05.05.2015 Views

Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM

Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM

Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Namun, Human Rights Watch mencatat sejumlah perkembangan penting di<br />

tengah masa represi Orde Baru itu. Salah satunya adalah pembentukan Komnas<br />

<strong>HAM</strong>. Meski inisiatif awal berdirinya dari pemerintah, perkembangan lembaga<br />

ini ditanggapi positif karena makin menunjukkan sikap independen.<br />

Perkembangan lainnya adalah partisipasi politik Lembaga Swadaya Masyarakat<br />

(LSM) yang kian meningkat. Saat situsi politik sedang represif seperti itu, LSM<br />

yang bergerak dalam bidang advokasi struktural merupakan kekuatan alternatif<br />

yang cukup penting dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas dan<br />

pengkritik pemerintah.<br />

Sejak kelahirannya, tahun 1970-an, peran LSM seperti dianggap pengganggu<br />

pemerintah. Apalagi saat LSM mulai menggunakan panggung internasional<br />

untuk mengkritik pelaksanaan proyek pembangunan yang umumnya didanai<br />

dari utang luar negeri, melalui forum Internasional NGO for Indonesia (INGI).<br />

Forum ini beranggotakan LSM dari Indonesia dan negara-negara donor anggota<br />

IGGI. Kampanye internasional merupakan salah satu alat yang efektif di saat<br />

pemerintah lebih mendengarkan suara negara donor –sebagai pemberi utangdaripada<br />

rakyatnya sendiri. 14 Selain itu, sistem politik yang represif membuat<br />

protes-protes terhadap pembangunan yang dilakukan di dalam negeri seperti<br />

membentur tembok karena kerap dihadapi dengan kekerasan.<br />

Strategi advokasi LSM ini cukup membuat repot pemerintah. Salah satu gerakan<br />

INGI yang membuat pemerintah murka adalah Aide Memoire INGI tahun 1989.<br />

Aide memoire itu merupakan hasil konferensi ke V INGI di Nieuwpoort, Belgia,<br />

yang dihadiri 52 peserta, 22 di antaranya berasal dari Indonesia. Aide Memoire<br />

itu, salah satunya, berisi kritik keras atas pelanggaran hak asasi manusia dalam<br />

proyek yang dibiayai Bank Dunia: pembangunan waduk Kedung Ombo di Jawa<br />

Tengah. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Insiden Brussel itu dianggap<br />

merusak citra Indonesia di luar negeri. Sebagian partisipan konferensi<br />

diinterogasi oleh aparat keamanan Indonesia dan dipanggil oleh Menteri Dalam<br />

Negeri setibanya di Indonesia. <strong>15</strong><br />

Pemerintah sebenarnya menyadari konsekuensi yang mungkin timbul dari utang<br />

luar negeri. Itulah yang tampak dalam kriteria yang dibuat pemerintah sebelum<br />

menerima tawaran, atau mengajukan permintaan utang. Kriterianya adalah (1)<br />

bantuan luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan ikatan-ikatan politik, (2) syarat<br />

pembayaran harus dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali, (3)<br />

penggunaan bantuan luar negeri haruslah untuk pembiayaan proyek-proyek yang<br />

produktif dan bermanfaat. 16<br />

Sikap pemerintah ini, yang tak mau soal utang dikaitkan dengan dengan<br />

prasyarat lain, sebenarnya juga sejalan dengan kebijakan beberapa lembaga dan<br />

negara donor untuk Indonesia. Sebagian dari mereka berusaha menghindari<br />

14 Wawancara Asmara Nababan, 2 Juni 2008.<br />

<strong>15</strong> Profil INFID, di http://www.infid.org/newinfid/content.php?lang=ID&pci=2<br />

16 Zulkarnain Zaini Djamin, Pembangunan Ekonomi Indonesia Sejak Repelita Pertama (Jakarta: Lembaga<br />

Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia, 1993), hal. 196.<br />

5

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!