Penghidupan Perempuan Miskin dan Akses Mereka terhadap Pelayanan Umum
297mj3Q
297mj3Q
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
LAMPIRAN 3<br />
Kotak A1. Dampak Lain Aturan Denda Melahirkan di Rumah<br />
Kotak A1<br />
Dampak Lain Aturan Denda Melahirkan di Rumah<br />
Informan sudah sebelas kali melahirkan. Dia melahirkan sembilan anak pertama di rumah dengan bantuan<br />
dukun. Saat mengandung 2 anak terakhir pada 2007 <strong>dan</strong> 2009, informan <strong>dan</strong> keluarganya sebetulnya<br />
sudah merencanakan untuk melahirkan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang berlokasi di<br />
ibukota kecamatan yang berjarak sekitar 11 km dari rumahnya. Namun, akhirnya keduanya lahir di rumah<br />
karena informan tidak sempat berangkat ke puskesmas.<br />
Pada proses kelahiran anak terakhir, informan sebetulnya sudah merasa akan melahirkan. Suami informan<br />
juga sudah bersiap untuk mengantarkan dirinya ke puskesmas dengan menggunakan ojek. Namun, sesaat<br />
sebelum mereka berangkat, bayi dalam kandungan informan telanjur lahir di rumah. Karena proses<br />
kelahirannya darurat <strong>dan</strong> tanpa bantuan bi<strong>dan</strong> ataupun dukun, pemotongan tali pusar bayi dilakukan oleh<br />
saudara informan.<br />
Karena takut dikenakan denda Rp500.000 akibat melahirkan di rumah, informan yang merupakan keluarga<br />
sangat miskin, langsung dibawa ke puskesmas. Dalam kondisi bayi <strong>dan</strong> plasenta masih menempel, suami<br />
informan langsung membawa informan <strong>dan</strong> bayinya yang dibalut plastik ke puskesmas dengan<br />
menggunakan ojek. Upaya yang nekat <strong>dan</strong> sangat berisiko tersebut membuat informan akhirnya dianggap<br />
melahirkan di puskesmas <strong>dan</strong> terhindar dari denda melahirkan di rumah. (Sumber: Hasil wawancara<br />
mendalam tim peneliti SMERU, 2014)<br />
98<br />
The SMERU Research Institute