20.01.2015 Views

Peran Media dalam Pembangunan Perdamaian dan ... - UNDP

Peran Media dalam Pembangunan Perdamaian dan ... - UNDP

Peran Media dalam Pembangunan Perdamaian dan ... - UNDP

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Ringkasan Eksekutif<br />

<strong>Media</strong> di Sulawesi Tengah, Maluku Utara <strong>dan</strong> Maluku<br />

<strong>Media</strong>, baik umum, alternatif maupun<br />

tradisional/nonkonvensional, yang andal,<br />

akurat <strong>dan</strong> objektif, dapat membantu mencegah<br />

<strong>dan</strong> menyelesaikan konflik lewat fungsi-fungsi<br />

yang tertanam di <strong>dalam</strong>nya, yaitu menyebarkan<br />

informasi secara bertanggung jawab,<br />

meningkatkan kesadaran <strong>dan</strong> pengetahuan,<br />

memajukan tata pemerintahan yang partisipatif<br />

<strong>dan</strong> transparan, <strong>dan</strong> mengungkapkan keluhankeluhan<br />

masyarakat. Dalam hal ini, efek media<br />

terhadap konflik dapat ditilik dari segi dampak<br />

negatif yang ditimbulkan oleh media yang<br />

cenderung berpropaganda <strong>dalam</strong> hal<br />

meningkatkan ketegangan <strong>dan</strong> memprovokasi<br />

konflik, serta dari segi dampak positif yang<br />

dapat ditimbulkan oleh media jika dilandasi<br />

pada standar profesional yang baku, yang<br />

ditimpal dengan ketersediaan berbagai akses<br />

terhadap informasi, sumber daya keuangan<br />

yang memadai <strong>dan</strong> kepatuhan kepada kode<br />

etik. <strong>Media</strong> seperti itu dapat memberikan<br />

sumbangan positif terhadap rekonsiliasi<br />

masyarakat, mengubah persepsi yang salah <strong>dan</strong><br />

memperluas saling pengertian mengenai<br />

penyebab <strong>dan</strong> akibat konflik.<br />

Provinsi Maluku, Maluku Utara <strong>dan</strong><br />

Sulawesi Tengah dilanda konflik tidak lama<br />

setelah dimulainya era reformasi pada tahun<br />

1998. Reformasi membawa kebebasan pers,<br />

yang tertang <strong>dalam</strong> UU Pers (30 Agustus<br />

1999), yang berarti bahwa konflik yang terjadi<br />

di ketiga provinsi tersebut diliput oleh media<br />

‘bebas’ untuk pertama kali <strong>dalam</strong> 30 tahun<br />

lebih.<br />

<strong>Media</strong> nasional melakukan liputan yang<br />

cukup menyeluruh atas konflik yang terjadi di<br />

ketiga provinsi itu. Meskipun begitu,<br />

kontinuitas <strong>dan</strong> ke<strong>dalam</strong>an peliputan sangat<br />

bervariasi akibat timbulnya beberapa konflik di<br />

Indonesia di awal era pasca-Orde Baru.<br />

Peliputan nasional juga cenderung<br />

menitikberatkan Ambon <strong>dan</strong> Maluku,<br />

sementara perhatian untuk kedua provinsi<br />

lainnya kurang konsisten.<br />

<strong>Media</strong> di masing-masing provinsi (umum,<br />

alternatif, tradisional, <strong>dan</strong> nonkonvensional)<br />

mengangkat konflik dari berbagai sudut <strong>dan</strong><br />

dengan intensitas yang beragam. Banyak yang<br />

tidak berhasil menyajikan liputan yang<br />

konsisten, independen <strong>dan</strong> berimbang <strong>dan</strong> di<br />

masa-masa awal media di ketiga provinsi<br />

menjadi sasaran serangan fisik <strong>dan</strong> tindak<br />

perlakuan salah (abuse) yang dilakukan<br />

kelompok-kelompok kombatan. Prasarana <strong>dan</strong><br />

bangunan-bangunan media dirusak atau dijarah<br />

sehingga kemudian banyak yang memutuskan<br />

untuk tutup pada saat konflik mencapai suhu<br />

tertinggi. Ini berarti bahwa ketiga-tiganya<br />

pernah melewati masa tanpa atau hampir tanpa<br />

peliputan oleh media masa lokal, sehingga<br />

menjadikan rumor <strong>dan</strong> propaganda sebagai<br />

sumber informasi lokal yang utama.<br />

<strong>Media</strong> lokal di ketiga provinsi waktu itu,<br />

<strong>dan</strong> sampai sekarang, dituding bias. Terka<strong>dan</strong>g<br />

tuduhan dilancarkan oleh pihak kombatan yang<br />

beranggapan bahwa media seharusnya menjadi<br />

corong mulut mereka, <strong>dan</strong> saat terjadi konflik<br />

ka<strong>dan</strong>g media memang berpihak atau dipaksa<br />

untuk memihak kelompok tertentu. Dalam<br />

beberapa kasus, peliputan yang tidak<br />

memenuhi kaidah independensi <strong>dan</strong><br />

keberimbangan disebabkan karena pemilikpemilik<br />

media tidak cukup terisolasi dari<br />

masyarakat <strong>dan</strong> pemberitaan mereka seringkali<br />

bias karena opini publik. Selain itu, usahausaha<br />

media itu merupakan bagian dari<br />

lingkungan bisnis lokal <strong>dan</strong> oleh karena itu<br />

keberlanjutannya tergantung kepada<br />

pemasukan dari masyarakat setempat. Kendala<br />

lain <strong>dalam</strong> peliputan yang berimbang sampai<br />

sekarang adalah ‘jurnalisme amplop’, yakni<br />

praktek jurnalisme yang memberikan imbalan<br />

kepada wartawan yang meliput peristiwa<br />

tertentu untuk menambah pemasukan pribadi.<br />

Barangkali kendala terbesar <strong>dalam</strong><br />

peliputan profesional adalah rendahnya tingkat<br />

pendidikan <strong>dan</strong> profesionalisme di kalangan<br />

praktisi media. Pemahaman konseptual <strong>dan</strong><br />

ketrampilan profesi kewartawanan untuk<br />

melakukan peliputan yang objektif <strong>dan</strong><br />

independen masih lemah, terutama karena<br />

lebih dari 30 tahun media dikekang oleh<br />

pemerintah. Tidak seperti kebebasan yang<br />

sekarang terjadi di era pasca-Orde Baru, pada<br />

jaman pemerintahan Soeharto berita<br />

diturunkan secara terpusat dari media <strong>dan</strong><br />

kantor berita negara.<br />

Banyak media <strong>dan</strong> tenaga profesional telah<br />

menerima dukungan <strong>dan</strong> berpartisipasi <strong>dalam</strong><br />

lokakarya yang diselenggarakan LSM <strong>dan</strong><br />

5

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!