indonesia0213ba_ForUpload
indonesia0213ba_ForUpload
indonesia0213ba_ForUpload
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Kanti sendiri menikahi suaminya, penganut kepercayaan Kejawen, di gereja Katholik, pada<br />
Maret 2002. Dia berkata:<br />
Suami saya memilih Katholik sebagai agama resmi dia. Tapi praktiknya<br />
keyakinan dia Kejawen. Jika kami menuntut pernikahan dengan agama<br />
kami masing-masing, maka kami takkan punya akta kelahiran bagi anak<br />
kami, yang akhirnya, tanpa nama suami saya. Kolom agama di KTP kami<br />
(tanda “-“) menciptakan stigma lainnya di Indonesia. 235<br />
Semua warga negara Indonesia harus memiliki KTP saat berusia 17 tahun. Dokumen ini<br />
sangat penting untuk keperluan transaksi dasar seperti membuka rekening bank,<br />
memperoleh surat izin mengemudi, memasuki universitas, melamar pekerjaan, atau<br />
mendapatkan uang pensiun. Ia juga dibutuhkan saat mengajukan akta kelahiran,<br />
pernikahan, dan kematian.<br />
Sejak 1978, Kementerian Dalam Negeri mewajibkan semua warga negara mencantumkan<br />
agama negara di kolom agama dalam KTP, menyediakan lima pilihan: Islam, Katholik,<br />
Protestan, Hindu, dan Buddha (menghapus Konghucu, agama yang diakui sebelumnya,<br />
yang menderita diskriminasi selama pemerintahan Suharto). 236<br />
Akibatnya, orang-orang dari ratusan keyakinan lokal lebih kecil seperti Kejawen (Jawa),<br />
Wiwitan (Sunda), Kaharingan (Dayak), Parmalin (Batak), dan penganut agama seperti<br />
Yahudi, Sikh, dan Konghucu, dipaksa memilih salah satu dari enam agama saat mereka<br />
seorang pendeta, dan delapan pengantin muda, yang dituduh menikah dengan ritual Sunda. Mengantisipasi meningkatnya<br />
permusuhan, pemimpin mereka dan ayah Djatikusumah, Tedja Buana, memutusakan keluar organisasi, bergabung ke gereja<br />
Katholik dan membuka gereja dipakai rumah ibadah Sunda. Langkah ini mendorong 5.000 penganut Sunda Wiwitan pindah<br />
ke Katholik. “Ini keputusan penting. Kakek saya menyelamatkan ribuan pengikut kami dari tuduhan ateis. Kami tak bisa<br />
membayangkan apa yang akan terjadi kalau tak melakukannya,” kata Dewi Kanti, merujuk pembantaian terhadap pengikut<br />
komunis pada 1965-1966. Namun pada Maret 1981, Djatikusumah, anak sulung Tedja Buana, menyatakan dia keluar dari<br />
gereja Katholik dan kembali ke kepercayaan lokal. Langkah ini mendorong 1.600 penganutnya pindahj ke Sunda Wiwitan.<br />
Katedral Katholik kembali diubah sebagai rumah ibadah Sunda Wiwitan. Lihat Iman C.Sukmana, Menuju Gereja Yang<br />
Semakin Pribumi: Analisis Konflik Internal Dalam Gereja Eks-Ads (Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2011).<br />
235 Wawancara Human Rights Watch dengan Dewi Kanti di Jakarta, 11 Juni 2012.<br />
236 Rezim Suharto secara resmi mendiskriminasi Konfusianisme antara 1979 dan 1998. Namun diskriminasi ini dimulai lebih<br />
awal saat melarang segala yang terkait dengan identitas China, buku-buku China, dan sekolah berbahasa China. Lihat Leo<br />
Suryadinata, “Buddhism and Confucianism in Indonesia” dalam Tim Lindsey dan Helen Pausacker (eds), Chinese<br />
Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting (Singapore: ISEAS 2005).<br />
69 HUMAN RIGHTS WATCH | FEBRUARI 2013