NASKAH AKADEMIS dan RANCANGAN UNDANG-UNDANG
NASKAH AKADEMIS dan RANCANGAN UNDANG-UNDANG
NASKAH AKADEMIS dan RANCANGAN UNDANG-UNDANG
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pi<strong>dan</strong>a Internasional<br />
terhadap perlindungan HAM dapat dianggap hanya sebagai retorika politis<br />
karena dalam prakteknya Indonesia tidak mendukung upaya-upaya yang<br />
mengarah pada kemajuan perlindungan HAM.<br />
f. Kesiapan Infrastruktur <strong>dan</strong> Instrumen Hukum Indonesia<br />
Statuta Roma sebagai pembentuk MPI merupakan angin segar <strong>dan</strong> bentuk<br />
solidaritas sekaligus bentuk pertanggungjawaban masyarakat internasional<br />
terutama dalam upaya penegakan hukum pi<strong>dan</strong>a internasional dengan<br />
salah satu tujuannya yaitu menghentikan impunitas para pelaku kejahatan<br />
internasional. Seperti dikemukakan di atas, bahwa untuk mengadopsi<br />
ketentuan hukum internasional ke dalam ketentuan hukum nasional<br />
melaui kebijakan legislatifnya (diantaranya kebijakan meratifikasi konvensi<br />
internasional), perlu dipertimbangkan berbagai aspek untuk mengantisipasi<br />
a<strong>dan</strong>ya perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut. Dalam<br />
implementasinya di tingkatan hukum nasional diperlukan pertimbangan<br />
dari berbagai aspek yang berkembang, diantaranya sosial, budaya, politik,<br />
hukum <strong>dan</strong> ekonomi. Hanya dengan meratifikasi Statuta Roma, kita dapat<br />
memahami dengan baik melalui implementasinya di tingkat nasional.<br />
C. Pro Kontra Ratifikasi Mahkamah Pi<strong>dan</strong>a Internasional<br />
Silang Pendapat mewarnai rencana ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah<br />
Pi<strong>dan</strong>a Internasional. Kekhawatiran terbesar muncul karena pendapat yang<br />
mengatakan bahwa ketika Indonesia meratifikasi Statuta Roma berarti<br />
menyetujui <strong>dan</strong> mengikatkan diri terhadap semua aturan dalam Statuta<br />
Roma. 60 Hal ini menurut beberapa kalangan sangat beresiko khususnya bagi<br />
negara berkembang, dikarenakan pan<strong>dan</strong>gan bahwa MPI akan merongrong<br />
kedaulatan hukum nasional melalui intervensi kewenangan Mahkamah<br />
terhadap pengadilan/sistem hukum suatu negara.<br />
Perlu ditegaskan bahwa Mahkamah adalah sebuah hasil proses perundingan<br />
demokratis yang ingin menciptakan “international justice” <strong>dan</strong> lebih<br />
mengedepankan nilai-niliai hukum sesuai dengan tujuan utama PBB (Pasal 1<br />
60 Merupakan reaksi terhadap prinsip non-reservasi yang dianut oleh Statuta Roma 1998 dalam Pasal 120 yang<br />
menyatakan bahwa “No reservation may be made to this statute.” Artinya bila suatu Negara meratifikasi <strong>dan</strong> menjadi pihak<br />
dalam Statuta ini maka Negara harus menerima <strong>dan</strong> melaksanakan semua ketentuan dalam Statuta Roma tanpa kecuali.<br />
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyimpangan <strong>dan</strong> tidak sampainya tujuan yang dimaksud dalam pembuatan<br />
Statuta. Lihat William Schabas, An Introduction to the International Criminal Court, Cambridge University Press, 2001,<br />
hlm.159-160., Otto Triffterer (ed), Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Baden-Baden : Nomos<br />
Verl Ges., 1999, hlm. 1251-1263.<br />
35