RH7yFQ
RH7yFQ
RH7yFQ
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
FOKUS<br />
Kekerasan Politik Massal dan Kultur Patriarkhi<br />
pengalaman traumatis dengan suami maupun lingkungan tetangga serta<br />
kerabatnya, karena sejak awal dia tetap patuh berada dalam kultur<br />
patriarkhi.<br />
Ketiga kasus di atas membentuk politik memori yang berbeda.<br />
Bagi Bu Surti, ingatan yang kelam dan karena itu menjadi beban<br />
bukanlah saat-saat dia harus bekerja keras menghidupi diri dan kedua<br />
anaknya, tetapi justru saat-saat sesudah suaminya dilepas dari tahanan.<br />
Bagi Bu Siti, momen yang kelam bukanlah ketika dia harus<br />
bekerja sendirian sembari mengasuh kedua anaknya yang masih balita,<br />
tetapi ketika perselingkuhannya dengan orang lain telah membuahkan<br />
seorang anak, persis ketika mulai terdengar kabar akan adanya pelepasan<br />
para tapol secara besar-besaran pada akhir 1969. Di situ dia dihadapkan<br />
pada situasi serba tidak pasti, sementara melalui cibiran, masyarakat telah<br />
menghukumnya. Ketika suaminya pulang, dia tabrak tembok kultur<br />
patriarkhi itu dengan menjadikan suaminya sebagai sasaran antaranya.<br />
Tetapi, justru karena itu masyarakat semakin menghukumnya, dengan<br />
cara mengisolasinya dalam pergaulan sosial.<br />
Pada kasus Bu Sri yang sejak awal berada dalam posisi submisif<br />
pada kultur patriarkhi, perjalanan hidupnya relatif tidak berliku. Tidak<br />
seperti Bu Surti dan Bu Siti, bagi Bu Sri tidak ada pengalaman masa lalu<br />
yang harus dia taruh di bawah karpet. Masa lalu suami sebagai tapol<br />
bukanlah sebuah aib dalam keluarga. Bahkan karena dia tidak 'terjatuh'<br />
pada pengalaman seperti yang terjadi pada Bu Siti itu merupakan sesuatu<br />
yang membanggakannya. Tanpa disadari, dengan sikap semacam ini dia<br />
sebetulnya telah turut merepoduksi 'moralitas' dalam kultur patriarkhi.<br />
Dengan ketiga kisah di atas tampak bahwa kekerasan politik<br />
massal yang terjadi dalam masyarakat dengan kultur patriarkhi yang<br />
kental menjadikan perempuan sebagai korban tidak langsung yang efek<br />
traumatisnya mungkin lebih panjang daripada laki-laki yang menjadi<br />
korban langsung. Hal ini antara lain tampak pada sikap tidak peduli di<br />
kalangan para istri mantan tapol terhadap perubahan politik semenjak<br />
Suharto jatuh, di mana para mantan tapol kini dimungkinkan untuk<br />
mengartikulasikan memori mereka secara publik. Bila sebagian mantan<br />
tapol perempuan (apalagi laki-laki) telah menuturkan penderitaan<br />
mereka melalui memoar-memoar atau otobiografi, para istri mantan<br />
tapol seperti Bu Surti, apalagi Bu Siti, terus hidup bersama pengalamanpengalaman<br />
traumatis itu.<br />
48