besar kegiatan pengumpulan informasi 

berlangsung di Ambon. Ruang gerak di dalam kota 

Ambon sendiri pun terbatas, terutama dalam kaitannya 

dengan agama yang dianut masing-masing peneliti. 

53 

Pustaka: Encyclopaedia Britannica 1999, The 

Jakarta Post, OTI Field Report Indonesia (Juni 2000), 

Program on Humanitarian Policy and Conflict 

Research (Harvard University, AS), Human Rights 

Watch, Inside Indonesia, International Crisis Group. 

pada abab ke-15. 54 Bangsa Portugis memasuki 

wilayah ini pada awal abad ke-16 dan pada 

tahun 1599 bangsa Belanda mulai membuka 

permukiman di kepulauan tersebut. Pada tahun 

1667 Belanda berhasil menaklukkan Maluku. 

Selama abad ke-16 dan ke-17 Maluku menjadi 

sumber cengkeh, pala, dan fuli. Selama periode 

1796-1802 dan 1810-1817 Maluku dikuasi 

oleh Inggris, dan selama Perang Dunia II 

giliran Jepang yang mendudukinya. 

Maluku menjadi bagian dari Negara 

Indonesia Timur (NIT), sebuah negara otonom 

bentukan Belanda pada tahun 1945, dan tetap 

berada di bawah kedaulatan Belanda hingga 

tahun 1949. Dengan berdirinya republik 

kesatuan pada tahun 1950 sebagai pengganti 

negara serikat, Maluku Selatan berupaya untuk 

melepaskan diri. Pemberontakan dipimpin oleh 

penduduk Kristiani di Pulau Ambon dan 

mereka membentuk Republik Maluku Selatan, 

yang hanya bertahan sebentar, sebelum 

menyerahkan kedaulatan kepada Republik 

Indonesia yang baru merdeka. Semenjak itu 

tindak kekerasan etnis dan nasionalis sporadis 

meletup di pulau itu. Maluku merupakan satu 

propinsi tunggal dari tahun 1950 sampai 1999. 

Pada tahun 1999, Kabupaten Maluku Utara 

dimekarkan menjadi propinsi Maluku Utara. 

Konflik Terkini di Maluku 

Di Maluku, konflik kekerasan pertama 

meledak pada bulan Januari 1999 ketika di 

Kota Ambon sebuah perselisihan antara 

seorang penumpang beragama Kristen dan 

sopir angkot beragama Islam berkembang 

menjadi kerusuhan antara kelompok 

masyarakat Muslim dan Kristiani. Perkelahian 

dengan cepat menyebar ke pulau-pulau sekitar. 

Menurut berita-berita media nasional, gosip 

dan rumor yang tidak berdasar dan berlebihan 

memainkan peran yang sangat besar di sini. 

Pada masa-masal awal konflik, media lokal 

seringkali berhenti meliput untuk kurun-kurun 

54 Dari bahasa Arab “Al-Muluk” yang berarti “rajaraja”. 

Daerah ini oleh para saudagar asing dikenal 

sebagai “Kepulauan Rempah-rempah”. Kepulauan ini 

terdiri dari sekitar 1.000 pulau dengan jumlah 

penduduk yang mencapai 1,7 juta jiwa. Ibukota 

Maluku adalah Ambon di Pulau Ambon, sementara 

ibukota Maluku Utara adalah Ternate. 

29


waktu tertentu karena mendapat ancaman fisik 

atau peringatan dari pihak-pihak yang terlibat 

dalam konflik. Pada awal tahun 1999, tidak ada 

radio siaran lokal di Ambon yang beroperasi. 

Periode 18 bulan ke depan diwarnai oleh 

kerusuhan, pengrusakan ribuan tempat tinggal, 

mengungsinya sekitar 500.000 orang, jatuhnya 

ribuan korban jiwa, dan pemisahan antara 

penduduk Muslim dan Kristiani. Pada bulan 

Mei 2000, kelompok milisi Laskar Jihad tiba di 

Maluku Selatan pada saat ketegangan 

antarkelompok beragama terus meningkat. 

Pada bulan Juni 2000, Presiden 

Abdurrahman Wahid menyatakan 

diberlakukannya status darurat sipil dan pada 

bulan Juli sekitar 14.000 tentara telah berada di 

Maluku. Pada akhir tahun 2001, sebuah proses 

rekonsiliasi mulai membuahkan hasil. Titik 

balik adalah pertemuan pada bulan Desember 

2001 antara sekitar 200 tokoh Muslim dan 

Kristiani di Yogyakarta untuk menjajal 

kemungkinan dicapainya rekonsiliasi di 

Maluku. 

Pada tahun 2002 konflik Ambon 

memasuki tahap baru ketika kelompokkelompok 

bersenjata yang bertikai mulai 

meredakan aksi mereka. Pada saat yang 

bersamaan, pada bulan Februari 2002 

pemerintah melakukan terobosan lewat 

kesepakatan perdamaian yang dicapai di 

Malino (sebuah kota di Kabupaten Gowa, 

Sulawesi Selatan). Kedua belah pihak 

menyepakati sebelas butir, dengan pasal yang 

paling penting adalah penghentian kekerasan, 

pemulangan pengungsi ke tempat asal, dan 

pematuhan hukum. 55 

Seiring dengan meredanya situasi di 

seluruh daerah propinsi, terkecuali di Kota 

Ambon, masyarakat mulai kembali ke tempat 

asal. Walaupun telah dilakukan berbagai 

perundingan dan penandatanganan 

kesepakatan perdamaian pada bulan Februari 

2002, ketegangan di Pulau Ambon tetap tinggi 

sampai akhir tahun 2002, yaitu pada saat 

terjadinya ‘pembauran’ kelompok-kelompok 

yang semula bertikai sehingga menghasilkan 

perdamaian yang walaupun sporadis pada 

umumnya tumbuh makin stabil. 

Pada bulan April 2004, ketegangan 

kembali muncul di Ambon menjelang tanggal 

55 Eriyanto, Media dan Konflik Ambon, Jakarta, Radio 

68H-MDLF, 2003, hlm. 171. 

25 April, yaitu tanggal perayaan HUT RMS, 

ketika anggota-anggota Front Kedaulatan 

Maluku (FKM) menaikkan bendera RMS 

(FKM memiliki anggota yang beragama Islam 

maupun Kristen). Meskipun penyebab dan 

pemicu kekerasan belum jelas, dampaknya 

adalah bahwa ketegangan kembali muncul 

antarmasyarakat di propinsi itu. 

4.2 Media di Maluku 

Sekarang ini, sejumlah besar media lokal di 

Maluku diselenggarakan menurut garis-garis 

sektarian, dan telah menuai banyak kritik 

karena pemberitaan yang bias dan provokatif. 

Contoh yang paling jelas adalah Radio Suara 

Perjuangan Muslim Maluku, radio yang 

dikendalikan Laskar Jihad yang menyiarkan 

materi yang sangat provokatif. 


Selain media lokal, masyarakat umum di 

Maluku (terutama di Ambon) juga 

memperoleh informasi dari media nasional. 

Harian nasional yang beredar di Ambon adalah 

Media Indonesia dan Kompas. Kedua 

suratkabar tersebut tiba di Ambon sekitar pukul 

9 atau 10 pagi WIT. Di Ambon tidak ada 

suratkabar dari kota-kota propinsi tetangga, 

seperti Makassar dan Manado. 

Siaran stasiun-stasiun televisi nasional 

dapat diterima di daerah ini. Masyarakat 

setempat dapat menyaksikan program-program 

siaran TPI, SCTV, Indosiar, Metro TV, dan 

stasiun televisi nasional lainnya lewat satelit. 

Di beberapa daerah, seperti Urimesing, Hatalai, 

dan Negeri Lama, dapat diterima siaran dari 

stasiun TVRI setempat yang selain meliput 

berita daerah juga merelay program berita dari 

Jakarta. 


Media cetak di Ambon mengalami 

pertumbuhan seiring dengan adanya UU Pers 

yang memberikan lebih banyak ruang gerak. 

Pada tahun 2002, di Ambon muncul sejumlah 

media cetak dengan sekitar 13 suratkabar yang 

mewakili masyarakat masing-masing terbit 

secara rutin. Di kelompok masyarakat Kristiani 

terbit 10 suratkabar harian maupun mingguan, 

yaitu Bela Reformasi, Dhara Pos, Masnait, 

Seram Pos, Suara Maluku, Siwalima, Tragedi 

Maluku, Tual Pos, Dewa, dan Metro. Ambon 

Ekspres dan Info Baru merupakan suratkabar 

30


yang membidik kelompok masyarakat Muslim. 

Metro dan Info Baru mengaku dirinya sebagai 

media netral. Selama masa penelitian, hanya 

Ambon Ekspres, Suara Maluku, Siwalima, 

Info Baru, Metro, Dewa, Koran Info, dan 

Ekspresi (media alternatif) yang terbit secara 

teratur di propinsi ini. 

Harian Siwalima, dengan semboyan 

“mendahulukan persatuan dan persaudaraan”, 

terbit untuk pertama kali pada bulan Oktober 

1999. Menurut Fredom Toumohu, redaktur 

pelaksana harian tersebut, Siwalima digagas 

oleh beberapa tokoh Kristiani dan Muslim 

yang ingin mempersatukan kembali kedua 

kelompok masyarakat yang bertikai. Tokohtokoh 

dari kedua belah pihak hadir pada saat 

Siwalima didirikan (termasuk isteri mantan 

gubernur Maluku Dr. Saleh Latuconsina yang 

menjadi salah satu pendirinya). Hanya saja, 

karena didistribusikan di kelompok masyarakat 

Kristiani, harian ini dipandang sebagai 

suratkabar Kristiani. Susah untuk menemukan 

harian ini di kelompok masyarakat Muslim, 

kecuali di tempat-tempat netral seperti 

perkantoran pemerintahan tempat ia dapat 

dibaca bersama terbitan lainnya. 

Ambon Ekspres, yang juga diluncurkan 

selama konflik pada bulan Juli 1999, pada 

awalnya adalah milik Grup Jawa Pos. 

Kebanyakan staf redaksi Ambon Ekspres 

merupakan mantan wartawan Suara Maluku 

yang mengundurkan diri karena tekanan yang 

berkaitan dengan konflik. Pada waktu itu, 

suratkabar mingguan ini dicetak di kota 

Makassar. Berita, tergantung pada situasi, 

dikirim lewat udara atau laut. Pada saat-saat 

damai, laporan berita disimpan dalam disket 

dan dikirim dengan pesawat terbang yang lepas 

landas dan mendarat di daerah yang 

dikendalikan kelompok masyarakat Kristiani. 

Pada saat konflik memanas, redaksi memilih 

kapal laut karena pelabuhan Ambon berlokasi 

di daerah yang dikendalikan kelompok 

masyarakat Muslim. 

Suara Maluku terbit untuk pertama kali di 

Ternate pada tahun 1956 dan merupakan salah 

satu harian tertua di propinsi ini. Pada tahun 

1990-an, Suara Maluku, dengan semboyan 

“Bersama mengembangkan Masyarakat yang 

Adil dan Sejahtera”, pindah ke Ambon. Secara 

bertahap harian ini beralih ke format halaman 

lebar dan mengusung semboyan baru yang 

berbunyi “Dari Maluku untuk Indonesia Baru”. 

Pada bulan Mei 1990, Yayasan Suara Maluku 

mulai menjalin kerjasama dengan Grup Jawa 

Pos, tetapi pada bulan Juni 2003 Suara Maluku 

memutuskan untuk memisahkan diri dari grup 

ini. Menurut redaktur pelaksana Suara Maluku, 

Novi Pinontoan, ketidakcocokkan antara 

keduanya berawal dari tindakan manajemen 

Jawa Pos yang konon memaksa Suara Maluku 

untuk mengubah nama menjadi Maluku 

Ekspres. Hal lain yang konon menyebabkan 

perpisahan tersebut adalah keputusan 

manajemen Jawa Pos untuk mendukung 

mantan wartawan Suara Maluku yang 

beragama Islam membentuk Ambon Ekspres. 

Koran Metro dibentuk pada bulan 

November 2003 pada saat situasi di Ambon 

sudah lebih kondusif. Sarana keredaksian 

harian ini cukup terbatas. Mereka hanya 

memiliki enam komputer, dua mesin printer, 

dan satu kamera untuk 10 pegawai (enam di 

bagian redaksi, dua di bagian sirkulasi dan 

pemasaran, dan dua di bagian periklanan). 

Harian terbaru adalah Dewa, yang dibentuk 

pada bulan Januari 2004. Semboyannya adalah 

“Kritis, Objektif, dan Rasional”.Dewa dibentuk 

oleh para mantan pegawai harian Siwalima. 

“Pada waktu itu kami disangka tidak waras. 

Terus terang, kami memulai harian ini hanya 

dengan idealisme dan modal pas-pasan. Tetapi 

puji Tuhan, Dewa masih eksis sampai hari ini,” 

ujar salah seorang staf redaksi. 56 


Di Ambon tidak terdapat media cetak 

alternatif yang terbit secara teratur. Baik Info 

Baru maupun tabloid Ekspresi mengaku 

sebagai media alternatif, walaupun jika 

merujuk ke definisi di bagian 1.1, mereka lebih 

merupakan media umum. Media alternatif 

menghadapi kendala keuangan, SDM, dan 

distribusi sehingga menyulitkan mereka untuk 

memberi dampak yang nyata. Selain itu, 

majalah atau media lokal yang diterbitkan oleh 

lembaga-lembaga swadaya masyarakat dengan 

tujuan menyuarakan perdamaian di Maluku 

hanya sedikit jumlahnya. Menurut survei, 

minat masyarakat terhadap jenis media ini 

adalah rendah. 

Media alternatif selama konflik memanas 

adalah Internet, tempat munculnya situs-situs 

yang menyajikan berita-berita provokatif dan 

56 Wawancara dengan redaktur suratkabar Dewa. 

31


mengaku berbicara atas nama kelompok agama 

tertentu (seperti dijelaskan lebih lanjut di 

4.4.2). Meskipun demikian, mayoritas situssitus 

tersebut tutup setelah konflik. 


Dhara, DMS, Gelora Merpati Nusantara, 

Manusela, RRI, Sangkakala, dan Yournex 

merupakan radio siaran yang terdapat di 

Maluku. Mereka berlokasi di daerah kelompok 

masyarakat Kristiani. Di daerah kelompok 

masyarakat Muslim ada radio Kabaresi, Naviri, 

SPMM, dan Suara Pelangi. 57 Meski begitu, 

tidak semua media cetak dan penyiaran yang 

disebutkan di atas bertahan hingga tahun 2004. 

Sebelum terjadi konflik terbuka pada bulan 

Januari 1999, di Ambon terdapat tiga stasiun 

radio (tidak termasuk RRI), yaitu Sangkakala, 

Manusela, dan Gelora Merpati Ambon. 

Sangkala dibentuk pada tahun 1994. Sebagian 

besar materi siarannya adalah berita 

keagamaan dan khotbah gereja. Gelora Merpati 

dan Manusela merupakan radio hiburan. 

Setelah tahun 1999, di Ambon berdiri lima 

stasiun radio baru, yaitu Dutama Musik Serasi 

(DMS), Naviri (yang menyiarkan dakwah, lagu 

dan pengajian), Yournex (berita keagamaan), 

Bhara (umum), dan Suara Perjuangan Muslim 

Maluku (SPMM) – yang menurut laporan 

dikendalikan oleh Laskar Jihad dan 

menyatakan berjuang untuk Islam di Ambon. 

SPMM secara rutin menyiarkan ‘tabligh akbar’ 

(dakwah dan pengajian) untuk mendorong dan 

menyemangati semangat masyarakat Muslim 

untuk melawan masyarakat Kristiani. 

Seringkali pendengar masyarakat Kristiani 

melihat tabligh akbar sebagai seruan untuk 

melakukan kekerasan terhadap orang Kristiani. 

Tokoh-tokoh masyarakat Kristiani bahkan 

meminta Gubernur Maluku untuk mencekal 

radio tersebut. 58 

4.2.5 Isi Pemberitaan 

Konflik yang mereda telah memberi media 

di Maluku ruang gerak keredaksian yang lebih 

leluasa. John S. Uhurella, Raja Negeri Desa 

Tuhulele, menyatakan bahwa kekebasan pers 

di Ambon sudah jauh lebih baik dibanding 

pada tahun 1999 hingga 2001. Menurutnya, 


58 Media dan Konflik Ambon (ISAI, Eriyanto, Jakarta 

2003). 

berita sekarang lebih baik dan bertanggung 

jawab. 

“Wartawan sekarang mungkin sudah capek 

dengan berita provokatif. Berita sekarang 

ini lebih damai. Bahkan pada saat 

terjadinya konflik RMS, berita yang muncul 

sangat netral” 59 

Sebagian besar pemimpin redaksi dan 

pemilik yang diwawancarai mengaku memiliki 

motivasi untuk menciptakan media yang netral 

dan membantu penanggulangan dan 

penyelesaian konflik. Hanya saja, kenyataan di 

lapangan menunjukkan bahwa hal ini sulit 

untuk dicapai karena antara lain 

profesionalisme yang lemah, sumber daya 

yang kurang memadai, akses terhadap 

informasi yang buruk, dan tekanan masyarakat 

umum. 

Pemimpin redaksi Suara Maluku mengaku 

bahwa meskipun mereka dituding sebagai 

terbitan umat Kristiani, mereka telah 

menempuh berbagai cara untuk menjaga 

keberimbangan berita. Staf redaksi mereka 

juga telah berpartisipasi dalam sejumlah 

pelatihan mengenai penyelesaian konflik dan 

jurnalisme damai. Meski begitu, mereka 

merasa bahwa mereka tidak memiliki 

kemampuan yang cukup untuk menyikapi 

secara memadai munculnya kembali konflik 

seperti yang terjadi pada bulan April 2004. 

Sejumlah staf redaksi di Ambon turut 

menyatakan bahwa mereka tidak akan 

memberitakan insiden-insiden yang berpotensi 

memperburuk kerusuhan. Meskipun demikian, 

dalam prateknya hal ini sulit, seperti dikatakan 

seorang staf redaksi: 

“Prosesnya sangkat rumit, apalagi dalam 

situasi konflik. Saya selalu berpesan kepada 

wartawan-wartawan saya bahwa meskipun 

preferensi pribadi mempengaruhi penulisan 

berita, jangan sampai menjadi subjektif 

secara keseluruhan” 

Staf redaksi Koran Metro mengatakan 

bahwa seringkali sulit untuk mencegah 

wartawan menumpahkan emosinya ke dalam 

penulisan berita. Seperti yang dikatakan Aner 

Leunufna: 

“Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi 

Maluku sangat sensitif. Mungkin tidak kita 

sadari, tetapi luapan emosi dari masing- 

59 Wawancara dengan John S Uhurelle, Raja Negeri 

Tuhulele Ambon, 10 Juni 2003. 

32


masing kelompok masyarakat berpindah ke 

wartawan dan dari sana ke berita yang 

ditulisnya. Itu kenyataan” 60 

Sebagian besar radio siaran di Ambon 

memiliki tiga jenis program berita. Mereka 

mengutip berita dari media cetak di Ambon, 

memproduksi program mereka sendiri atau 

merelay program nasional/internasional, dan 

memancarluaskan siaran langsung atau siaran 

tunda dari masjid, gereja, tablik akbar, dan 

sebagainya. 61 

Diantara radio-radio siaran, hanya Duta 

Musik Suara (DMS) dan Pelangi yang telah 

berupaya untuk menyikapi isu-isu konflik. 

Tetapi sebagian besar radio lebih suka untuk 

merelay berita dari dalam dan luar negeri dari 

jaringan seperti BBC, KBR 68H, dan RRI. 

Alasannya adalah karena hal ini lebih murah 

daripada membiayai wartawan untuk meliput 

berita-berita lokal. Alasan lainnya adalah 

keterbatasan sumber daya operasional. Selain 

itu, media yang menjadi bagian dari jaringan 

seperti Grup Jawa Pos dan Radio, KBR 68 H, 

BBC, VoA, dan sebagainya, tampil lebih 

unggul. 

Di Maluku telah diselenggarakan sejumlah 

kegiatan pelatihan jurnalisme damai. Dalam 

hal ini AJI telah menjalin kerjasama dengan 

British Council. Di Ambon, AJI juga 

membentuk Maluku Media Center (MMC), 

yang melakukan monitoring tidak langsung 

atas media di Ambon. 


Sejumlah besar media telah berusaha untuk 

meningkatkan mutu redaksi mereka dengan 

merekrut staf dengan latar belakang pendidikan 

perguruan tinggi. Pemimpin redaksi Ambon 

Ekspres memberitahu kepada tim pengkaji 

bahwa pada saat ia merekrut wartawan baru, 

seringkali ia harus mengajari mereka mengetik 

di komputer dan ketrampilan dasar jurnalisme. 

Seperti dikatakan seorang staf redaksi: 

“Susah mencari wartawan di sini. Di 

Ambon, profesi wartawan kurang diminati 

karena rendahnya pendapatan” 

Kebanyakan wartawan di Ambon sekarang 

bergelar S1. Di Ambon Ekspres, hanya satu 

60 

Wawancara dengan Aner Leunufna, redaktur 

pelaksana Koran Metro, 1 Juni 2004. 

61 Media dan Konflik Ambon (ISAI, Eriyanto, Jakarta 

2003). 

dari sepuluh wartawan yang tidak menamatkan 

studinya. Sebagian besar karyawan bagian 

layout dan percetakan adalah lulusan SMU. 

Staf redaksi Ambon Ekspres sudah terlatih 

dengan baik karena jalinan kerjasama mereka 

dengan Grup Jawa Pos, yang secara teratur 

mengadakan pelatihan di Makassar dan 

Surabaya. Sejumlah wartawan juga secara rutin 

mengikuti pelatihan yang diselenggarakan 

badan-badan keprofesian, seperti PWI, AJI, 

dan Elsim (Makassar). 

Di Suara Maluku, lima dari delapan 

wartawan (termasuk pemimpin redaksi) 

bergelar S1. 62 Tiga yang lainnya masih duduk 

di bangku kuliah. Menurut pemimpin redaksi 

Novi Pinontoan sulit untuk mendapatkan 

wartawan bergelar S1 yang siap pakai. Karena 

itulah mereka membuka kesempatan bagi 

mahasiswa untuk bekerja pada mereka. 

Dengan cara ini mereka dapat dilatih oleh 

media tempat mereka bekerja. 

Di Siwalima, enam dari 12 staf redaksi 

bergelar S1. Sisanya lulusan SMU. Menurut 

Fredom Toumohu, redaktur pelaksana 

Siwalima, sejumlah wartawan telah dilatih oleh 

AJI di bidang penulisan berita, teknik peliputan 

berita, dan cara penulisan pada saat konflik 

sedang berlangsung. 

Di Dewa, lima wartawan telah 

menamatkan studi S1, D3, dan SMU. 

Meskipun demikian, pemimpin redaksi 

Marthin Langoday tetap yakin dengan 

kemampuan stafnya. Pelatihan yang 

diselenggarakan organisasi-organisasi nasional 

dan internasional telah sangat membantu dalam 

mengembangkan kemampuan wartawan 

mereka. Seperti dikatakan olehnya: 

“Kebanyakan wartawan kami telah 

mengikuti pelatihan, baik mengenai 

jurnalisme damai, peran wartawan di 

daerah konflik yang diadakan British 

Council, teknik penulisan dan peliputan oleh 

AJI, atau bahkan cara meliput proses 

pemilihan” 

Koran Metro memiliki enam staf redaksi 

(termasuk pemimpin redaksi), dan empat 

diantaranya bergelar S1. Tetapi tak seorang 


33


pun yang telah mengikuti pelatihan jurnalisme, 

biarpun pelatihan ditawarkan secara gratis. 

Secara garis besar ditemukan bahwa 

kemampuan wartawan yang secara bertahap 

membaik di daerah propinsi ini sangat dibantu 

oleh kegiatan pelatihan yang secara kontinyu 

diadakan oleh badan-badan keprofesian dan 

institusi-institusi internasional. 


Praktisi media menghadapi isu 

keselamatan yang cukup serius di Ambon. 

Tekanan tidak saja dilancarkan oleh 

masyarakat yang tidak puas dengan isi 

pemberitaan, tetapi juga oleh pemerintah, yang 

ditengarai kurang bersahabat terhadap media. 

Meskipun demikian, dalam dua tahun terakhir 

tekanan atas media telah sedikit banyak 

berkurang dibanding semasa puncak konflik 

antara tahun 1999 sampai 2001. 

Konflik juga telah memaksa banyak media 

untuk memindahkan kantor mereka ke daerah 

hunian masyarakat yang tidak menyikapi 

mereka dengan permusuhan. Elly Sutrahitu, 

pemimpin umum Suara Maluku, menyatakan 

bahwa sulitnya mengatasi trauma konflik 

memaksa manajemen untuk memindahkan 

kantor pada bulan Oktober 2003 ke daerah 

yang lebih “aman”, dalam hal ini daerah 

kelompok masyarakat Kristiani. 

Keselamatan media masih terancam hingga 

sekarang. Pada saat letupan kekerasan terakhir, 

tokoh kelompok anti-RMS Salim Said 

Bahasoan meminta TNI untuk menahan 

pemimpin redaksi Siwalima Selfanus Latekay, 

yang menurutnya mendukung RMS. Konon 

hal ini mengejutkan Selfanus Latekay karena 

mereka telah berupaya untuk menjaga 

keberimbangan berita. Katanya: 

“Kami lantas berkesimpulan bahwa dalam 

kondisi konflik [terlepas dari isi berita] tidak 

satupun media yang murni dianggap 

objektif” 


PWI merupakan satu-satunya organisasi 

profesi bagi wartawan yang memiliki cabang 

di Ambon. Wartawan generasi muda 

dilaporkan kurang tertarik untuk bergabung. 

Secara garis besar, wartawan-wartawan muda 

di Ambon tidak setuju dengan keterlibatan 

PWI dengan Orde Baru dan mereka 

beranggapan bahwa organisasi tersebut lamban 

dalam mengikuti tren-tren terkini. PWI juga 

dipandang didominasi oleh generasi wartawan 

senior yang tidak begitu aktif. 

AJI Ambon belum terbentuk. Meskipun 

demikian, AJI telah mendukung pembentukan 

MMC. AJI, melalui MMC, juga melakukan 

advokasi bagi wartawan dan mendukung 

proses rekonsiliasi lewat jurnalisme damai. 

Selain media cetak, sejumlah besar wartawan 

media penyiaran juga menjadi anggota MMC. 

MMC diprakarsai oleh AJI dan gerakan 

perdamaian Baku Bae dengan maksud 

mendamaikan kelompok masyarakat Muslim 

dan Kristiani. Wartawan-wartawan berhasil 

membentuk media centre gabungan di zone 

netral di Mardika, yang menjadi tempat bagi 

wartawan untuk bertemu dan berbagi 

informasi, menanggulangi bahaya pekerjaan, 

dan membina relasi. Pada bulan Agustus 2003, 

MMC diserang oleh sekelompok pemuda yang 

bermaksud membalas kawan mereka yang 

mereka klaim telah dipukuli di lokasi itu. 

MMC didirikan oleh AJI dan Baku Bae 

dengan dukungan dari British Council dengan 

konsep mempertemukan wartawan Kristiani 

dan Muslim, memonitor dan mengadvokasi 

dan menyikapi konflik. Secara bertahap, MMC 

mulai menyelenggarakan pelatihan dan 

menyebarkan peliputan mengenai situasi 

provinsi untuk media nasional dan 

internasional. Pada tahun 2001, sejumlah 

wartawan di Maluku mengadakan rapat 

perencanaan strategis MMC tempat mereka 

merumuskan misi MMC: 

1. Mengkampanyekan peningkatan 

profesionalisme wartawan melalui 

pelatihan dan pendidikan. 

2. Mendukung peningkatan profesionalisme 

wartawan melalui pelatihan dan 

pendidikan. 

3. Membantu dan mediasi praktek jurnalisme 

damai. 

4. Advokasi untuk wartawan. 

Selain itu, di bawah naungan MMC, 

masyarakat wartawan Maluku menyatakan 

sikap mereka untuk mendukung perdamaian 

lewat pernyataan empat butir berikut: 

1. Kami, wartawan Maluku, berjanji untuk 

mendorong proses rekonsiliasi dan 

perdamaian di Maluku. 

34



memprioritaskan pemberitaan yang 

menyejukkan dan bukan memprovokasi. 


menjalani profesi wartawan secara 

profesional. 

4. Memaklumatkan pemerintah dan aparat 

keamanan untuk menyelesaikan masalah 

separatisme, kekerasan, dan teror dengan 

menegakkan hukum secara konsisten. 

Sekarang ini, MMC telah mengadopsi 

peran yang mirip dengan YLKI dalam hal 

menampung pengaduan. MMC juga 

memperingatkan media yang ditengarai 

melanggar standar keprofesian atau merugikan 

narasumber dengan menerbitkan berita yang 

tidak bertanggung jawab. 

PRSSNI memiliki cabang di Ambon yang 

menurut laporan tidak begitu aktif. Di propinsi 

Maluku tidak terdapat layanan seperti YLKI 

yang memperjuangkan kepentingan konsumen. 

Menurut laporan, SPP tidak terlalu aktif di 

propinsi ini, meski menurut teori lembaga ini 

mengemban peran penting dalam 

memperjuang hak wartawan (terutama yang 

menyangkut gaji, subsidi, dan sebagainya). 

4.2.9 Kebijakan dan Perundang- 

Undangan Media 

Kasus-kasus yang berkaitan dengan media 

cenderung disidik dengan pasal-pasal KUHP, 

yang bertentangan dengan UU Pers (No. 40 

tahun 1999). Selain itu tidak ada ombudsman 

independen di tingkat lokal yang khusus 

memonitor dan mengadvokasi isi pemberitaan 

dan pelanggaran media lokal. Dewan Pers di 

Jakarta, sebagai lembaga pengawas, fungsinya 

terbatas karena mereka hanya menerima 

tinjauan kasus dan menyediakan dukungan. 

Media elektronik (radio) setali tiga uang. 

KPI, yang bertugas mengendalikan praktek 

media penyiaran, belum terbentuk, sehingga 

menciptakan lingkungan media tanpa aturan 

yang rentan manipulasi dan kurang mampu 

memainkan peran yang profesional. 

4.2.10 Kasus Hukum dan Tekanan 

Eksternal 

Media di Ambon seringkali mengalami 

tekanan dari kelompok-kelompok tertentu yang 

merasa tidak puas dengan isi pemberitaan. 

Tekanan yang dilancarkan lazimnya berbentuk 

protes, termasuk pengaduan kepada polisi dan 

tindak kekerasan. 

Sebagai contoh, sewaktu konflik memanas 

pada bulan Agustus 2001, gubernur Maluku 

Saleh Latuconsina menginstruksikan agar 

media membatasi peliputan tentang FKM 

pimpinan Alex Manuputty. Alasannya adalah 

bahwa berita mengani FKM dapat 

mempengaruhi kondisi keamanan. Gubernur 

bahkan mengancam akan menempuh jalur 

hukum seandai wartawan berserikeras meliput 

FKM dan kegiatan-kegiatannya. Maklumat 

darurat sipil No. 09a/PDSDM/IV/2001 tanggal 

17 April 2001 diedarkan di media. Pada saat 

yang bersamaan, Polis Joris (Suara Maluku) 

dan Lavy Kariu (Siwalima) melakukan 

perjalanan dinas ke Pulau Seram untuk meliput 

sebuah pertemuan rekonsiliasi. Sewaktu di 

laut, Joris dan Kariu konon tidak menyadari 

bahwa mereka satu kapal dengan Alex 

Manuputty. Pada saat speedboat melabuh, 

mereka dilaporkan terkejut dan keduanya 

memutuskan untuk tetap berada di pulau 

tersebut karena cukup riskan untuk berada 

dalam satu kapal dengan pemimpin FKM. Joris 

dan Kariu lantas melaporkan kehadiran 

pemimpin FKM itu ke polisi, tetapi segera 

setelah mereka meninggalkan kantor polisi 

mereka ditendangi dan dipukuli oleh anggota 

TNI yang mencurigai mereka sebagai 

simpatisan FKM. 

Pada saat ini, sebagian besar tekanan 

terhadap media dilancarkan oleh mereka yang 

merasa nama atau perjuangan mereka telah 

dicemarkan. Hanya saja, hampir tidak ada 

kasus yang dibawa ke pengadilan. Kebanyakan 

kasus diselesaikan lewat ‘Surat untuk 

Redaktur’. Salah satu tekanan terbesar yang 

konon dihadapi oleh media cetak dan 

penyiaran adalah yang dilancarkan aparat 

keamanan atau pejabat pemerintah dengan 

tudingan bahwa media telah menyiarkan berita 

provokatif. Edmon Tupan, seorang reporter 

TVRI di Ambon, seperti yang dilaporkan, 

menjadi korban tindak kekerasan oleh aparat 

keamanan pada saat meliput kerusuhan di 

Urimessing dan Ponegoro. 63 

63 Media dan Konflik Ambon (Eriyanto, Jakarta, 

2003). 

35



Salah satu hal yang menjadi keprihatinan 

media di Maluku adalah tidak adanya pasar 

yang kuat. Investor enggan untuk menanamkan 

modal dalam mesin-mesin percetakan (karena 

mahal), percetakan enggan dibayar secara 

kredit oleh penerbit (mereka lebih suka 

pembayaran tunai), dan media yang baru 

muncul kesulitan bersaing karena agen-agen 

lebih menyukai suratkabar-suratkabar yang 

lama. 

Konflik juga telah mengebiri pasar iklan di 

Maluku. Para pemasang iklan utama adalah 

pemerintah daerah, dan organisasi-organisasi 

nasional dan internasional yang bergerak di 

bidang penanganan konflik. Sebagai contoh, 

satu media cetak hanya memperoleh Rp 6-7 

juta per bulan dari iklan. 

Media cetak bertahan hidup dengan 

mengandalkan sekitar 30 persen penduduk 

Ambon dan Kabupaten Tual, Masohi, Dobo, 

Namlea, dan Maluku Tenggara Barat (MTB). 

Kebanyakan eksemplar dijual secara eceran 

dan bukan lewat berlangganan. Menurut Novi 

Pintontoan, penjabat pemimpin redaksi Suara 

Maluku, sistem ini lebih efektif mengingat 

tidak adanya jaminan keamanan di Ambon. 

Selama kerusuhan tahun 1999, Suara Maluku 

kehilangan sekitar 3.000 pelanggan yang 

mengungsi ke luar daerah. Waktu itu mereka 

tidak sempat lagi membayar biaya 

berlangganan. 

Setelah konflik, Ambon Ekspres 

dilaporkan merupakan satu-satunya media 

yang bertahan hidup dengan tirasnya yang 

berjumlah 6.000 eksemplar. Menurut Ahmad 

Ibrahim, mereka dapat menjual Ambon 

Ekspres ke 5.600 pembaca, dengan 3.000 

pembaca berada di Ambon dan 1.200 pembaca 

lainnya tersebar di daerah lainnya seperti 

Masohi, Tual, Dobo, dan Namlea. Dengan 

begitu Ambon Ekspres berhasil mencapai titik 

impas. 64 Media lain, seperti Suara Maluku, 

mendapat pukulan lebih telak dalam hal 

sirkulasi. Akibat konflik, tiras suratkabar ini 

anjlok dari 11.000 menjadi 1.200-1.500. 

Suratkabar lainnya, seperti Siwalima, 

memiliki tiras 4.000 eksemplar. Siwalima 

memilih untuk menggunakan fasilitas 

Percetakan Negara. Sebagian besar eksemplar 


didistribusikan melalui agen-agen di Kota 

Ambon. Suratkabar ini juga dapat ditemui di 

Kabupaten Saparua, Tual, MTB, dan Masohi. 

Suratkabar Info Baru memilih untuk 

memasarkan produknya khusus di Ambon. 

Menurut Mochtar Touwe, mereka berupaya 

untuk menarik pelanggan di dalam kota dan 

bukan di luar kota. Sekarang ini, tiras Info Baru 

mencapai 3.000 eksemplar yang dicetak di PT 

Ambon Press Intermedia. Pembaca di Kota 

Ambon dilaporkan mencakup kelompok 

masyarakat Kristiani maupun Muslim. Metro 

mencetak 1.500 eksemplar, meski biasana 

hanya 1.000 yang terjual. Kegiatan pemasaran 

juga dilakukan di kabupaten-kabupaten 

lainnya, seperti Masohi, Tual, MTB, dan 

Namlea. 

4.2.12 Pengeluaran dan Sumber Daya 

Kelembagaan 

Seperti yang dilaporkan, radio-radio siaran 

di Maluku memiliki biaya operasional yang 

tidak tinggi. Masalahnya, konflik telah 

memiliki dampak yang berkelanjutan terhadap 

sumber daya kelembagaan media. Seperti 

diutarakan Novi Pinontoan, pemimpin redaksi 

Suara Maluku: 

“Terus terang, kami perlu membaharui 

manajemen suratkabar modern... Dulu kami 

memiliki aset yang cukup baik di Ambon. 

Tetapi pada saat konflik terjadi, semuanya 

luluh lantak. Kami membutuhkan bantuan 

fisik dan material” 

Sebagai contoh, Koran Metro memiliki 

enam komputer, dua printer, dan satu kamera 

untuk sepuluh karyawan (enam di bagian 

redaksi, dua di bagian sirkulasi dan pemasaran, 

dan dua di bagian periklanan). Seperti 

diutarakan Aner Leunufna, redaktur pelaksana 

Koran Metro: 

“Perlengkapan yang terbatas biasanya 

membuat jadwal terlambat. Terkadang, 

wartawan harus menunggu sampai rekan 

kerjanya selesai dengan tugasnya” 

4.2.13 Kepegawaian dan ‘Wartawan 

Amplop’ 

Pertumbuhan di sektor media telah 

meningkatkan secara nyata jumlah praktisi 

media di propinsi, yang memiliki tingkat 

pendapatan rata-rata Rp 350-450.000. Satu 

kendala besar yang dihadapi sebagian besar 

media di Ambon adalah terbatasnya sumber 

36


daya manusia yang bermutu. Rata-rata 

pendapatan wartawan di Ambon adalah Rp 

350-600 ribu, dan media-media baru telah 

memperkerjakan wartawan yang rela bekerja 

dengan gaji pas-pasan. 65 Kebanyakan wartawan 

juga memiliki pekerjaan sampingan. Dengan 

demikian, porsi pendapatan yang cukup besar 

bersumber dari ‘amplop’ yang diterima 

wartawan, dimana wartawan dibayar oleh 

narasumber untuk meliput isu tertentu. 

Wartawan biasanya membela tindakan mereka 

ini dengan alasan bahwa hal ini tidak 

mempengaruhi liputan mereka. Mereka 

menjawab hal yang sama jika ditanya 

mengenai keterlibatan mereka dalam 

menjaring iklan. Biasanya mereka mendapat 

komisi 10 sampai 20 persen dari harga iklan. 

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah 

pengelola media, wartawan boleh saja 

menerima amplop (uang) asal narasumber 

tidak mengarahkan penulisan berita oleh si 

wartawan. Uang amplop lebih dianggap 

sebagai ‘uang transportasi’, dan bukan suap. 

Seperti yang dilaporkan, pengelola media 

telah berupaya untuk melakukan diversifikasi 

latar belakang staf dengan merekrut karyawan 

dari komunitas masyarakat yang berbeda. 

Suara Maluku, yang dianggap sebagai 

suratkabar Kristen, memperkerjakan dua 

karyawan Muslim untuk menyebarkan 

suratkabar tersebut di daerah-daerah Muslim. 

Ambon Ekspres, yang dicap suratkabar 

Muslim, memperkerjakan enam karyawan 

Kristiani. Seperti diutarakan Ahmad Ibrahim, 

pemimpin redaksi Ambon Ekspres: 

“Kami memperkerjakan mereka untuk 

menunjukkan bahwa suratkabar ini adalah 

milik semua orang agar berita lebih 

berimbang. Jika ada berita dari sudut 

pandang Kristen maka kami akan 

menerbitkannya” 66 

4.2.14 Jender 

Hanya sedikit wartawan perempuan yang 

ada di Maluku. Sebagai contoh, di Ambon 

Ekspres hanya ada satu wartawati yang telah 

bekerja di sana selama tiga tahun. Begitu pula 

dengan Suara Maluku dan Koran Info, yang 

masing-masing hanya memiliki satu wartawati. 

Hal yang sama terlihat di media penyiaran. 


66 

Wawancara dengan Ahmad Ibrahim, pimpinan 

redaksi Ambon Ekspres, 28 Mei 2004, Ambon. 

Radio Suara Pelangi, misalnya, hanya memiliki 

satu karyawan perempuan yang merangkap 

sebagai wartawan dan penyiar. 

Menurut Ahmad Ibrahim, pemimpin 

redaksi Ambon Ekspres, medianya 

memprioritaskan perempuan dalam 

memperkerjakan karyawan. Masalahnya, 

hanya sedikit perempuan yang melamar posisi 

wartawan. Selain itu, wartawan laki-laki 

beranggapan bahwa perempuan memiliki 

keterbatasan, apalagi jika harus meliput dalam 

situasi konflik. Oleh karena itu, perempuan 

lebih sering ditugaskan meliput isu-isu yang 

lebih ‘lunak’, yang dianggap lebih sesuai untuk 

perempuan. Sebagian besar media di Ambon 

juga tampak apatis terhadap isu perempuan. 

Kebanyakan perempuan yang bekerja di media 

cetak dan penyiaran di Ambon ditempatkan di 

bagian pemasaran, periklanan, dan keuangan. 

Tugas-tugas ini dianggap lebih cocok bagi 

perempuan karena mereka dipandang sebagai 

kaum yang lebih teliti. 


Penyelesaian konflik lewat media 

tradisional bukan sesuatu yang baru di Maluku. 

Sebelum konflik pada tahun 1999, Ambon 

sudah mengenal dua media tradisional untuk 

mempersatukan dua pihak yang bertikai. 

Menurut Ichsan Malik, media tradisional 

menjadi wadah bagi masyarakat untuk 

menyelesaikan perselisihan berdasarkan 

kesamaan norma-norma budaya dan 

kemasyarakatan seperti Pata Siwa dan Pata 

Lima (kembali sebagai saudara dan keluarga). 67 

Ichsan juga menegaskan bahwa media 

tradisional tersebut telah menyatu secara baik 

dengan sistem-sistem kemasyarakatan dan 

politik masa kini dan memainkan peran 

penting dalam menengahi konflik. 

4.3.1 Forum Masyarakat dan Upacara 

Tari cakalele adalah salah satu tarian 

upacara yang paling banyak diperagakan 

propinsi ini. Biasanya cakalele dilakukan di 

‘baileo’ (rumah adat). Tujuan tarian ini adalah 

untuk mempersatukan masyarakat, terutama 

mereka yang memiliki ikatan ‘pela gandong’. 68 

67 Lihat Ichsan Malik, Menata Masa Depan Maluku 

Pascakonflik, makalah diskusi, Juni 2004. 

68 Lihat http://www.nunusaku.com/Research/R4c.htm 

untuk keterangan lebih lanjut mengenai Pela Gandong. 

37


Hubungan adat ini melancarkan koordinasi dan 

komunikasi antartokoh masyarakat, terutama 

pada saat terjadi ketegangan. 69 Sebagai contoh, 

pada saat kerusuhan terkini pada bulan April 

2004, tokoh-tokoh masyarakat dari Desa Passo 

dan Desa Batumerah, yang memiliki hubungan 

pela, berkomunikasi secara langsung untuk 

menghindari perluasan ketegangan dalam 

masyarakat mereka. Seperti diutarakan 

Theresia Maitimu: 

“Jika permasalahan mengenai kedua desa 

ini diangkat, kami langsung dapat 

menanganinya, sehingga tidak terjadi tindak 

kekerasan” 

Masyarakat di Maluku juga melaksanakan 

upacara-upacara adat yang berhubungan 

dengan persekutuan pela gandong seperti 

‘panas pela’ (menghangatkan pela). Hanya 

saja, upacara-upacara ini kurang dikenal oleh 

kalangan pemuda dan dianggap kaku dan tidak 

populer. Kalangan pemuda tampaknya lebih 

menyukai budaya populer umum dan 

pertunjukan komersial. 

Sebelum tahun 1980an, kepala desa 

menurut adat Maluku Tengah mengemban 

peran sebagai ‘rajah’. Pemerintah lantas 

memberlakukan UU No. 5 tahun 1979 tentang 

Pemerintahan Desa yang menetapkan bahwa 

semua desa di Indonesia akan mengadopsi desa 

di Pulau Jawa yang dikepalai seorang kepala 

desa. Dalam beberapa kasus, seperti di Desa 

Passo, kepala desa merangkap sebagai rajah, 

tetapi ini tidak selalu demikian. Selain itu ada 

‘latupati’, tokoh adat yang menaungi beberapa 

desa sekaligus. Jika kepala desa diangkat oleh 

pemerintah, maka tidak demikian halnya 

dengan rajah atau latupati. Dalam hal ini, 

otoritas terkadang bertindak sebagai aparat 

pemerintah yang melantik pimpinan daerah 

dan dengan demikian struktur adat dan 

69 

Pela dan pela gandong adalah persekutuan, 

hubungan dan upacara-upacara terkait antara desa-desa 

Muslim dan Kristiani di Ambon dan Maluku Tengah. 

Konon upacara pela gandong diambil dari kisah Desa 

Passo yang berada di bawah Kesultanan Ternate. 

Alkisah, dahulu kala sebuah utusan dari Desa Passo 

tengah melakukan perjalanan laut untuk membayar 

upeti kepada Kesultanan Ternate (Maluku Utara). Tak 

dinyana, kapal mereka amblas dan hanyut di sebuah 

pulau bernama Tanjung Pela (pela berarti suci). Di 

sana mereka menyatakan ikatan persaudaraan dengan 

membalik sebuah batu. Sejak itu sudah menjadi tradisi 

untuk menyatakan ikatan persaudaraan atau Pela 

Gandong. 

pemerintah dapat bekerja berdampingan dalam 

mempertahankan budaya tata pemerintahan 

adat. 



Telepon genggam menjadi sarana 

telekomunikasi yang makin berperan di 

Maluku (terutama di Ambon). Jaringan di 

Ambon adalah Simpati Nusantara/Telkomsel. 

Beberapa toko di Ambon juga menjual kartu 

pulsa. Sinyal telepon genggam di Ambon, baik 

di daerah Muslim maupun Kristiani, adalah 

cukup kuat. Telepon genggam bermanfaat 

dalam meningkatkan kecepatan dan lingkup 

komunikasi antarorang, yang substansinya 

tidak jauh berbeda dengan dialog, rumor, dan 

gosip. Dengan demikian, jika didasari pada 

informasi akurat yang bersumber dari media 

massa, maka bentuk komunikasi cepat ini 

dapat memberi dampak positif, tetapi jika 

didasari pada informasi yang menyesatkan 

maka ia dapat memperburuk ketegangan secara 

sangat cepat. 


Di Maluku, akses terhadap informasi lewat 

Internet adalah cukup terbatas. Mayoritas 

masyarakat mendapatkan berita dari 

suratkabar, radio, televisi, dan layanan pesan 

singkat (SMS). Di Ambon hanya terdapat 

sedikit warung Internet (warnet) dengan 

koneksi yang seringkali lambat dan 

bermasalah. Pada tahun 2002, Ambon Ekspres 

membuka warnet (untuk umum) yang 

memanfaatkan teknologi VSAT. Meskipun 

akses Internet cukup baik, tidak banyak yang 

datang berkunjung. Akibatnya, warnet itu tutup 

pada tahun 2003. Selama masa operasinya, 

warnet tersebut sering dipakai wartawan 

Ambon untuk mengirim berita ke media di 

Jakarta. Tetapi kebanyakan wartawan di 

Ambon yang bekerja sebagai koresponden 

media nasional lebih suka mengirim tulisan 

mereka lewat mesin faks. 

Pada saat puncak konflik antara tahun 1999 

dan 2001, mayoritas situs Internet mengenai 

konflik dibangun oleh mereka yang berada di 

luar Ambon. Selain itu, ‘perang informasi’ 

antara masyarakat Muslim dan Kristiani 

seringkali dilancarkan lewat Internet. Ini 

dimulai pada bulan Maret 1999, berdasarkan 

38


situs Internet dan mailing list. Masing-masing 

situs memiliki versi tersendiri (Muslim atau 

Kristiani) mengenai kronologi kejadian 

konflik, gambar dari medan pertempuran, dan 

kisah-kisah traumatis mengenai kekejaman 

yang terjadi. 

Terdapat banyak situs Internet tentang 

konflik Ambon yang dibuat oleh kelompok 

Muslim maupun Kristiani. Situs Muslim yang 

paling dikenal adalah situs Laskar Jihad 

(www.laskarjihad.or.id). Selain itu ada situs 

Karomah (www.karomah.cjb.net). Lainnya 

adalah Suara Ambon Online 

(www.come.to/suaraambon), Come and Save 

Muslims (www.connect.to/maluku) dan Gema 

Khadijah (www.gemakhadijah.cjb.net). Selain 

itu terdapat situs-situs Kristiani. Mereka 

biasanya disajikan dalam tiga bahasa, yaitu 

Belanda, Indonesia, dan Inggris. Mereka antara 

lain adalah Voice from Maluku 

(www.geocities.com/chosye). Situs tersebut 

berisi kumpulan berita tentang Maluku. Lalu 

ada Maluku 2000 (www.maluku2000.org). 

Situs-situs provokatif yang hadir pada waktu 

konflik adalah Ambon Berdarah Online 

(www.geocities.com/alifuru67) dan situs 

Lawamena 

Victoria 

(www.geocities.com/jembong_710). 


Sekarang ini handy talky dimanfaatkan 

secara luas dalam berkomunikasi. Antara tahun 

1999 sampai 2001, handy talky menjadi piranti 

komunikasi utama, terutama pada saat bentuk 

komunikasi lain dan media massa hancur atau 

menjadi terhambat. Aparat keamanan juga 

mengandalkan piranti komunikasi yang satu 

ini. 

4.4.4 VCD 

VCS adalah salah satu media yang paling 

banyak diakses di Maluku. VCD film dan 

musik bajakan dijual murah di toko-toko dan 

pasar-pasar. Satu VCD dijual dengan harga 

sekitar Rp 5.000. Pada saat konflik pecah, 

VCD menjadi media yang efektif untuk 

memobilisasi pendukung. VCD mengenai 

'serangan musuh' atau korban tindak kekerasan 

mudah untuk dibuat yang akhirnya 

meningkatkan ketegangan. Salah satu VCD 

dari pihak Kristiani yang paling dikenal 

berjudul Tragedi Maluku (1999). VCD ini 

berisi adegan-adegan gedung gereja yang 

terbakar dan tudingan keberpihakan aparat 

keamanan pada masyarakat Muslim. VCD 

serupa berjudul Ambon Berdarah juga dirilis 

pada tahun 1999. 

Dari pihak Muslim dilansir VCD berjudul 

Jihad Fi Jazirah Al Mulk, yang dibuat pada 

bulan Juni 2000. VCD ini berisi perjuangan 

kaum Muslim melawan Kristiani dengan 

memperlihatkan serangan-serangan kelompok 

Kristiani terhadap kaum Muslim. VCD 

berjudul Jihad di Diponegoro (2000) adalah 

mengenai ‘pertempuran’ melawan kaum 

Kristiani di kawasan Diponegoro di Ambon. 

Sebagian besar VCD Muslim adalah mengenai 

konflik di Halmahera Utara, Galela, Tobelo, 

dan Jailolo pada awal tahun 2000. Judul-judul 

VCD yang dimaksud adalah Mujahidin 

Halmahera Bangkit (2000), Hidup Mulia atau 

Mati Syahid (2000), Halmahera Berduka 

(2000), dan Maluku Berduka (2000). Selain itu 

ada VCD yang menampilkan foto kekerasan 

yang terjadi, seperti Maluku Berduka (2000) 

dan Konflik Berdarah Maluku 2000 (yang juga 

diproduksi dalam bahasa Arab). 70 



Rumor dan gosip tampaknya memiliki 

pengaruh yang cukup besar di Maluku. Banyak 

kekerasan yang konon terjadi akibat 

menyebarnya rumor secara bebas. Gosip 

dengan cepat menyebar di Ambon karena 

kecilnya jumlah penduduk. Salah satu isu yang 

paling populer di Ambon tampaknya adalah 

dugaan rencana-rencana satu kelompok 

masyarakat untuk menyerang kelompok 

masyarakat yang lain. Media untuk menyebar 

rumor adalah SMS, dialog, dan ‘bisik-bisik’. 71 


Selama konflik, berita bombastis tanpa 

verifikasi yang jelas menjadi andalan banyak 

media lokal. Berita seperti ini seringkali 

disebarkan secara cepat tanpa pertimbangan 

mengenai dampak yang dapat ditimbulkannya. 

Distribusi yang buruk dan perpecahan antara 

daerah Muslim dan Kristiani makin 

menghambat akses masyarakat umum terhadap 

70 Dikutip dari Eriyanto, Media dan Konflik Ambon, 

Jakarta, Radio 68H-MDLF, 2003, hal. 15-17. 

71 Hush-hush adalah istilah setempat untuk rumor yang 

tidak benar atau gosip yang tidak berlandaskan fakta. 

39


sumber informasi. Dalam hal ini, dampak 

media dalam hal memanas-manasi konflik 

menjadi makin parah pada saat wartawan 

menggunakan rumor dan gosip sebagai dasar 

laporan berita mereka. Dengan demikian, 

banyak pemberitaan yang mencerminkan gosip 

yang tengah beredar di propinsi, sehingga 

makin menguatkan dan meningkatkan 

kredibilitas gosip tersebut. Selama period ini, 

pemerintah daerah turun tangan dengan 

memperingatkan media atas pemberitaan yang 

provokatif dan tidak berlandaskan fakta. 72 

Di Maluku juga terjadi ‘kevakuman 

media’. Pertama, ada daerah-daerah dengan 

akses media yang sangat terbatas yang 

menjadikan banyak anggota masyarakat tanpa 

informasi yang akurat dan terkini mengenai isu 

daerah dan nasional. Kedua, hanya sejumlah 

kecil media yang menekankan pada promosi 

budaya toleransi dan nonkekerasan. Dengan 

hibah UNDP, semenjak bulan Mei 2003 

MDLF telah menyelenggarakan suatu program 

pengembangan media yang dirancang untuk 

memfasilitasi pemulihan perdamaian jangka 

panjang dan stabilitas di propinsi ini dan 

sekaligus menindaki isu-isu tersebut di atas. 

Kegiatan yang dilakukan dalam program ini 

antara lain pendirian tiga radio penyiaran baru 

Radio Binaya (di Masohi, Pulau Seram, dan 

Maluku Tengah) yang berorientasi layanan 

publik, dan dua radio penyiaran lainnya di 

Namlea (Pulau Buru) dan di Saumlaki 

(Kepulauan Tanimbar). Tujuan kegiatan 

tersebut adalah untuk menyediakan media di 

daerah-daerah yang tidak memiliki 

keragamana dan akses terhadap media 

profesional yang objektif. 73 

masyarakat yang berlawanan sehingga sulit 

untuk didatangi” 74 

Masalah dalam hal mengakses narasumber 

utama menjadi kendala yang serius bagi semua 

media di Maluku. Perlu dicatat disini bahwa 

SMS makin sering dimanfaatkan untuk 

memberi kesempatan kepada narasumber 

untuk menegaskan atau menyangkal fakta. 

Kendala lain yang tidak kalah peliknya adalah 

bahwa seringkali tokoh masyarakat menampik 

diwawancarai oleh wartawan dari kelompok 

masyarakat yang berbeda. Beberapa media 

telah berupaya menyiasati kendala ini dengan 

mengkaryakan wartawan dari kelompok 

masyarakat yang lain. 

Satu tren lain adalah bahwa media sangat 

mengandalkan pemerintah daerah dan aparat 

keamanan sebagai narasumber utama. 

Masalahnya, kebijakan ‘satu pintu’ ini 

menyebabkan wartawan sulit membina standar 

profesional dan memenuhi tenggat. Pejabat 

seringkali berhalangan dan ketergantungan 

pada satu narasumber menjadikan laporan dan 

sudut pandang diulang-ulang oleh media, 

sehingga inovasi dan keragaman pemberitaan 

menjadi berkurang. 


Fredom Toumahu, redaktur pelaksana 

Siwalima, menyatatakan bahwa sulit untuk 

mengkonfirmasi berita dari narasumber utama 

tertentu dan karena alasan inilah media 

seringkali menerbitkan berita tanpa melakukan 

konfirmasi atau verifikasi. Seperti 

diutarakannya: 

“Alasannya adalah kondisi yang ada. 

Narasumber biasanya berada di kelompok 

72 Wawancara Erenst Tanimahu, Wakil Kepala Dinas 

Informasi dan Komunikasi Ambon, 1 Juni 2004. 

73 ‘Second Interim Narrative Report, Maluku Media 

development Program’, (MDLF, April 2004). 

74 Wawancara dengan Fredom Toumahu, redaktur 

pelaksana Siwalima, 31 Mei 2004. 

40

5 Media dan Konflik di Maluku Utara 


Secara geografis, Maluku Utara merupakan 

kepulauan dengan luas wilayah 22.477 km 2 

yang meliputi sejumlah pulau kecil, dan 

memiliki jumlah penduduk sekitar tiga per 

empat juta jiwa. Pulau Ternate merupakan 

poros pemerintahan Maluku Utara menaungi 

sekitar 320 pulau dan empat kesultanan 

(Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo). 

Mayoritas beragama Kristen dan Islam, 

meskipun di pedalaman banyak yang 

menganut faham animisme. Media umum di 

Maluku Utara terutama berpusat di Ternate, 

yang berpenduduk 200 ribu jiwa. Di daerah 

lain, seperti Tobelo, juga terdapat lembaga 

media. 

Secara administratif, Provinsi Maluku 

Utara dibagi menjadi delapan kabupaten, yaitu 

Halmahera Tengah, Halmahera Timur, 

Halmahera Utara, Halmahera Selatan, 

Halmahera Barat, Pulau Sula, Pulau Tidore, 

dan Kota Ternate. Distribusi merupakan 

tantangan tersendiri, karena jauhnya jarak, 

segala sesuatu harus dilakukan lewat 

transportasi laut yang lambat dan tidak andal. 

Akibatnya, kebanyakan media memusatkan 

pemasaran dan melandasi isi pemberitaan 

mereka di Ternate. 

Bab ini menyajikan tinjauan atas lima 

bidang kajian permasalahan untuk Maluku 

Utara, yaitu (i) media umum, (ii) media 







75 Penelitian yang dilaksanakan oleh ISAI menilik 

kinerja dan pengembangan media umum, alternatif, 

dan tradisional di Propinsi Maluku Utara sekaligus 

mengkaji arus informasi baik dari media daerah 

maupun nasional serta dampak masing-masing 

terhadap masyarakat umum. Sampel yang terdiri dari 

sembilan responden yang mewakili pemangku 

kepentingan media di daerah propinsi, tokoh 

masayrakat, tokoh agama, aparat keamanan, 

pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat umum 

memberikan masukan-masukan yang mendalam 

tentang media dalam kaitannya dengan konflik. Survei 

dilakukan terhadap enam media cetak (Maluku Utara 

Pos, Ternate Pos, Tabloid Halut Press, Aspirasi, 

Mimbar Kieraha, dan Suara Pengungsi) dan tiga media 

penyiaran (RRI, Radio Gema Hikmah, dan Radio 


Ternate adalah daerah pertama di Maluku 

yang menerima agama Islam, dan merupakan 

kesultanan yang cukup berpengaruh antara 

abad ke-21 dan ke-17. Bangsa Portugis tiba 

pada tahun 1512 untuk berdagang cengkeh dan 

membangun benteng. Periode itu merupakan 

awal mula konflik yang berlangsung selama 

puluhan tahun, pertama dengan kesultanan 

Ternate dan Tidore yang berkuasa pada masa 

itu, dan kemudian dengan bangsa Spanyol, 

Inggris, dan Belanda. Masyarakat asli merebut 

benteng tersebut dan mengusir bangsa Portugis 

pada tahun 1574. Pada tahun 1606 Sultan 

Ternate menandatangani perjanjian dengan 

bangsa Belanda dan menyerahkan kepada 

mereka hak monopoli atas rempah-rempah. 

Sultan Ternate lantas tunduk kepada Verenigde 

Oost Indische Compagnie (VOC). Pada akhir 

abad ke-18, seiring dengan meredupnya 

perdagangan rempah maka peran daerah 

tersebut di bidang ekonomi pun mengalami 

kemunduran. 

Ketegangan daerah meninggi selama era 

pemerintahan Soeharto, yang makin 

memantapkan benih konflik. Pada tahun 1975, 

kelompok masyarakat Makian yang Muslim 

terpaksa mengungsi ke Kabupaten Kao di 

bagian utara Halmahera karena ancaman 

Suara Paksi Buana). Penelitian yang dilakukan 

mengkaji upaya-upaya rekonsiliasi konflik yang 

dilakukan pengelola media di Maluku Utara lewat 

kebijakan ruang redaksi mereka. Kajian ini juga 

dilakukan terhadap berbagai konsumen media 

(pemerintah, tokoh masyarakat, masyarakat biasa, 

militer, LSM, dan pengelola media itu sendiri). Dalam 

melaksanakan penelitian ditemui sejumlah kendala. 

Penugasan tim peneliti ke ketiga daerah propinsi 

sebelum metodologi penelitian difinalisasi di Jakarta 

menimbulkan banyak penundaan. Selain itu, buruknya 

koneksi Internet di Ternate serta lemahnya sinyal 

telepon genggam cukup menghambat komunikasi. 

Selain itu, peneliti-peneliti lokal menemukan bahwa 

banyak data yang dimintakan, seperti data tentang 

pelatihan kewartawanan, tidak didokumentasi secara 

baik oleh media lokal. 

76 Pustaka yang digunakan dalam menyusun bagian 

ini: Encyclopaedia Britannica 1999, The Jakarta Post, 

OTI Field Report Indonesia (Juni 2000), Program on 

Humanitarian Policy and Conflict Research (Harvard 

University, AS), Human Rights Watch, Inside 

Indonesia, International Crisis Group. 

41


letusan gunung berapi di pulau mereka. 

Masyarakat Makian dan Kao lantas berkonflik 

karena transfer secara paksa tanah milik 

masyarakat Kao ke masyarakat Makian, 

perbedaan budaya dan agama, dan persaingan 

atas sumber daya yang langka. 

Konflik Terkini di Maluku Utara 

Konflik terkini di Maluku Utara terjadi 

hampir bersamaan dengan konflik di Maluku. 

Meskipun begitu, tidak seperti konflik di 

Maluku Tengah dan Maluku Tenggara, motif 

awal konflik di Maluku Utara tampaknya lebih 

berkaitan dengan isu kewilayahan dan 

persaingan antara kalangan elite politik lokal. 77 

Konflik politik berawal mula pada bulan 

September 1999 pada saat President BJ 

Habibie memekarkan Provinsi Maluku 

menjadi Maluku Utara dan Maluku. Usulan 

untuk memasukkan pulau-pulau besar 

Halmahera, Ternate, Tidore, dan Bacan 

sebagai bagian dari Provinsi Maluku Utara 

menghidupkan kembali persaingan lama antara 

kesultanan Ternate dan Tidore. Lapis elite 

Ternate, di bawah kepemimpinan Sultan 

Ternate (Mudaffar Syah), menginginkan 

Ternate untuk dijadikan ibukota sementara 

provinsi sebelum Sidangoli, sebuah desa di 

Halmahera Utara, dijadikan ibukota permanen. 

Disisi lain, Kesultanan Tidore berserikeras 

bahwa Soasiu, ibukota Halmahera Tengah di 

Pulau Tidore, dijadikan ibukota sementara 

sebelum Sofifi, sebuah desa di Halmahera 

Tengah yang berlokasi lebih dekat dengan 

Soasiu, dijadikan ibukota permanen. 

Dari persaingan antara Ternate dan Tidore 

tersebut muncul undang-undang yang 

menetapkan Ternate sebagai ibukota sementara 

dan Sofifi sebagai ibukota permanen. 

Dilaporkan bahwa pihak Ternate menanggap 

pemindahan ibukota ke Sofifi akan merugikan 

kepetingan mereka untuk jangka panjang. 

Disisi lain, Tidore, yang hingga saat itu 

tertinggal dari Ternate di bidang pembangunan 

ekonomi, akan berubah menjadi daerah yang 

77 Silakah merujuk ke keterangan dan kronologi kasus 

yang disusun oleh Yayasan Sagu, Laporan Maluku 30: 

Memahami Kompleksitas Konflik di Maluku Utara, 

Januari 2000; Smith Alhadar, “The Forgotten War in 

North Maluku,” Inside Indonesia, No. 63, Juli- 

September 2000, hlm. 15-16; Thamrin Amal 

Tamagola, “The Bleeding Halmahera of North 

Mollucas,” Jurnal Studi Indonesia, Vol 10, No. 2, 

2000. 

lebih strategis. Meskipun demikian, kalangan 

elit Tidore khawatir bahwa Sultan Ternate akan 

mempertahankan Ternate sebagai ibu kota 

permanen seandai terpilih sebagai gubernur 

dalam pemilihan gubernur pada bulan Juni 

2000. Oleh karena itu, bersama dengan 

kalangan elit Makian, elit Tidore menjadi 

kekuatan oposisi Sultan Ternate. 

Konflik makin memanas dengan 

dikeluarkannya PP No. 42 tahun 1999 yang 

memekarkan Kecamatan Kao menjadi Kao dan 

Makian-Malifut (yang berpenduduk mantan 

masyarakat Pulau Makian). Dengan demikian , 

lima desa yang semula menjadi bagian dari 

Kecamatan Kao dimasukkan ke wilayah 

Kecamatan Makian-Malifut untuk bergabung 

dengan mayoritas mantan masyarakat Pulau 

Makian. Kelima desa tersebut menolak untuk 

bergabung bukan saja karena mereka ‘telah 

terkait dalam satu sumpah leluhur, bahwa 

mereka terikat menjadi satu dengan saudarasaudara 

di semua Kecamatan Kao yang 

bernaung dalam satu ikatan Suku’, tetapi juga 

karena pemekaran tersebut masyarakat Makian 

mengambil alih kendali atas tambang emas 

yang selama itu menjadi sumber pemasukan 

utama desa-desa Kao. 

Tanpa menghiraukan keberatan-keberatan 

tersebut, pemerintah secara sepihak 

menyatakan pembentukan Kecamatan Malifut 

pada bulan Agustus 1999. Malam itu, 

kekerasan pecah di dua dari lima desa Kao 

tersebut, yaitu di Sosol and Wangeorak,yang 

menentang kebijakan pemerintah daerah. 

Kerusuhan mereda setelah Sultan Ternate turun 

tangan. Meskipun begitu, kebencian masih 

cukup besar dan pada bulan Oktober warga 

Kao menyerang Malifut yang berujung dengan 

100 korban jiwa dan 4.000 warga yang selamat 

terpaksa mengungsi ke Ternate dan Pulau 

Tidore yang bertetangga dengan mereka. 

Mengungsinya warga Muslim ke Ternate 

dan Tidore dibarengi dengan merebaknya 

kebencian keagamaan sehingga masyarakat 

Makian “membersihkan” Ternate dari orang 

Kristiani. Seperti dilaporkan, Sultan Ternate 

menolak untuk mendukung kekerasan, 

sehingga pemimpin-pemimpin kelompok 

setempat beralih ke Sultan Tidore, pesaing 

bebuyutan Ternate. Karena dukungannya 

terhadap masyarakat Kristiani, Sultan Ternate 

serta-merta dicap anti-Islam. Disisi lain, Sultan 

Tidore dan sekutu-sekutunya memakai istilah 

42


‘Kristenisasi’ untuk menarik pendukung. 

Dengan demikian, konflik yang semula 

berkisar seputar persaingan kendali politik dan 

sumber daya ekonomi berangsur-angsur 

menjadi semakin berbau keagamaan. 

Pertikaian terus terjadi selama periode 

akhir tahun 1999 hingga mencapai puncaknya 

pada bulan Desember dimana, seperti 

dilaporkan, TNI dan kepolisian ikut 

mengambil peran dalam kekerasan yang 

terjadi. Di Kecamatan Tobelo di Pulau 

Halmahera, di sebelah utara Kao, masyarakat 

Kristiani mulai menyerang penduduk minoritas 

Muslim. Menurut laporan, dalam aksi ini jatuh 

500 korban jiwa dan lebih dari 10.000 warga 

kabupaten ‘disapu bersih’. Selain itu, 

masyarakat Muslim menyerukan jihad untuk 

memperoleh kembali tanah dan 

“membersihkan” daerah dari orang Kristiani. 

5.2 Media di Maluku Utara 


Media nasional, baik cetak maupun 

penyiaran, dapat diakses secara mudah di 

Maluku Utara. Media cetak nasional yang 

dapat ditemui di Maluku Utara adalah 

Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, dan 

The Jakarta Post, selain puluhan majalah dan 

tabloid infotainment. Siaran televisi seperti 

RCTI, TPI, SCTV, dan Metro TV juga 

terpantau. Di Ternate tidak terdapat relay 

stasiun TVRI. Maluku Utara Television 

(MUTV) – sebuah saluran televisi lokal – 

tampaknya kurang digemari oleh pemirsa 

karena mutu program yang kurang baik dan 

tidak adanya jadwal siaran yang tetap. 

Hasilnya, menurut laporan stasiun TV ini 

sudah tidak beroperasi secara reguler. 

Kondisi geografis Maluku Utara, yang 

terdiri dari serangkaian pulau-pulau kecil, juga 

menjadi kendala bagi media nasional untuk 

mencapai daerah-daerah terpencil. Hasilnya, 

suratkabar nasional biasanya hanya ditumpuk 

oleh agen karena sulitnya mengirim suratkabar 

ke daerah-daerah lain, yang beberapa di 

antaranya hanya dapat dijangkau lewat laut. 

Oleh karena itu, suratkabar lokal dianggap 

lebih dominan dibanding suratkabar nasional 

dan, seperti yang dilaporkan, angka sirkulasi 

suratkabar lokal mengalami kenaikan. 


Pada tahun 2000, di Maluku Utara terdapat 

11 media cetak utama. Mereka adalah Dodia, 

Fokus, Gema Nusantara, Info, Kabata, Koran 

Ternate, Mandiri, Mimbar Kieraha, Simpati, 

Sinter dan Ternate Pos, yang terbit dalam 

format buletin, suratkabar, dan majalah. 78 

Kajian ini mengidentifikasi sekitar 35 

lembaga media yang berbeda. Hanya saja, 

banyak diantaranya yang terbit secara tidak 

teratur. Pengungsi dan investor dari Ambon 

memprakarsai banyak media selama konflik 

pada tahun 1999. 79 Pada umumnya, media 

cetak diterbitkan dengan modal minimal dan 

sumber daya manajemen yang apa adanya. 

Menurut data survei, kebanyakan media 

tersebut dikelola oleh wartawan dan bukan 

pengusaha. Mayoritas suratkabar di Ternate 

diterbitkan mingguan dalam format tabloid. 

Hanya Mimbar Kieraha dan Malut Pos yang 

terbit harian. 

Banyak media cetak lokal dan daerah yang 

mengangkat kerusuhan-kerusuhan yang terjadi, 

meskipun seringkali mereka melupakan kaidah 

objektivitas dan tanpa melakukan verifikasi 

dengan sumber-sumber terkait. Mayoritas 

cenderung bersifat partisan dan menjadi corong 

mulut kelompok-kelompok kombatan. 

Suratkabar-suratkabar yang mengaku 

nonpartisan adalah Ternate Pos dan Mimbar 

Kieraha. Akibatnya, mereka mendapat tekanan 

dari publik yang menuduh mereka melakukan 

pemberitaan sepihak. 

Dampak media partisan mulai menurun 

pada saat ketegangan politik mulai mereda dan 

banyak media gulung tikar karena kendala 

modal dan pasar. Sekarang ini, hanya empat 

dari 11 media cetak yang terbit pada tahun 

2000 yang masih terbit secara teratur. Lainnya 

hanya muncul secara sporadis. 

Contoh media cetak di provinsi ini adalah 

harian Ternate Pos, yang merupakan media 

cetak lokal pertama di Maluku Utara yang 

mulai terbit semenjak bulan Agustus 1998. 

Misinya adalah untuk “melakukan kontrol 

sosial dengan menyajikan berita di Maluku 

Utara”. 


79 Seperti dijelaskan dalam Media Assessment Report 

of North Maluku oleh ISAI (2001). 

43


Belakangan ini Grup Jawa Pos memperluas 

jaringan bisnisnya dengan mendirikan 

suratkabar baru di daerah ini, yaitu Maluku 

Utara Pos. Misi Maluku Utara Pos adalah 

“maju bersama – untuk membangun 

masyarakat”. Menurut Tauhid Arief, pemimpin 

umum suratkabar tersebut, prakarsa untuk 

membentuk Maluku Utara Pos tercetus pada 

saat pecahnya konflik Maluku. Pada masa itu, 

mayoritas media cetak terbit di Manado, dan 

tidak dapat diedarkan ke Maluku Utara karena 

terganggunya transportasi. Manajemen 

Manado Pos (Sulawesi Utara, bagian dari Grup 

Jawa Pos) prihatin dengan masalah ini dan 

mengusulkan untuk mendirikan suratkabar di 

Ternate. Selain itu, mereka merasa bahwa 

masyarakat Maluku Utara membutuhkan 

suratkabar yang netral dan profesional. Maluku 

Utara Pos pertama terbit mingguan, dan mulai 

terbit harian semenjak bulan Maret 2003. 


Suara Pengungsi, dwibulanan yang terbit 

dengan 32 halaman, dibentuk pada bulan Juli 

2003 untuk memberi advokasi bagi pengungsi. 

Saat itu, hanya segelintir suratkabar yang 

memberitakan secara rinci program-program 

bantuan atau program-program 

repatriasi/relokasi bagi pengungsi. CARDI 

(Consortium for Assistance and Recovery 

toward Development in Indonesia), sebuah 

LSM internasional yang aktif di daerah ini, 

bekerjasama dengan European Commission 

Humanitarian Aid Office dalam mendukung 

pendirian majalah ini. Suara Pengungsi 

mempunyai lima staf (empat di divisi program, 

dimana dua ditugaskan di Maluku Utara dan 

dua lagi di Sulawesi Utara). 

World Vision, LSM internasional yang 

aktif di Maluku Utara, menerbitkan komik 

pendidikan bertajuk ‘Harmoni’ yang membidik 

anak-anak berusia 9-12 tahun. Terbitan 

dwibulanan ini dibuat dan diterbitkan di 

Jakarta untuk didistribusikan ke 180 sekolah di 

Ternate, Tobelo, Galela, dan Kao. Bersama 

buku komik tersebut terdapat buku panduan 

bagi tenaga pengajar yang meliputi berbagai 

topik yang terkait dengan penyelesaian konflik 

seperti toleransi terhadap keberagaman, 

bekerjasama, komunikasi, penyelesaian 

masalah secara kreatif, dan bagaimana 

menghadapi situasi negatif. Menurut umpan 

balik yang diterima, buku komik ini diterima 

dengan cukup baik oleh kelompok sasaran. 80 


Radio adalah media penyiaran daerah yang 

paling penting. Kendala utama radio penyiaran 

di propinsi ini adalah kondisi geografis. 

Wilayah Maluku Utara terdiri dari pulau-pulau 

dengan daratan berupa nusantara. Jarak dari 

Ternate ke pesisir timur Halmahera Utara 

sangat jauh. Oleh karena itu, tidak satupun 

radio penyiaran independen sanggup 

menjangkau seluruh wilayah propinsi, kecuali 

RRI, yang menyiar pada gelombang frekuensi 

FM, MW, dan SW. Beberapa daerah di 

Maluku Utara, termasuk daerah-daerah 

konflik, tampaknya mengalami ‘kevakuman 

media’, dalam arti bahwa siaran radio 

independen tidak dapat diterima sama sekali. 

Tiga radio penyiaran utama, RRI, Radio 

Gema Hikmah di Ternate, dan Radio Suara 

Paksi Buana (SPB) di Tobelo, masing-masing 

semula dicap sebagai “Radio Pemerintah”, 

“Radio Islam”, “Radio Kristen”. Selama 

konflik, seperti dilaporkan, radio penyiaran 

dengan jangkauan terluas RRI seringkali 

mendapat tekanan dari pihak-pihak kombatan 

untuk menyiarkan berita-berita yang 

mendukung kepentingan mereka. Sejumlah 

radio penyiaran menjadi sasaran penyerangan 

selama masa konflik, seperti Radio Gema 

Hikmah (Ternate), dan kebanyakan radio 

penyiaran berhenti siaran selama kerusuhan. 

Survei menekankan pada tiga radio 

penyiaran tersebut di Maluku Utara, yaitu RRI, 

Radio Gema Hikmah, dan Radio Suara Paksi 

Buana (SPB). Sisanya sumumnya merupakan 

radio penyiaran yang mengandalkan programprogram 

hiburan. 

Radio Gema Hikmah mengudara untuk 

pertama kali pada bulan Juli 1994 pada 

gelombang frekuensi FM 103.0 MHz. 

Jangkauan siarannya mencapai Ternate dan 

daerah sekitarnya, yaitu Tidore Barat dan 

Halmahera Barat. Kelompok pendengar 

utamanya adalah kelompok masyarakat 

Muslim. Radio Gema Hikmah merelay berita 

dari KBR 68H Jakarta serta BBC London, 

VoA, dan Trijaya FM. Radio Gema Hikmah 

80 Wawancara dengan kantor World Vision di Tobelo 

(28 Mei 2004). 

44


juga menyiarkan program talk show yang 

diproduksi bersama RRI. 

Radio SPB mengudara untuk pertama kali 

pada tahun 1998 dari Tobelo, daerah yang 

mayoritas beragama Kristen. Radio SPB 

dibentuk oleh Pastor Titus dibahwa Yayasan 

Bintang Laut (sebagai rujukan ke Bunda 

Maria) dengan tujuan menanggulangi 

kekerasan antarpemuda di Tobelo. Yayasan 

Bintang Laut juga menerbitkan tabloid Bintang 

Laut. Yayasan tersebut tengah berupaya 

menjaga jarak antara kedua media tersebut dan 

gereja untuk mencegah anggapan bahwa radio 

tersebut merupakan media penyiaran Katolik. 

RRI Maluku Utara adalah salah satu 

stasiun radio yang menjadi bagian dari jaringan 

RRI nasional, yang isi siarannya 'ramah' 

terhadap pemerintah, yang menjadi sumber 

pendanaannya. RRI menyiarkan programprogram 

nasional maupun daerah. RRI 

diperkirakan memiliki jumlah pendengar yang 

besar, yang terutama bertinggal di daerahdaerah 

terpencil propinsi ini. RRI Maluku 

Utara memiliki sejumlah program talk show, 

yang, sebagaimana dilaporkan, melibatkan 

berbagai pemangku kepentingan di Maluku 

Utara. 

5.2.5 Isi Pemberitaan 

Tampaknya tidak ada standar dalam 

mekanisme kebijakan yang diterapkan masingmasing 

media. Maluku Utara Pos condong 

menggunakan mekanisme kebijakan yang 

mirip dengan yang dipakai Grup Jawa Pos. 

Media menyatakan bahwa mereka 

“mempercayai wartawan mereka” sehingga 

tidak melihat perlu untuk mempertanyakan halhal 

yang berkaitan langsung dengan peliputan 

berita atau penyuapan. Selain itu, tidak ada 

pemisahan antara bagian redaksi dan bagian 

lain dari media dengan wartawan ikut turun 

tangan dalam melobi iklan. 

Maluku Utara Pos telah mulai memisahkan 

proses-proses keredaksian, administratif, 

periklanan, pemasaran, dan lainnya. Sesuai 

sistem keredaksian yang diterapkan, usulan dan 

pengangkatan berita diputuskan melalui rapat 

redaksi. Hanya saja, seringkali sistem ini tidak 

berjalan karena, seperti yang dilaporkan, 

beberapa wartawan tidak bersifat independen. 

Di sebuah daerah yang rentan konflik politik, 

sejumlah wartawan tampaknya kurang dapat 

mengendalikan diri sehingga terlibat dalam 

cekcok politik. Sikap yang partisan seperti ini 

lantas tercermin dalam penulisan berita. 


Latar belakang pendidikan wartawan di 

Maluku Utara adalah lulusan SMU atau S1. 

Sebagian besar wartawan bekerja tanpa 

melakukan magang atau pelatihan media 

sehingga tidak memiliki ketrampilan dasar 

kewartawanan, penulisan berita, teknik 

wawancara, dan ketrampilan menyunting. 

Sebaliknya, wartawan-wartawan dari 

suratkabar yang lebih besar pernah 

mendapatkan pelatihan yang diselenggarakan 

oleh perusahaan tempat mereka bekerja. 81 

Sebagai pengecualian, Grup Jawa Pos telah 

menyelenggarakan pelatihan bagi media yang 

dibawahinya. Dengan demikian, staf Maluku 

Utara Pos telah mendapat pelatihan hasil 

penyelenggaraan Grup Jawa Pos. Hanya 

sedikit wartawan yang mendapatkan pelatihan 

di luar Maluku Utara. Banyak yang telah 

mengikuti kursus di bidang jurnalisme damai 

yang diselenggarakan oleh organisasiorganisasi 

nasional dan internasional yang 

berkantor di Jakarta seperti British Council, 

ISAI, LSPP, AJI dan Internews. 

Kebanyakan pegawai radio adalah lulusan 

SMU atau bergelar S1. Sebagian besar diantara 

mereka telah mengikuti pelatihan jurnalisme 

damai. Untuk peliputan pemilihan umum, 

Gema Hikmah merekrut empat orang lulusan 

SMU dan lima pemegang gelar S1, sementara 

Radio Paksi Buana merekrut tiga orang lulusan 

SMU dan satu pemegang gelar S1. Sebagian 

besar pegawai RRI pernah mengikuti 

pendidikan informal yang diselenggarakan 

oleh RRI di Jakarta lewat kegiatan in-house. 82 


Situasi keselamatan yang dihadapi 

wartawan pada saat meliput kelompok 

masyarakat ‘lawan’ amat berbahaya pada saat 

konflik meluas. Sejumlah kasus penyerangan 

menimpa praktisi media, yang terkadang 

dilakukan oleh kelompok masyarakat ‘kawan’. 

Meskipun situasi keamanan telah sangat 

membaik, banyak wartawan yang masih 

enggan bepergian atau meliput kelompok 

masyarakat selain masyarakat mereka sendiri. 



45


Meski tidak semua wartawan begitu, hal ini 

memperbesar perpecahan de facto antara 

kelompok masyarakat Kristiani dan Muslim. 


Satu-satunya perkumpulan wartawan yang 

memiliki cabang daerah adalah PWI. Hanya 

saja, hanya sedikit anggotanya yang berasal 

dari generasi muda dan mayoritas berasal dari 

era pra-1998 atau bertugas sebagai 

koresponden Maluku Utara untuk media di 

Jakarta. 

Seperti yang dilaporkan, karena kendalakendala 

administratif dan teknis yang dihadapi 

dalam membentuk AJI Maluku Utara, 

sekelompok praktisi media setempat akhirnya 

menciptakan asosiasi mereka sendiri yang 

dinamakan ‘Asosiasi Jurnalis Maluku Utara’, 

yang masih berhubungan dengan AJI. 

Organisasi-organisasi lainnya, seperti YLKI 

dan SPP, tampaknya kurang aktif. 

5.2.9 Kebijakan dan Perundang- 

Undangan Media 

Penerapan UU Pers (UU No. 40 Tahun 

1999) di Ternate masih bermasalah. Menurut 

teori, undang-undang ini seharusnya 

menjadikan wartawan lebih bertanggung jawab 

dalam melakukan peliputan sekaligus 

menegakkan kode etik. Hanya saja, otoritas 

penegak hukum seringkali menerapkan KUHP 

dan bukan UU Pers dalam menangani perkara 

yang melibatkan media. 

KPID Maluku Utara belum dibentuk, 

sehingga badan tersebut, ataupun ombudsman 

independen (Dewan Pers), belum dapat 

melakukan monitoring di daerah ini. Karena 

lingkungan yang tanpa peraturan ini, radio 

penyiaran seringkali mengudarakan berita yang 

dikutip mentah-mentah dari media cetak 

setempat (tanpa melakukan check and recheck) 

dan melanggar ketentuan penggunaan 

gelombang frekuensi. 

5.2.10 Kasus Hukum dan Tekanan 

Eksternal 

Tekanan eksternal yang dilancarkan 

terhadap media di Maluku Utara seringkali 

berasal dari (mantan) pihak kombatan, yang 

terkadang tidak segan-segan melakukan 

ancaman kekerasan fisik. Bahkan seandainya 

pihak yang dirugikan adalah anggota 

masyarakat yang terpandang sekalipun, 

lemahnya kesadaran tentang penyelesaian 

hukum alternative, selain dialog tatap muka, 

membuka peluang bagi penggunaan metodemetode 

alternatif yang tidak dapat diterima. 

Dalam hal ini, tim pengkaji tidak mendapat 

informasi mengenai kasus-kasus hukum, 

meskipun telah terjadi sejumlah kasus ancaman 

langsung maupun tidak langsung terhadap 

media. 

Media di Maluku Utara juga menghadapi 

tekanan eksternal dari pemerintah daerah. 

Abdul Muhyi Effendie, Gubernur Maluku 

Utara waktu itu, pada bulan Maret 2001 

mengeluarkan maklumat berupa peringatan 

keras dan ancaman akan melarang peliputan 

pers terhadap lima lembaga media, yaitu dua 

stasiun televisi nasional (RCTI, TPI) dan tiga 

media cetak lokal (Ternate Pos, Mimbar 

Kieraha, Fokus) lantaran menyebarkan berita 

yang “provokatif” dan “merongrong 

wewenang Pemerintah”. Semua aparat hukum 

dan penerangan dihimbau untuk memonitor 

dan menindaki media yang melanggar 

maklumat ini. Kalangan pers kala itu 

menganggap maklumat tersebut sebagai suatu 

kontroversi, pada saat dunia pers Indonesia 

baru saja menikmati kebebasan pers. AJI dan 

SEAPA (South East Asia Press Alliance) 

kemudian menyerukan agar Abdul Muhyi 

Effendie “mencabut maklumat” tersebut. 

Wartawan di Ternate juga mengeluarkan 

deklarasi, yang ditandatangani 17 wartawan, 

yang meminta Gubernur menjelaskan 

tudingannya itu. Mereka juga mengancam 

akan “memboikot seluruh pemberitaan” 

mengenai Gubernur seandanya ia mangkir 

memberikan penjelasan. 

Dalam dialog dengan Dewan Pers di 

Jakarta, Gubernur membela tindakannya 

dengan menuding pemberitaan yang dilakukan 

pers di provisinya sebagai sektarian, tidak teliti, 

dan tidak berimbang. Ia menolak untuk 

mencabut maklumatnya, meski ia berjanji akan 

“berupaya” untuk tidak melarang peliputan 

pers. “Di provinsi tempat diberlakukannya 

darurat sipil, gubernur adalah pemegang 

kekuasaan tertinggi yang dapat mengeluarkan 

peraturan yang dinilai perlu untuk menjaga 

ketertiban umum. Termasuk membatasi 

pemberitaan dan penerbitan”. Hingga akhir 

tahun, Gubernur Effendie menepati janjinya 

dengan tidak mengeluarkan petunjuk yang 

46


secara langsung dapat menghambat tugas 

wartawan dan pers. 


Semua suratkabar di Maluku Utara terbit 

dengan tiras yang tidak melebihi 2.000 

eksemplar. 83 Bahkan suratkabar-suratkabar 

lokal terkemuka sekalipun, yang terbit secara 

teratur, hanya bertiras antara 500 sampai 1.000 

eksemplar. Suratkabar terbesar (seperti 

Mimbar Kiereha dan Malut Pos) terbit 2.000 

eksemplar sekali cetak dengan harga eceran Rp 

2.000. 84 Oleh karena itu, suratkabar di Maluku 

Utara memiliki pemasukan maksimal Rp 4 juta 

dari penjualan eceran sehingga tidak dapat 

mengandalkan penjualan suratkabar sebagai 

satu-satunya sumber pemasukan. Angka 

penjualan tertinggi adalah di ibukota provinsi. 

Sebagai contoh, Mimbar Kieraha dengan tiras 

2.000 eksemplar sehari memasarkan 70 

persennya di Ternate dan 30 persen di luar 

kota. 

Media di Maluku Utara seringkali juga 

mengandalkan pendapatan dari iklan. 

Mayoritas pemasang iklan bukan kalangan 

sektor swasta, tetapi pihak pemerintah. Iklan 

yang dipasang oleh pemerintah adalah 

seremonial, ucapan selamat, dan iklan layanan 

publik. Dengan demikian, satu-satunya sumber 

pemasukan yang dapat diandalkan adalah iklan 

pemerintah, yang frekuensinya cukup rendah. 

Pemerintah daerah memasang iklan hanya 

pada saat peristiwa tertentu, seperti pemilihan 

umum, pemilihan kepala daerah, atau acara 

besar lainnya. Hanya saja, ada indikasi bahwa 

sejumlah media, yang sudah tidak terbit untuk 

waktu yang cukup lama, serta merta muncul 

kembali lengkap dengan iklan-iklan dari 

pemerintah. Rata-rata jumlah pendapatan 

media dari periklanan adalah Rp 3-5 juta. 85 

Beberapa media mendapat bantuan secara 

ad hoc dari Pemerintah Propinsi Maluku Utara 

berdasarkan usulan yang diajukan lembaga 

media untuk suatu kegiatan. Kegiatan ini 

misalnya berupa acara peringatan atau dana 

transportasi untuk menghadiri acara di luar 

Maluku Utara. Jumlah dana bantuan berkisar 

antara Rp 2-5 juta yang bersumber dari APBD. 

Hanya saja, tampaknya tidak semua media 




memiliki akses yang sama terhadap dana 

bantuan ini. 

Sumber dana bantuan eksternal lainnya 

adalah lembaga-lembaga keagamaan. Di 

Tobelo, misalnya, dana untuk mengembangkan 

tabloid Bintang Laut dan Radio Suara Paksi 

Buana bersumber dari gereja setempat yang 

disalurkan lewat Yayasan Bintang Laut. 

5.2.12 Pengeluaran dan Sumber Daya 

Kelembagaan 

Biaya operasional radio penyiaran di 

Maluku Utara relatif rendah, yaitu Rp 2,5-6 

juta per bulan. Jumlah tersebut sudah cukup 

untuk menutupi biaya operasional dan gaji 

pegawai – dan jumlah pemasukan dari iklan 

besarnya kurang lebih sama. Pemasukan bersih 

radio penyiaran di Maluku Utara juga tidak 

terlalu besar. Oleh karena itu, radio-radio 

penyiaran tetap bermunculan dan banyak yang 

dibentuk semata-mata sebagai hobi. 86 

Meskipun jumlah suratkabar cukup tinggi, 

kebanyakan tidak ditopang oleh modal yang 

kuat sehingga berada dalam kondisi yang 

lemah dengan prasarana seadanya. Media cetak 

biasanya memiliki sarana pas-pasan. Seringkali 

media bermarkas dalam kantor sewaan dan 

memiliki jumlah komputer yang terbatas. 

Setengah dari ke-13 suratkabar yang disurvei 

tidak memiliki bagian tata letak sehingga harus 

mengandalkan percetakan untuk urusan yang 

satu ini. Dari media cetak yang disurvei, hanya 

dua yang memiliki percetakan sendiri. Banyak 

kantor suratkabar lebih mirip “industri rumah 

tangga”. Sebagai contoh, Halut Pers di Tobelo 

hanya memiliki tiga komputer, satu printer, dan 

dua alat perekam. 87 Sebagian besar urusan tata 

letak dan percetakan untuk terbitan mingguan 

dan bulanan mereka berlangsung di Manado, 

Sulawesi Utara. 88 

5.2.13 Kepemilikan, Kepegawaian dan 

‘Wartawan Amplop’ 

Jumlah wartawan di masing-masing 

suratkabar di Maluku Utara bervariasi antara 

15 sampai 30 orang. Status kepegawaian juga 

bervariasi. Ada suratkabar yang merekrut 

wartawan sebagai pegawai tetap, ada yang 

menggaji wartawan dengan sistem honorarium. 




47


Sebagai contoh, Mimbar Kiereha dan Malut 

Pos memakai sistem pegawai permanen, 

sementara Halut Pers membayar dengan sistem 

honorarium, yakni wartawan dibayar sesuai 

dengan jumlah berita yang mereka tulis. Gaji 

standar wartawan di Maluku Utara relatif kecil, 

yaitu antara Rp 300-500 ribu sebulan. 89 

Beberapa wartawan memiliki pekerjaan 

sampingan sebagai peneliti, wartawan lepas, 

atau koresponden untuk media nasional untuk 

menambah pemasukan. 90 

Jumlah pegawai radio penyiaran 

jugaberagam. Gema Hikmah memiliki 

sembilan karyawan – dua wartawan, empat 

penyiar, dan sisanya tenaga administrasi. Di 

bagian berita Suara Paksi Buana terdapat 

empat karyawan – satu redaktur dan tiga 

penyiar. 91 Beberapa radio penyiaran juga 

memperkerjakan pegawai dengan sistem 

honorarium, yakni gaji ditentukan oleh jumlah 

jam siaran. 

Fenomena ‘wartawan amplop’, seperti 

yang dilaporkan, cukup marak di Maluku 

Utara. Pada umumnya, kebanyakan praktisi 

media dapat menerima kebiasaan ini sepanjang 

tidak mempengaruhi isi berita. 

5.2.14 Jender 

Berdasarkan survei, hanya segelintir media 

di Maluku Utara yang memperhatikan isu 

jender. Di media cetak, perempuan cenderung 

ditempatkan di bagian administrasi atau 

keuangan, atau dipekerjakan sebagai penyiar di 

radio meskipun mereka tidak memiliki peluang 

promosi yang sama seperti halnya rekan kerja 

laki-laki. Isi pemberitaan yang berkaitan 

dengan perempuan sebagian besar juga 

berkisar seputar isu pengungsi dan tindak 

kejahatan (dengan perempuan sebagai korban). 

Isu jender dianggap tidak penting untuk 

diangkat dalam pemberitaan lokal, yang 

memberi porsi terbesar untuk isu politik. 


90 Maluku Utara pascakonflik seringkali menjadi objek 

penelitian dengan berbagai topik. Banyak wartawan di 

Maluku Utara bekerja sebagai pewawancara atau 

asisten bagi peneliti yang melakukan penelitian 

lapangan di Maluku Utara. 



5.3.1 Forum Masyarakat dan Upacara 

Di Maluku Utara terdapat berbagai media 

tradisional yang bernuansa meredam konflik 

(lihat Lampiran 23). Media tradisional pada 

umumnya menggunakan ritual-ritual untuk 

menyelesaikan permasalahan antarmasyarakat. 

Hanya saja, pengaruh upacara dan gerakan 

pemersatuan, seperti Hibualamo, 92 salah satu 

adat istiadat provinsi ini, tampaknya pudar 

dengan digantikannya pemerintahan adat 

dengan tata negara modern. Umumnya 

generasi muda sudah tidak begitu mengenal 

makna ritual-ritual ini. 

5.3.2 Agama 

Tokoh agama Islam dan Kristen 

memprakarsai Forum Kerukunan dan 

Komunikasi Antarumat Beragama 

(FKKAUB), yang bertujuan mempersatukan 

dan menyelesaikan konflik antara kedua 

kelompok masyarakat. Menurut Pendeta SS 

(Tot) Duan, pemimpin-pemimpin gereja sering 

memberi bimbingan kejiwaan bagi jemaat 

mereka. Hal yang sama dilakukan oleh para 

ulama di masjid. FKKAUB secara teratur 

membahas permasalahan-permasalahan yang 

terjadi di daerah ini bersama unsur pemerintah 

lokal, daerah, dan pusat. Kegiatan FKKAUB 

mulai berjalan semenjak tahun 2001. 

5.3.3 Kesenian Komunikatif 

Seperti yang dilaporkan, lelompokkelompok 

masyarakat yang saling berlawanan 

telah memprakarsai upaya-upaya rekonsiliasi 

di tingkat akar rumput lewat kesenian 

komunikatif. 93 Sanggar Seni Gumarin telah 

memanfaatkan seni pertunjukan daerah untuk 

menggambarkan keragaman dan interaksi 

antarkelompok masyarakat di Maluku Utara. 



Telepon genggam mulai digunakan sebagai 

piranti komunikasi di Ternate dan Tobelo. 

Meskipun begitu, jangkauan telepon genggam 

masih terbatas, terutama di Tobelo. Warga 


93 Wawancara dengan SS (Tot) Duan, tokoh agama 

dari Forum Kerukunan dan Komunikasi Antarumat 

Beragama (FKKAUB) Tobelo. 

48


lazimnya memakai sambungan telepon biasa, 

meskipun diperkirakan tren ini akan berubah 

seperti yang terjadi di daerah-daerah lain di 

Indonesia. 

SMS menjadi cara alternatif untuk 

menyampaikan pesan. “Sekarang ini SMS 

sudah menjadi kebutuhan, karena murah dan 

mendidik orang untuk lebih cerdas, yakni 

dengan mendorong orang untuk berkomunikasi 

melalui tulisan,” ujar Kasman Hi. Akhmat, 

Sekretaris MUI Maluku Utara. Kendala utama 

dalam menggunakan telepon genggam adalah 

lemahnya sinyal penerimaan di banyak lokasi. 

Selain itu, SMS membuka peluang untuk 

penyebaran rumor dan gosip secara amat cepat. 

Sebaliknya, jika terdapat akses terhadap media 

massa yang bersikap objektif maka SMS dapat 

menjadi alat penting dalam meredam gejolakgejolak 

ketegangan yang dikarenakan 

kesalahan informasi. 


Akses terhadap Internet sangat terbatas di 

Maluku Utara, dan koneksinya lambat. Semasa 

konflik pada tahun 1999, akses dan 

penggunaan Internet sangat terbatas dan 

selebaran menjadi bentuk utama diseminasi 

informasi. Sekarang, Internet dapat diakses di 

tempat Internet Kantor Pos Ternate atau di 

salah satu dari sedikit warung Internet yang 

ada. Praktisi media lebih banyak menggunakan 

dan mengakses Internet, meskipun tingkat 

penggunaannya masih dapat ditingkatkan lebih 

lanjut. 


Handy talky menjadi salah satu sarana 

komunikasi di provinsi ini. Medan Maluku 

Utara yang terdiri dari banyak pulau dan 

kawasan rimba membuat banyak orang 

menggunakan handy talky sebagai piranti 

komunikasi yang cepat dan murah. Seperti 

yang dilaporkan, pada waktu konflik, handy 

talky sering menjadi alat untuk menyebarkan 

informasi secara tidak bertanggung jawab 

dengan tujuan untuk menyulut rumor dan gosip 

dan bukan untuk menangkalnya, apalagi 

karena komunikasi dengan cara ini tidak aman 

dan mudah untuk diintersepsi. 



Pada saat konflik tampak bahwa kelompok 

masyarakat setempat mudah diprovokasi oleh 

rumor yang tidak berdasar. Akses yang terbatas 

atas informasi lewat media membuat arus 

informasi yang tersedia bagi publik hanya 

berasal dari segelintir sumber saja. Seperti 

diutarakan Pendeta SS (Tot) Duan, tokoh 

agama FKKAUB di Tobelo: 

“Sangat sulit untuk menyaring berita pada 

waktu konflik, tetapi untung saja masyarakat 

tidak mudah terprovokasi lagi” 


Pada umumnya, radio penyiaran di Maluku 

Utara tidak memiliki segmentasi pendengar 

yang jelas. Mereka mendidik semua kelompok, 

mulai dari muda sampai tua, dari kaya sampai 

miskin. Artinya, di Maluku Utara tidak ada 

radio penyiaran khusus remaja atau 

perempuan, seperti halnya di daerah lain di 

Indonesia. Dari aspek komposisi program, 

radio menyiarkan program-program yang 

komprehensif, yang menggabungkan unsur 

hiburan, informasi, keagamaan, dan 

sebagainya. Beberapa radio penyiaran seperti 

Gema Hikmah, Suara Paksi Buana (SPB), dan 

RRI, memiliki program berita, walaupun 

sebagian besar berita direlay dari layanan radio 

yang berpusat di Jakarta. 

Meskipun media makin lama menyebar 

makin banyak ke dearah lain di luar Ternate, 

seperti Tobelo, tetap saja beberapa wilayah di 

Maluku Utara masih mengalami kevakuman 

media, atau memiliki keragaman akses 

terhadap informasi yang sangat kecil. Tabloid 

Halut Pers mulai menerbitkan suratkabar di 

Tobelo. Untuk saat ini, satu-satunya media 

cetak lain di daerah ini adalah Bintang Laut, 

meskipun sekarang ini sedang berhenti 

beroperasi. 

Selama konflik, kevakuman ini 

dimanfaatkan untuk menyulut ketegangan 

lewat ketidakmampuan penduduk untuk 

mengakses informasi. Untuk itu, pada tahun 

2001 USAID/OTI mendanai distribusi 

suratkabar-suratkabar Ternate/daerah ke 

Halmahera agar berita mengenai rekonsiliasi 

dapat mencapai publik. Walaupun konflik 

sedang ‘tidur’ (dormant), permasalahan yang 

berkaitan dengan akses terhadap informasi 

49


masih terjadi, yang terutama dirasakan oleh 

kelompok masyarakat pedesaan di kawasan 

timur Halmahera. 


Pemerintah mengendalikan pengadaan 

informasi untuk media dengan menerapkan 

kebijakan ‘satu pintu’ lewat Biro Infokom 

Pemerintah Propinsi Maluku Utara. Pengelola 

media lokal menganggap hal ini tidak efektif. 

Seperti diutarakan pemimpin umum Maluku 

Utara Pos, Tauhid Arief: 

“Terkadang Infokom tidak dapat memberi 

semua informasi yang diinginkan wartawan, 

padahal wartawan kami sedang dikejar 

tenggat” 94 

Faiz Albaar, pemimpin umum Mimbar 

Kieraha, berkomentar: 

“Tingginya tekanan tenggat dan kurangnya 

komunikasi antara Pemerintah dan pers 

menimbulkan kendala yang cukup 

mengganggu. Karena itulah berita di kedua 

suratkabar itu seringkali tidak berimbang” 95 

Faiz Albaar melanjutkan bahwa wartawanwartawannya 

seringkali kesulitan dalam 

melakukan checks and balance. Karena dikejar 

tenggat waktu dan hubungan yang kurang 

mulus antara pers setempat dan pemerintah 

seringkali redaktur-redaktur Mimbar Kieraha 

terpaksa menerbitkan berita apa adanya tanpa 

melakukan verifikasi dengan lembaga terkait. 

Selain itu, seringkali si narasumber itu sendiri 

yang tidak mau berkomentar pada waktu 

mereka berusaha memverifikasi suatu berita. 

Kendala dalam mengakses narasumber juga 

dirasakan oleh komisaris Gema Hikmah Radio: 

“Kami membutuhkan informasi yang lebih 

berimbang dan jujur agar publik mendapat 

pemberitaan yang berimbang dan adil” 96 

Selain itu, seperti halnya terjadi di dua 

provinsi lainnya, arus informasi antara 

masyarakat madani dan media tampaknya 

dihambat oleh kurangnya rasa saling 

menghargai dan salingpercaya antara kedua 

komunitas ini dan saling dipertanyakannya 

profesionalisme masing-masing. Selain itu, 

media tampaknya lebih menyukai unsur 

pemerintah dan aparat keamanan untuk tampil 

sebagai narasumber yang ‘terpercaya’ dan 

‘terpandang’, sehingga narasumber sahih 

lainnya dari kalangan akademisi dan 

masyarakat madani menjadi tersingkir. 

94 Wawancara dengan Tauhid Arief, pemimpin umum 

Maluku Utara Pos. 

95 Wawancara dengan Faiz Albaar, pemimpin umum 

Mimbar Kieraha. 

96 Wawancara dengan Alwi Sagaf, komisaris Gema 

Hikmah Radio. 

50


6 Saran dan Masukan untuk Dukungan atas Media di 

Sulawesi Tengah, Maluku dan Maluku Utara 

Studi ini menyarankan empat bidang 

pokok kegiatan untuk mendukung media di 

ketiga propinsi ini, yaitu: 

• Menguatkan Lingkungan Media 

• Mengembangkan Ketrampilan Profesional 

dan Sumber Daya 

• Memfasilitasi Arus dan Akses atas 

Informasi 

• Mendukung Komunikasi Berbasis 

Masyarakat 

Pendekatan Holistik – Di sini disarankan 

untuk melaksanakan program yang menangani 

persoalan media dan konflik dengan 

pendekatan holistik. Pendekatan ini disarankan 

mencakup tingkatan yang paling luas berupa 

pengembangan lingkungan media yang kuat 

dan bergairah, hingga tingkatan yang paling 

spesifik berupa penggunaan saluran-saluran 

lokal komunikasi akar rumput. Pendekatan 

holistic ini dengan demikian menjamin media 

tradisional dan alternatif secara individual 

dapat dilibatkan dalam menangani isu-isu 

konflik dengan cara yang sesuai dengan 

lingkungan lokal yang bersifat unik, dan peran 

yang memang sudah melekat (inherent) pada 

media massa umum dan alternatif, yaitu 

mencegah dan menyelesaikan konflik, dapat 

dijamin realisasinya dengan menanggulangi 

tindak manipulasi dan perlakuan salah, 

meragamkan akses dan diseminasi informasi, 

dan memberikan ketrampilan dan sumber 

daya. Diagram di bawah ini menjabarkan halhal 

ini (Gambar 1). 

Bidang pokok pertama dan yang bersifat 

paling luas yang diusulkan di sini, yaitu 

Menguatkan Lingkungan Media di Tingkat 

Provinsi, dapat diterapkan secara generik di 

ketiga daerah propinsi, sementara bidang 

pokok terakhir dan yang bersifat paling 

spesifik, yaitu Mendukung Komunikasi 

Berbasis Masyarakat, harus disesuaikan 

dengan masing-masing kondisi propinsi yang 

unik. 

Kesamaan Antarpropinsi – Seperti 

ditunjukkan di bawah ini, penelitian yang 

dilaksanakan di Sulawesi Tengah, Maluku, dan 

Maluku Utara menunjukkan adanya kesamaankesamaan 

antara ketiga propinsi tersebut, 

dalam arti kesamaan antara isu-isu umum yang 

perlu ditangani agar media dapat berperan 

Gambar 1 – Hubungan Antarkomponen dari suatu Pendekatan Holistik atas Pekerjaan Media 

General Level 

Ensuring strong and secure media 

environment to counter abuses and 

facilitate positive role of mass media in 

preventing/ resolving conflict. 

Strengthening the Media Environment 

at Provincial Level 

Developing Professional 

Skills and Resources 

Intermediate Level 

Strengthening media professionalism 

and information flows to positively 

address conflict-inducing issues. 

Facilitating Information 

Flows and Access 

Specific Level 

Engaging individual local communitybased 

communication channels are 

addressing conflict issues. 

Supporting 

Community-Based 

Communication 

51


lebih baik dalam menyelesaikan dan mencegah 

konflik. Oleh karena itu, saran dan masukan 

untuk ketiga daerah ini telah digabung ke 

dalam satu bagian. Meskipun begitu, ini bukan 

berarti bahwa ketiga daerah ini memiliki situasi 

dan kondisi yang serupa sehingga saran dan 

masukan yang diberikan di sini tidak patut 

untuk diterapkan dalam format yang sama di 

ketiga propinsi. Perbedaan-perbedaan yang 

mencolok antarpropinsi akan ditunjukkan di 

table di atas dan perumusan proyek 

berdasarkan kajian ini perlu menyesuaikan 

masing-masing usulan bidang pokok kegiatan 

dengan situasi dan kondisi masing-masing 

propinsi. 

Saran dan masukan yang sifatnya lebih 

spesifik yang diuraikan di bawah ini bertujuan 

untuk mengurangi potensi konflik untuk masa 

jangka panjang, berdasarkan situasi dan 

kondisi masing-masing propinsi yang spesifik 

seperti yang telah dijabarkan di bagian-bagian 

sebelumnya. Yang disarankan di sini adalah 

kegiatan-kegiatan terarah yang spesifik yang 

selayaknya tidak dipandang sebagai suatu 

daftar kebutuhan media lokal yang komplit 

dalam kaitannya dengan konflik. Kegiatankegiatan 

yang diusulkan memiliki jangka 

waktu pelaksanaan yang berkisar antara tiga 

hingga lima tahun dan dapat dilangsungkan 

dengan anggaran yang tidak terlalu besar. 

Dalam kaitannya dengan poin yang disebut 

terakhir, perlu dicatat bahwa beberapa dari 

kegiatan yang diusulkan dapat dilangsungkan 

lewat intervensi-intervensi tunggal yang 

berlapis (multi-layered) sehingga tidak 

diperlukan intervensi-intervensi individual. 

Selanjutnya, saran dan masukan yang 

diberikan berupaya untuk memanfaatkan hasilhasil 

yang sudah dicapai aktor-aktor, baik 

nasional maupun internasional, yang bergerak 

di bidang pengembangan media dan hak 

menyatakan pendapat di ketiga provinsi, yaitu 

memanfaatkan sumber daya yang telah ada 

sembari memperkuat praktek-praktek terbaik 

(best practices). Yang juga disarankan di sini 

adalah bahwa sebelum menyusun program 

apapun berdasarkan laporan ini, ada baiknya 

ISAI melakukan proses konsultasi dengan 

masyarakat media nasional dan daerah yang 

lebih luas. 

6.1 Menguatkan Lingkungan Media di 

Tingkat Propinsi 

Dasar Pemikiran Umum – Lingkungan 

media yang bergairah dan kuat seharusnya 

dapat memantapkan peran media sebagai 

kekuatan keempat negara (fourth estate) untuk 

jangka panjang dan secara berkesinambungan. 

Dlm hal ini, lingkungan yang kukuh dan 

berimbang bukan saja suatu kebutuhan untuk 

media yang fungsional dan kukuh, tetapi juga 

diperlukan untuk memastikan kemampuan 

media dalam hal mencegah dan menyelesaikan 

konflik sebagai fungsi bawaan yang berasal 

dari profesionalismenya, serta menjadi basis 

yang kuat untuk mencegah jenis-jenis tindak 

manipulasi dan perlakuan salah oleh media 

yang dapat menyulut ketegangan. 

6.1.1 Kebijakan dan Perundangundangan 

Media 

Dasar Pemikiran Khusus – Perundangundangan 

yang berkaitan dengan media 

haruslah adil, efektif, dan dapat ditegakkan, 

yang sanggup mengendalikan ekses media 

(terutama dalam kaitannya dengan penyebaran 

fitnah dan pemberitaan antagonistik) sekaligus 

melindungi media dari pelecehan dan 

serangan. Selain itu, mekanisme dan prosedur 

perizinan media harus dilaksanakan secara 

transparan dan berimbang. Idealnya, 

mekanisme-mekanisme swa-atur yang efektif 

dan realistis perlu dipergunakan, sehingga, 

sebelum beralih ke pihak lain, masyarakat 

media berkesempatan untuk menangani 

permasalahan-permasalahannya sendiri. 

Ikhtisar Temuan – Meskipun UU Pers dan 

UU Penyiaran telah berlaku di Indonesia, 

lembaga penegak hukum dan peradilan di 

tingkat pusat dan daerah seringkali tidak 

mengindahkannya. Hukum pidana jurnalistik 

masih sering diterapkan dalam menangani 

kasus yang melibatkan media. Selanjutnya, 

meskipun hanya sedikit kasus hukum yang 

telah terjadi di Sulawesi Tengah dan Maluku, 

dan bahkan lebih sedikit lagi di Maluku Utara, 

preseden yang terjadi di tingkat pusat 

mengisyaratkan bahwa fenomena ini bukan tak 

mungkin akan meningkat dan bahwa 

kepentingan-kepentingan tertentu atau vested 

interest memanipulasi prosedur hukum guna 

mengintimidasi dan membisukan lembagalembaga 

media. Bukan tidak mungkin praktekpraktek 

seperti ini akan terjadi di daerah. 

52


Seringkali perselisihan antara media dan 

pihak lain diselesaikan diluar mekanisme 

hukum atau mekanisme swa-atur. Walaupun 

cara ini memberi jalan keluar secara damai 

bagi pihak yang dirugikan maupun pihak 

media, seringkali dalam prosesnya digunakan 

metode-metode yang tidak dapat diterima yang 

berlandaskan intimidasi dan pelecehan. Dewan 

Pers menjadi wadah alternatif untuk 

menyelesaikan perselisihan tanpa menutup 

kemungkinan ditempuhnya jalur hukum 

seandai penyelesaian dianggap kurang 

memuaskan. Jika digunakan secara objektif, 

wadah ini dapat dimanfaatkan oleh media 

daerah, meskipun wadah ini tidak dapat 

mencegah penggunaan metode-metode yang 

tidak dapat diterima oleh mereka yang 

memang berniat untuk menempuh cara-cara 

manipulatif atau kekerasan. Selain itu media 

dapat merujuk ke berbagai perundangundangan, 

seperti UU Pers, UU Penyiaran, UU 

Perseroan Terbatas, dan sebagainya. Ini 

menciptakan lingkungan yang kompleks bagi 

media dalam melaksanakan pekerjaannya, 

sehingga seringkali sulit untuk diikuti dan 

ditaati oleh perusahaan media individual. 

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 

dibentuk untuk mengatur dan memonitor 

media penyiaran. KPI juga perlu didirikan di 

tingkat daerah (KPID) untuk memberi saran 

dan masukan kepada KPI tentang perijinan 

media penyiaran serta memberi saran dan 

masukan kepada Departemen Perubungan 

(sekarang dengan diberlakuakannya UU Pers, 

kepada Kantor Meneg Kominfo) mengenai 

pemberian ijin frekuensi kepada media 

penyiaran lokal sekali setiap tiga tahun. Selain 

itu, KPID akan memonitor isi pemberitaan 

media dan mewajibkan semua lembaga untuk 

menyimpan salinan untuk semua siaran, 

mengkaji pengaduan, dan merekomendasikan 

hukuman. Hanya saja, karena penundaan yang 

terjadi dalam pembentukan KPID, sejumlah 

media penyiaran telah memulai dan/atau 

melanjutkan kegiatan mereka tanpa ijin. Oleh 

karena itu, pembentukan dantugas KPI dan 

KPID menjadipenting dalam menciptakan 

lansekap dan lingkungan media yang kukuh 

dan adil di tingkat daerah. 

Kemungkinan Pendekatan – Usulan 

kegiatan-kegiatan untuk mendukung kebijakan 

dan perundang-undangan media adalah: 

1. Memfasilitasi akses media daerah atas 

nasihat dan dukungan dalam hal persyaratan 

dan proses hukum, serta atas mekanisme 

bantuan hukum nasional dan internasional; 

2. Menumbuhkan kesadaran media daerah 

mengenai mekanisme swa-atur yang tersedia; 

3. Mendukung mekanisme swa-atur dalam 

mendirikan cabang di daerah; 

4. Menumbuhkan kesadaran pemerintah dan 

masyarakat madani di daerah mengenai 

perundang-undangan media dan mekanismemekanisme 

swa-atur; 

5. Melalui badan-badan nasional keprofesian 

media, mendukung media penyiaran lokal 

dalam kaitannya dengan pendirian dan tatalaku 

KPI; 

6. Mendukung KPI dalam menjalankan 

fungsinya, khususnya dalam hal kebutuhan dan 

kondisi khusus yang terjadi di lingkungan 

rentan konflik. 


Dasar Pemikiran Khusus – Jaringan dan 

perkumpulan wartawan, baik antarkalangan 

mereka sendiri, di tingkat regional, maupun di 

tingkat internasional, memungkinkan praktisi 

dan lembaga media lokal maupun nasional 

untuk membina relasi, dan memfasilitasi 

penukaran pengalaman, mempromosikan 

praktek terbaik, memudahkan pencapaian 

kesepakatan tentang kebutuhan dan sikap 

kolektif, dan ‘menggalang kekuatan dengan 

bersatu-padu’. Gunanya adalah untuk 

meningkatkan kepercayaan dan kemampuan 

praktisi media dalam menegakkan standar 

profesional dan membela hak-hak media. 

Ikhtisar Temuan – Jika di Sulawesi Tengah 

telah didirikan cabang-cabang dari sejumlah 

badan profesi kewartawanan, seperti AJI, PWI, 

PRSSNI dan lain sebagainya, maka tidak 

demikian halnya dengan di Maluku Utara dan 

Maluku. Hal ini dikarenakan berbagai kendala 

administratif, teknis, dan keuangan yang 

dihadapi dalam mendirikan cabang-cabang 

daerah. Untuk menyiasatinya, praktisi media di 

Maluku Utara lantas membentuk Asosiasi 

Jurnalis Maluku Utara, sementara di Maluku 

AJI mempunyai pengaruh kuat melalui Maluku 

Media Centre (MMC. YLKI dan SPP relatif 

tidak banyak berkegiatan di ketiga provinsi ini. 

Sebenarnya terdapat beberapa kelompok 

profesi lainnya, seperti kelompok forum 

53


diskusi yang dikenal sebagai “DPR3” di 

Sulawesi Tengah, tempat media dapat 

berpartisipasi secara aktif dan membangun. 97 

Di daerah-daerah tempat cabang badan 

keprofesian absen, kalangan praktisi media 

berpendapat bahwa pengaruh dan manfaat dari 

organisasi-organisasi seperti itu relatif terbatas. 


kegiatan untuk mendukung perkumpulan dan 

jaringan media adalah: 

1. Menyikapi kendala-kendala yang dihadapi 

dan mendukung badan-badan profesi 

kewartawanan dalam mendirikan kantor 

cabang dan/atau hubungan dengan masyarakat 

media lokal; 

2. Mendukung pengembangan kemampuan 

badan-badan profesi kewartawanan di daerah, 

seperti kerjasama dalam pelaksanaan kegiatankegiatan 

pengembangan media; 

3. Membantu peran badan-badan keprofesian 

di bidang monitoring dan advokasi dalam 

rangka mendukung dan membela masyarakat 

media lokal. 

6.1.3 Monitoring dan Advokasi 

Dasar Pemikiran Khusus – Monitoring isi 

pemberitaan media dapat berfungsi baik 

sebagai peringatan dini atas praktek-praktek 

yang berpotensi memicu konflik maupun 

meningkatnya ancaman terhadap media. Selain 

itu, monitoring selayaknya dihubungkan ke 

advokasi ‘berorientasi tindakan’ dan 

mekanisme-mekanisme peringatan dini 

konflik. Dalam hal ini, monitoring dan 

advokasi menyediakan indikator untuk 

menunjukkan adanya peningkatan laranganlarangan 

yang tidak beralasan dan 

pengekangan terhadap media; sensor tak 

langsung dan swasensor (self-censorship) oleh 

praktisi dan lembaga media; penekanan 

terhadap sumber-sumber media eksternal; dan 

polarisasi media, seperti meningkatnya 

stereotyping dan penyebaran fitnah. 

Ikhtisar Temuan – Sekarang ini, di 

Sulawesi Tengah dan Maluku Utara partisipasi 

dalam mekanisme-mekanisme monitoring dan 

advokasi media cukup terbatas. Partisipasi 

sebagian besar berlangsung lewat lembagalembaga 

nasional di Jakarta, sehingga akses 

97 

DPR3 adalah pertemuan mingguan nonformal 

dengan peserta dari berbagai latar belakang profesi, 

yang menyebut diri mereka sebagai DPR3. 

terhadap informasi tentang situasi dan kondisi 

di daerah menjadi berkurang dan lambat. 

Seperti yang dilaporkan, di Ambon, MMC 

banyak bekerjasama dengan AJI dalam 

kegiatan-kegiatan monitoring dan advokasi 

media. 


kegiatan untuk mendukung monitoring and 

advokasi adalah: 

1. Mengembangkan kegiatan-kegiatan 

monitoring media yang lebih efektif dan 

responsif di Maluku Utara dan Sulawesi 

Tengah dan memanfaatkan kegiatan-kegiatan 

yang sudah ada di Maluku, yang akan 

dikaitkan ke mekanisme-mekanisme advokasi 

nasional dan internasional; 

2. Meningkatkan kemampuan media lokal 

dalam melakukan advokasi di tingkat daerah 

dan pusat dalam menyikapi permasalahanpermasalahan 

yang berkaitan dengan media; 

3. Menghubungkan monitoring ke 

mekanisme-mekanisme dan lembaga-lembaga 

peringatan dini konflik baik nasional maupun 

internasional. 

6.2 Mengembangkan Ketrampilan dan 

Sumber Daya yang Profesional 

Dasar Pemikiran Umum – Pengembangan 

dan/atau pemulihan ketrampilan dan sumber 

daya profesional memupuk kemampuan media 

dalam melakukan penelitian, menafsirkan, dan 

menkomunikasikan isu-isu konflik secara 

objektif, terandalkan, dan akurat. Selain itu, hal 

ini memberikan pemahaman yang lebih 

matang tentang peran media dan tanggung 

jawab bawaannya sebagai ‘kekuatan keempat’ 

dalam lingkungan-lingkungan rawan konflik. 

6.2.1 Transformasi Isi Pemberitaan 

Dasar Pemikiran Khusus – Penelitian di 

bidang pelatihan keprofesian bagi wartawan di 

daerah-daerah yang terkena dampak konflik 

maju selangkah dengan adanya prakarsaprakarsa 

untuk memfasilitasi potensi media 

untuk mengkomunikasikan dan mengangkat 

berita dengan gaya yang secara khusus 

diorientasikan menuju penyelesaian konflik 

secara damai. Dengan demikian media menjadi 

fasilitator penanggulangan konflik, dan 

bukannya sekedar pengamat profesional tanpa 

ikatan. Kegiatan-kegiatan transformasi isi 

54


pemberitaan seperti ini bertujuan untuk 

membantu praktisi media menangani isu-isu 

ekonomi, sosial, politik, dan agama yang 

dianggap terlalu sensitif untuk diangkat selama 

masa konflik. 98 Jika isu-isu ini tidak diangkat 

berarti akar masalah konflik tidak tertangani 

dan secara teori status quo tetap bercokol 

dengan ancamannya bahwa konflik dapat 

terjadi kembali. Sebaliknya, jika pendekatan ini 

ditempuh, tantangannya adalah bagaimana 

memastikan bahwa media tidak ‘dimanipulasi’ 

untuk kepentingan agenda tertentu atau bahwa 

media tidak hanya sekedar mendiseminasi 

informasi dan bukannya melakukan jurnalisme 

profesional. 

Dalam kasus penyebaran fitnah, intervensi 

seperti ini jarang efektif karena si pelaku 

biasanya menyebar retorika tersebut dengan 

sengaja. Tantangannya adalah untuk 

menggunakan metode persuasif maupun 

koersif, mulai dari menjalin dialog dengan 

media dan menciptakan public yang kritis dan 

melancarkan tekanan profesional, hingga 

memfasilitasi aktor-aktor nasional dan lokal 

untuk menempuh jalur swa-atur dan/atau 

hukum. 

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan perlu 

diupayakan agar lembaga dan praktisi media, 

baik di dalam suatu daerah maupun 

antardaerah, dapat saling berbagi pengalaman, 

bekerjasama dan menerapkan pelaporan 

inovatif dan teknik penerbitan yang ‘cerdas’, 

seperti menugaskan seorang pengacara untuk 

‘mengupas’ tulisan yang kontroversial sebelum 

naik cetak atau menerbitkannya di provinsi lain 

dan menerbitkannya kembali di provinsi yang 

semula. Selain itu, kegiatan-kegiatan ini dapat 

mempertemukan berbagai praktisi media, 

seperti wartawan, redaktur, dan pemilik, 

sehingga memfasilitasi penukaran gagasan dan 

pandangan mengenai perpecahan menurut 

garis agama, politik, dan suku, sehingga 

meningkatkan profesionalisme media lewat 

diversifikasi sumber informasi dan 

pengetahuan. Dalam hal ini, lembaga-lembaga 

media selayaknya berupaya untuk menjadi 

cerminan keragaman komposisi masyarakat 

dalam hal latar belakang daerah, suku, politik, 

dan agama. 

98 Meskipun lebih berorientasi terhadap jurnalisme, 

penggunaan program-program hiburan juga perlu 

dipertimbangkan, seperti drama radio dan lain 

sebagainya. 

Ikhtisar Temuan – Terlepas dari 

pemberitaan provokatif selama masa-masa 

konflik terbuka, standar profesional yang 

berlaku sekarang di ketiga provinsi ini sudah 

cukup baik jika mempertimbangkan 

lingkungan media daerah dan akses atas 

kesempatan dan sumber daya yang 

terbelakang. Meningkatnya profesionalisme 

lembaga media lokal turut dibantu oleh 

hadirnya kelompok-kelompok media nasional 

dan pelibatan lembaga-lembaga media lokal. 

Hanya saja, penggunaan ketrampilan 

profesional tahap lanjutan, seperti jurnalisme 

tanggap damai dan jurnalisme investigatif, 

masih terbatas. Selain itu, pengetahuan 

mengenai topik-topik yang berkaitan dengan 

konflik dan kemampuan untuk menangani 

topik-topik tersebut secara membangun masih 

kurang memadai. 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, di 

Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah 

telah beberapa kali diselenggarakan kegiatan 

pelatihan tentang jurnalisme damai (yang juga 

disebut sebagai pemberitaan tanggap konflik), 

sampai-sampai mulai terlihat adanya 

pengulangan. Tren pengulangan seperti ini 

makin terlihat jelas dengan hadirnya wartawanwartawan 

‘elit’ yang sama di pelatihan yang 

berbeda. Hasilnya, banyak wartawan yang 

berpengalaman dan senior memiliki 

pengetahuan yang baik mengenai teori 

jurnalisme damai dan penerapannya di 

lapangan. Meskipun begitu, ketrampilan ini 

tampaknya sedikit digunakan oleh media lokal. 

Secara lebih khusus, hal ini diakibatkan oleh 

lima kendala utama: 

• Relevansi dengan Kondisi dan Situasi 

Setempat: Meskipun sejumlah besar 

kegiatan pelatihan ini diberikan oleh orangorang 

yang pakar, yang acapkali 

didatangkan dari luar Indonesia, mereka 

tidak familier dengan realitas di daerah. 

Karena sifat pelatihan yang lebih 

menekankan teori, maka ada kendala untuk 

menerapkan bahan pelatihan ke dalam 

situasi dan kondisi setempat, di tempat 

praktisi-praktisi media lokal belum memiliki 

wawasan yang cukup untuk secara otomatis 

menafsirkan bahan pelatihan tersebut. Dan 

walaupun ini dapat disiasati dengan 

melakukan kegiatan-kegiatan tindak lanjut 

yakni pelatih berhubungan dengan 

wartawan-wartawan lokal dan menyediakan 

bantuan praktis dalam menerapkan 

55


ketrampilan yang diajarkan lewat pelatihan, 

tapi hal ini jarang terjadi. 

• Sumber Daya dan Kesempatan: 

Walaupun banyak praktisi media, mulai dari 

wartawan sampai redaktur, antusias untuk 

mempraktekkan ‘jurnalisme damai’, 

kenyataan yang ada di tempat kerja menjadi 

kendala yang cukup besar. Pasalnya, 

jurnalisme damai membutuhkan waktu dan 

sumber daya ekstra, dengan wartawan 

diharuskan untuk melakukan riset dan 

memiliki dana untuk melakukan perjalanan 

ke dan meliput komunitas masyarakat yang 

terkena dampak konflik. Selain itu, kendala 

internal juga dapat terjadi karena wartawan 

atau redaktur yang tidak menerima pelatihan 

dapat, baik secara disengaja atau tidak, 

menjadi penghalang penerapan jurnalisme 

damai. 

• Akses atas Informasi: Melanjutkan butir 

sebelumnya, media sangat tergantung pada 

pihak pemerintah sebagai narasumber. 

Padahal, baik secara disengaja atau tidak, 

pemerintah lokal dan aparat keamanan 

seringkali memberlakukan kebijakan 

informasi yang mengekang dan pelik 

sehingga menghalangi akses atas informasi 

secara efisien dan tepat waktu (lihat bagian 

berikut). 

• Kebijakan Ruang Redaksi yang Terpusat 

dan Terswasensor: Sejumlah media lokal 

secara terpusat dimiliki oleh perusahaanperusahaan 

media yang berkantor di Jakarta. 

Meskipun hal ini menguntungkan media 

lokal dalam hal akses terhadap sumber daya 

dan pelatihan, ada kalanya kebijakan ruang 

redaksi mereka dikekang demi kepentingan 

perusahaan-perusahaan tersebut. Meskipun 

tidak ada indikasi terjadinya kontrol 

keredaksian secara terang-terangan, tetap 

saja hal ini dapat berkonsekuensi dengan 

tidak terjadinya kontrol atas status quo oleh 

media lokal dan orientasi yang bersifat 

komersial. Selain itu, media lokal sendiri 

tampaknya menerapkan swasensor atas isuisu 

yang sensitif (lihat bagian berikutnya). 

• Keselamatan: Meskipun jumlah 

wartawan yang dilaporkan terluka atau 

terbunuh selama kekerasan berlangsung 

adalah kecil, wartawan tetap 

mempertanyakan keselamatan dirinya kala 

meliput daerah-daerah asing tempat 

kelompok masyarakat ‘lawan’ menetap 

(lihat bagian berikutnya). 

Meskipun semasa konflik ketiga provinsi 

tersebut berurusan dengan peliputan yang 

provokatif, yang lebih banyak disebabkan oleh 

ketrampilan profesional yang rendah dan 

kondisi yang kurang terisolasi dari opini yang 

beredar di masyarakat setempat, mayoritas 

mulai menerapkan kebijakan ruang redaksi 

yang bertujuan untuk mencegah terulangnya 

hal ini. Dalam prakteknya, hal ini berujung 

dengan swasensor atas sejumlah topik yang 

seyogianya penting untuk diangkat demi 

penyelesaian dan pencegahan konflik, seperti 

isu SARA. 

Kemungkinan Pendekatan – 

Kemungkinan-kemungkinan pendekatan yang 

diidentifikasi untuk mengembangkan 

ketrampilan dan sumber daya yang profesional 

dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (i) 

pengembangan ketrampilan, (ii) 

pengembangan pengetahuan, dan (iii) teknik 

peliputan dan penerbitan yang inovatif. 

Pengembangan Ketrampilan: 

1. Memanfaatkan suplai keahlian dalam 

jurnalisme tanggap konflik dengan menyikapi 

kendala-kendala yang menghambat penerapan 

ketrampilan ini (Mohon diperhatikan bahwa 

persoalan mengenai sumber daya, peningkatan 

pendapatan, akses atas informasi, keselamatan 

dan keswasensoran juga dibahas di usulan 

kegiatan sebelumnya dan di bawah ini); 

2. Membentuk kegiatan dan jaringan di 

bidang ketrampilan jurnalisme tingkat lanjutan, 

seperti jurnalisme investigatif, untuk praktisi 

media ‘elit’, menerapkan teknik-teknik 

peliputan dan penerbitan yang inovatif (lihat 

uraian di bawah ini); 

3. Menyelenggarakan pelatihan bagi mereka 

yang belum dilibatkan dalam jurnalisme 

tanggap konflik, sebaiknya lewat proses-proses 

yang dilakukan sendiri (in-house) dan berbasis 

umpan balik (feedback-based) yang melibatkan 

Pelatihan Pelatih (Training of Trainers) yang, 

jika memungkinkan, melibatkan mitra daerah; 

4. Membantu media dalam mencari 

keseimbangan antara hiburan dan berita, serta 

penggunaan format hiburan untuk menyikapi 

isu-isu yang terkait dengan konflik (silakan 

lihat bagian mengenai Mendukung 

Komunikasi Berbasis Masyarakat - Prakarsa 

Masyarakat Madani). 

Pengembangan Pengetahuan: 

56


1. Mengembangkan kesadaran dan 

pengetahuan tentang topik-topik utama yang 

berkaitan dengan konflik (SARA) dan 

memberikan ketrampilan dan sumber daya 

untuk meliput topik-topik tersebut secara 

profesional dan sedemikian rupa sehingga 

menanggulangi/mencegah konflik (seperti 

dijelaskan di atas). 

2. Memfasilitasi hubungan-hubungan lintasbidang 

ke sumber-sumber pakar di bidang 

tematis lainnya yang sedang dikembangkan 

UNDP (termasuk tata pemerintahan yang baik, 

akses terhadap keadilan, sumber daya alam, 

pembangunan ekonomi lokal, kohesi sosial, 

dan jender). 

Teknik Peliputan dan Penerbitan yang 

Inovatif: 

1. Membentuk kegiatan-kegiatan peliputan 

tim intra- dan antarprovinsi yang melingkupi 

ketiga propinsi dan yang melintasi batasanbatasan 

suku, agama, dan daerah (berkaitan 

dengan kegiatan pengembangan pengetahuan 

dan ketrampilan seperti dijabarkan di atas); 

2. Memfasilitasi teknik-teknik penerbitan 

‘cerdas’ bagi lembaga-lembaga media, 

terutama yang berkaitan dengan jurnalisme 

investigatif (berkaitan dengan kegiatan 

pengembangan pengetahuan dan ketrampilan 

seperti dijabarkan di atas); 

3. Jika memungkinkan, mempromosi 

kemajemukan dan pluralitas agama, suku, dan 

jender antara staf dan lembaga media. 

6.2.2 Peningkatan Kemampuan 

Kelembagaan 

Dasar Pemikiran Khusus – Kisaran dan 

skenario yang dapat diterapkan dalam rangka 

mendukung lembaga dan praktisi media untuk 

memfasilitasi produksi jurnalisme yang 

profesional sangatlah besar. Kegiatan seperti 

ini dapat berupa penyaluran bantuan keuangan 

dan/atau keorganisasian kepada lembaga media 

yang telah, atau berpotensi untuk, memberi 

dampak positif terhadap penanggulangan dan 

pencegahan konflik. Tujuan tindakan ini adalah 

untuk menyiasati kendala-kendala dan 

memperbesar akses terhadap sumber-sumber 

daya penting sehingga praktisi media dapat 

melaksanakan pekerjaan mereka sesuai dengan 

standar dan praktek profesional. 

Dalam situasi pascakonflik, bantuan 

eksternal dapat menciptakan mekanismemekanisme 

alternatif bagi produksi media, 

relokasi lembaga media, dan memperkenalkan 

metodologi kerja yang inovatif yang lebih 

sesuai untuk lingkungan pascakonflik. Bentuk 

lain dari bantuan dapat berupa penyediaan 

prasarana media yang telah dirusak atau ambil 

secara secara paksa, atau bantuan keuangan inti 

untuk menggantikan pemasukan yang hilang 

akibat menurunnya pemasangan iklan atau 

sirkulasi. Selain itu, perspektif jangka panjang 

selayaknya diarahkan untuk meningkatkan 

pendapatan dan kemandirian keuangan, 

sehingga mengurangi ketergantungan 

keuangan pada sumber-sumber eksternal dan 

fenomena ‘wartawan amplop’. 

Ikhtisar Temuan – Meskipun sudah 

beberapa tahun berlalu setelah konflik utama 

terjadi di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, 

dampaknya masih terasa. Sebagai contoh, 

sebelum konflik di daerah Tobelo, Maluku 

Utara, terdapat sejumlah radio penyiaran lokal, 

sementara setelah konflik hanya ada satu. 

Radio penyiaran lainnya tutup setelah konflik 

atau perlengkapan mereka telah dirusak. Di 

Maluku, eskalasi kekerasan tepat sebelum 

kajian berlangsung menandakan bahwa 

ancaman langsung terhadap lembaga media 

masih ada. 

Konflik juga berdampak cukup nyata 

terhadap situasi ekonomi lokal dalam arti 

bahwa pasar iklan mengalami penurunan dan 

potensi untuk mencapai kemandirian keuangan 

telah menjadi terbatas. Akibatnya timbul 

ketergantungan keuangan terhadap sumbersumber 

pemasukan eksternal, termasuk yang 

berkaitan dengan kepentingan tertentu di 

bidang ekonomi dan politik serta pendanaan 

bantuan pembangunan, juga praktek-praktek 

seperti ‘wartawan amplop’. Selain itu, 

lemahnya kondisi keuangan dari sejumlah 

besar media penyiaran yang berakibat pada 

biaya produksi berita lokal atau format 

program lainnya yang berupaya menyikapi 

konflik menjadi tak terjangkau. 


kegiatan-kegiatan untuk mendukung 

pengembangan kemampuan kelembagaan 

adalah: 

1. Bagi media lokal profesional dan 

independen yang terlibat dalam aspek lain dari 

kegiatan-kegiatan yang diusulkan, 

menyediakan dukungan kelembagaan dan 

keuangan (terutama untuk media penyiaran) 

57


dari segi biaya produksi, perlengkapan, dan 

akses atas teknologi informasi baru, seperti 

Internet; 

2. Bagi media lokal profesional dan 

independen yang terlibat dalam aspek lain dari 

kegiatan-kegiatan yang diusulkan, 

menyalurkan teknik-teknik manajemen 

keuangan dan peningkatan pendapatan untuk 

mengembangkan kemandirian dan mengurangi 

ketergantungan kepada sumber-sumber 

eksternal; 

3. Memfasilitasi akses terhadap mekanismemekanisme 

pinjaman nasional dan 

internasional yang mendukung media lokal 

profesional dan independen. 


Dasar Pemikiran Khusus – Isu 

keselamatan seringkali merintangi dan 

menciptakan halangan bagi pekerjaan praktisi 

media. Tindakan-tindakan yang berorientasi 

keselamatan dapat meningkatkan kesadaran 

mereka yang bekerja di daerah yang terkena 

dampak konflik atau individu-individu yang 

terancam karena kegiatan keprofesian mereka. 

Dengan demikian, tindakan-tindakan seperti ini 

dapat memfasilitasi keselamatan pribadi dan 

kelembagaan media dan memungkinkan 

mereka untuk menyikapi kendala-kendala 

keamanan yang timbul dari konflik secara 

cepat dan efektif. 

Ikhtisar Temuan – Selama periode konflik 

terbuka di Maluku, Maluku Utara, dan 

Sulawesi Tengah, keselamatan wartawan 

menjadi sangat terancam. Berpergian di 

daerah-daerah yang terkena dampak konflik 

menjadi sangat berbahaya dan beberapa 

wartawan yang melakukan perjalanan 

dilaporkan menjadi sasaran penyerangan, yang 

menimbulkan sejumlah korban jiwa. Di 

Maluku, kekerasan yang belakangan menyulut 

kembali telah kembali menempatkan wartawan 

dalam risiko yang tinggi. Dampak jangka 

panjangnya adalah masyarakat media yang 

khawatir jika harus mendatangi dan meliput 

secara langsung kelompok masyarakat ‘yang 

lain’. 


kegiatan-kegiatan untuk mendukung isu 

keselamatan adalah: 

1. Menyelenggarakan pelatihan keselamatan 

bagi wartawan lokal dan nasional di Maluku 

yang meliput konflik; 

2. Mengembangkan mekanisme penyaranan 

keselamatan yang responsif bagi wartawan 

lokal, yang dapat dilakukan lewat 

perkumpulan-perkumpulan 

profesi 

kewartawanan; 

3. Mendorong masyarakat media untuk 

mendatangi dan meliput kelompok masyarakat 

lain (dengan memperhatikan isu keselamatan) 

lewat teknik-teknik ‘peliputan inovatif’. 

6.3 Arus dan Akses terhadap Informasi 

Dasar Pemikiran Umum – Akses atas 

informasi dan arus informasi yang efisien dan 

efektif dari media ke konsumen, dan dari 

narasumber utama ke media, merupakan hal 

yang penting bagi media agar dapat 

memainkan peran yang membangun di bidang 

pencegahan dan penyelesaian konflik. Apabila 

arus informasi ini dikekang atau bahkan absen, 

maka ketegangan dapat meningkat dengan 

cepat akibat masuknya bentuk informasi lain 

yang tidak terandalkan, seperti rumor dan 

gosip, serta penyalur informasi yang 

menghasut dan ‘provokator’ yang bertindak di 

luar kode etik keprofesian dan struktur formal. 

Kunci untuk interaksi demikian adalah 

memastikan adanya arus informasi yang 

produktif dan saling menguntungkan antara 

kelompok-kelompok ini. Seringkali yang 

merintangi arus informasi ini adalah 

kesalahpahaman, sehingga kemampuan media 

untuk menyampaikan gambaran yang objektif 

dan akurat menjadi terhambat, yang 

seyogianya adalah sangat penting dalam 

menyikapi konflik. Arus informasi yang bebas 

hambatan juga dapat membuka koridor dan 

metode inovatif dalam mengakses informasi 

yang objektif dan akurat dan metode-metode 

peliputan semasa konflik. 


Dasar Pemikiran Khusus – Dengan 

mendukung penciptaan lingkugan media yang 

independen dan majemuk, maka lansekap 

media menjadi lebih kaya pilihan dan beragam 

dan akses masyarakat umum, terutama yang 

terdapat di daerah terpencil, terhadap informasi 

menjadi lebih besar. Dengan demikian, jika ada 

media tunggal yang berkliblat ke kepentingan 

politik, agama, suku, atau ekonomi tertentu, 

maka dengan menciptakan kemajemukan yang 

berkesinambungan akan muncul lebih banyak 

58


suara dan sudut pandang, sehingga potensi 

untuk media tunggal tersebut untuk menebar 

pengaruhnya menjadi berkurang. 

Selain itu, di tempat-tempat yang 

mengalami ‘kevakuman media’ dan dalam 

situasi penduduk setempat tidak memiliki, atau 

hanya sedikit memiliki, akses terhadap 

informasi yang objektif dan terandalkan, maka 

rumor dan gosip tetap akan menjadi bentuk 

diseminasi informasi yang utama. Hanya saja, 

tindakan untuk mengisi kevakuman media 

jangan sampai menciptakan kejenuhan pasar. 

Tindakan yang dilaksanakan juga jangan 

sampai merugikan media profesional yang 

berpotensi untuk mengembangkan jangkauan 

diseminasi dan/atau penyiaran. 

Ikhtisar Temuan – Di Maluku, Maluku 

Utara, dan Sulawesi Tengah terdapat contohcontoh 

konkrit rendahnya kemajemukan dan 

keragaman media di daerah-daerah yang 

terkena dampak konflik, serta ‘kevakuman 

media’ baik yang ada sebelum maupun yang 

timbul akibat konflik. Meskipun sudah banyak 

daerah yang telah atau sedang ditangani (lewat 

kegiatan-kegiatan UNDP yang sekarang 

sedang dilaksanakan di Maluku lewat Media 

Development Loan Fund), sejumlah daerah 

penting masih dalam situasi yang belum 

berubah. Sebagai contoh, di Tentena, Sulawesi 

Tengah, akses terhadap media profesional 

adalah sangat terbatas, sementara di Tobelo, 

Maluku Utara, hanya ada satu suratkabar lokal 

yang terbit tak menentu dan satu radio 

penyiaran lokal yang berbasis hiburan. 

Kemungkinan Pendekatan – Di daerahdaerah 

tempat akses terhadap media 

profesional kurang lancar, diberikan bantuan 

untuk memfasilitasi media profesional 

independen lokal yang ada agar jangkauannya 

dapat mencapai daerah-daerah tersebut, atau 

jika ini tidak mungkin, didirikan lembagalembaga 

media independen di daerah-daerah 

tersebut (dalam hal ini dapat dipertimbangkan 

radio dan TV komunitas, dengan merujuk ke 

perundang-undangan mengenai lembaga 

penyiaran masyarakat). Mempromosikan 

kemajemukan dan pluralitas dalam media 

profesional lokal yang ada yang bisa diakses di 

daerah-daerah terpencil. 


Dasar Pemikiran Khusus – Media tidak 

bertindak sendiri di dalam masyarakat, tetapi ia 

menjadi bagian dari komunitas yang lebih 

besar. Dengan demikian, interaksi antara media 

dan aktor-aktor masyarakat madani lainnya, 

baik kalangan akademisi, kelompok hak asasi 

manusia maupun LSM, merupakan hal yang 

penting untuk meningkatkan pemahaman 

mengenai dinamika-dinamika dan isu-isu 

pokok, selain kemampuan untuk 

mencerminkan keragaman yang ada pada saat 

melakukan peliputan. 

Dialog dan interaksi dengan pemerintah 

lokal dan pusat, dan juga dengan aparat 

keamanan, dapat bermanfaat bagi masyarakat 

media di daerah-daerah yang terkena dampak 

konflik, terutama dalam hal meningkatkan 

akses terhadap informasi. Kegiatan seperti ini 

berfungsi untuk menciptakan pemahaman yang 

lebih baik tentang peran dan kebutuhan media, 

serta untuk mengambil tindakan mendahului 

(pre-empt) atau mengupayakan pencabutan 

pengekangan oleh pemerintah. 

Ikhtisar Temuan – Akses terhadap 

informasi dari pemerintah lokal di Maluku, 

Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah ditengarai 

cukup terbatas. Meskipun hal ini tidak selalu 

disengaja, penggunaan kebijakan informasi 

‘satu pintu’ menimbulkan penyempitan saluran 

(bottleneck) dan tidak sampainya informasi 

yang memadai ke media. Pemerintah lokal di 

semua daerah tingkat provinsi memiliki bagian 

penerangan (Biro Infokom), tetapi saluran 

informasi antara mereka dan media tidak selalu 

mulus. Hal yang sama berlaku untuk aparat 

keamanan. 

Salah satu alasan utama yang dikemukakan 

pemerintah mengenai tersendatnya arus keluar 

informasi adalah rendahnya profesionalisme 

media dan asumsi ketidakmampuan mereka 

untuk memberitakan informasi secara akurat 

dan bertanggung jawab, serta budaya pegawai 

negeri yang telah mengakar berupa 

keengganan untuk memberi informasi kepada 

publik. Yang tidak mengejutkan, hasil kajian 

menunjukkan bahwa badan legislatif 

pemerintah lokal lebih terbuka dalam membagi 

informasi kepada media. 

Lembaga kantor berita nasional Antara 

adalah pemasok berita nasional. Hanya saja, di 

daerah ditemukan bahwa media tidak selalu 

berlangganan secara langsung, meskipun 

mereka tetap mengakses informasi lewat situs 

Antara (www.antara.co.id). 

59


Hubungan antara masyarkat madani dan 

kalangan akademisi terlihat lebih produktif, 

meskipun tetap saja arus informasi masih 

cukup terbatas. Selain itu, hubungan antara 

lembaga-lembaga bantuan internasional dan 

media lokal tidak selalu produktif, yang 

disebabkan persepsi media bahwa organisasiorganisasi 

ini tidak terbuka, dan persepsi 

masyarakat internasional bahwa mutu 

profesionalisme peliputan rendah dan 

seringkali tidak akurat. 


kegiatan-kegiatan untuk mendukung arus 

informasi narasumber utama-media adalah: 

1. Melibatkan badan-badan eksekutif dan 

legislatif lokal dan aparat keamanan dalam 

mengembangkan arus informasi yang saling 

menguntungkan; 

2. Meningkatkan kesadaran media tentang 

hak atas akses terhadap informasi, serta teknikteknik 

profesional untuk mengakses dan 

menafsirkan informasi (termasuk penggunaan 

teknologi informasi baru, seperti Internet dan 

SMS); 

3. Memfasilitasi hubungan masyarakat 

madani dan akademisi dengan media dalam 

rangka memperlancar arus informasi, serta 

memakai tenaga-tenaga pakar (dan tidak hanya 

pemerintah) sebagai sumber informasi dan 

narasumber yang dapat dikutip pendapatnya 

atau wawancara. 

6.4 Mendukung Komunikasi Berbasis 

Masyarakat 

Dasar Pemikiran Umum – Dalam situasi 

konflik, informasi menjadi dasar dalam 

mengkoordinasi bantuan kemanusiaan dan 

menyampaian pesan-pesan kepada publik yang 

bertujuan menanggulangi dan mencegah 

konflik. Penduduk yang rentan membutuhkan 

informasi yang akurat dan terkini agar dapat 

berfungsi dan bertahan hidup dalam kondisikondisi 

baru yang diciptakan oleh konflik. 

Padahal, biasanya pada saat konfliklah 

informasi menjadi kacau, baik informasi 

mengenai bantuan yang tersedia maupun 

tentang konflik itu sendiri. Absennya informasi 

seperti itu menyulut rasa tidak aman dan 

ketegangan, sehingga muncullah rumor dan 

informasi yang tidak berdasar, dan yang 

seringkali memanaskan keadaan dan tidak 

akurat. Dalam hal ini, penyampaian informasi 

yang akurat, terandalkan, dan objektif dapat 

meredakan keprihatinan serta persepsi bahwa 

perlu dilakukan tindakan mendahului (preemptive 

action) dalam rangka membela diri. 

Berdasarkan alur pemikiran yang sama, 

komunikasi publik juga patut untuk diterapkan 

selama masa pascakonflik, yakni pada saat 

ketegangan-ketegangan yang senantiasa dapat 

menyulut konflik masih ada dan pengetahuan 

tentang serta pemahaman atas kelompok 

masyarakat lain masih terbatas. Seperti ditulis 

dalam ‘Working with the Media in Conflicts 

and other Emergencies’ terbitan DIFD: 

‘Media massa dapat membantu 

menyalurkan arus berita yang objektif dan 

akurat serta mengulas masyarakat yang 

terperangkap dalam konflik. Ini lantas 

memberikan kepada kelompok-kelompok 

masyarakat suatu landasan pengambilan 

keputusan sebagai respons atas krisis yang 

melanda mereka. Peliputan yang objektif 

juga dapat menjadipenangkal propaganda 

dan hasutan yang menyulut konflik’. 99 

6.4.1 Forum Masyarakat 

Dasar Pemikiran Khusus – Di luar media 

massa umum dan alternatif terdapat sejumlah 

saluran komunikasi yang penting yang menjadi 

medium informasi dan komunikasi yang 

berpengaruh di tingkat masyarakat lokal. 

Forum-forum ini seringkali beperan penting 

dalam menetapkan opini dan memiliki 

kelebihan yakni informasi diperoleh dari 

narasumber yang terpercaya. Kelebihan lain 

saluran-saluran ini adalah tradisi dan/atau 

kepercayaan yang mengakar, sesuatu yang 

biasanya tidak dimiliki media umum atau 

alternatif. Dengan demikian, forum lokal 

adalah instrumen komunikasi yang kuat dan 

berpengaruh. Sebaliknya, tidak seperti pada 

media umum dan alternatif, komunikasi yang 

dijalin lewat saluran-saluran ini juga membawa 

konotasi dan nuansa sosial keagamaan yang 

kompleks sehingga tidak mudah untuk 

ditafsirkan oleh mereka yang berasal dari luar 

kelompok masyarakat lokal. 

Ikhtisar Temuan – Forum masyarakat 

tradisional terdapat di Maluku, Maluku Utara, 

99 ‘Working with the Media in Conflicts and other 

Emergencies’ hlm. 18 (Conflict and Humanitarian 

Affairs Department and Social Development 

Department, DFID, September 2000). 

60


dan Sulawesi Tengah, baik melalui agama 

maupun praktek dan upacara masyarakat yang 

sudah dilangsungkan secara turun-temurun. 

Seperti dijelaskan dalam bagian-bagian tentang 

masing-masing provinsi, kegiatan yang 

dilakukan adalah forum diskusi lokal yang 

diketuai tokoh masyarakat tradisional, upacara 

dan ajaran keagamaan, upacara penyelesaian 

konflik, pertemuan untuk merayakan peristiwa 

tertentu, dan sebagainya. Fungsi forum antara 

lain adalah menyebar informasi, melakukan 

dialog masyarakat, dan mengambil keputusan 

secara musyawarah. Selain itu, forum juga 

digunakan untuk berdakwah dan 

menyampaikan pesan-pesan yang biasanya 

dilandasi pada doktrin masyarakat atau 

keagamaan yang telah berlaku sejak lama. 


kegiatan-kegiatan untuk mendukung forum 

masyarakat adalah: 

1. Melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan 

agama dalam dialog dengan pemerintah lokal 

dan pusat serta mitra-mitra proyek 

internasional mengenai manfaat media 

tradisional untuk penyelesaian dan pencegahan 

konflik; 

2. Tokoh-tokoh masyarakat dan agama diberi 

instrumen untuk menafsirkan dan 

menyampaikan isu-isu yang berkaitan dengan 

konflik, seperti pengembangan pengetahuan 

tentang isu-isu penting yang dapat memicu 

konflik; 

3. Sedapat mungkin mengaitkan media 

tradisional dan nonkonvensional ke media 

umum dan alternatif; 

4. Tokoh-tokoh masyarakat dan agama diajak 

untuk melibatkan diri dalam proses-proses 

yang lebih luas dan untuk memberi saran dan 

masukan mengenai pengembangan dan 

pelaksanaan kegiatan-kegiatan penyelesaian 

dan pencegahan konflik. 

6.4.2 Kesenian, Musik dan 

Kesusasteraan 

Dasar Pemikiran Khusus – Musik, 

kesenian, dan kesusasteraan kontemporer dan 

tradisional memainkan peran yang besar bagi 

masyarakat. Mereka dapat bersumber dari 

budaya populer di tingkat nasional ataupun dari 

tradisi setempat yang telah ada sejak dulu. Di 

Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah 

musik dan tarian pada umumnya dipentaskan 

sebagai hiburan, yang seyogianya merupakan 

saluran komunikasi tersendiri. Kesenian dan 

kesusasteraan juga menyampaikan pesan-pesan 

tersurat atau tersirat yang memiliki implikasi 

sosial, seperti penyelesaian konflik berdasarkan 

hal-hal seperti toleransi sosial, hubungan 

kemasyarakatan yang serasi, dan penderitaan 

manusia akibat konflik. 

Ikhtisar Temuan – Di ketiga provinsi, 

musik, kesenian, dan kesusasteraan 

kontemporer dan tradisional yang bersumber 

dari tingkat lokal maupun nasional memainkan 

peran penting dalam interaksi sosial. Musik 

dan tarian, pada khususnya, memberikan 

kesamaan berpijak (common ground) bagi 

kelompok masyarakat yang bertemu, sehingga 

memfasilitasi hubungan antarmasyarakat dan 

membangun kepercayaan dan kesadaran 

bersama. Artis-artis daerah dan nasional juga 

cukup berpengaruh dan beberapa diantaranya 

menyalurkan bakat mereka untuk tujuan 

meningkatkan hubungan masyarakat dan 

menyikapi konflik karena dorongan hati 

nurani. 


kegiatan-kegiatan: 

1. Artis, musisi, dan penulis lokal dan 

nasional, baik yang beraliran tradisional 

maupun kontemporer, dibimbing untuk 

menggunakan bakat mereka untuk menyikapi 

isu-isu yang terkait konflik; 

2. Dukungan untuk festival dan acara musik 

dan kesenian yang bertujuan menyikapi isu-isu 

konflik dan menjadi forum bagi masyarakat 

untuk berkumpul berdasarkan kesamaan 

kepentingan dan saling menghargai.. 

6.4.3 Prakarsa Masyarakat Madani 

Dasar Pemikiran Khusus – Masyarakat 

madani yang terorganisasi memainkan peran 

yang kuat dalam media alternatif. Dalam 

menyikapi isu-isu kepentingan atau dalam 

menyediakan forum untuk komunikasi akar 

rumput, masyarakat madanilah yang seringkali 

berada dalam posisi yang terbaik untuk bekerja 

dengan masyarakat lokal. Selain itu, 

masyarakat madani juga memiliki potensi 

untuk mengidentifikasi dan menyikapi 

persoalan-persoalan yang timbul. Meskipun 

prakarsa-prakarsa seperti ini biasanya memiliki 

agenda tersendiri dan dirancang untuk 

menyampaikan pesan-pesan tertentu, mereka 

menjadi pentas komunikasi yang ideal, dengan 

61


kelebihan lain berupa komitmen dan partisipasi 

lokal. 

Ikhtisar Temuan – Di Maluku, Maluku 

Utara, dan Sulawesi Tengah sedang 

berlangsung sejumlah prakarsa masyarakat 

madani dan nonpemerintahan lokal, nasional, 

dan internasional. Beberapa dari prakarsa 

tersebut telah dibentuk sebagai tanggapan atas 

konflik dengan tujuan mencegah terulangnya 

kembali kekerasan, dan melalui prakarsa ini 

mereka menggunakan teknik-teknik 

komunikasi alternatif untuk menyebar pesanpesan 

mereka ke masyarakat lokal. Mereka 

memanfaatkan media publikasi, poster, dan 

forum dialog publik, serta instrumen-instrumen 

yang lebih canggih yang seringkali 

menggunakan medium berbasis hiburan 

sebagai saluran penyampaian, seperti misalnya 

drama radio dan buku komik pembelajaran 

interaktif bagi anak-anak. Kegiatan-kegiatan 

yang disebutkan terakhir biasanya 

dilaksanakan secara langsung oleh atau lewat 

kerjasama dengan mitra internasional. 


kegiatan-kegiatan untuk mendukung prakarsaprakarsa 

masyarakat madani adalah: 

1. Sembari menghindari terjadinya duplikasi, 

dukungan dapat disalurkan kepada prakarsaprakarsa 

informasi dan komunikasi masyarakat 

madani dan nonpemerintahan yang sejauh ini 

terbukti efektif, seperti majalah, komik, drama 

radio, media centre, dan sebagainya; 

2. Untuk prakarsa-prakarsa informasi dan 

komunikasi masyarakat madani dan 

nonpemerintahan yang diberi dukungan 

selayaknya dipastikan bahwa mereka: 

• Disesuaikan dengan situasi dan kondisi 

lokal dan realitas setempat; 

• Disebarkan secara efektif dan seluas 

mungkin; 

• Bersifat interaktif dan memungkinkan 

masyarakat untuk memberi umpan balik; 

• Berpautan dengan prakarsa-prakarsa 

masyarakat madani lainnya baik intramaupun 

antarprovinsi agar terjalin 

koordinasi dan saling dibaginya hikmah 

pembelajaran dan berkembangnya praktekpraktek 

terbaik. 

3. Bantuan dalam mengembangkan 

kesinambungan kelembagaan dan keuangan 

untuk prakarsa-prakarsa di bidang informasi 

dan komunikasi yang dilakukan oleh 

masyarakat madani dan nonpemerintahan. 

4. Apabila dilaksanakan bersamaan dengan 

kegiatan-kegiatan, poster dan selebaran 

disarankan untuk dirancang untuk dipampang 

di umum maupun dijadikan ‘hiasan’ rumah. 

6.5 Pertimbangan-pertimbangan dalam 

Pelaksaan 

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan: 

1. Kegiatan-kegiatan di daerah perlu 

‘dicerminkan’ di Jakarta, sehingga ada konteks 

lokal, daerah, dan nasional (dan kalau perlu 

internasional). Pendekatan ini terutama 

menjadi relevan apabila menyikapi isu-isu 

kebijakan media dan dilibatkannya media 

nasional, serta media lokal yang dimiliki atau 

digabungkan ke dalam jaringan dan 

perusahaan media nasional. 

2. Agar mereka yang didukung lewat 

bantuan dapat menerapkan ketrampilan dan 

pengetahuan yang diperoleh selama durasi 

kegiatan-kegiatan, tahap-tahap persiapan 

proyek perlu dirancang sesuai kebutuhan dan 

menggunakan pendekatan-pendekatan 

tersendiri bagi wartawan, redaktur, dan 

pemilik/penerbit, karena ketiga kelompok ini 

sangat menentukan keberhasilan penggunaan 

pelatihan dan bentuk dukungan lainnya. Jika 

hanya satu kelompok yang dibantu maka tidak 

akan tercipta pemahaman umum dalam suatu 

lembaga media mengenai manfaat-manfaat 

yang dapat dipetik. Yang sering terlihat adalah 

bahwa wartawan yang mengikuti pelatihan 

tidak dapat menerapkan ketrampilan baru yang 

mereka peroleh karena staf keredaksian tidak 

memiliki kesadaran mengenai atau menentang 

konsep-konsep pencarian berita atau 

pemberitaan yang dipeoleh dalam pelatihan. 

3. Kegiatan-kegiatan interaktif yang 

berjangka panjang sangat penting untuk 

memantapkan ketrampilan yang diperoleh dan 

sumber daya yang disediakan, sementara 

‘pelatihan bak terjun payung’ (bantuan sekali 

selesai) seringkali tidak memberi dampak yang 

berkelanjutan. Selain itu, pengembangan 

ketrampilan dan pelatihan harus disesuaikan 

dengan situasi dan kondisi setempat sehingga 

peserta dapat menerapkannya di lapangan. 

4. Penelitian akurat tentang jumlah 

pendengar radio/pemirsa televisi perlu 

dilaksanakan guna menetapkan keseimbangan 

62


antara TV dan radio di daerah perkotaan dan 

pedesaan. 

5. Jika memungkinkan, kegiatan-kegiatan 

yang dilaksanakan sebaiknya tidak membentuk 

lembaga-lembaga media baru karena 

persaingan pasar sudah cukup ketat. Jika ini 

tidak diindahkan, lembaga-lembaga yang 

didanai masyarakat internasional dapat saja 

menggusur pihak-pihak perorangan yang 

berkomitmen untuk keluar dari media. Dengan 

demikian, dukungan perlu disalurkan kepada 

mereka yang telah menunjukkan komitmen 

serius terhadap pencegahan dan penyelesaian 

konflik di masyarakat lokal mereka. 

6. Dalam hal media centre, meskipun 

Maluku Media Centre (MMC) merupakan 

model yang positif untuk kegiatan-kegiatan 

seperti itu, perlu kehati-hatian jika ada 

keinginan untuk mereproduksi sarana-sarana 

seperti ini di Maluku Utara dan Sulawesi 

Tengah. Ambon merupakan lingkungan yang 

unik tempat kelompok masyarakat yang 

bertentangan hidup di daerah yang saling 

berdekatan dan kota itu sendiri memiliki 

potensi masyaraket media yang cukup besar 

untuk menopang kesinambungan MMC. 

Untuk itu, dukungan untuk MMC perlu 

dilanjutkan. Hanya saja, efektivitas dan 

kesinambungan media centre mungkin tidak 

akan sebaik itu di provinsi lain dan mungkin 

saja akan merongrong pendanaan berbasis 

donor yang sekarang diperoleh MMC. Selain 

itu, manfaat-manfaat dalam hal jaringan dan 

sumber daya yang didapat dari suatu media 

centre dapat dicapai lewat mekanismemekanisme 

lain, yaitu seperti yang dijabarkan 

dalam rekomendasi-rekomendasi kegiatan. 

7. Pelibatan RRI di dalam kegiatan-kegiatan 

selayaknya didukung. Hanya saja, sebaiknya 

kegiatan-kegiatan yang dilakukan tidak 

bertujuan untuk ikut mentransformasi RRI dari 

lembaga penyiaran radio negara menjadi 

lembaga penyiaran layanan masyarakat, yang 

selayaknya dilakukan oleh suatu program 

substantif tersendiri. 

8. Informasi dan komunikasi tidak akan 

mengembangkan ketrampilan inti jurnalisme 

atau memiliki dampak peningkatan kapasitas 

yang berkesinambungan terhadap kemampuan 

masyarakat media yang lebih luas dalam 

menyikapi secara profesional isu-isu sensitif 

yang mereka beritakan. Pengembangan media 

bertujuan untuk memantapkan peran jangka 

panjang media dalam kaitannya dengan 

fungsinya sebagai ‘kekuatan keempat’. Dengan 

demikian, kemampuan jangka panjang dari 

media untuk berperan di bidang pencegahan 

dan penyelesaian konflik sebagai suatu fungsi 

‘otomatis’ dari keprofesiannya, tanpa 

membutuhkan intervensi atau pendanaan 

eksternal, idealnya bersumber dari 

diciptakannya lingkungan, ketrampilan, dan 

sumber daya media yang stabil dan kuat. 

9. Kegiatan-kegiatan informasi dan 

komunikasi yang menyikapi isu-isu konflik 

yang mendesak terkadang dapat menimbulkan 

kemandekan. Kegiatan-kegiatan seperti ini 

menimbulkan harapan bahwa media lokal akan 

mendapat bayaran untuk menyikapi isu-isu 

konflik yang mendesak, yang sebagai 

akibatnya akan mengurangi keinginan untuk 

bertindak atas initiatif sendiri karena rasa 

khawatir akan kehilangan pemasukan. 100 Di sisi 

lain, kegiatan-kegiatan seperti ini memberikan 

sumber pemasukan yang berharga bagi media 

independen di pasar-pasar ekonomi yang 

belum begitu berkembang. 

100 

Seringkali media lokal yang pertama kali 

mengamati adanya eskalasi ketegangan, sehingga 

mereka berada dalam posisi untuk menjadi pihak 

pertama yang dapat mengambil tindakan. 

63

Media in Central Sulawesi, North Maluku and Maluku 

LAMPIRAN 

64

Peran Media dalam Pembangunan Perdamaian dan ... - UNDP

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

Delete template?

Save as template?