28.02.2013 Views

indonesia0213ba_ForUpload

indonesia0213ba_ForUpload

indonesia0213ba_ForUpload

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

oleh teman sekelas setelah khotbah mingguan anti-Ahmadiyah dari guru agama Islam di<br />

sekolah. “Saya lapor ke orangtua saya. Saya takut melaporkannya ke sekolah. Saya takut guru-<br />

guru akan melaporkan orangtua saya ke Garis,” katanya, merujuk Gerakan Reformis Islam<br />

(Garis), kelompok milisi yang sering terlibat kampanye anti-Ahmadiyah di kabupaten Cianjur. 229<br />

Diskriminasi Kebijakan<br />

Di Indonesia, diskriminasi negara terkait agama tak cuma pembangunan gereja, masjid, dan<br />

pura. Beragam peraturan pemerintah mendiskriminasi minoritas agama, mulai dari pengajuan<br />

kartu tanda penduduk, akta kelahiran dan pernikahan, serta akses lain ke pelayanan<br />

pemerintah. Misalnya, pejabat kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menolak seorang pria<br />

Ahmadiyah memproses pendaftaran pernikahan karena keyakinannya. 230 Dua keluarga Baha’i<br />

di Sukadana, Lampung, melaporkan petugas pemerintah memaksa mereka mencantumkan<br />

“Islam” sebagai agama resmi di KTP, akta kelahiran dan pernikahan mereka. 231<br />

Human Rights Watch juga mewawancarai Dewi Kanti, perempuan Sunda, penganut<br />

kepercayaan lokal Sunda Wiwitan, yang menikahi pria Jawa beragama Katholik. Petugas<br />

kantor catatan sipil menolak menerima pernikahannya karena mereka tak mengakui<br />

agama si perempuan. Jika mereka punya anak, akta lahir bayi takkan mencantumkan<br />

nama si ayah. 232 Tanpa akta kelahiran lengkap, si anak akan dianggap “anak haram”<br />

menurut undang-undang, yang mengakibatkan stigma sosial. 233<br />

Kantor Bakor Pakem di Jawa Barat menolak mengakui pernikahan Sunda Wiwitan sejak<br />

1964 dan bahkan menahan pendeta Sunda Wiwitan (ayah Dewi Kanti) selama tiga bulan<br />

pada 1964 karena menjadi wali pernikahan bagi lima pasangan Wiwitan. 234<br />

229 Wawancara Human Rights Watch dengan pelajar kelas delapan di sekolah menengah pertama negeri di kecamatan<br />

Campaka, Sukadana, 14 September 2011.<br />

230 Wawancara Human Rights Watch dengan Riyon Irfanus di Metro, Lampung, 17 Oktober 2011.<br />

231 Ibid.<br />

232 Wawnacara Human Rights Watch dengan Dewi Kanti di Jakarta, 11 Juni 2012.<br />

233 Diskriminasi terhadap penganut Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan juga terjadi di kabupaten Kuningan saat pemerintah menolak<br />

mengeluarkan KTP elektronik. Pada September 2012, lebih dari 5.000 muslim Ahmadiyah melaporkan tak punya KTP baru di<br />

Kuningan. Lihat, “Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan Tidak Bisa Ikut E-KTP,” Tempo, 2 September 2012,<br />

http://www.tempo.co/read/news/2012/09/02/176426999 (diakses 2 September 2012). Di Tasikmalaya, MUI mendesak<br />

pemerintah tak mencantumkan kata “Islam” untuk KTP muslim Ahmadiyah. Lihat, “Warga Ahmadiyah Diminta Tak Cantumkan Islam<br />

di KTP,” Tempo, 14 September 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/09/14/058429511/Warga-Ahmadiyah-Diminta-Tak-<br />

Cantumkan-Islam-di-KTP?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter (diakses 14 September 2012).<br />

234 Pada Juni 1964, Bakor Pakem Kuningan mengumumkan pernikahan penganut Agama Sunda Djawa, organisasi utama<br />

Sunda Wiwitan, tidak sah. Kantor kejaksaan Kuningan kemudian menahan sembilan penganutnya, termasuk Djatikusumah,<br />

ATAS NAMA AGAMA 68

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!