TIM ADVOKASI KEBENARAN DAN KEADILAN - Elsam
TIM ADVOKASI KEBENARAN DAN KEADILAN - Elsam
TIM ADVOKASI KEBENARAN DAN KEADILAN - Elsam
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
124. Bahwa hal-hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat ahli Rudi M Rizki, S.H., LL.M<br />
yang di persidangan menyatakan bahwa melakukan penuntutan terhadap pelaku<br />
pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan suatu kewajiban negara.<br />
125. Bahwa pendapat demikian sesuai juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam<br />
Perkara Nomor 065/PUU-IV/2004 tentang pengujian UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang<br />
Pengadilan Hak Asasi Manusia tanggal 17 September 2004, yang dapat diartikan sebagai<br />
berikut:<br />
a. Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Undang-undang<br />
Nomor 26 Tahun 2000, juga didasarkan atas pertimbangan, untuk menjawab sejumlah<br />
persoalan hak asasi manusia yang selalu berulang (recurrent) yang telah dihadapi<br />
bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu yang relatif lama sehingga<br />
Pengadilan Hak Asasi Manusia ini diharapkan dapat menyelesaikan sejumlah<br />
persoalan hak asasi manusia masa lalu agar untuk menjawab sejumlah persoalan<br />
yang bersifat kontemporer atau muncul sebagai “burning issues” yang berdimensi luas<br />
mengingat Indonesia tidak dapat mengisolasi dirinya dari sejumlah persoalan hak<br />
asasi manusia yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia sebagai persoalan kolektif<br />
hak asasi manusia kontemporer;<br />
b. Oleh karenanya, dengan tidak dilakukannya penuntutan terhadap pelaku pelanggaran<br />
hak asasi manusia yang berat tidak akan menjawab persoalan hak asasi manusia di<br />
Indonesia dan akan selalu menjadi ganjalan yang tak terselesaikan. Di samping itu,<br />
tidak dilakukannya penuntutan akan melanggengkan impuniti yang memperlihatkan<br />
ketidakmampuan (unability) dan ketiadaan kehendak (unwilling) untuk menyelesaikan<br />
dugaan pelanggaran berat hak asasi manusia melalui mekanisme pengadilan nasional<br />
(domestic mechanism as a primary forum) secara terhormat dan profesional. Padahal<br />
Indonesia telah mengadopsi Rome Statute of International Criminal Court 1998,<br />
terutama yang menyangkut elemen-elemen kejahatan (elements of crimes) yang<br />
berkaitan dengan genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes<br />
against humanity);<br />
c. Bahwa perbuatan-perbuatan yang menjadi yurisdiksi KKR dan Pengadilan HAM<br />
adalah perbuatan-perbuatan yang tergolong ke dalam kejahatan-kejahatan luar biasa<br />
(extraordinary crimes) yang secara universal telah dianggap sebagai kejahatan serius<br />
terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan (the most serious crimes of<br />
concern to the international community as a whole). Lolosnya pelaku kejahatan ini dari<br />
tuntutan hukum tatkala hukum atau undang-undang secara tegas mengizinkan atau<br />
memperbolehkan hal demikian, apabila itu terjadi dan dibiarkan, maka telah terjadi<br />
pelanggaran terhadap suatu prinsip fundamental yang telah diterima secara universal<br />
sebagai asas hukum, yaitu “tidak boleh ada kejahatan yang dibiarkan berlalu tanpa<br />
hukuman” (aut punere aut de dere).<br />
126. Bahwa mekanisme penyelesaian sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ini, yang kemudian<br />
dikuatkan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, bahwa pelaku tidak akan dituntut di<br />
Pengadilan ketika perkara telah diungkap dan diselesaikan oleh KKR. Namun yang<br />
masalahnya kemudian adalah UU Nomor 27 Tahun 2004 tidak memberikan definisi dan<br />
kategorisasi pelaku, apakah pelaku yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang<br />
berat, dalam arti pelaku langsung (lapangan), ataukah juga pelaku-pelaku secara otoritas<br />
memiliki kekuasaan dan dianggap bertanggung jawab dalam hal terjadinya pelanggaran<br />
hak asasi manusia yang berat.<br />
27