05.05.2015 Views

Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM

Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM

Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Warga tak puas dengan perkembangan penanganan kasusnya oleh Komnas<br />

<strong>HAM</strong>. Pada 4 Maret 1996, empat warga Amungme, yang mengaku mewakili<br />

masyarakat suku Amungme di Irian Jaya, mengadu ke Komnas <strong>HAM</strong>. Mereka<br />

menggugat hasil temuan tim pencari fakta Komnas <strong>HAM</strong>. "Lalu bagaimana<br />

dengan 62 warga sipil yang ditembak mati di Owea, lima warga di Tsinga sesudah<br />

pengibaran bendera OPM 21 Mei dan 21 Juni 1994, tiga warga yang ditembak<br />

mati di Arwanop dan Tembagapura Desember 1994? Bagaimana pula dengan<br />

ribuan saudara-saudara kami yang telah dibunuh, ditahan secara sewenangwenang<br />

dan disiksa oleh aparat keamanan setelah peristiwa tahun 1977 di<br />

Kecamatan Agimuga? Ini berarti Komnas <strong>HAM</strong> hanya melakukan pengecekan<br />

kembali atas laporan Uskup Jayapura, bukan penyelidikan sebagaimana<br />

disebutkan sebelumnya," kata Tom Beanal.<br />

Kepada Komnas <strong>HAM</strong> yang diwakili oleh Bambang W. Suharto, Clementino Dos<br />

Reis Amaral, Soegiri dan Asmara Nababan, warga Amungme mengatakan,<br />

adanya pernyataan Komnas <strong>HAM</strong> yang melepaskan peran penting PT Freeport<br />

Indonesia dalam tuduhan pelanggaran <strong>HAM</strong> tersebut mencerminkan tidak<br />

dalamnya Komnas <strong>HAM</strong> dalam melihat akar persoalan yang sesungguhnya.<br />

Selain meminta Komnas untuk turun kembali ke lapangan, warga juga<br />

mempertanyakan hak-hak adat suku Amungme, Komoro, Dani, dan Ekari yang<br />

wilayahnya selama 28 tahun terakhir ini dikuasai oleh PT Freeport. Dalam<br />

kedatangan ke Komnas <strong>HAM</strong> ini, warga Amungme didampingi <strong>Elsam</strong>, YLBHI,<br />

dan Walhi. Selain mendatangi Komnas <strong>HAM</strong>, warga Amungme juga mendatangi<br />

DPR Komisi I pada 1 Maret 1996. Mereka diterima empat Wakil Ketua Komisi I<br />

dari FKP H. Abu Hasan Sazili, Theo Syafei (F-ABRI), BN Marbun (F-PDI), dan<br />

Ali Rasjidi (FKP).<br />

Tom Beanal sempat membacakan pernyataan sikap sukunya. Isinya, antara lain,<br />

persoalan suku Amungme dengan Freeport Indonesia belum selesai,<br />

penyelesaian tanah hanya sepihak, penyelesaian dilakukan dengan kekerasan<br />

yang menyebabkan masyarakat Amungme yang sudah ratusan tahun tinggal di<br />

daerah itu kini menjadi korban kekerasan yang terus-menerus sehingga mereka<br />

ketakutan luar biasa. Mereka mengajukan tiga tuntutan, yaitu mendesak ABRI<br />

untuk meninjau kembali posisi pemihakannya dalam persengketaan ini,<br />

mendesak perundingan tiga pihak (suku Amungme dengan pihak pemerintah<br />

pusat dan PT Freeport Indonesia), dan penarikan tentara dari tingkat kecamatan.<br />

Tak puas atas penanganan kasusnya, warga Amungme akhirnya memilih<br />

menggugat PT Freeport ke pengadilan. Tak tanggung-tanggung: ke pengadilan<br />

New Orleans, Lousiana, Amerika Serikat. 8 Tom Beanal, atas nama pribadi dan<br />

semua orang yang bernasib sama, menggugat PT Freeport-Mc MoRan Inc., di<br />

Pengadilan wilayah Timur Louisiana. Gugatan itu diajukan pengacara Martin E<br />

Regan dari Firma Hukum Regan, Manasseh & Boshea yang berkantor di New<br />

8 Harian Kompas, ”Tom Beanal Gugat Freeport di Pengadilan Louisiana”, Sabtu, 18 Mei 1996<br />

27

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!