20.01.2015 Views

Peran Media dalam Pembangunan Perdamaian dan ... - UNDP

Peran Media dalam Pembangunan Perdamaian dan ... - UNDP

Peran Media dalam Pembangunan Perdamaian dan ... - UNDP

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Media</strong> di Sulawesi Tengah, Maluku Utara <strong>dan</strong> Maluku<br />

letusan gunung berapi di pulau mereka.<br />

Masyarakat Makian <strong>dan</strong> Kao lantas berkonflik<br />

karena transfer secara paksa tanah milik<br />

masyarakat Kao ke masyarakat Makian,<br />

perbedaan budaya <strong>dan</strong> agama, <strong>dan</strong> persaingan<br />

atas sumber daya yang langka.<br />

Konflik Terkini di Maluku Utara<br />

Konflik terkini di Maluku Utara terjadi<br />

hampir bersamaan dengan konflik di Maluku.<br />

Meskipun begitu, tidak seperti konflik di<br />

Maluku Tengah <strong>dan</strong> Maluku Tenggara, motif<br />

awal konflik di Maluku Utara tampaknya lebih<br />

berkaitan dengan isu kewilayahan <strong>dan</strong><br />

persaingan antara kalangan elite politik lokal. 77<br />

Konflik politik berawal mula pada bulan<br />

September 1999 pada saat President BJ<br />

Habibie memekarkan Provinsi Maluku<br />

menjadi Maluku Utara <strong>dan</strong> Maluku. Usulan<br />

untuk memasukkan pulau-pulau besar<br />

Halmahera, Ternate, Tidore, <strong>dan</strong> Bacan<br />

sebagai bagian dari Provinsi Maluku Utara<br />

menghidupkan kembali persaingan lama antara<br />

kesultanan Ternate <strong>dan</strong> Tidore. Lapis elite<br />

Ternate, di bawah kepemimpinan Sultan<br />

Ternate (Mudaffar Syah), menginginkan<br />

Ternate untuk dijadikan ibukota sementara<br />

provinsi sebelum Si<strong>dan</strong>goli, sebuah desa di<br />

Halmahera Utara, dijadikan ibukota permanen.<br />

Disisi lain, Kesultanan Tidore berserikeras<br />

bahwa Soasiu, ibukota Halmahera Tengah di<br />

Pulau Tidore, dijadikan ibukota sementara<br />

sebelum Sofifi, sebuah desa di Halmahera<br />

Tengah yang berlokasi lebih dekat dengan<br />

Soasiu, dijadikan ibukota permanen.<br />

Dari persaingan antara Ternate <strong>dan</strong> Tidore<br />

tersebut muncul un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang<br />

menetapkan Ternate sebagai ibukota sementara<br />

<strong>dan</strong> Sofifi sebagai ibukota permanen.<br />

Dilaporkan bahwa pihak Ternate menanggap<br />

pemindahan ibukota ke Sofifi akan merugikan<br />

kepetingan mereka untuk jangka panjang.<br />

Disisi lain, Tidore, yang hingga saat itu<br />

tertinggal dari Ternate di bi<strong>dan</strong>g pembangunan<br />

ekonomi, akan berubah menjadi daerah yang<br />

77 Silakah merujuk ke keterangan <strong>dan</strong> kronologi kasus<br />

yang disusun oleh Yayasan Sagu, Laporan Maluku 30:<br />

Memahami Kompleksitas Konflik di Maluku Utara,<br />

Januari 2000; Smith Alhadar, “The Forgotten War in<br />

North Maluku,” Inside Indonesia, No. 63, Juli-<br />

September 2000, hlm. 15-16; Thamrin Amal<br />

Tamagola, “The Bleeding Halmahera of North<br />

Mollucas,” Jurnal Studi Indonesia, Vol 10, No. 2,<br />

2000.<br />

lebih strategis. Meskipun demikian, kalangan<br />

elit Tidore khawatir bahwa Sultan Ternate akan<br />

mempertahankan Ternate sebagai ibu kota<br />

permanen seandai terpilih sebagai gubernur<br />

<strong>dalam</strong> pemilihan gubernur pada bulan Juni<br />

2000. Oleh karena itu, bersama dengan<br />

kalangan elit Makian, elit Tidore menjadi<br />

kekuatan oposisi Sultan Ternate.<br />

Konflik makin memanas dengan<br />

dikeluarkannya PP No. 42 tahun 1999 yang<br />

memekarkan Kecamatan Kao menjadi Kao <strong>dan</strong><br />

Makian-Malifut (yang berpenduduk mantan<br />

masyarakat Pulau Makian). Dengan demikian ,<br />

lima desa yang semula menjadi bagian dari<br />

Kecamatan Kao dimasukkan ke wilayah<br />

Kecamatan Makian-Malifut untuk bergabung<br />

dengan mayoritas mantan masyarakat Pulau<br />

Makian. Kelima desa tersebut menolak untuk<br />

bergabung bukan saja karena mereka ‘telah<br />

terkait <strong>dalam</strong> satu sumpah leluhur, bahwa<br />

mereka terikat menjadi satu dengan saudarasaudara<br />

di semua Kecamatan Kao yang<br />

bernaung <strong>dalam</strong> satu ikatan Suku’, tetapi juga<br />

karena pemekaran tersebut masyarakat Makian<br />

mengambil alih kendali atas tambang emas<br />

yang selama itu menjadi sumber pemasukan<br />

utama desa-desa Kao.<br />

Tanpa menghiraukan keberatan-keberatan<br />

tersebut, pemerintah secara sepihak<br />

menyatakan pembentukan Kecamatan Malifut<br />

pada bulan Agustus 1999. Malam itu,<br />

kekerasan pecah di dua dari lima desa Kao<br />

tersebut, yaitu di Sosol and Wangeorak,yang<br />

menentang kebijakan pemerintah daerah.<br />

Kerusuhan mereda setelah Sultan Ternate turun<br />

tangan. Meskipun begitu, kebencian masih<br />

cukup besar <strong>dan</strong> pada bulan Oktober warga<br />

Kao menyerang Malifut yang berujung dengan<br />

100 korban jiwa <strong>dan</strong> 4.000 warga yang selamat<br />

terpaksa mengungsi ke Ternate <strong>dan</strong> Pulau<br />

Tidore yang bertetangga dengan mereka.<br />

Mengungsinya warga Muslim ke Ternate<br />

<strong>dan</strong> Tidore dibarengi dengan merebaknya<br />

kebencian keagamaan sehingga masyarakat<br />

Makian “membersihkan” Ternate dari orang<br />

Kristiani. Seperti dilaporkan, Sultan Ternate<br />

menolak untuk mendukung kekerasan,<br />

sehingga pemimpin-pemimpin kelompok<br />

setempat beralih ke Sultan Tidore, pesaing<br />

bebuyutan Ternate. Karena dukungannya<br />

terhadap masyarakat Kristiani, Sultan Ternate<br />

serta-merta dicap anti-Islam. Disisi lain, Sultan<br />

Tidore <strong>dan</strong> sekutu-sekutunya memakai istilah<br />

42

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!