30.06.2016 Views

Penghidupan Perempuan Miskin dan Akses Mereka terhadap Pelayanan Umum

297mj3Q

297mj3Q

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

daerah tujuan migrasi sehingga disparitas pendapatan menjadi faktor penentu terjadinya migrasi.<br />

Beberapa penelitian telah mendukung hipotesis tersebut (Fields, 1982; Schultz, 1982). Dengan<br />

menggunakan pendekatan analisis biaya <strong>dan</strong> manfaat yang sama, model migrasi rumah tangga<br />

akan terjadi bila sebuah rumah tangga mendapatkan keuntungan dari proses migrasi tersebut.<br />

Mincer (1978) menyatakan bahwa migrasi merupakan respons rumah tangga <strong>terhadap</strong><br />

ketidaksempurnaan yang terjadi di pasar modal <strong>dan</strong> pasar asuransi sehingga migrasi berperan<br />

sebagai perantara keuangan bagi keluarga yang mengalami keterbatasan modal. Penelitian<br />

empiris terkait hal tersebut dilakukan oleh, antara lain, Morrison (1994) yang membuktikan bahwa<br />

kondisi pasar kredit di daerah asal menjadi faktor penentu terjadinya migrasi.<br />

Dalam pembahasan internasional, migrasi mulai mendapat perhatian khusus sejak tahun 2000‐an<br />

saat isu‐isu terkait migrasi mulai dibahas pada berbagai tingkat kebijakan. ILO (2014) mencatat<br />

bahwa terdapat 232 juta orang yang melakukan migrasi internasional <strong>dan</strong> hampir 740 juta orang<br />

yang bermigrasi di dalam negeri. Secara global, 48% dari seluruh tenaga kerja yang bermigrasi<br />

adalah perempuan (ILO, 2014). Meskipun tingkat migrasi perempuan cukup tinggi, dikotomi<br />

perempuan <strong>dan</strong> laki‐laki dalam hal pekerjaan tetap terjadi, <strong>dan</strong> perempuan masih lebih banyak<br />

bekerja di sektor informal (Kawar, 2003).<br />

Menurut ILO (2013: 4), Indonesia merupakan negara pengirim pekerja migran terbanyak kedua.<br />

IOM (2011) dalam UN Women (2013: 14) memperkirakan terdapat 4.3 juta pekerja migran<br />

Indonesia yang tercatat datanya pada tahun 2009, dimana perempuan mendominasi kelompok<br />

pekerja migran tersebut dengan proporsi mencapai 75.3 persen di tahun 2006 <strong>dan</strong> 83 persen pada<br />

tahun 2009 (UNESCAP, 2008; <strong>dan</strong> IOM, 2011 dalam UN Women (2013:14)). Mayoritas pekerja<br />

migran asal Indonesia bekerja di Malaysia <strong>dan</strong> di negara‐negara Timur Tengah. Namun, saat ini<br />

mulai banyak pekerja migran Indonesia yang bekerja di Hongkong, Singapura, <strong>dan</strong> Taiwan (Hoang,<br />

Yeoh, <strong>dan</strong> Watti, 2012).<br />

Golinowska (2008) menyatakan bahwa faktor kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang<br />

lebih baik <strong>dan</strong> gaji yang lebih besar mendorong terbentuknya persepsi bahwa bekerja di luar<br />

negeri dapat memperbaiki kesejahteraan. Namun, kenyataannya bisa sangat berbeda, khususnya<br />

bagi perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Varia (2011) menyebutkan bahwa<br />

kekerasan <strong>dan</strong> perlakuan tidak adil seperti pelanggaran waktu kerja <strong>dan</strong> penahanan upah cukup<br />

umum terjadi pada perempuan pekerja migran. Penanganan kasus perlakuan tidak adil juga tidak<br />

mudah karena sulitnya melakukan regulasi pekerja migran–mengingat ruang lingkupnya bersifat<br />

antarnegara–<strong>dan</strong> lemahnya status hukum perempuan pekerja migran yang bekerja di sektor<br />

informal (Ford, 2006).<br />

<strong>Perempuan</strong> pekerja migran berisiko tinggi untuk terlibat dalam perdagangan manusia, eksploitasi<br />

tenaga kerja, pelecehan seksual, kekerasan (fisik/mental/seksual), <strong>dan</strong> diabaikan hak‐haknya<br />

sebagai pekerja (IOM, 2010). <strong>Perempuan</strong> pekerja migran yang berangkat melalui jalur migrasi legal<br />

pun umumnya tidak mendapatkan perlindungan kerja sepenuhnya dari Kementerian Luar Negeri<br />

karena sebagian besar tanggung jawab perlindungan TKI masih diserahkan kepada agen<br />

perekrutan (IOM, 2010:33). Ketika menghadapi bentuk kekerasan <strong>dan</strong> perlakuan seperti ini,<br />

mereka tidak serta‐merta bisa menghindarinya <strong>dan</strong> pulang ke negara asal. Laporan IOM (2010:30)<br />

menyebutkan bahwa sebelum berangkat ke negara tujuan, para migran ini diharuskan membayar<br />

biaya penempatan yang sangat besar. Tidak sedikit dari mereka yang tidak mempunyai <strong>dan</strong>a untuk<br />

keperluan itu <strong>dan</strong> akhirnya harus mencicil pembayarannya dengan dipotongnya gaji mereka pada<br />

saat mereka bekerja di luar negeri. Biaya yang harus mereka bayar terhitung bisa mencapai jumlah<br />

14 bulan gaji mereka. Kondisi ini diperburuk dengan a<strong>dan</strong>ya praktik penahanan dokumen mereka<br />

8<br />

The SMERU Research Institute

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!