05.05.2015 Views

2004 Human Rights Report - Elsam

2004 Human Rights Report - Elsam

2004 Human Rights Report - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

LAPORAN HAM<br />

TUTUP BUKU DENGAN<br />

“TRANSITIONAL JUSTICE”?<br />

MENUTUP LEMBARAN HAK ASASI MANUSIA 1999-<strong>2004</strong> DAN MEMBUKA<br />

LEMBARAN BARU 2005<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)<br />

JAKARTA, 2005


TUTUP BUKU DENGAN “TRANSITIONAL JUSTICE”?<br />

MENUTUP LEMBARAN HAK ASASI MANUSIA 1999-<strong>2004</strong> DAN MEMBUKA LEMBARAN BARU 2005<br />

Januari 2005<br />

Tim Penulis:<br />

Ifdhal Kasim, SH<br />

Amirudin Arrahab<br />

Sentot Setyasiswanto<br />

Zaenal Abidin<br />

Diterbitkan oleh:<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (<strong>Elsam</strong>)<br />

Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510<br />

Tel.: (021) 797-2662, 7919-2564<br />

Fax: (021) 7919-2519<br />

Email: elsam@nusa.or.id, advokasi@indosat.net.id<br />

Website: www.elsam.or.id


EXECUTIVE SUMMARY<br />

Laporan ini merupakan hasil pengamatan<br />

atau observasi Lembaga Studi dan<br />

Advokasi Masyarakat (ELSAM) atas<br />

kewajiban negara (state obligation) dalam<br />

memajukan, melindungi, dan memenuhi hak<br />

asasi manusia. Jangka waktu yang dipilih<br />

memang terbilang panjang, yakni mulai 1999<br />

hingga <strong>2004</strong>; sepanjang masa reformasi bergulir.<br />

Tujuannya adalah untuk melihat kemajuan apa<br />

yang telah dicapai pada kurun itu, dan dari<br />

sinilah titik pijak untuk melihat prospek<br />

pemenuhan kewajiban negara pada babakan<br />

baru tahun 2005: apakah agenda penegakan hak<br />

asasi manusia yang telah dicanangkan, yakni<br />

agenda ‘transisional justice‘ sudah dicapai atau<br />

belum, apa yang perlu dilakukan selanjutnya?,<br />

atau kita telah melupakannya alias “tutup<br />

buku”?.<br />

Dalam rentang waktu sejak bergulirnya<br />

reformasi, 1999-<strong>2004</strong>, ELSAM mengamati<br />

pemenuhan kewajiban negara dalam hal<br />

pemajuan, perlindungan, dan penegakan hak<br />

asasi manusia telah mengingkari konsensus<br />

‘Reformasi’, yakni mewujudkan ‘keadilan<br />

transisional’ (transitional justice). Keadilan<br />

transisional yang dimaksud di sini adalah,<br />

keberanian politik untuk sekali dan selamanya<br />

memutuskan rantai impunitas atas dasar suatu<br />

keadilan yang kontekstual yang didambakan<br />

rakyat, yaitu keadilan bagi si korban dan<br />

hukuman bagi si pelaku. Tekad politik untuk<br />

mewujudkan ‘transisional justice’ inilah yang<br />

praktisnya macet, khususnya terlihat dengan<br />

gamblang pada lembaran tahun <strong>2004</strong>. Yang<br />

terlihat cuma tindakan-tindakan setengah hati,<br />

retoris, dan berlindung di belakang tameng<br />

ketidakjelasan hukum positif yang berlaku.<br />

Hukum berubah menjadi tempat berdalih,<br />

bukannya jalan menuju keadilan.<br />

AWAL YANG MENJANJIKAN<br />

Di awal runtuhnya rezim otoriter-Soeharto<br />

(1965-1998) terlihat semangat yang besar untuk<br />

menerapkan ‘keadilan transisional’. Negara baru<br />

atau rezim transisi mencetuskan tekad politik<br />

dan komitmen untuk menyelesaikan<br />

pelanggaran berat hak asasi manusia di masa<br />

Orde Baru, dan meletakkan dasar bagi budaya<br />

penghormatan hak asasi manusia ke depan.<br />

Tekad politik dan komitmen tersebut terlihat<br />

dari, antara lain, penyelidikan pelanggaran hak<br />

asasi manusia Mei 1998, bumi-hangus Timor-<br />

Timur pasca jajak-pendapat, dan kekerasan<br />

masa DOM Aceh; amandemen konstitusi<br />

bermuatan hak asasi manusia; produksi regulasi<br />

dan ratifikasi instrumen-instrumen perlindungan<br />

hak asasi manusia; reformasi institusiinstitusi<br />

yang selama Orde Baru terlibat dalam<br />

pelanggaran hak asasi manusia (seperti polisi,<br />

intelijen negara, dan TNI); dan menghadirkan<br />

pengadilan atas pelanggaran hak asasi manusia,<br />

yang diharapkan dapat mencegah keberulangan<br />

pelanggaran hak asasi manusia di masa depan.<br />

Pemaparan di atas kongkritnya dapat dilihat<br />

dari produksi kebijakan di sepanjang tahun<br />

1998-2000. Kita mulai dari Ketetapan MPR,<br />

yaitu mulai dari TAP MPR Nomor XVII/MPR/<br />

1998 tentang Hak Asasi Manusia; TAP MPR<br />

Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar<br />

Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2000; TAP<br />

MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan<br />

Persatuan dan Kesatuan Nasional; TAP MPR<br />

iii


Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan<br />

Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian<br />

Negara Republik Indonesia; serta TAP MPR<br />

Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan<br />

Polri. Pada kurun waktu ini pula MPR telah<br />

melakukan amandemen kedua UUD 1945, yang<br />

di antaranya memasukkan hak asasi manusia<br />

sebagai hak konstitusional. Secara garis besar<br />

dari ketetapan-ketetapan MPR tersebut dapat<br />

disimpulkan, yang menjadi arah (agenda)<br />

penegakan hak asasi manusia nasional di masa<br />

Reformasi saat ini adalah, (i) penyelesaian<br />

pelanggaran hak asasi manusia masa lalu;<br />

(ii)pembuatan regulasi tentang jaminan perlindungan<br />

dan penghormatan hak asasi manusia;<br />

dan (iii) reformasi institusi-institusi kehakiman<br />

(polisi, kejaksaan, dan pengadilan) dan institusi<br />

keamanan (TNI, Polri dan Intelijen Negara);<br />

dan penghukuman pelaku dan pemulihan para<br />

korban pelanggaran hak asasi manusia.<br />

Di tingkat Undang-undang, selama kurun<br />

waktu tersebut, kita saksikan terbit berbagai<br />

perundangan-undangan yang menjamin perlindungan<br />

dan penghormatan hak asasi manusia.<br />

Di antaranaya UU No 39/1999 tentang Hak<br />

Asasi Manusia dan UU No 26/2000 tentang<br />

Pengadilan Hak Asasi Manusia. Setelah kedua<br />

UU ini Pemerintah dan DPR RI belum<br />

memproduksi regulasi lainnya. Baru di akhir<br />

masa jabatannya, Pemerintah dan DPR<br />

mengesahkan UU No 27/<strong>2004</strong> tentang Komisi<br />

Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sementara<br />

untuk penghapusan peraturan perundangundangan<br />

yang bertentangan dengan hak asasi<br />

manusia, ELSAM mencatat pencabutan<br />

terhadap TAP MPR No IV/MPR/1983 tentang<br />

Referendum, UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum,<br />

dan UU No 11/PNPS/1963 tentang<br />

Subversi; dan beberapa Keppres dan Inpres yang<br />

membatasi hak-hak masyarakat sebagai warga<br />

negara. Tetapi di lain pihak, pemerintah juga<br />

memproduksi regulasi yang mengukuhkan<br />

peraturan yang melanggar HAM di antaranya<br />

UU No 27/1999 tentang Perubahan KUHP yang<br />

berkaitan dengan Keamanan Negara, yang tetap<br />

mempertahankan pelarangan terhadap<br />

penyebaran paham Marxisme/Leninisme.<br />

Ratifikasi instrumen internasional yang<br />

diagenda tidak semuanya berjalan sesuai yang<br />

dengan rencana yang tertuang dalam Rencana<br />

Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)<br />

1998-2003. Hingga kini, instrumen<br />

internasional hak asasi manusia yang pokok,<br />

yakni Kovenan Hak Sipil dan Politik dan<br />

Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya<br />

belum kunjung diratifikasi. Begitu pula dengan<br />

Konvensi tentang Pencegahan dan<br />

Penghukuman Kejahatan Genosida. Yang cukup<br />

menggembirakan, tahun 1999 pemerintah dan<br />

DPR telah meratifikasi 7 konvensi pokok ILO,<br />

antara lain, Convention No. 138 Concerning<br />

Minimum Age for Admission to Employment;<br />

Convention No. 111 Concerning Discrimination<br />

in Respect of Employment and Occupation; dan<br />

Convention No. 182 Concerning The Prohibition<br />

and Immediate Aaction for The Elimination of<br />

The Worst Forms of Child Labour. Selain telah<br />

meratifikasi instrumen internasional hak asasi<br />

manusia, seperti Konvensi Anti Diskriminasi<br />

Rasial 1965, Konvensi Anti Penyiksaan, dan<br />

Konvensi Anti Perbudakan.<br />

Dalam konteks penyelesaian kasus-kasus<br />

pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde<br />

Baru dan saat ini, dalam periode lima tahun ini,<br />

ditunjukkan dengan melakukan penyelidikan<br />

dan mengadilinya. Seperti diketahui, negara<br />

transisi telah membentuk komite-komite<br />

penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia<br />

(KKP HAM), antara lain, KPP-HAM Timor-<br />

Timur, Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan<br />

Mei 1998, Komite Penyelidikan Tindak<br />

Kekerasan Aceh, KPP-HAM Tanjungpriok,<br />

KPP-HAM Irian Jaya/Papua, dan seterusnya.<br />

Penyelidikan kasus-kasus tersebut, di antaranya,<br />

telah pula digelar pengadilannya, yaitu Timor-<br />

Timor pasca jajak-pendapat, Tanjungpriok, dan<br />

Abepura. Selain itu telah digelar pula peradilan<br />

di luar pengadilan hak asasi manusia, yakni<br />

melalui pengadilan pidana koneksitas dan<br />

Mahkamah Militer. Kasus Teungku Bantaqiah<br />

dan kasus 27 Juli 1996 diselesaikan melalui<br />

pengadilan (pidana) koneksitas, sedangkan<br />

kasus Theys Eluay dan Kasus Trisakti<br />

diselesaikan melalui Mahkamah Militer. Tetapi<br />

hasilnya jauh dari memuaskan, bahkan malah<br />

melanggengkan impunity; tidak ada<br />

penghukuman bagi pelaku dan keadilan bagi<br />

korban.<br />

iv


REGULASI TANPA DIDUKUNG<br />

PEMBENAHAN INSTITUSI<br />

Dukungan berbagai regulasi di bidang<br />

penegakan dan penghormatan hak asasi<br />

manusia tersebut, yang mencerminkan tekad<br />

politik negara transisi menerapkan ‘transitional<br />

justice’, ter nyata mandeg karena reformasi<br />

institusi-institusinya berjalan di tempat.<br />

Institusi-institusi seperti kepolisian, kejaksaan,<br />

dan kehakiman berjalan bagaikan siput, amat<br />

lambat. Begitu pula reformasi institusi TNI dan<br />

intelijen negara, juga berjalan dengan lambat.<br />

Pembenahan institusi-institusi ini memerlukan<br />

kepemimpinan politik yang berani mengambil<br />

tindakan yang radikal, antara lain, dengan<br />

melakukan pensiunan dini terhadap mereka<br />

yang terlibat dengan berbagai kasus korupsi dan<br />

pelanggaran hak asasi di masa Orde Baru. Tetapi<br />

persis policy inilah yang tak berani diambil!<br />

Ambil contoh reformasi kehakiman.<br />

Reformasi di sektor ini telah berhasil<br />

menempatkan Mahkamah Agung sebagai<br />

puncak tertinggi kekuasaan kehakiman melalui<br />

UU No 4/<strong>2004</strong>. Tetapi sayangnya, regulasi yang<br />

berusaha mereformasi institusi tersebut tidak<br />

disertai pula dengan reformasi secara internal<br />

lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.<br />

Substansi reformasi agar lembaga ini lebih<br />

independen dan jauh dari kooptasi kekuasaan<br />

ternyata tidak sepenuhnya dijalankan, karena<br />

sebagian besar dari fungsi dan kewenangan di<br />

masa lalu masih dipertahankan. Lembaga ini<br />

gagal melakukan pembenahan ke dalam, antara<br />

lain, dengan melakukan pensiunan dini<br />

terhadap hakim-hakim yang korup dan pelaku<br />

kekerasan pengadilan di masa Orde Baru.<br />

Reformasi disektor ini nyaris seperti<br />

memasukkan anggur lama ke dalam botol baru!<br />

Inilah yang menjadi salah satu penyebab kasuskasus<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang<br />

diadili oleh lembaga ini gagal memberi keadilan.<br />

Reformasi kelembagaan memang sarat<br />

dengan kepentingan politik. Hingga hari ini<br />

lembaga kejaksaan belum tersentuh oleh<br />

gebrakan reformasi. Padahal lembaga ini<br />

merupakan ujung tombak penegakan hukum,<br />

tetapi lembaga ini dikoopatasi oleh kepentingan<br />

politik elit yang berkuasa di masa Orde Baru.<br />

ATAS NAMA OTONOMI DAERAH DAN<br />

KONFLIK<br />

Agenda pembangunan hak asasi manusia di<br />

tingkat nasional ternyata belum bisa<br />

diimplemetasikan oleh pemerintah daerah.<br />

Kebijakan otonomi daerah malah menyebabkan<br />

pemerintah daerah – baik itu di tingkat propinsi<br />

maupun kabupaten/kota — mengeluarkan<br />

regulasi-regulasi yang bertentangan dengan hak<br />

asasi manusia sehingga penggusuran,<br />

pengusiran secara paksa, penghancuran<br />

institusi-institusi lokal turut mewarnai<br />

rangkaian pelanggaran hak asasi manusia dalam<br />

periode 1999-<strong>2004</strong>. Di tingkat pemerintah<br />

daerah sangat minim institusi-institusi perlindungan<br />

hak asasi manusia. Malah sebaliknya<br />

pemerintah daerah berlomba untuk<br />

menguatkan institusi-institusi kekerasan seperti<br />

Satuan Tugas Polisi Pamong Praja guna<br />

mengawal dan mengamankan kebijakan yang<br />

dibuatnya. Parahnya lagi, dengan<br />

mengalaskan”sesuai prosedur” pemerintah<br />

daerah sering mengingkari praktik-praktik<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang<br />

dilakukannya.<br />

Dalam menangani Aceh, pemerintah pusat<br />

melalui Keppres Nomor 28 Tahun 2003<br />

menentapkan status Darurat Militer, yang menyebabkan<br />

pengerahan pasukan militer besarbesaran<br />

ke Aceh. Begitu pula dalam menangani<br />

Papua, pemerintah mengirimkan ribuan<br />

pasukan militer untuk mendukung Operasi<br />

Militer Selain Perang di sana guna menghadapi<br />

perlawanan kelompok OPM. Hal yang sama<br />

juga diterapkan dalam menangani konflik<br />

komunal di Maluku dan Poso yang<br />

berkepanjangan, lagi-lagi pemerintah<br />

menggunakan kekuatan militer. Pola-pola<br />

penyelesaian melalui cara-cara damai<br />

sebagaimana yang nampak pada awal<br />

pemerintahan transisi terbentuk lambat laun<br />

ditinggalkan.<br />

Dengan slogan “menjaga keutuhan NKRI”<br />

pejabat-pejabat tinggi militer dan sipil seolaholah<br />

menjadi matra untuk menghalalkan caracara<br />

kekerasan digunakan. Akibatnya Extrajudicial<br />

and summary killing; penangkapan dan<br />

penahanan sewenang-wenang; penyiksaan,<br />

tindakan kejam, tidak manusiawi, merendahkan<br />

martabat dan hukuman kejam; orang hilang<br />

v


dan penemuan mayat; pembatasan ruang gerak<br />

dan pencabutan hak untuk mengeluarkan<br />

pendapat masih terus terjadi.<br />

HAK-HAK PEREMPUAN: “ALAS KAKI<br />

SIANG HARI, ALAS TIDUR MALAM<br />

HARI “<br />

Sejak runtuhnya Orde Baru perlindungan<br />

dan penghormatan terhadap hak-hak<br />

perempuan tidak mengalami peningkatan yang<br />

cukup signifikan, baik di tataran legal reform<br />

maupun institusional reform. Perempuan masih<br />

dilihat dalam perspektif “alas kaki di waktu<br />

malam, alas tidur di waktu malam”; hak-hak<br />

mereka masih terpasung di bawah kekuasaan<br />

yang patriarki!<br />

Reformasi di bidang legislasi masih jauh dari<br />

apa yang diharapkan. Setidaknya baru dua<br />

produk legislasi tentang perlindungan dan<br />

pencegahan di tingkat nasional yang berhasil<br />

diproduksi dalam lima tahun terakhir, Undangundang<br />

Nomor 23 Tahun <strong>2004</strong> tentang<br />

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

dan Undang-undang Nomor 39 Tahun <strong>2004</strong><br />

tentang Perlindungan Tenaga Kerja Perempuan<br />

di Luar Negeri. Sehingga hingga saat ini —<br />

bersama Konvensi penghapusan segala bentuk<br />

diskriminasi terhadap perempuan yang telah<br />

diratifikasi — hanya ada tiga produk legislasi<br />

nasional tentang perlindungan dan pencegahan<br />

kejahatan terhadap perempuan. Oleh karenanya<br />

DPR dan Pemerintah dapat dikatakan mandul<br />

dalam memproduksi regulasi yang melindungi<br />

dan menghormati hak-hak perempuan. Di<br />

samping itu, pemerintah dan DPR juga tidak<br />

berdaya untuk mencabut beberapa regulasi di<br />

masa Soeharto yang diskriminatif terhadap<br />

perempuan.<br />

Lemahnya upaya-upaya peningkatan<br />

penghormatan dan perlindungan terhadap hakhak<br />

perempuan telah menimbulkan begitu<br />

banyak praktik-praktik penyiksaan dan ill-treatment<br />

terhadap perempuan. Sehingga kejahatan<br />

penyiksaan, tindakan tidak manusiawi,<br />

merendahkan martabat dan hukuman kejam<br />

terhadap perempuan terus terjadi bahkan<br />

bersifat massif dan berskala besar. Dalam lima<br />

tahun ini masih belum ada tempat yang aman<br />

bagi perempuan, terutama di wilayah-wilayah<br />

konflik, di tempat kerja, bahkan dalam rumah<br />

tangga sekalipun.<br />

PENUTUP: TUTUP BUKU DENGAN<br />

“TRANSITIONAL JUSTICE”?<br />

Implementasi agenda penegakan hak asasi<br />

manusia, sebagai perwujudan dari agenda<br />

Reformasi, terlihat berjalan di tempat.<br />

Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi<br />

manusia masa lalu (dan saat ini) dilakukan<br />

dengan selektif, hanya ditujukan bagi<br />

pelanggaran pada pertengahan 80-an hingga<br />

akhir 90-an. Itupun dengan hukuman yang jauh<br />

dari rasa keadilan, dan hanya dikenakan pada<br />

aktor lapangan sedangkan aktor pembuat<br />

kebijakan tidak tersentuh sama sekali! Selective<br />

justice begitu kentara, sehingga impunity masih<br />

dinikmati oleh pelaku yang berkedudukan<br />

tinggi. Pengadilan HAM Timtim dan Tanjung<br />

Priok menjadi bukti yang sulit dipungkiri<br />

tentang bagaimana praktik impunity tersebut<br />

terus berlanjut. Pemerintahan hasil pemilu<br />

<strong>2004</strong>, SBY-JK, terlihat tidak berani menyentuh<br />

wilayah peka ini: 100 hari program<br />

pemerintahannya hampir tidak menyentuh<br />

sama sekali ranah ini!<br />

Rentang waktu lima tahun ternyata bukan<br />

waktu yang cukup bagi Pemerintah, baik itu<br />

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,<br />

untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi<br />

hak asasi manusia. Masih banyak komitmen<br />

pemerintah yang belum dikerjakan dengan<br />

tuntas, khususnya agenda-agenda “transitional<br />

justice”. Akibatnya kondisi hak asasi manusia<br />

tidak begitu berbeda denga Orde Baru. Produksi<br />

regulasi yang bertentangan dengan hak asasi<br />

manusia, reformasi institusi-institusi pelanggar<br />

hak asasi manusia yang setengah hati,<br />

pengadilan yang tak berdaya menghukun<br />

pelanggar hak asasi manusia, penggunaan caracara<br />

militer dalam menangani konflik, perilaku<br />

patriarki pemerintah yang merasuk ke berbagai<br />

lapisan masyarakat telah menggenapkan<br />

rangkaian kegagalan penghormatan dan perlindungan<br />

hak asasi manusia di Indonesia.<br />

Pemerintahan yang baru, SBY-JK, terlihat<br />

gamang mendekati masalah serius ini. Selama<br />

100 hari program kerjanya, pemerintahan SBY-<br />

JK tidak memiliki strategi dan visi menuntaskan<br />

kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, dan<br />

membangun perbaikan keadaan hak asasi<br />

vi


manusia ke depan. Tidak adanya langkah yang<br />

berarti yang diambil dalam 100 hari pertama<br />

pemerintahan SBY-JK dalam penyelesaian dan<br />

penegakan hak asasi manusia, akhirnya<br />

membawa kita pada pertanyaan: pemerintah<br />

sudah menutup buku dengan “transitional justice”?<br />

REKOMENDASI:<br />

Berangkat dari pemaparan hasil pengamatan<br />

kami di atas, Lembaga Studi dan Advokasi<br />

Masyarakat (ELSAM) menawarkan langkah<br />

berikut ini, sebagai rekomendasi, yang harus<br />

dilakukan negara transisional.<br />

Khusus kepada Pemerintah Nasional, kami<br />

mendesakkan :<br />

1. Melanjutkan proses reformasi regulasi<br />

yang belum lengkap di antaranya terhadap<br />

berbagai UU yang belum dibentuk yang<br />

seharusnya menjadi bagian dari regulasi<br />

yang lain. UU tersebut diantaranya adalah<br />

UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU<br />

mengenai Kompensasi, Restitusi dan<br />

Rehabilitas, UU mengenai Ratifikasi<br />

Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, UU<br />

mengenai Ratifikasi Konvensi hak-hak<br />

Ekonomi, Sosial dan Budaya.<br />

2. Melakukan amandemen terhadap<br />

regulasi/UU yang masih banyak<br />

mempunyai kendala subtansial dan tidak<br />

sinkron dengan regulasi lainnya. UU<br />

tersebut di antaranya Kitab Undangundang<br />

Hukum Pidana, UU Hukum Acara<br />

Pidana, UU No. 39 Tahun 1999 tentang<br />

Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun<br />

2000 tentang Pengadilan HAM, Kitab<br />

Undang-Undang Hukum Pidana Militer<br />

3. Mencabut regulasi yang masih tersisa<br />

yang bertentangan dengan hak asasi<br />

manusia terutama yang bertentang dengan<br />

Ketentuan mengenai HAM di UUD 1945.<br />

4. Lembaga-lembaga pelaksana regulasi<br />

harus melakukan reformasi internal untuk<br />

menghilangkan warisan watak orde baru<br />

sehingga reformasi regulasi yang terjadi<br />

juga diimbangi dengan perubahan internal<br />

di lembaga-lembaga tersebut.<br />

5. Mengembalikan penyelesaian persoalan<br />

sparatisme dan konflik sosial serta perang<br />

melawan terorisme melalui cara-cara<br />

damai, dan sebisa mungkin meminimalisir<br />

penggunaan kekuatan bersenjata dalam<br />

penyelesaian sparatisme dan konflik sosial<br />

serta perang melawan terorisme.<br />

6. Mempercepat proses reformasi di tubuh<br />

kepolisian.<br />

7. Mempercepat proses reformasi di tubuh<br />

TNI.<br />

8. Mempercepat proses reformasi di<br />

institusi kejaksaan<br />

9. Mempercepat proses reformasi di<br />

institusi pengadilan.<br />

Khusus kepada Pemerintah Daerah, kami<br />

mendesakkan:<br />

1. Melakukan audit terhadap regulasi<br />

daerah dengan menggunakan konstitusi<br />

dan hukum hak asasi manusia sebagai<br />

indikator audit dan selanjutnya mencabut<br />

regulasi daerah yang bertentangan dengan<br />

konstitusi dan hukum hak asasi manusia<br />

nasional<br />

2. Membuat regulasi-regulasi di tingkat<br />

daerah untuk mendorong pelaksanaan<br />

hukum hak asasi manusia nasional di<br />

tingkat daerah<br />

3. Mengembalikan fungsi Satuan Polisi<br />

Pamong Praja sebagai satuan pengaman<br />

internal.<br />

4. Menyelenggarakan training hak asasi<br />

manusia bagi aparatur pemerintahan<br />

daerah secara berkala dengan mengundang<br />

para pengajar dari kalangan akademisi dan<br />

praktisi hak asasi manusia.<br />

5. Membuka Kantor Perwakilan Komisi<br />

Nasional Hak Asasi Manusia di Wilayahnya<br />

dan bekerjsama dengan Komnas HAM<br />

untuk melakukan pemantauan kondisi<br />

hak asasi manusia di daerahnya secara<br />

periodik.<br />

6. Mempublikasikan laporan kondisi hak<br />

asasi manusia daerahnya secara periodik<br />

kepada publik lokal.<br />

vii


DAFTAR ISI<br />

EXECUTIVE SUMMARY iii<br />

BAGIAN PERTAMA<br />

Pendahuluan 1 | Tujuan dan Cakupan 3 |<br />

Metode Pengumpulan dan Analisis Data 4 | Sistematika Laporan 4 |<br />

BAGIAN KEDUA<br />

Perjalanan Penegakan Hak Asasi Manusia Periode 1999-<strong>2004</strong>: Produksi Kebijakan dan<br />

Implementasinya 6<br />

Pengantar 6 | Komitmen dan Agenda Penegakan Hak Asasi Manusia 7 | Implementasi Atas<br />

Agenda Penegakan Hak Asasi Manusia 1999-<strong>2004</strong> 8 | Kesimpulan 24 |<br />

BAGIAN KETIGA<br />

Menguatnya Penggunaan Regulasi Keadaan Darurat dan Pengerahan Kekuatan Militer:<br />

Kondisi Hak Asasi Manusia di Wilayah-wilayah Konflik 28<br />

Pengantar 28 | Menguatnya Penggunaan Regulasi Kedaruratan dan Pengerahan Kekuatan<br />

Militer oleh Negara Sepanjang 1999-<strong>2004</strong> 29 | Pelanggaran Hak Asasi Manusia 33 | Respon<br />

Negara Atas Kejahatan Hak Asasi Manusia 38 | Kesimpulan 39 |<br />

BAGIAN KEEMPAT<br />

Atas Nama Memacu Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Daerah: Kasus-Kasus<br />

Pengusiran Paksa Penduduk Lokal oleh Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia<br />

Dalam Kerangka Otonomi Daerah 41<br />

Pengantar 41 | Implementasi Otonomi Daerah di Berbagai Daerah 41 | Perlindungan dan<br />

Penegakan HAM dalam Otonomi Daerah 43 | Peristiwa-peristiwa Pengusiran Paksa Periode<br />

1999-<strong>2004</strong> 46 | Pengingkaran Pemerintah Daerah Atas Kejahatan Hak Asasi Manusia 47 |<br />

Pengusiran Paksa: Kejahatan Berat Hak Asasi Manusia oleh Pemerintah Daerah 48 |<br />

Kesimpulan 50 |<br />

BAGIAN KELIMA<br />

Tak Ada Satu pun Tempat Aman Untuk Kami: Kasus-kasus Penyiksaan dan Ill-Treatment<br />

terhadap Perempuan Periode 1999-<strong>2004</strong> 52<br />

Pengantar 52 | Upaya-upaya penegakan Hak-Hak Perempuan 53 | Akibat Buruknya<br />

Pelaksanaan Perbaikan Hak-hak Perempuan: Kasus-kasus Penyiksaan dan Ill Treatment<br />

terhadap Perempuan di Indonesia 54 | Pengingkaran Negara Atas Kejahatan Penyiksaan,<br />

Perlakuan Tidak Manusiawi, Merendahkan Martabat dan Hukuman Kejam Terhadap<br />

Perempuan 58 | Kesimpulan 59 |<br />

BAGIAN KEENAM<br />

Kesimpulan dan Rekomendasi 62<br />

Rekomendasi 64 | Kepada Pemerintah Nasional 64 | Kepada Pemerintah Daerah 65 | Kepada<br />

DPRD Seluruh Indonesia 65 | Rekomendasi Khusus 65 | Kepada Pemerintah Nasional 65 |<br />

Kepada TNI/POLRI 65 | Kepada Pemerintah Daerah 66 | Kepada DPR dan DPRD 66 |<br />

viii


BAGIAN PERTAMA<br />

Pendahuluan<br />

Ketika tahun <strong>2004</strong> berganti, berarti kita<br />

telah lima tahun dalam era reformasi.<br />

Meskipun telah lima tahun, penuntasan<br />

berbagai permasalahan hak asasi manusia terasa<br />

belum begitu mengembirakan. Bahkan dalam<br />

dua tahun terakhir ini, perlindungan dan<br />

pemajuan hak asasi manusia seakan kembali<br />

ketitik terendah, karena reformasi kelembagaan<br />

dan ratifikasi instrumen norma hak asasi<br />

manusia internasional belum terjadi seperti<br />

yang diharapkan. Di samping itu, upaya untuk<br />

mencegah berulangnya pelanggaran hak asasi<br />

manusia terasa sangat lamban serta belum<br />

memiliki arah yang jelas. Dengan sendirinya kita<br />

kembali mengalami berulangnya pelanggaran<br />

hak asasi manusia yang bahkan tidak bisa kita<br />

bedakan dengan pelangaran di era Soeharto.<br />

Situasi serba lamban itu disebabkan oleh<br />

beberapa faktor yaitu: (i) Kembali menguatnya<br />

penggunaan regulasi kedaruratan yang disertai<br />

pengerahan kekuatan militer untuk<br />

menyelesaikan tuntutan kemerdekaan atau<br />

konflik sosial di beberapa daerah; (ii) Terlalu<br />

bersandarnya agenda perbaikan ekonomi<br />

nasional kepada pemilik modal; (iii)<br />

Diabaikannya hak-hak ekosob masyararakat<br />

dalam proses desentralisasi kekuasaan; dan (iv)<br />

Masih lestarinya watak patriarki dalam birokrasi<br />

negara. Keempat faktor itu pada gilirannya<br />

membuat negara lebih berpihak kepada pemilik<br />

modal di satu sisi dan menyisihkan perempuan<br />

dari proses pengambilan keputusan politik<br />

nasional di sisi lain.<br />

Dalam era reformasi ini, agenda utama yang<br />

dituntut masyarakat, terutama korban dan<br />

keluarga korban, adalah penyelesaian kasus<br />

pelanggaran hak asasi manusia pada masa<br />

Soeharto. Untuk menjawab tuntutan itu mulai<br />

diselidiki kasus kerusuhan Mei dan Penculikan<br />

aktivis pro-demokrasi, DOM Aceh dan<br />

kejahatan militer di Timor Lorosae pasca jajak<br />

pendapat. Kemudian penyelidikan berlanjut ke<br />

kasus seperti kasus penembakan mahasiswa<br />

Trisakt-Semanggi, Talangsari dan kasus-kasus<br />

pelanggaran hak asasi manusia di Papua.<br />

Sayangnya, sebagian besar hasil penyelidikan<br />

itu, di dalam pengadilan tidak mendapatkan<br />

respon yang baik. Hal itu terlihat dari bebasnya<br />

para terdakwa. Bahkan tak jarang pula ada hasil<br />

penyelidikan terkatung-katung nasibnya karena<br />

berkasnya selalu bolak-balik antara Komnas<br />

HAM dan Kejaksaan Agung. Kondisi ini-lah<br />

yang menimbulkan skeptisme dari masyarakat<br />

terhadap proses reformasi institusi peradilan.<br />

Rendahnya kepercayaan itu kemudian<br />

diperburuk oleh masihnya tingginya tingkat<br />

korup di lembaga-lembaga peradilan tersebut.<br />

Selain itu lembaga peradilan juga tidak mampu<br />

mengatasi atau menolak intervensi dari pihak<br />

eksekutif, legislatif, serta institusi militer atau<br />

polisi.<br />

Sepanjang lima tahun terakhir, pemerintah<br />

— baik di tingkat pusat, propinsi, maupun<br />

kabupaten/kota — dalam membuat kebijakan<br />

baru terlihat lebih banyak mengabaikan hak<br />

asasi manusia ketimbang memberikan<br />

perangkat melindungi. Produk undang-undang<br />

yang melindungi hak asasi manusia di awal<br />

reformasi dalam perkembangannya belum<br />

menjadi acuan bagi daerah seperti provinsi dan<br />

kabupaten/kota dalam membuat kebijakan<br />

baru. Kadang kala kebijakan yang tidak respek<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

1


terhadap hak asasi manusia itu direproduksi<br />

atau diproduksi dengan alasan tingginya potensi<br />

konflik di berbagai daerah, seperti<br />

perkembangan masalah di Aceh dan Papua, atau<br />

konflik antar etnis atau bernuansa agama yang<br />

terjadi di Maluku, Poso dan Kalimantan. Alasan<br />

lain dari dikeluarkannya kebijakan yang tidak<br />

respek terhadap hak asasi manusia itu adalah<br />

perlunya jaminan keamanan untuk investasi<br />

demi perbaikan kondisi ekonomi nasional.<br />

Kebijakan yang tidak respek hak asasi manusia<br />

ini pada gilirannya mengabaikan pula hak-hak<br />

perempuan. Pengiriman besar-besaran<br />

perempuan ke manca negara sebagai TKW<br />

adalah contoh nyata dari situasi ini.<br />

Keadaan lain yang membuat perlindungan<br />

dan pemenuhan hak asasi manusia lamban<br />

adalah belum terjadinya reformasi yang<br />

signifikan dalam institusi militer, intelijen dan<br />

kepolisian. Kelambanan itu terjadi karena<br />

kurangnya dukungan dari parlemen dan<br />

departemen terkait. Semua itu terjadi karena<br />

kuatnya kepentingan personal, terutama personal<br />

yang terlibat masalah pelanggaran hak<br />

asasi manusia dalam menentukan arah dari<br />

reformasi institusi-institusi tersebut. Akibatnya<br />

upaya Komnas HAM untuk melakukan<br />

penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia dan<br />

Pengadilan HAM untuk membuktikan<br />

terjadinya pelanggaran terbentur pada aturanaturan<br />

internal institusi-institusi tersebut. Di sisi<br />

lain peranan institusi keamanan dan pertahanan<br />

ini kian menjadi dominan tak kala konflik terus<br />

menerus berkembang, sementara itu para<br />

pejabat sipil dan parlemen tidak percaya diri<br />

menghadapi konflik tersebut.<br />

Peristiwa kekerasan yang terus terjadi dalam<br />

lima tahun belakangan ini telah memaksa lebih<br />

dari 3 juta penduduk meninggalkan kampung<br />

halamannya dan terpaksa hidup di kamp-kamp<br />

pengungsian dalam batas waktu yang tidak<br />

-terbatas. Setidaknya saat ini 3 juta orang korban<br />

tersebut hidup dalam kemiskinan dan sangat<br />

bergantung dengan uluran tangan pemerintah<br />

dan organisasi-organisasi kemanusiaan nasional<br />

maupun internasional. Para korban itu saat ini<br />

hidup dalam ancaman serangan busung lapar,<br />

kekurangan gizi, dan penyakit menular<br />

berbahaya lainnya. Dan celakanya, mayoritas<br />

dari korban tersebut adalah perempuan dan<br />

anak-anak.<br />

Di samping itu, dalam lima tahun ini<br />

langkah-langkah pembenahan ekonomi Indonesia<br />

patut untuk diperhatikan karena programprogram<br />

ini kerap berkontribusi terhadap<br />

berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi<br />

manusia di Indonesia. Program-program recovery<br />

ekonomi yang menitiktekankan pada<br />

pembuatan regulasi liberalisasi ekonomi Indonesia<br />

ini diketahui menjadi penyebab praktikpraktik<br />

pelanggaran dalam bentuk perampasan<br />

tanah petani dan masyarakat asli oleh<br />

perusahaan, penggusuran rumah/tempat tinggal<br />

masyarakat miskin kota, PHK, dan semakin<br />

buruknya akses penduduk atas fasilitas<br />

pendidikan dan kesehatan. Dengan<br />

mengatasnamakan memacu pertumbuhan<br />

ekonomi nasional atau daerah, pemerintah<br />

bersama-sama parlemen kemudian<br />

memberikan kekebalan kepada pemilik modal<br />

dalam bentuk jaminan modal dan pemenuhan<br />

seluruh kebutuhan-kebutuhan dari para<br />

pemodal tersebut. Praktis seluruh sektor<br />

ekonomi di pedesaan dan kota telah dikuasai<br />

oleh para pemilik modal, dan penduduk hanya<br />

menjadi pengisi tenaga kerja kasar di situs-situs<br />

ekonomi besar.<br />

Meskipun Indonesia telah meratifikasi<br />

instrumen internasional tentang hak-hak<br />

perempuan, bahkan jauh sebelum gerakan hak<br />

asasi manusia di Indonesia menguat, namun<br />

tidak membuat kondisi perempuan dengan<br />

sendirinya membaik. Laporan adanya kasuskasus<br />

penyiksaan, tindakan tidak manusiawi,<br />

merendahkan martabat dan hukuman kejam<br />

terhadap kelompok perempuan terus<br />

meningkat hingga mengkhawatirkan banyak<br />

pihak. Peristiwa-peristiwa ini nyaris ditemukan<br />

di seluruh propinsi, tanpa melihat apakah<br />

propinsi tersebut masuk dalam kategori maju<br />

atau tidak. Para korbannya pun berasal dari<br />

semua tingkatan status sosial. Para pelaku dari<br />

kejahatan ini pun tidak melulu negara,<br />

melainkan sudah meluas hingga ke wilayah<br />

domestik. Di wilayah-wilayah konflik<br />

bersenjata, intensitas kejadiannya cukup tinggi<br />

dan sangat terkait erat dengan penggunaan<br />

strategi perang yang digunakan pihak-pihak<br />

yang bertikai. Sementara di wilayah non-konflik<br />

intensitas dari kejahatan ini juga cukup<br />

2 Bagian I


meningkat dan terkait erat dengan sejumlah<br />

langkah-langkah negara dalam memulihkan<br />

perekonomian nasional, proses desentralisasi<br />

dan kebijakan perang melawan terorisme.<br />

Kecenderungan yang semakin memburuk ini<br />

semakin diperparah dengan tidak berjalannya<br />

agenda pembangunan dan perbaikan hak-hak<br />

perempuan. Terbatasnya produksi regulasi di<br />

tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota<br />

berkaitan dengan perlindungan dan penegakan<br />

hak-hak perempuan; proses reformasi di tubuh<br />

institusi pemerintahan dan parlemen yang tetap<br />

melanggengkan sistem patriarki; serta ketiadaan<br />

institusi-institusi khusus perlindungan dan<br />

penyelidikan serta ketidakmampuan peradilan<br />

Indonesia untuk mengadili kasus-kasus<br />

kejahatan terhadap perempuan adalah sumber<br />

utama penyebab meningkatnya praktik-praktik<br />

penyiksaan, tindakan tidak manusiawi,<br />

merendahkan martabat dan hukuman kejam<br />

terhadap perempuan di wilayah konflik, lokasi<br />

bekerja, sekolah hingga di rumah.<br />

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa<br />

komitmen nasional tentang penegakan hak asasi<br />

manusia yang dirumuskan dari pengalaman<br />

hidup sejumlah korban di masa rezim Orde<br />

Baru berkuasa tidak dengan sendirinya<br />

membuat kondisi hak asasi manusia di Indonesia<br />

membaik. Dengan pengamatan yang<br />

panjang dan mendalam ELSAM menilai perlu<br />

untuk memaparkan proses penerapan agenda<br />

pembangunan dan perbaikan hak asasi manusia<br />

nasional yang sekaligus juga mampu<br />

memaparkan problem-problem ekonomi<br />

politik yang membingkainya.<br />

TUJUAN DAN CAKUPAN<br />

Selanjutnya laporan ini bertujuan untuk :<br />

Pertama, mengevaluasi proses pelaksaanan<br />

agenda penegakan hak asasi manusia nasional,<br />

termasuk agenda penegakan hak-hak<br />

perempuan, periode 1999-<strong>2004</strong>. Kedua,<br />

mengevalusi implementasi atas sejumlah agenda<br />

penegakan hak asasi manusia nasional,<br />

termasuk agenda penegakan hak-hak<br />

perempuan yang telah berjalan. Ketiga, Sebagai<br />

bahan refleksi kepada departemen perudangudangan<br />

dan HAM, TNI, Polri, pengadilan dan<br />

kejaksaan dan sekaligus menjadi bahan pijakan<br />

pembenahan agenda penegakan hak asasi<br />

manusia ke depan. Keempat, Sebagai bahan<br />

refleksi pemerintahan propinsi dan kabupaten<br />

atas proses penerepan otonomi daerah dan<br />

sekaligus menjadi bahan masukan dalam<br />

penegakan dan pembangunan hak asasi<br />

manusia dalam pembenahan pelaksanaan<br />

otonomi daerah.<br />

Untuk itu laporan ini akan mencakup upayaupaya<br />

penerapan agenda penegakan hak asasi<br />

manusia nasional sepanjang periode 1999-<strong>2004</strong><br />

yang meliputi pembuatan dan pencabuatan<br />

regulasi yang bertentangan dengan hak asasi<br />

manusia; proses reformasi di institusi<br />

pemerintah, termasuk institusi TNI, Polri,<br />

kehakiman dan kejaksaan. Penentuan tahun<br />

1999 sebagai periode awal pengamatan, karena<br />

sejumlah upaya penegakan hak asasi manusia,<br />

penyelidikan, pembentukan regulasi hak asasi<br />

manusia dan pengadilan atas sejumlah<br />

pelanggaran hak asasi manusia untuk<br />

pertamakalinya dilakukan di Indonesia. Di<br />

samping itu, pada tahun yang sama<br />

pemerintahan baru pengganti pemerintahan<br />

otoriter Soeharto baru saja terbentuk. Meskipun<br />

pada pertengahan 1998 ada sejumlah langkahlangkah<br />

penegakan hak asasi manusia, namun<br />

demikian langkah-langkah tersebut tidak<br />

memiliki legitimasi yang kuat dari masyarakat<br />

Indonesia, karena pemerintahan pada saat itu<br />

masih dipandang bagian dari pemerintahan<br />

masa lalu.<br />

Selanjutnya untuk melihat apakah upayaupaya<br />

penerapan agenda penegakan hak asasi<br />

manusia periode 1999-<strong>2004</strong> berjalan efektif di<br />

tataran praktis, laporan ini juga akan mencakup<br />

peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi<br />

manusia periode 1999-<strong>2004</strong> seperti<br />

pembunuhan sewenang-wenang, penangkapan<br />

dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan<br />

dan berbagai perlakuan kejam dan tidak<br />

manusiawi di Aceh dan Papua serta berbagai<br />

daerah lainnya, yang terkait dengan penggunaan<br />

regulasi-regulasi kekerasan.<br />

Laporan ini juga akan mencakup proses<br />

penerapan otonomi daerah yang terkait dengan<br />

penegakan dan pembangunan hak asasi<br />

manusia. Secara khusus pula, laporan ini akan<br />

mencakup berbagai peristiwa pengusiran atau<br />

penggusuran paksa terhadap penduduk urban,<br />

penduduk asli, petani dan pelarangan atas<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

3


sejumlah aktivitas mencari nafkah para<br />

penduduk di kota maupun di desa, seperti<br />

pengemudi becak, pedagang kaki lima dan para<br />

penambang dan nelayan kecil yang terkait<br />

dengan penerapan otonomi daerah.<br />

Laporan ini pun secara khusus akan<br />

mencakup berbagai upaya-upaya penerapan<br />

agenda penegakan hak-hak perempuan. Tanpa<br />

bermaksud memisahkan agenda penegakan<br />

hak-hak perempuan dengan agenda penegakan<br />

hak asasi manusia secara umum, laporan ini<br />

dengan sengaja memisahkan pembahasan<br />

agenda penegakan hak-hak perempuan agar<br />

gambaran penegakan dalam agenda ini dapat<br />

terlihat dengan jelas sehingga dapat mendorong<br />

upaya-upaya pembenahan di masa yang akan<br />

datang dengan bobot yang sama dengan agenda<br />

penegakan hak asasi manusia yang lain. Laporan<br />

ini pun akan mencakup secara khusus tentang<br />

praktik-praktik penyiksaan dan beberagai<br />

bentuk kekerasan terhadap perempuan yang<br />

dalam lima tahun ini terus meningkat, dan para<br />

pelakunya pun sudah meluas,tidak hanya<br />

datang dari para agen negara, akan tetapi juga<br />

melibatkan kelompok-kelompok non negara,<br />

seperti satuan pengaman swasta, milisi sipil,<br />

termasuk para anggota laki-laki dalam sebuah<br />

keluarga. Penggabungan kekerasan domestik<br />

dalam kategori penyiksaan, tindakan tidak<br />

manusiawi, merendahkan martabat, dan<br />

hukuman kejam karena praktik-praktik<br />

kekerasan dalam rumah tangga dilakukan<br />

berulang-ulang dan membawa akibat-akibat<br />

terhadap korban yang tidak jauh berbeda<br />

dengan praktik-praktik penyiksaan yang<br />

dilakukan oleh aparatur negara. Para pelakunya<br />

pun melakukan tindakan ini didasari atas dasar<br />

praktik diskriminasi sexual yang selama ini<br />

dijalankan oleh orde baru dan pemerintahan<br />

baru. Upaya ini juga bagian dari dukungan<br />

ELSAM terhadap kampanye atas sejumlah<br />

organisasi hak asasi manusia internasional yang<br />

sedang berupaya memasukan kasus-kasus<br />

kekerasan dalam rumah tangga sebagai bagian<br />

dari praktik-praktik penyiksaan, tindakan tidak<br />

manusiawi, merendahkan martabat, dan<br />

hukuman kejam. 1<br />

METODE PENGUMPULAN DAN<br />

ANALISIS DATA<br />

Informasi dan data dalam laporan ini<br />

dikumpulkan dari dokumentasi pelanggaran<br />

hak asasi manusia dan laporan-laporan hak asasi<br />

manusia ELSAM periode 1999-<strong>2004</strong>, puluhan<br />

laporan lembaga hak asasi manusia nasional dan<br />

daerah, kumpulan e-mail dan sejumlah<br />

wawancara terbatas atau tertutup dengan<br />

sejumlah pihak, baik melalui telepon maupun e-<br />

mail. Untuk membuat isi laporan ini berimbang,<br />

sejumlah informasi dan data juga diperoleh dari<br />

sejumlah dokumen pemerintah yang telah<br />

dipublikasikan secara luas. Seluruh informasi<br />

yang berhasil dikumpulkan oleh tim penulis<br />

selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan bentuk<br />

informasinya dan kemudian secara mendalam<br />

dikaji untuk mendapatkan gambaran yang<br />

komperhensif tentang proses penegakkan hak<br />

asasi manusia sepanjang 1999-<strong>2004</strong>.<br />

SISTEMATIKA LAPORAN<br />

Laporan ini disusun dalam enam bagian<br />

besar. Masing-masing bagian memiliki kaitan<br />

dan merupakan potret dari kondisi hak asasi<br />

manusia di Indonesia. Dimulai dengan bagian<br />

pertama, yang mencoba menjelaskan tentang<br />

latar belakang penulisan, cakupan, metode<br />

pengumpulan dan analisis data serta sistematika<br />

laporan. Selanjutnya pada bagian kedua<br />

memaparkan review atas komitmen penegakan<br />

hak asasi manusia nasional sekaligus bagaimana<br />

implementasinya, baik di tingkat pembuatan<br />

regulasi, reformasi institusi negara, praktikpraktik<br />

pelaksanaan perlindungan dan<br />

penghormatan di lapangan serta berbagai<br />

hambatan dalam pelaksanaannya. Bagian ketiga<br />

membahas tentang menguatnya penggunaan<br />

regulasi kedaruratan dalam operasi militer yang<br />

melemahkan upaya-upaya perbaikan kondisi<br />

hak asasi manusia nasional. Selanjutnya<br />

berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi<br />

manusia yang terjadi semasa penerapan<br />

Otonomi Daerah, khususnya tentang praktikpraktik<br />

pengusiran paksa (forced eviction) akan<br />

dipaparkan dalam bagian keempat laporan ini.<br />

Bagian kelima laporan ini memaparkan tentang<br />

buruknya proses implementasi agenda<br />

perbaikan kondisi hak-hak asasi manusia kaum<br />

perempuan. Bagian keenam memberikan<br />

4 Bagian I


sebuah kesimpulan besar berkaitan dengan<br />

capaian agenda penegakan hak asasi manusia<br />

serta sejumlah persoalan-persoalan yang<br />

melingkarinya. Selanjutnya laporan ini ditutup<br />

dengan paparan rekomendasi umum dan<br />

khusus tentang perbaikan atas implementasi<br />

perbaikan kondisi hak asasi manusia ke depan<br />

kepada pemerintah baru.<br />

CATATAN:<br />

1<br />

Salah satu organisasi hak asasi manusia internasional<br />

yang sedang berkampanye memasukkan kekerasan<br />

dalam rumah tangga ke dalam kategori penyiksaan<br />

adalah Amnesty Internationa. Kunjungi http://<br />

www.amnestyusa.org/women/violence/<br />

domesticviolence.htm<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

5


BAGIAN KEDUA<br />

Perjalanan Penegakan Hak Asasi Manusia<br />

Periode 1999-<strong>2004</strong> : Produksi Kebijakan dan<br />

Implementasinya<br />

PENGANTAR<br />

Pemerintahan-pemerintahan pasca Orde<br />

Baru telah berkomitmen untuk<br />

melakukan penegakan hak asasi manusia<br />

di Indonesia. Dimulai dalam Sidang Istimewa<br />

MPR 1998, untuk pertamakalinya parlemen dan<br />

pemerintahan pengganti Soeharto bersamasama<br />

mencetuskan komitmennya untuk<br />

memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia.<br />

Komitmen yang dituangkan dalam<br />

sejumlah kebijakan nasional sepanjang 1998-<br />

2000 tersebut berhasil merumuskan lima agenda<br />

pokok penegakan yang meliputi: penyelidikan<br />

pelanggaran hak asasi manusia pada masa Orde<br />

Baru; mengamandemen konstitusi dan<br />

memproduksi regulasi perlindungan hak asasi<br />

manusia; mereformasi institusi-institusi yang<br />

terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia,<br />

membentuk mekanisme pertanggungjawaban<br />

pelanggaran hak asasi manusia, dan serta<br />

mencegah keberulangan dalam bentuk<br />

menghukum para pelaku kejahatan hak asasi<br />

manusia. Komitmen ini lahir sebagai bentuk<br />

dari pengakuan mereka atas kejahatankejahatan<br />

hak asasi manusia rezim Orde Baru<br />

yang menimbulkan penderitaan yang luar biasa<br />

terhadap para korbannya selama lebih dari tiga<br />

dasawarsa. Komitmen ini lahir sebagai bentuk<br />

kesadaran baru dalam pengelolaan Negara<br />

setelah hancurnya tatanan kehidupan<br />

berdemokrasi di Indonesia selama<br />

pemerintahan otoriter.<br />

Pelantikan presiden hasil pemilu <strong>2004</strong> pada<br />

Oktober lalu, menandai agenda penegakan hak<br />

asasi manusia sudah berjalan selama lima tahun.<br />

Namun demikian, agenda penegakan hak asasi<br />

manusia tersebut belum berhasil dituntaskan.<br />

Bahkan dalam dua tahun terakhir ini,<br />

pelaksanaan agenda penegakan hak asasi<br />

manusia terus melemah dan cenderung stagnan.<br />

Ini terlihat dari tidak berjalannya sejumlah<br />

agenda penegakan penting, seperti penyelesaian<br />

kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu<br />

dan penghukuman para pelaku kejahatannya<br />

hingga akhir tahun <strong>2004</strong> ini. Di lain sisi,<br />

sejumlah agenda yang berhasil dijalankan,<br />

seperti pembuatan regulasi hak asasi manusia<br />

dan proses penyelidikan, masih jauh dari yang<br />

diharapkan oleh banyak pihak, karena<br />

banyaknya kelemahan dan keterbatasan yang<br />

pada akhirnya justru menyebabkan<br />

penghormatan terhadap hak asasi manusia tidak<br />

berjalan efektif.<br />

Bagian ini akan menjelaskan tentang<br />

pelaksanaan komitmen penegakan hak asasi<br />

manusia yang dicetuskan pasca kejatuhan<br />

Soeharto Mei 1998. Selain memaparkan<br />

perjalanan pelaksanaan dari masing-masing<br />

agenda penegakan tersebut, bagian ini juga akan<br />

memberikan gambaran berkaitan dengan<br />

capaian yang telah berhasil diraih. Sejumlah<br />

agenda penegakan yang tidak berhasil<br />

dijalankan pun akan turut dipaparkan dalam<br />

bagian ini, termasuk juga problem-problem<br />

pelaksanaannya. Untuk memudahkan dalam<br />

melihat capaian keberhasilan serta kegagalannya<br />

maka pemaparan dalam bagian ini akan<br />

mencoba mengelompokkan masing-masing<br />

agenda ke dalam kategori-kategori yang antara<br />

lain: penyelidikan, legal reform, institusional reform,<br />

penghukuman, rekonsiliasi, dan<br />

pemulihan korban.<br />

6 Bagian II


KOMITMEN DAN AGENDA PENEGAKAN<br />

HAK ASASI MANUSIA<br />

Pasca tumbangnya Soeharto Mei 1998,<br />

kalangan korban dan kelompok pro-demokrasi<br />

secara terus-menerus mendesak pemerintahan<br />

pasca Soeharto agar segera menunjukkan<br />

komitmen mereka terhadap penegakan hak asasi<br />

manusia. Berpijak dari peristiwa pelanggaran<br />

masa lalu dan banyaknya institusi-institusi<br />

negara yang terlibat dalam kejahatan hak asasi<br />

manusia, kelompok korban dan publik luas<br />

mendesak pemerintah menempatkan agenda<br />

penegakan hak asasi manusia sebagai salah satu<br />

agenda reformasi nasional. 1 Desakan yang terus<br />

menguat inilah yang kemudian membuat MPR<br />

mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/<br />

MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.<br />

Ketetapan ini menyebutkan tentang tugas yang<br />

harus dijalankan presiden Habibie dan lembagalembaga<br />

tinggi negara serta seluruh aparatur<br />

negara untuk menghormati dan<br />

menyebarluaskan pemahaman hak asasi<br />

manusia kepada seluruh lapisan masyarakat,<br />

dan serta menugaskan presiden untuk<br />

meratifikasi instrumen internasional hak asasi<br />

manusia. 2<br />

Terbitnya ketetapan ini selanjutnya menjadi<br />

titik awal pemerintahan sementara pasca<br />

tumbangnya Soeharto untuk secara serius<br />

memasukkan komitmen penegakan hak asasi<br />

manusia ke dalam agenda reformasi nasional.<br />

Dan secara umum ketetapan ini secara efektif<br />

dijalankan oleh pemerintahan Habibie, yakni<br />

dengan membuat Rencana Aksi Nasional Hak<br />

Asasi Manusia (RAN-HAM) periode 1998-2003.<br />

RAN-HAM ini memuat agenda pembuatan<br />

regulasi hak asasi manusia di tingkat nasional,<br />

sosialisasi hak asasi manusia di tingkat institusi<br />

negara dan masyarakat; serta kewajiban<br />

pemerintah untuk meratifikasi instrumen hak<br />

asasi manusia.<br />

Pasca pemilu 1999 yang berhasil menaikkan<br />

Abdurrahman Wahid menjadi presiden RI<br />

ketiga, kembali memperkuat komitmen<br />

pemerintah dalam bidang penegakan hak asasi<br />

manusia. Berpijak dari ketetapan selanjutnya,<br />

komitmen penegakan hak asasi manusia di masa<br />

Abdurrahman Wahid, terus menguat dan<br />

berhasil memproduksi berbagai produk regulasi<br />

dan sejumlah agenda di tataran praktis. Upaya<br />

Presiden Abdurrahman Wahid ini pun juga<br />

mendapat dukungan dari MPR dan DPR kala<br />

itu, yakni dalam bentuk membuat sejumlah<br />

regulasi dan ikut memperhatikan problemproblem<br />

hak asasi manusia di tanah air. Berbagai<br />

produk ini adalah diterbitkannya Ketetapan<br />

MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis<br />

Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-<br />

2000, yang mana dalam GBHN tersebut MPR<br />

meminta presiden secara konsisten menjamin<br />

kepastian hukum, keadilan dan kebenaran,<br />

supremasi hukum serta menghargai hak asasi<br />

manusia. Selain itu MPR juga meminta presiden<br />

untuk melanjutkan ratifikasi sejumlah konvensi<br />

internasional, terutama yang berkaitan dengan<br />

hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan<br />

kepentingan. 3 Memasuki 2000, dukungan MPR<br />

dan DPR terhadap komitmen penegakan hak<br />

asasi manusia semakin memperkuat atas<br />

ketetapan-ketetapan tahun 1999. Dalam Sidang<br />

tahunan MPR 2000, MPR kembali<br />

mengeluarkan sejumlah ketetapan yang isinya<br />

mengarahkan negara untuk mengambil<br />

langkah-langkah kongkrit berkaitan dengan<br />

pelaksanaan atas agenda penegakan hak asasi<br />

manusia nasional. Ketetapan itu antara lain: TAP<br />

MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan<br />

Persatuan dan Kesatuan Nasional, TAP MPR<br />

Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan<br />

Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian<br />

Negara Republik Indonesia dan TAP MPR<br />

Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan<br />

Polri. Ketiga ketetapan tersebut, memerintahkan<br />

presiden untuk membentuk Komisi Kebenaran<br />

dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga<br />

ekstrajudisial yang bertugas mengungkap<br />

kebenaran atas praktik penyalahgunaan<br />

kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di<br />

masa Soeharto; melaksanakan rekonsiliasi<br />

dalam perspektif kepentingan bersama sebagai<br />

bangsa; dan menghapuskan peran sospol ABRI<br />

(Dwifungsi ABRI); memisahkan institusi<br />

kepolisian dari Tentara Nasional Indonesia<br />

(TNI) serta merubah konsep sistem pertahanan<br />

nasional. Bahkan pada Sidang Tahunan 2000<br />

tersebut MPR melakukan amandemen kedua<br />

UUD 1945 yang di antaranya memasukkan hak<br />

asasi manusia ke dalam Bab XA serta bidang<br />

pertahanan dan keamanan negara pada Bab XII<br />

UUD 1945. 4 Terobosan yang dilakukan MPR<br />

selama Sidang Tahunan 2000 inilah yang<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

7


kemudian menjadi dasar dan arahan penegakan<br />

hak asasi manusia nasional bagi presiden. Secara<br />

garis besar dari ketetapan-ketetapan MPR dapat<br />

disimpulkan berbagai agenda penegakan hak<br />

asasi manusia nasional, yakni: Agenda<br />

Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia<br />

masa lalu; pembuatan regulasi tentang jaminan<br />

perlindungan dan penghormatan hak asasi<br />

manusia; reformasi institusi TNI dan Polri;<br />

penghukuman dan pemulihan para korban<br />

pelanggaran hak asasi manusia. Kelima agenda<br />

besar inilah yang menjadi dasar bagi pemerintah<br />

dan jajaran birokrasinya untuk melaksanakan<br />

agenda penegakan hak asasi manusia untuk<br />

periode 1999-<strong>2004</strong>.<br />

IMPLEMENTASI ATAS AGENDA<br />

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA<br />

1999-<strong>2004</strong><br />

Adanya agenda penegakan hak asasi manusia<br />

nasional tidak dengan sendirinya membuat<br />

kondisi hak asasi manusia di Indonesia berubah.<br />

Menurunnya dukungan politik DPR terhadap<br />

pelaksanaannya membuat agenda membuat<br />

titik tekan pelaksanaan dari agenda tersebut<br />

hanya berhenti pada produksi regulasi saja.<br />

Agenda-agenda penegakan penting lainnya<br />

seperti penyelidikan pelanggaran hak asasi<br />

manusia, reformasi institusi TNI/Polri,<br />

Penghukuman para pelaku pelanggaran hak<br />

asasi manusia masa lalu dan pemberian<br />

rehabilitasi para korban belum tersentuh sama<br />

sekali, sementara agenda-agenda ini menjadi<br />

indikator utama penentu keberhasilan<br />

penegakan hak asasi manusia nasional. Bahkan<br />

memasuki tahun keempat, proses pelaksanaan<br />

agenda penegakan hak asasi manusia semakin<br />

menurun dan mencapai titik terendahnya<br />

memasuki tahun kelima, ketika parlemen<br />

bersama-sama dengan pihak eksekutif, semakin<br />

menurunkan dukungannya terhadap<br />

pelaksanaan agenda penegakan hak asasi<br />

manusia dan berbalik meningkatkan<br />

pelaksanaan agenda-agenda pemerintahan yang<br />

bertentangan dengan hak asasi manusia.<br />

Akibatnya banyak sekali agenda penegakan yang<br />

terbengkalai dan kembali menciptakan<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang tak kalah<br />

hebatnya ketika di masa pemerintahan<br />

Soeharto. Untuk selanjutnya paparan di bawah<br />

akan menjelaskan proses pelaksanaan dari<br />

masing-masing agenda penegakan hak asasi<br />

8 Bagian II


manusia nasional periode 1999-<strong>2004</strong>.<br />

1. Penyelidikan kasus-kasus<br />

pelanggaran hak asasi manusia masa<br />

lalu<br />

Terungkapnya berbagai tindak kejahatan hak<br />

asasi manusia pasca tumbangnya Soeharto<br />

berlanjut dengan munculnya tuntutan<br />

penyelidikan atas kejahatan-kejahatan tersebut<br />

di berbagai daerah. Dengan menyuarakan apa<br />

yang pernah mereka alami, kelompok korban<br />

menuturkan praktik-praktik pelanggaran hak<br />

asasi manusia di masa orde baru ke publik.<br />

Proses kesaksian inilah yang kemudian<br />

melahirkan gerakan untuk menyelidiki berbagai<br />

kejahatan hak asasi manusia di tanah air<br />

menguat di berbagai kota. Desakan penyelidikan<br />

yang semakin menguat inilah yang akhirnya<br />

membuat pemerintahan sementara pengganti<br />

Soeharto terpaksa melakukan penyelidikan atas<br />

sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.<br />

Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998<br />

adalah kasus pertama yang diselidiki oleh<br />

pemerintahan Habibie. Dimulai dengan<br />

membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta<br />

(TGPF) 5 , 23 Juli 1998, Habibie mengikuti<br />

keinginan sebagai besar penduduk Indonesia<br />

untuk menyelidiki berbagai dugaan tindak<br />

pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa<br />

tersebut. Dengan mandat menyelidiki penyebab<br />

kerusuhaan dan berbagai tindak perkosaaan dan<br />

serangan seksual terhadap perempuanperempuan<br />

etnis Cina di berbagai kota, TGPF<br />

bekerja kurang lebih tiga bulan terhitung Juli<br />

1998.<br />

TGPF kemudian menyimpulkan adanya<br />

tindak kejahatan hak asasi manusia dalam<br />

peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998, serta<br />

menyebutkan bahwa peristiwa ini adalah satu<br />

kerusuhan yang terencana dan sistematis. 6 Atas<br />

hasil kesimpulannya tersebut, TGPF<br />

merekomendasikan kepada presiden untuk<br />

segera mengambil langkah-langkah<br />

penyelidikan, dan langkah-langkah yuridis<br />

terhadap para pelaku kejahatannya, melakukan<br />

rehabilitasi dan pemberian kompensasi<br />

terhadap para korbannya. 7 Namun demikian,<br />

perlu dicatat bahwa hasil penyelidikan TGPF<br />

hingga saat ini belum digunakan pemerintah<br />

untuk dijadikan bahan awal ke tahap<br />

penyidikan. Sejumlah rekomendasi pun belum<br />

dilaksanakan hingga saat ini.<br />

Kasus kedua yang diselidiki oleh pemerintah<br />

adalah kasus pelanggaran hak asasi manusia<br />

selama penerapan Daerah Operasi Militer<br />

(DOM) di Aceh dan pembunuhan Teungku<br />

Bantaqiah dan para santrinya, 23 Juli 1999.<br />

Terbongkarnya tindak kejahatan hak asasi<br />

manusia dan kejahatan perkosaan terhadap<br />

perempuan-perempuan Aceh selama penerapan<br />

DOM pertengahan 1998, melahirkan desakan<br />

penyelidikan atas kasus-kasus tersebut menguat<br />

di kalangan penduduk Aceh.<br />

Desakan inilah yang kemudian membuat<br />

Habibie mengeluarkan Keppres Nomor 88<br />

Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi<br />

Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di<br />

Aceh. Melalui Keppres tersebut Habibie<br />

memberikan mandat kepada komisi tersebut<br />

untuk menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi<br />

manusia yang berlangsung di Aceh selama<br />

penerapan DOM dan sekaligus menyelidiki<br />

Kasus penembakan dan Pembunuhan Teungku<br />

Bantaqiah dan pengikutnya di Beutong Ateh,<br />

Kabupaten Aceh Barat pada tangal 23 Juli 1999.<br />

Dari hasil penyelidikan terungkap bahwa telah<br />

terjadi tindak pelanggaran hak asasi manusia<br />

pada masa penerapan DOM dan peristiwa<br />

penyerbuan militer ke pondok pesantren<br />

Teungku Bantaqiah. Atas dasar temuan tersebut<br />

Komisi memberikan rekomendasi kepada<br />

presiden agar segera meningkatkan status<br />

penyelidikan ke tahap penyidikan dan<br />

pengadilan. Sayangnya, rekomendasi yang<br />

dijalankan pemerintah hanya menggelar<br />

pengadilan kasus Teungku Bantaqiah dan<br />

penyiksaan sejumlah orang di kantor KNPI<br />

Banda Aceh.<br />

Peristiwa bumi hangus di Timor Timor pada<br />

masa Jajak Pendapat Pertengahan 1999, kembali<br />

memaksa pemerintah untuk membentuk tim<br />

penyelidikan atas dugaan kejahatan hak asasi<br />

manusia yang dilakukan oleh militer Indonesia<br />

dengan bantuan kelompok-kelompok milisi<br />

bentukannya. Desakan yang kali ini tidak hanya<br />

datang dari dalam negeri, namun juga datang<br />

dari luar negeri, membuat pemerintah Habibie<br />

cukup tertekan dengan desakan tersebut.<br />

Akhirnya dengan menggunakan Undangundang<br />

Nomor 39 Tahun 1999 dan Perpu<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

9


Nomor 1 Tahun 1999, Komnas HAM<br />

membentuk tim penyelidikan untuk merespon<br />

tuntutan dari masyarakat luas tersebut. Dengan<br />

nama Komisi Penyelidik Peritiwa Pelanggaran<br />

Hak Asasi Manusia untuk Kasus Timor Timor<br />

(KPP-HAM Timor Timor) 8 , proses penyelidikan<br />

kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor<br />

Timur yang terjadi sejak Januari 1999 sampai<br />

dikeluarkannya Penetapan MPR pada bulan<br />

Oktober 1999 yang mengesahkan hasil jajak<br />

pendapat mulai dijalankan.<br />

Penyelidikan meliputi pembuktian kejahatan<br />

genosida, pembunuhan massal, penganiayaan,<br />

pemindahan paksa, kekerasan terhadap<br />

perempuan dan anak-anak serta politik bumi<br />

hangus dan serta keterlibatan aparatur negara<br />

dan atau badan-badan lain dalam peristiwaperistiwa<br />

tersebut. Tim ini bekerja selama lima<br />

bulan, terhitung sejak September 1999. Dari<br />

hasil penyelidikan, KPP berkesimpulan bahwa<br />

telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia<br />

berat, dengan kategori kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan. Dan selanjutnya KPP juga<br />

memberikan 13 rekomendasi kepada<br />

pemerintah yang beberapa di antaranya adalah<br />

menaikkan penyelidikan ke tahap penyidikan;<br />

mengadili para pelaku secepat mungkin;<br />

merehabilitasi dan memberikan kompensasi<br />

kepada para korban. 9 Sayangnya, rekomendasi<br />

yang dijalankan hanya rekomendasi<br />

pembentukan pengadilan ad-hoc saja, dan itu<br />

pun baru dijalankan dua tahun setelah KPP<br />

HAM Timor Timor menyelesaikan kerjanya.<br />

Disahkannya Undang-undang Nomor 26<br />

Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi<br />

Manusia, membuat intensitas penyelidikan<br />

pelanggaran hak asasi manusia masa lalu oleh<br />

Komnas HAM terus meningkat. Berbagai<br />

peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di masa<br />

lalu dan pasca 1999 pun satu demi satu mulai<br />

dilakukan. Diawali dengan pembentukan<br />

Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan<br />

Pelanggaran HAM di Tanjung Priok, Komnas<br />

HAM kembali menjalankan tugasnya<br />

menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi<br />

manusia berat pada kasus tersebut. Dibentuk<br />

melalui Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor<br />

002/Komnas HAM/III/2000 tanggal 8 Maret<br />

10 Bagian II


Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

11


2000 dan kemudian disempurnakan melalui SK<br />

Ketua Komnas HAM Nomor 003/Komnas<br />

HAM/III/2000 tanggal 14 Maret 2000, KPP<br />

HAM kasus Tanjung Priok memiliki mandat<br />

menyelidiki sejumlah dugaan kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan dalam peristiwa<br />

pembantaian warga Tanjung Priok pada tahun<br />

1984. Dukungan yang luar biasa yang datang<br />

dari berbagai elemen masyarakat, membuat tim<br />

ini cukup leluasa untuk mengumpulkan<br />

sejumlah bukti-bukti, baik dari korban maupun<br />

keterangan dari sejumlah para perwira militer.<br />

Dukungan yang luar biasa inilah yang membuat<br />

KPP-HAM Tanjung Priok berhasil<br />

membuktikan adanya tindak kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan berikut menyerahkan<br />

daftar nama para para tersangkanya. Selanjutnya<br />

KPP HAM Tanjung Priok mengeluarkan<br />

beberapa rekomendasi yang salah satunya<br />

adalah meminta kepada presiden untuk segera<br />

membentuk pengadilan HAM ad hoc. 10 Namun<br />

seperti hasil rekomendasi KPP HAM lainnya,<br />

rekomendasi KPP HAM Tanjung priok ini,<br />

hanya rekomendasi pembentukan pengadilan<br />

saja yang dijalankan pemerintah.<br />

Sukses Komnas HAM dalam penyelidikan<br />

kasus Timor Timor dan Tanjung Priok tidak<br />

terulang kembali ketika menyelidiki kasus<br />

Trisakti-Semanggi I dan II (TSS) pertengahan<br />

2001. Keputusan politik DPR yang menyatakan<br />

bahwa ketiga kasus tersebut bukanlah peristiwa<br />

pelanggaran berat hak asasi manusia membuat<br />

para pelaku menolak untuk dimintai keterangan<br />

oleh Tim penyelidik yang dibentuk melalui<br />

Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 034/<br />

Komnas HAM/VII/2000 tanggal 27 Agustus<br />

2001. Akibatnya kinerja dari KPP HAM TSS ini<br />

menjadi sangat terbatas, sehingga sulit untuk<br />

mengakses dokumen-dokumen milik militer<br />

dan polisi. Sekalipun terjadi penolakan dari para<br />

pelaku, dengan mengumpulkan keterangan dari<br />

para korbannya akhirnya KPP HAM TSS<br />

berhasil membuktikan pelanggaran berat hak<br />

asasi manusia, dalam peristiwa penembakan<br />

mahasiswa di Kampus Trisakti dan Atmajaya.<br />

Namun kesimpulan ini kembali tidak<br />

berpengaruh apa-apa karena Kejaksaan Agung<br />

menolak untuk menindaklanjuti hasil<br />

penyelidikan Komnas HAM ke tingkat<br />

penyidikan dengan alasan berpijak pada<br />

statemen DPR tersebut.<br />

Penurunan dukungan politik terhadap Tim<br />

penyelidik kasus TSS, juga berimbas pada upaya<br />

Komnas HAM dalam penyelidikan kasus<br />

kerusuhan Mei 1998. Tim ad hoc Penyelidikan<br />

Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang dibentuk<br />

melalui Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor<br />

10.a/Komnas HAM/III/2003 tanggal 06 Maret<br />

2003, terbata-bata dalam melaksanakan<br />

tugasnya menyelidiki kasus pelanggaran berat<br />

hak asasi manusia dalam peristiwa kerusuhan<br />

13-15 Mei 1998. beberapa kesulitan mendasar<br />

adalah mendatangkan para perwira militer dan<br />

polisi yang diduga mengetahui latarbelakang<br />

peristiwa 13-15 Mei 1998 untuk dimintai<br />

keterangan serta mengakses dokumen milik<br />

militer dan polisi kala itu. Hingga laporan ini<br />

disusun tidak ada informasi lebih lanjut tentang<br />

hasil penyelidikan dan rekomendasi dari Tim<br />

ad-hoc Penyelidikan Peristiwa Kerusuhan Mei<br />

1998.<br />

Di samping menggunakan mekanisme pertanggungjawaban<br />

hak asasi manusia nasional,<br />

beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia<br />

di masa Soeharto juga diselidiki dengan<br />

mekanisme penyelidikan koneksitas atau<br />

mekanisme penyelidikan internal di institusi<br />

12 Bagian II


militer/Polri. Beberapa kasus itu antara lain<br />

adalah kasus Penyerangan kantor PDI pada 27<br />

Juli 1996, kasus pembunuhan Theis Hiyo Eluay,<br />

kasus penculikan aktivis-aktivis pro-demokrasi<br />

oleh Kopassus dan kasus penembakan<br />

mahasiswa Trisakti oleh satuan Brimob.<br />

Pasca reformasi, desakan pengusutan kembali<br />

kasus 27 Juli 1996 kembali menguat. Menyikapi<br />

desakan ini presiden Abdurrahman Wahid,<br />

menugaskan Mabes Polri untuk melakukan<br />

penyelidikan atas kasus ini. 11 Bekerja dengan<br />

cukup efektif dan cepat, Mabes Polri<br />

berkesimpulan telah terjadi tindak kriminal atas<br />

peristiwa ini. Kesimpulan ini didapat setelah<br />

melakukan pemeriksaan atas 106 saksi, dari<br />

kalangan sipil maupun militer. Polri juga<br />

menetapkan 15 orang sebagai tersangka dalam<br />

peristiwa tersebut. Namun demikian muncul<br />

kendala politis, kemudian Polri melakukan gelar<br />

perkara di Komisi I dan II DPR untuk mengatasi<br />

hambatan politis dan teknis yang dihadapinya.<br />

Selanjutnya hasil dari gelar perkara, Komisi I<br />

dan II DPR bertemu dengan Panglima TNI<br />

Widodo AS, Kapolri Rusdihardjo, Menhan<br />

Juwono Sudarsono, dan Menteri Kehakiman<br />

Yusril Ihza Mahendra untuk mencari jalan<br />

keluar atas kesulitan yang dihadapi Mabes Polri.<br />

Dari pertemuan tersebut diputuskan agar<br />

dibentuk Tim Penyidikan Koneksitas kasus 27<br />

Juli 1996 yang terdiri dari Puspom TNI dan<br />

Mabes Polri. 12 Tim ini sendiri dipimpin<br />

langsung oleh Komandan Korps Reserse<br />

(Dankorserse) Polri Inspektur Jenderal<br />

Chaeruddin Ismail dan Danpuspom Mayjend<br />

TNI Djasri Marin bertindak sebagai wakil. Tim<br />

ini mulai bekerja pada tanggal 19 Juli 2000<br />

dengan mengulang memeriksa saksi-saksi yang<br />

telah dilakukan Polri. 13<br />

Sayangnya, Tim Koneksitas bekerja sangat<br />

lamban dibandingkan dengan saat kasus<br />

ditangani Mabes Polri. Ini terlihat dari proses<br />

penyidikan yang baru selesai akhir 2001.<br />

Kelambatan proses penyidikan semakin<br />

diperparah ketika berkali-kali pihak Kejaksaan<br />

Agung mengembalikan berkas penyidikan<br />

dengan berbagai alasan. Hingga saat ini belum<br />

ada pengadilan independen yang digelar untuk<br />

mengadili para pelaku utama dalam kasus 27<br />

Juli 1996.<br />

Selain melakukan penyelidikan atas sejumlah<br />

pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu,<br />

upaya penyelidikan juga dilakukan terhadap<br />

kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang<br />

terjadi pada periode 1999-2003. Berbagai kasus<br />

yang pernah diselidiki adalah, kasus pelanggaran<br />

hak asasi manusia di Papua/Irian Jaya, yang<br />

dibentuk melalui SK Ketua Komnas HAM No<br />

020/Komnas HAM/II/2001 tanggal 5 Februari<br />

2001, dengan nama tim penyelidik Komisi<br />

Penyelidikan Pelanggaran HAM Papua/Irian<br />

Jaya. Selanjutnya adalah Tim Penyelidikan<br />

Pelanggaran HAM di Wasior dan Wamena,<br />

KPP-HAM kasus Bumi Flora Aceh, dan KPP<br />

HAM kasus kerusuhan Maluku dan Sampit.<br />

Dari berbagai kasus tersebut baru penyelidikan<br />

kasus Abepura saja yang telah dilimpahkan ke<br />

pengadilan, sementara kasus yang lain masih<br />

menumpuk di Kejaksaan Agung atau<br />

rekomendasinya tidak ditemukan indikasi<br />

pelanggaran berat hak asasi manusia.<br />

Di samping itu, satu kasus pelanggaran hak<br />

asasi manusia berat lain yang diselidiki tanpa<br />

menggunakan Undang-undang Nomor 39<br />

Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 26<br />

Tahun 2000 adalah kasus pembunuhan Theis<br />

Hiyo Eluay, ketua Presidium Dewan Adat Papua,<br />

tahun 2002. Kasus ini diselesaikan melalui<br />

Komisi Penyelidik Nasional (KPN). Melalui<br />

Keppres Nomor 10 Tahun 2002, presiden<br />

menunjuk Koesparmono Irsan sebagai ketua<br />

KPN dengan sepuluh anggota lainnya yang<br />

terdiri dari Danpuspom TNI, dan unsur<br />

kepolisian serta tokoh-tokoh Papua. 14 Dari hasil<br />

penyelidikannya terungkap bahwa Theis Hiyo<br />

Eluay terbunuh akibat operasi intelejen yang<br />

digelar oleh Satuan Wirabuana dari Kopassus.<br />

Selanjutnya kasus ini disidangkan di pengadilan<br />

militer Surabaya. Tidak diketahui persis hukum<br />

yang dijatuhkan kepada para tersangkanya.<br />

Namun proses penyelidikan ini membuat kasus<br />

ini menjadi kasus pembunuhan biasa dan bukan<br />

kejahatan hak asasi manusia.<br />

2. Pembaharuan hukum dalam bidang<br />

hak asasi manusia<br />

Agenda pembaharuan hukum dalam bidang<br />

hak asasi manusia terdiri dari tiga bagian. Bagian<br />

pertama adalah mengamandemen sejumlah<br />

produk hukum nasional yang bertentangan<br />

dengan hak asasi manusia, kedua memproduksi<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

13


hukum hak asasi manusia dan ketiga adalah<br />

meratifikasi instrumen hak asasi manusia<br />

internasional. Sepanjang 1999-<strong>2004</strong><br />

pelaksanaannya jauh dari yang diharapkan<br />

banyak pihak. Parlemen dan eksekutif terlihat<br />

sangat tidak produktif dan lamban. Bahkan dari<br />

beberapa regulasi hak asasi manusia baru, secara<br />

substansi sangat lemah dan kabur. Berikut ini<br />

capaian dari pelaksanaan agenda pembaharuan<br />

hukum dalam bidang hak asasi manusia:<br />

a. Produksi Regulasi Hak Asasi Manusia<br />

Implementasi agenda produksi regulasi hak<br />

asasi manusia dimulai dengan pengesahan<br />

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang<br />

Hak Asasi Manusia. 15 Kemudian pasca terjadinya<br />

pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur<br />

September 1999, pemerintah Abdurrahman<br />

Wahid kembali memproduksi regulasi hak asasi<br />

manusia yakni Undang-undang Nomor 26<br />

Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi<br />

Manusia. Sebelum undang-undang ini<br />

disahkan, pemerintahan Abdurrahman Wahid<br />

juga pernah membuat satu Peraturan<br />

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor<br />

1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi<br />

Manusia. 16 Selanjutnya Undang-undang Nomor<br />

26 Tahun 2000 ini mengatur secara spesifik<br />

tentang yurisdiksi atas pengadilan HAM yaitu<br />

untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan<br />

kejahatan genosida. Rumusan tentang kejahatan<br />

genosida mendekati perumusan dalam Konvensi<br />

Anti Genosida sedangkan rumusan mengenai<br />

kejahatan kemanusiaan dalam undang-undang<br />

ini secara tegas mengacu pada Statuta Roma<br />

1998. Namun rumusan jenis kejahatan dalam<br />

undang-undang ini banyak mengandung<br />

kelemahan dan multi interpretatif karena tidak<br />

memasukkan elements of crimes yang akan<br />

menjadi landasan untuk menginterpretasikan<br />

pasal-pasal tersebut. Kritikan lainnya adalah<br />

tidak dimasukkannya kejahatan perang (war<br />

crimes) dalam yurisdiksi pengadilan HAM. 17<br />

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 ini juga<br />

memberikan pengaturan tentang perlindungan<br />

saksi dan korban dan pengaturan tentang<br />

jaminan reparasi kepada korban pelanggaran<br />

HAM yang berat serta ahli warisnya. Jaminan<br />

reparasi ini berupa adanya hak korban untuk<br />

mendapatkan kompensasi, restitusi dan<br />

rehabilitasi. Ketentuan secara lengkap untuk<br />

mengenai tata cara perlindungan saksi dan<br />

korban serta kompensasi, restitusi dan<br />

rehabilitasi kemudian dituangkan dalam<br />

Keppres Nomor 2 Tahun 2002 dan Keppres<br />

Nomor 3 Tahun 2002. 18<br />

Pasca penerbitan Undang-undang Nomor 26<br />

Tahun 2000, DPR selanjutnya tidak pernah<br />

membuat atau mengesahkan produk regulasi<br />

hak asasi manusia. Dan sebaliknya, DPR dan<br />

presiden secara bersama-sama banyak terlibat<br />

dalam pembuatan regulasi dan kebijakan yang<br />

bertentangan dengan hak asasi manusia. Baru di<br />

akhir masa kerjanya, DPR kembali<br />

memproduksi regulasi dalam bidang hak asasi<br />

manusia yakni mengesahkan Undang-undang<br />

Nomor 27 Tahun <strong>2004</strong> tentang Komisi<br />

Kebenaran dan Rekonsiliasi. 19 Undang-undang<br />

ini disahkan karena merupakan mandat yang<br />

diberikan MPR kepada presiden melalui TAP<br />

MPR Nomor V/MPR/2000 dan Undangundang<br />

Nomor 26 Tahun 2000. Undangundang<br />

ini sendiri mengatur tentang proses<br />

pencarian kebenaran pelanggaran HAM yang<br />

berat masa lalu melalui mekanisme extrajudicial.<br />

Dengan mandat mengungkap kebenaran<br />

atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia<br />

masa lalu, Komisi ini diharapkan mampu<br />

mengungkap berbagai pelanggaran hak asasi<br />

manusia di masa lalu, termasuk juga<br />

mengungkap kejahatan-kejahatan rezim yang<br />

sengaja digelapkan dan tidak mampu<br />

diungkapkan di pengadilan. Undang-undang<br />

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini juga<br />

mengatur tentang mekanisme kompensasi,<br />

restitusi dan rehabilitasi kepada korban dan juga<br />

permohonan amesti kepada pelaku. Persoalan<br />

amnesti inilah yang menjadi sasaran kritik dari<br />

berbagai pihak karena dianggap<br />

menguntungkan pelaku terlebih nasib korban<br />

akan reparasi kepada dirinya digantungkan<br />

kepada ada atau tidaknya amnesti kepada<br />

pelaku.<br />

b. Penghapusan Peraturan yang<br />

Bertentangan Dengan Hak Asasi Manusia<br />

Periode 1999-<strong>2004</strong> terdapat beberapa<br />

peraturan yang bertentangan dengan hak asasi<br />

manusia dihapuskan tetapi jumlahnya tidak<br />

begitu banyak. Peraturan-peraturan tersebut<br />

14 Bagian II


adalah beberapa peraturan yang dibuat untuk<br />

melarang sebuah aktivitas tertentu ataupun<br />

ketentuan yang biasa digunakan untuk menjerat<br />

aktivitas politik misalnya undang-undang<br />

Subversi. Tercatat hanya dua undang-undang<br />

dan beberapa keppres yang mengatur tentang<br />

pencabutan regulasi yang bertentangan dengan<br />

HAM. Pencabutan pertama adalah pencabutan<br />

atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1985<br />

tentang Referendum dengan Undang-undang<br />

Nomor 6 Tahun 1999. Undang-undang tentang<br />

referendum ini dicabut karena dalam UUD 1945<br />

tidak ada ketentuan mengenai referendum dan<br />

telah ditentukan bahwa prosedur perubahan<br />

UUD telah ditentukan dalam UUD 1945. Di<br />

samping itu juga dijelaskan bahwa dengan<br />

dicabutnya TAP MPR Nomor IV/MPR/1983<br />

tentang Referendum maka undang-undang<br />

yang mengatur tentang referendum ini juga<br />

harus dicabut. 20 Peraturan lainnya bahkan<br />

masih melanggengkan aturan-aturan yang<br />

melanggar HAM, terutama jika menyangkut<br />

kasus-kasus yang berkaitan dengan anggota<br />

partai terlarang. Undang-undang Nomor 12<br />

Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum misalnya<br />

masih melarang adanya pihak-pihak yang<br />

terlibat dalam partai terlarang untuk<br />

mendapatkan haknya sebagaimana warga<br />

negara yang lainnya. Tetapi undang-undang di<br />

atas dalam satu pasalnya yang melanggar HAM<br />

dibatalkan oleh Mahkamah Konsitusi setelah<br />

ada judicial review atas pasal tersebut. 21 Selain<br />

itu, undang-undang penting masa rezim lama<br />

yang akhirnya dihapus adalah Undang-undang<br />

Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan<br />

Kegiatan Subversi. Undang-undang Nomor 11/<br />

PNPS/1963 yang selama ini sering digunakan<br />

untuk menjerat pihak-pihak yang dianggap<br />

berseberangan dengan pemerintah telah<br />

dihapuskan dengan Undang-undang Nomor 26<br />

Tahun 1999. Namun demikian pencabutan<br />

undang-undang ini kemudian dilanjutkan<br />

dengan undang-undang sejenis yang kembali<br />

menimbulkan protes dari banyak pihak. Akibat<br />

dari ini penundaan undang-undang sejenis ini<br />

menyebabkan Undang-undang Nomor 11/<br />

PNPS/1963 kembali digunakan oleh<br />

pemerintah sebagai pegangan. Penetapan Status<br />

Darurat Sipil di Maluku Juni 2000 dan Status<br />

Darurat Militer di Aceh Mei 2003, adalah bukti<br />

masih dipergunakannya Undang-undang<br />

Nomor11/PNPS/1963 di Indonesia. Terdapat<br />

satu undang-undang yang seharusnya bisa<br />

menjadi regulasi yang berfungsi untuk<br />

menghapus peraturan yang bertentangan<br />

dengan hak asasi manusia. Namun demikian,<br />

undang-undang belakangan justru<br />

meneguhkan peraturan yang melanggaran<br />

HAM. Undang-undang ini adalah Undangundang<br />

27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab<br />

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang<br />

Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap<br />

Keamanan Negara. Undang-undang ini masih<br />

mengatur tentang pelarangan penyebaran<br />

paham Marxisme dan Leninisme dan<br />

menambah beberapa hal yang termasuk<br />

kejahatan terhadap keamanan negara.<br />

Peraturan lainnya selama tahun 1999-<strong>2004</strong><br />

yang merupakan regulasi yang menghapuskan<br />

peraturan yang bertentangan dengan HAM<br />

diatur dalam beberapa keputusan presiden.<br />

Keppres-keppres ini pada umumnya mencabut<br />

berbagai pelarangan atas aktivitas-aktivitas<br />

tertentu. Keppres itu adalah Keppres Nomor 6<br />

Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi<br />

Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama,<br />

Kepercayaan dan Adat Istiadat China, Keppres<br />

Nomor 39 Tahun 2000 tentang Pencabutan<br />

Keppres Nomor 16 Tahun 1990 Tentang<br />

Penelitian Khusus Bagi Pegawai Negeri RI,<br />

Keppres Nomor 69 Tahun 2000tentang<br />

Pencabutan Keppres Nomor 264 Tahun 1962<br />

tentang Larangan Adanya Organisasi Liga<br />

Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society,<br />

Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia),<br />

Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical<br />

Organization of Rosi Crucians (AMORC) dan<br />

Organisasi Baha’i.<br />

c. Ratifikasi Hukum HAM Internasional<br />

Selama periode 1999 –<strong>2004</strong>, Indonesia telah<br />

meratifikasi salah satu konvensi penting yaitu<br />

Internasional Convention on the Elimination of<br />

All Forms of Racial Discrimination 1965<br />

(Konvensi International tentang Penghapusan<br />

Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Tahun 1965).<br />

Konvensi ini disahkan dengan Undang-undang<br />

Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan<br />

internasional Convention on the Elimination of<br />

All Forms of Racial Discrimination 1965. Secara<br />

umum konvensi ini berisi tentang penolakan<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

15


terhadap diskriminasi rasial, penghentian segala<br />

bentuk diskriminasi rasial yang dilakukan oleh<br />

pemerintah dan sebagian masyarakat,<br />

penghentian propaganda supremasi ras atau<br />

warna kulit tertentu dan langkah-langkah yang<br />

harus diambil oleh negara-negara dalam<br />

penghapusan diskriminasi rasial.<br />

Program ratifikasi berbagai instrumen<br />

internasional penting lainnya tampaknya belum<br />

berhasil dilaksanakan terutama untuk konvensi<br />

hak sipil politik dan konvensi hak ekonomi,<br />

sosial dan budaya. RAN-HAM periode 1998–<br />

2003 telah memprioritaskan beberapa<br />

instrumen yang akan diratifikasi yaitu Konvensi<br />

Internasional Hak-hak Sipil dan Politik<br />

(konvensi sipol) beserta protokolnya; Konvensi<br />

Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya<br />

(konvensi ekosob); dan juga Konvensi<br />

Penghentian Perdagangan Manusia pada tahun<br />

2002, sedangkan tahun 2003 adalah Konvensi<br />

Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan<br />

Genosida; Konvensi Perbudakan; dan Konvensi<br />

Internasional Perlindungan Semua Pekerja<br />

Migran dan Anggota Keluarganya.<br />

Implementasi dari program RAN-HAM<br />

tentang ratifikasi ini adalah terhadap konvensi<br />

hak sipil politik dan konvensi hak ekonomi<br />

sosial budaya akan dilakukan persiapan<br />

ratifikasi mulai tahun <strong>2004</strong> sesuai dengan RAN-<br />

HAM <strong>2004</strong>-2009. 22 Konvensi mengenai<br />

Penghentian Perdagangan Manusia, pemerintah<br />

mengeluarkan kebijakan mengenai trafficking<br />

dengan Keppres Nomor 88 tentang Rencana<br />

Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafficking)<br />

Perempuan dan Anak.<br />

Konvensi Tentang Pencegahan dan<br />

Penghukuman Kejahatan Genosida sampai saat<br />

ini belum diratifikasi padahal sudah ada rencana<br />

untuk meratifikasi konvensi ini sejak tahun 2000<br />

dan pada perbaikan RAN-HAM periode 1998-<br />

2003 konvensi ini masih tetap menjadi prioritas.<br />

Terhadap Konvensi Perbudakan, Indonesia telah<br />

meratifikasi Konvensi Perbudakan ini dengan<br />

Undang-undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang<br />

Pengesahan Konvensi International Labour Organization<br />

(ILO) Nomor 105 mengenai<br />

Penghapusan Kerja Paksa. Selain adanya<br />

ratifikasi Konvensi Anti Perbudakan, pada tahun<br />

2003 dikeluarkan produk perundang-undangan<br />

tentang ketenagakerjaan dengan Undangundang<br />

Nomor 13 Tahun 2003 tentang<br />

Ketenagakerjaan yang menjamin dilarangnya<br />

praktik perbudakan di Indonesia.<br />

Meski belum merativikasi konvensi<br />

internasional perlindungan semua perkerja<br />

migran dan anggota keluarganya sampai saat ini<br />

pemerintah belum melakukan ratifikasi tetapi<br />

pada tahun <strong>2004</strong> ini pemerintah telah<br />

mengeluarkan Undang-undang Nomor 39<br />

Tahun <strong>2004</strong> tentang Perlindungan Penempatan<br />

TKI di Luar Negeri/tentang Buruh Migran,<br />

namun undang-undang ini malah justru<br />

mengatur tentang tata organisasi penempatan<br />

buruh migran dan belum menyentuh aspekaspek<br />

perlindungan terhadap buruh migran.<br />

Selain berbagai macam konvensi yang<br />

diagendakan dalam RAN-HAM, pemerintah<br />

Indonesia juga telah melakukan pengesahan<br />

terhadap berbagai konvensi lainnya terutama<br />

adalah konvensi-konvensi dari ILO. Konvensikonvensi<br />

tersebut adalah Convention No. 138<br />

Concerning Minimum Age for Admission to Employment<br />

(Konvensi ILO mengenai Usia Minimum<br />

Untuk Diperbolehkan Bekerja), Convention<br />

No. 111 Concerning Discrimination in Respect<br />

of Employment and Occupation (Konvensi<br />

ILO Mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan<br />

dan Jabatan) dan Convention No. 182 Concerning<br />

The Prohibition and Immediate Action for The<br />

Elimination of The Worst Forms of Child Labour<br />

(Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan<br />

dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk<br />

Pekerjaan Terburuk Untuk Anak). 23<br />

3. Reformasi Institus TNI, Polri,<br />

Kejaksaan, dan Pengadilan<br />

Salah satu mandat dari agenda penegakan<br />

hak asasi manusia adalah reformasi institusi<br />

TNI, Polri, Kejaksaan dan Pengadilan.<br />

Masuknya agenda ini merupakan pengamatan<br />

mendalam atas keterlibatan institusi-insitusi ini<br />

dalam berbagai tindak pelanggaran hak asasi<br />

manusia karena telah terkooptasi oleh<br />

kekuasaan Soeharto. 24 Atas dasar itu juga agenda<br />

reformasi ini dimulai menjadi tiga tahap besar,<br />

yakni mencakup pembuatan regulasi untuk<br />

membenahi wewenang, tugas dan hirarki<br />

komando, pembenahan struktur organisasi<br />

termasuk di sini menertibkan unit usaha milik<br />

militer dan Polri, dan penguatan atau<br />

16 Bagian II


pembenahan mekanisme pertanggungjawaban<br />

kriminal di institusi-institusi tersebut. 25<br />

a. Kepolisian, Militer dan Intelejen<br />

Lahirnya TAP MPR Nomor VI/MPR/2000<br />

dan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 telah<br />

menjadi landasan proses reformasi di tubuh TNI<br />

dan Polri. Dimulai dengan mengeluarkan<br />

sejumlah kebijakan dalam bentuk Keppres,<br />

pemerintahan Habibie dan Abdurrahman<br />

Wahid memulai reformasi di dua institusi ini<br />

dengan melakukan pemisahan antara TNI dan<br />

Polri. Keppres pemisahan ini kemudian<br />

diarahkan untuk ditingkatkan ke dalam bentuk<br />

undang-undang pada masa Abdurrahman<br />

Wahid. Namun karena kepemimpinan Wahid<br />

berhasil ditumbangkan oleh parlemen upaya ini<br />

pun terhenti. Naiknya Megawati menjadi<br />

presiden menggantikan Abdurrahman Wahid,<br />

kemudian lahir insiatif untuk melanjutkan<br />

proses reformasi di dua institusi tersebut.<br />

Namun demikian, begitu kuatnya penolakan<br />

kedua institusi tersebut untuk memberikan<br />

kepada sipil kewenangan merumuskan arah<br />

reformasi di dua institusi tersebut, membuat<br />

proses pembuatan undang-undang untuk kedua<br />

institusi ini berjalan lama dan masih<br />

mempertahankan nilai-nilai lama yang tentunya<br />

membahayakan proses demokratisasi dan hak<br />

asasi manusia di Indonesia. Akhirnya memasuki<br />

tahun 2002, Undang-undang Nomor 2 Tahun<br />

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia<br />

26 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun<br />

2002 27 disahkan. Pasca pengesahannya,<br />

selanjutnya pemerintah menerbitkan beberapa<br />

peraturan lainnya yang berkaitan dengan<br />

institusi kepolisian yaitu Peraturan Pemerintah<br />

Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian<br />

Anggota Kepolisian Negara RI, Peraturan<br />

Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang<br />

Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara<br />

RI dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun<br />

2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional<br />

Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian<br />

Negara RI. 28 Sayangnya proses pembuatan<br />

regulasi untuk TNI dan Polri tidak dilanjutkan<br />

dengan pembuatan regulasi untuk institusi<br />

intelejen. Institusi yang pada masa Soeharto juga<br />

kerap terlibat dalam pelanggaran hak asasi<br />

manusia ini, hingga saat ini belum memiliki<br />

undang-undang karena draft Rancangan<br />

Undang-undang (RUU) yang diajukan oleh<br />

pemerintah masih mempertahankan cara-cara<br />

lama. Di samping itu, pasca penerbitan Undangundang<br />

Nomor 3 Tahun 2003, juga tidak<br />

dilanjutkan dengan menerbitkan undangundang<br />

tentang TNI sebagai konsekuensi<br />

perubahan yang harus dijalankan oleh institusi<br />

karena penerbitan undang-undang tersebut.<br />

Tanpa alasan yang jelas, pembuatan regulasi ini<br />

tertunda-tunda selama dua tahun. Setelah<br />

saling tarik-menarik antara TNI dengan politisi<br />

sipil yang mengkritisi sejumlah pasal-pasal<br />

bermasalah dalam draft RUU TNI, Undangundang<br />

Nomor 34 Tahun <strong>2004</strong> tentang Tentara<br />

Nasional Indonesia (TNI) diterbitkan. Dalam<br />

undang-undang ini didefinisikan secara jelas<br />

persoalan jati diri atau identitas TNI, yakni TNI<br />

sebagai tentara profesional. 29 Poin penting<br />

lainnya dari undang-undang ini adalah adanya<br />

pasal larangan bisnis oleh TNI dan hubungan<br />

antara TNI dengan otoritas sipil berkait dengan<br />

kedudukan TNI apakah berada di bawah<br />

departemen pertahanan atau langsung di bawah<br />

presiden. Sedangkan larangan bisnis oleh TNI<br />

dalam undang-undang ditegaskan bahwa<br />

penyerahan aset akan dilakukan dalam waktu<br />

lima tahun kepada pemerintah.<br />

Meskipun pencapaian di tingkat normatif<br />

untuk agenda pemisahan TNI dan Polri<br />

(dengan disahkannya undang-undang tentang<br />

TNI) telah dicapai, ternyata dalam<br />

implementasinya masih terdapat hambatanhambatan<br />

yang kembali berakibat langsung<br />

terhadap praktik-praktik pelanggaran hak asasi<br />

manusia. Di samping itu sejumlah pasal dalam<br />

regulasi tersebut, terutama khusus undangundang<br />

Pertahanan dan TNI, terdapat<br />

kelemahan-kelemahan subtansial yang masih<br />

akan mengancam hak asasi manusia<br />

penduduk. 30 Sepanjang proses pemisahan ini<br />

ternyata juga tidak mampu mengurangi<br />

keterlibatan TNI dan Polri dalam peristiwa<br />

pelanggaran hak asasi manusia. Sebaliknya,<br />

kedua Institusi masih terlibat dalam peristiwa<br />

pelanggaran hak asasi manusia. 31 Di samping itu<br />

agenda reformasi di lingkungan internal juga<br />

berjalan lambat, dan mencapai titik terendahnya<br />

memasuki <strong>2004</strong> ini. Berbeda dengan masa awalawal<br />

di mana reformasi internal dimulai dengan<br />

menghapuskan jabatan Kastaf Sospol dan<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

17


kemudian melarang perwira-perwira aktif<br />

menjabat jabatan di pemerintahan. Kondisi saat<br />

ini, niatan dari institusi TNI untuk melanjutkan<br />

reformasi di lingkungan internal mulai<br />

melemah. Kesadaran awal tentang perlunya<br />

menghapuskan Komando Teritorial (KOTER),<br />

sebagai bagian dari keinginan meningkatkan<br />

profesionalitasnya, belum berjalan, dan bahkan<br />

cenderung diperkuat kembali. 32 Upaya untuk<br />

menghilangkan watak bisnis di kalangan<br />

perwiranya, nampak belum berjalan, padahal ini<br />

diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 34<br />

Tahun <strong>2004</strong>.<br />

Banyaknya praktik-praktik pelanggaran hak<br />

asasi manusia oleh TNI dan Polri pada periode<br />

reformasi, tidak dengan sendirinya membuat<br />

pemerintah segera membenahi mekanisme pertanggungjawaban<br />

internal dan memaksa kedua<br />

institusi tersebut tunduk pada hukum hak asasi<br />

manusia nasional yang berlaku. Pemerintahan<br />

sipil nampak lemah ketika berhadapan dengan<br />

dua institusi ini. Hingga saat ini hanya Institusi<br />

kepolisian yang melakukan proses pembenahan<br />

mekanisme internal, meskipun pembenahannya<br />

belum mampu menyeret para pelaku yang<br />

berasal dari kalangan perwira. Sementara di internal<br />

TNI dan Intelejen, undang-undang<br />

peradilan militer dan kitab undang-undang<br />

hukum pidana militer serta pengadilan militer<br />

di institusi ini belum berubah, sehingga<br />

mengakibatkan proses reformasi di tubuh TNI<br />

belum bisa sepenuhnya berjalan. Meski ada<br />

upaya penghukuman terhadap sejumlah pelaku<br />

pelanggaran hak asasi manusia, namun<br />

demikian proses ini hanya dikenakan kepada<br />

para prajurit kalangan bawah, dan lebih jauh<br />

lagi menutup mata rantai pelaku di level<br />

perwira. 33<br />

b. Reformasi di Institusi Peradilan<br />

Reformasi di institusi peradilan menjadi<br />

agenda penting untuk dilaksanakan ketika<br />

melihat dalam praktiknya pada masa lalu<br />

institusi ini menjadi alat untuk memperkuat<br />

atau hanya dijadikan alat kekuasaan. Insitusi<br />

peradilan juga menjadi dasar legitimasi<br />

penguasa masa lalu untuk membungkam atas<br />

segala aktivitas yang bersuara kritis terhadap<br />

penguasa. Gagasan awal atas proses reformasi di<br />

institusi ini adalah dengan mengemukakan<br />

gagasan peradilan satu atap di bawah<br />

Mahkamah Agung. Gagasan ini dipilih karena<br />

dipandang mampu mensterilkan segala<br />

instrumen pengadilan dari upaya-upaya<br />

kooptasi kekuasaan. Selanjutnya untuk<br />

mendukung gagasan ini maka dibuat Undangundang<br />

Nomor 35 Tahun 1999 dan kemudian<br />

dilanjutkan dengan Undang-undang Nomor 4<br />

Tahun <strong>2004</strong> tentang Kekuasaan Kehakiman 34<br />

untuk memperkuat kemandirian dan kekuasaan<br />

kehakiman. Dalam undang-undang yang<br />

disebutkan terakhir ini ditegaskan tentang<br />

prinsip-prinsip kemandirian pengadilan dan<br />

proses pengadilan yang adil dan tidak memihak<br />

dan undang-undang ini juga mengatur tentang<br />

kewenangan-kewenangan lembaga peradilan.<br />

Undang-undang yang menggantikan Undangundang<br />

Nomor 14 Tahun 1970 tentang<br />

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan<br />

Kehakiman ini juga menyatakan bahwa<br />

lingkungan peradilan umum dikeluarkan dari<br />

Departemen Kehakiman Republik Indonesia<br />

dan memindahkannya ke Mahkamah Agung<br />

Republik Indonesia dengan masa transisi paling<br />

lama 5 (lima) tahun. Dengan ketentuan ini<br />

depertemen Hukum dan HAM ini tidak lagi<br />

mempunyai kekuasaan terhadap peradilan<br />

umum. Hal ini menyebabkan intervensi<br />

pemerintah atas institusi pengadilan berkurang.<br />

Reformasi di institusi pengadilan ini juga<br />

menyentuh institusi kejaksaan dan lembaga<br />

Mahkamah Agung. Undang-undang Nomor 5<br />

Tahun <strong>2004</strong> tentang Perubahan Atas Undangundang<br />

Nomor 14 Tahun 1985 tentang<br />

Mahkamah Agung. Undang-undang ini<br />

mengatur tentang kedudukan Mahkamah<br />

Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman,<br />

syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi<br />

hakim agung, serta beberapa subtansi yang<br />

menyangkut hukum acara, khususnya dalam<br />

melaksanakan tugas dan kewenangan dalam<br />

memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi<br />

serta dalam melakukan hak uji materiil terhadap<br />

peraturan perundang-undangan di bawah<br />

undang-undang. Pembaharuan di tubuh<br />

kejaksaan juga dilakukan dengan<br />

dikeluarkannya Undang-undang Nomor 16<br />

Tahun <strong>2004</strong> tentang Kejaksaan Republik Indonesia<br />

yang mengatur tentang lembaga kejaksaan<br />

termasuk berkaitan dengan tugas dan<br />

kewenangannya. Dalam undang-undang ini<br />

18 Bagian II


tugas utama Kejaksaan adalah melakukan<br />

proses penuntutan terhadap tindak pidana<br />

untuk melindungi kepentingan umum.<br />

Meskipun terjadi perubahan yang cukup<br />

maju, namun demikian proses reformasi di<br />

institusi peradilan masih sulit untuk dijalankan<br />

di tataran praktis. Berbagai persoalan<br />

pelaksanaannya seperti belum adanya upaya<br />

sinkronisasi beberapa regulasi lain yang<br />

bertabrakan dengan regulasi satu atap ini<br />

membuat regulasi baru ini sulit diterapkan<br />

sepenuhnya. Di samping itu munculnya<br />

penolakan yang kuat dari institusi-institusi yang<br />

terkena proses reformasi ini membuat proses<br />

pelaksanaannya tertunda-tunda dan dijalankan<br />

setengah hati. Persoalan lainnya adalah kapasitas<br />

hakim, jaksa yang masih terbatas untuk<br />

menjalankan tugas dan fungsi baru yang<br />

diamanatkan oleh undang-undang baru. Ini<br />

terlihat dalam proses pengadilan sepanjang<br />

tahun 1999-<strong>2004</strong> yang mana masih dipengaruhi<br />

oleh kepentingan politik serta tidak mampu<br />

melepaskan diri dari pengaruh eksekutif.<br />

Pengadilan koneksitas kasus 27 Juli 1996 yang<br />

digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat<br />

merupakan contoh konkrit bagaimana<br />

pengadilan diciptakan untuk tujuan yang tidak<br />

sesuai dengan kenyataannya. Kegagalan<br />

pengadilan HAM ad hoc baik kasus Timor<br />

Timur maupun Tanjung Priok bukti lain<br />

tentang belum bebasnya institusi-institusi<br />

peradilan dari intervensi kekuasaan. Kapasitas<br />

hakim sangat lemah dalam menghadapai<br />

regulasi-regulasi yang baru. Di samping itu,<br />

Pendidikan hakim yang tidak berjalan pararel<br />

dengan perkembangan regulasi menyebabkan<br />

para hakim cenderung gagap untuk<br />

menerapkan regulasi baru, terlebih jika tidak<br />

ada petunjuk dari otoritas yang lebih tinggi<br />

(MA) tentang sebuah regulasi tertentu.<br />

Kebingunan hakim dalam menyikapi regulasi<br />

ternyata berimbas pada pemberian keadilan bagi<br />

korban. 35 Faktor lainnya adalah buruknya<br />

administrasi peradilan. Hal ini terlihat dari akses<br />

publik terhadap informasi perkembangan<br />

sebuah kasus ke pengadilan yang masih tertutup.<br />

Masalah administrasi pengadilan selama lima<br />

tahun terakhir atau paling tidak jika dilihat<br />

berdasarkan progressivitas penanganan kasus<br />

tidak ada perkembangan. Masalah-masalah<br />

yang sama selalu muncul dalam setiap<br />

penanganan perkara akibat dari lemahnya<br />

administrasi pengadilan. Jadual sidang yang<br />

tidak jelas baik mengenai waktu dan tempat,<br />

seringnya penundaan sidang, dan tidak jelasnya<br />

informasi mengenai perkembangan sebuah<br />

kasus di pengadilan adalah problem-problem<br />

klasik yang muncul akibat tidak berjalannya<br />

pembenahan administrasi pengadilan.<br />

Hal ini semakin lengkap ketika institusi<br />

Kejaksaan Agung menolak untuk mereformasi<br />

diri. Posisi Jaksa Agung yang masih berada di<br />

bawah eksekutif membuat institusi ini semakin<br />

menjauhkan diri dari upaya-upaya kemandirian<br />

kejaksaan. Di samping itu, masih kuatnya<br />

pengaruh pimpinan/atasan dalam institusi<br />

kejaksaan semakin meneguhkan bahwa lembaga<br />

ini belum mampu keluar dari watak militeristik<br />

warisan rezim lama. 36 Penanganan perkara yang<br />

harus selalu dikonsultasikan dengan atasan,<br />

bahkan dalam rencana penuntutan terhadap<br />

seorang terdakwa harus meminta persetujuan<br />

dari atasan, menyebabkan kinerja kejaksaan<br />

masih sarat dengan intervensi kekuasaan. Tidak<br />

gigihnya jaksa dalam melakukan pembuktian<br />

untuk membuktikan surat dakwaan adalah satu<br />

bukti bahwa masih adanya unsur intervensi<br />

yang besar terhadap institusi kejaksaan maupun<br />

para jaksa yang sedang bertugas. 37 Kegagalan<br />

penanganan kasus pelanggaran hak asasi<br />

manusia yang berat dalam beberapa pengadilan,<br />

menunjukkan adanya sejumlah persoalan<br />

lemahnya kapasitas/kompetensi di kalangan<br />

para jaksa. Sistem rekruitmen yang buruk,<br />

pendidikan jaksa yang tidak memadai dan<br />

minimnya program peningkatan kualitas jaksa<br />

disinyalir sebagai penyebab rendahnya kualitas<br />

jaksa.<br />

c. Reformasi Departemen Kehakiman dan<br />

Hak Asasi Manusia<br />

Di samping mereformasi institusi peradilan,<br />

proses reformasi ini juga diarahkan ke<br />

Departemen Hukum dan HAM, karena<br />

departemen yang sebelumnya bernama<br />

Departemen kehakiman ini dahulunya<br />

merupakan perpanjangan tangan dari ekskutif,<br />

yakni mengatur hakim dan sampai tahap mutasi<br />

hakim yang tidak mengikuti kemauan penguasa.<br />

Atas dasar inilah kemudian sejumlah<br />

kewenangan Departemen hukum dan HAM<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

19


yang bermasalah dihapuskan. Untuk<br />

selanjutnya, lembaga ini mempunyai<br />

Kewenangan (a) Pengaturan dan pembinaan<br />

terhadap bidang persyaratan, keimigrasian dan<br />

kenotariatan; (b) Pengaturan dan pembinaan<br />

terhadap bidang tahanan, benda sitaan negara<br />

dan barang rampasan negara, peradilan,<br />

penasehat hukum, pendaftaran jaminan fidusia,<br />

perubahan nama, harta peninggalan, kepailitan<br />

ketatanegaraan dalam bidangnya dan<br />

kewarganegaraan; (c) Peraturan dan pembinaan<br />

di bidang daktoloskopi, grasi, amnesti, abolisi,<br />

rehabilitasi dan penyidik pegawai negeri sipil;<br />

dan (d) Penerapan perlindungan, pemajuan,<br />

penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia.<br />

Sayangnya meskipun telah dilakukan reposisi<br />

atas kewenangan dan tugasnnya, karena<br />

keterbatasan sumber daya manusia, departemen<br />

ini lambat untuk menjalankan wewenang baru<br />

tersebut, termasuk di sini memotori pelaksanaan<br />

agenda penegakan hak asasi manusia nasional. 38<br />

4. Penghukuman: Proses Peradilan Atas<br />

Hasil Penyelidikan KPP HAM, Tim<br />

Koneksitas dan Komisi Nasional<br />

Penyelidik<br />

Selama periode 1999-<strong>2004</strong> telah digelar tiga<br />

20 Bagian II


pengadilan hak asasi manusia. Dua pengadilan<br />

yang sifatnya ad hoc dan satu pengadilan yang<br />

permanen. Pengadilan HAM ad hoc kasus<br />

pelanggaran HAM di Timor Timur dan<br />

Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok digelar<br />

berdasarkan Keppres Nomor 53 Tahun 2001<br />

yang kemudian diperbaharui oleh Keppres<br />

Nomor 96 Tahun 2001. 39 Sedangkan pengadilan<br />

HAM yang sifatnya permanen, karena<br />

peristiwanya terjadi setelah disahkannya<br />

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, adalah<br />

pengadilan HAM untuk kasus Pelanggaran<br />

HAM yang berat di Abepura/Papua. 40 Selain itu<br />

ada juga beberapa kasus yang diadili dengan<br />

mekanisme pengadilan koneksitas maupun<br />

militer. Berikut ini uraian proses peradilan<br />

kasus-kasus.<br />

a. Pengadilan Hak Asasi Manusia<br />

i. Pengadilan HAM ad hoc Kasus pelanggaran<br />

HAM di Timor Timur<br />

Sejak<br />

a w a l<br />

persidangan<br />

pengadilan<br />

H A M<br />

Timortimur,<br />

pesimisme<br />

terhadap<br />

keberhasilan pengadilan muncul disebabkan<br />

surat dakwaan jaksa penuntut umum sangat<br />

lemah. Jaksa penuntut umum juga ternyata<br />

hanya mengajukan terdakwa berjumlah 18 orang<br />

yang terdiri 10 orang dari militer, 4 orang<br />

dari polisi dan 4 orang dari sipil. Jumlah<br />

terdakwa yang diajukan ini jauh lebih kecil<br />

daripada rekomendasi hasil penyelidikan<br />

Komnas HAM yang juga merekomendasikan<br />

untuk mengajukan pelaku lapangan dan<br />

perwira tinggi militer. Tuntutan pidana yang<br />

diajukan oleh jaksa pada akhirnya juga tidak<br />

pernah cukup maksimal dan terkesan<br />

dipaksakan. Dalam pengadilan HAM ad hoc<br />

Timor Timur tuntutan pidana kepada para<br />

terdakwa paling tinggi 10 tahun 6 bulan sampai<br />

10 tahun dan terdapat satu terdakwa yang<br />

bahkan di tuntut bebas. Substansi tuntutan jaksa<br />

tidak begitu memuaskan dalam artian tidak<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

cukup bisa memperkuat surat dakwaan dan<br />

terkesan dibuat seadanya dan hal ini berbeda<br />

misalnya dengan pembelaan/pledooi yang<br />

diajukan oleh terdakwa dan penasehat<br />

hukumnya. Di tingkat banding, putusan<br />

terhadap kasus pelanggaran HAM di Timor<br />

Timur yang tak terpantau oleh publik ini<br />

ternyata menghasilkan putusan yang semakin<br />

meneguhkan bahwa pengadilan ini telah gagal.<br />

Dari 6 orang yang dinyatakan bersalah di tingkat<br />

pertama hanya 2 yang tetap dinyatakan bersalah<br />

yang dua-duanya dari sipil, satu terdakwa tetap<br />

dengan hukuman yang sama dan satu lagi<br />

mengalami pengurangan hukuman dari 10<br />

tahun menjadi 5 tahun. Bebasnya para terdakwa<br />

yang berasal dari militer dan kepolisian ini<br />

mengakibatkan sejumlah pertanyaan yang<br />

mengarah pada tuduhan bahwa pengadilan ini<br />

hanya akan meng-kambinghitam-kan terdakwa<br />

dari sipil.<br />

ii. Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok<br />

Pengadilan HAM Tanjung Priok juga<br />

mengalami hal yang sama di mana hanya<br />

anggota militer sampai tingkat komandan<br />

Kodim dan Kapomdam yang diajukan ke<br />

pengadilan sementara hasil penyelidikan<br />

Komnas HAM merekomendasikan perwira di<br />

atas Komandan Kodim yaitu Pangdam dan<br />

Panglima ABRI. Kondisi yang sama juga terlihat<br />

dalam tuntutan terhadap para terdakwa yang<br />

diajukan oleh jaksa dalam pengadilan HAM ad<br />

hoc Tanjung Priok. Para jaksa tampak setengah<br />

hati dalam melakukan tuntutan kepada para<br />

terdakwa, perkecualian dalam pengadilan ini<br />

adalah dicantumkannya tuntutan mengenai<br />

kompensasi kepada korban dalam surat<br />

dakwaan meskipun hal ini merupakan desakan<br />

oleh korban. Pengadilan ini memberikan<br />

putusan putusan antara 3 tahun sampai dengan<br />

2 tahun terhadap 11 terdakwa yang merupakan<br />

pelaku lapangan dan 10 tahun kepada seorang<br />

terdakwa. Tidak begitu jelas bagaimana<br />

pengadilan memutuskan hukuman yang<br />

berbeda dan jauh menyimpang dari ketentuan<br />

undang-undang.<br />

iii. Pengadilan HAM untuk kasus Pelanggaran<br />

HAM yang berat di Abepura/Papua<br />

Pengadilan HAM Abepura justru lebih parah<br />

21


dengan hanya mengajukan dua terdakwa yaitu<br />

komandan Brimob dan Kapolres padahal hasil<br />

penyelidikan Komnas HAM menyebut pelaku<br />

lapangan dan Kapolda sebagai pihak yang juga<br />

bisa dimintai pertanggungjawaban. Hingga<br />

laporan ini dibuat, proses persidangan untuk<br />

kasus ini sedang berjalan, sehingga belum<br />

diketahui persis hasilnya.<br />

b. Pengadilan Koneksitas dan Pengadilan<br />

Militer<br />

Selain beberapa pengadilan HAM tersebut di<br />

atas, selama 1999-<strong>2004</strong> juga terjadi beberapa<br />

pengadilan terhadap kasus-kasus yang<br />

melibatkan aparat negara dan berindikasi kuat<br />

terjadi pelanggaran HAM yang berat. Kasuskasus<br />

ini tidak diselesaikan melalui Pengadilan<br />

HAM tetapi dengan Pengadilan Koneksitas dan<br />

Pengadilan Militer.<br />

i. Pengadilan Koneksitas Teungku Bantaqiah<br />

Kasus pembunuhan terhadap Teungku<br />

Bantaqiah dan pengikutnya dilaksanakan<br />

dengan menggunakan pengadilan koneksitas<br />

berdasarkan surat penetapan Ketua Pengadilan<br />

Negeri Banda Aceh tanggal 14 April 2000<br />

Nomor 21/Pen.Pid/2000/PN-BNA. Digelarnya<br />

peradilan koneksitas didasarkan pada adanya<br />

Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tanggal<br />

13 April 2000 Nomor Register Perkara PDM-02/<br />

MLBH/4/2000. Dalam persidangan koneksitas<br />

yang digelar di Pengadilan Negeri Tingkat I<br />

Banda Aceh berkaitan dengan kasus<br />

penembakan terhadap Teungku Bantaqiah dan<br />

56 penduduk sipil lainnya, Jaksa Penuntut<br />

Umum mengajukan 25 orang terdakwa, 24 orang<br />

tentara dan satu orang sipil, telah dengan<br />

sengaja menghilangkan jiwa orang lain tanpa<br />

bukti-bukti yang jelas atas tuduhan kepada<br />

korban sebagai anggota GPK Aceh. Dakwaan<br />

dibuat secara berlapis yang bersifat komulatif.<br />

Artinya bahwa JPU menyusun dakwaan dari<br />

tindak pidana yang terberat berkaitan dengan<br />

penghilangan nyawa, yakni pembunuhan<br />

(moord) yang direncanakan, sampai yang<br />

teringan yakni kelalaian yang mengakibatkan<br />

kematian. Putusan Majelis Hakim menyatakan<br />

bahwa para terdakwa tidak terbukti bersalah<br />

secara sah dan meyakinkan melakukan tindak<br />

pidana pembunuhan yang direncanakan<br />

terlebih dahulu yang dilakukan secara<br />

melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1<br />

KUHP sebagaimana didakwakan dalam<br />

dakwaan primer dan oleh karena itu dibebaskan<br />

dari dakwaan Primer. Tetapi pengadilan<br />

menyatakan para terdakwa telah terbukti<br />

bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan<br />

tindak pidana pembunuhan yang dilakukan<br />

secara bersama-sama, melanggar Pasal 338 jo<br />

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana<br />

didakwakan dalam dakwaan Subsidair. Ke-25<br />

terdakwa dijatuhi hukuman antara 6 tahun<br />

sampai dengan 10 Tahun.<br />

ii. Pengadilan Militer Kasus Trisaksi<br />

Kasus penembakan terhadap mahasiswa<br />

Trisaksi disidangkan dalam pengadilan militer di<br />

Mahkamah Militer II-08 Jakarta. Terdapat 18<br />

terdakwa di mana dua terdakwa Letnan Agus Tri<br />

Heryanto dan Letnan Pariyo disidangkan<br />

pertama kali. Para terdakwa lainnya yang<br />

diajukan dalam pengadilan adalah Komandan<br />

Kompi Brimob Polda Metro Jaya Lettu (Pol)<br />

Wandi Rustiawan, Komandan Kompi Korps<br />

Brimob Polri Lettu (pol) Sriyadi, Komandan<br />

Pleton Korps Brimob Polri Letda (Pol) Basya<br />

Radyananda dan Koordinator URC Polda Metro<br />

Jaya Letda (Pol) Achmad Hadi. Terdakwa<br />

lainnya yang disidangkan secara terpisah adalah<br />

11 terdakwa, namun 2 di antaranya tidak dapat<br />

menghadiri persidangan karena meninggal<br />

dunia dan desersi. Mahkamah Militer (Mahmil)<br />

II-08 Jakarta, sejak 18 Juni 2001 telah<br />

menyidangkan kasus penembakan mahasiswa<br />

Trisakti 12 Mei 1998. Mahmil akan mengadili 11<br />

anggota aparat keamanan dari pangkat<br />

golongan tamtama, bintara, dan perwira sebagai<br />

terdakwa, dengan saksi 35 orang dari berbagai<br />

kalangan, termasuk dari Civitas Akademika<br />

Universitas Trisakti. Akhirnya aktor-aktor di<br />

lapangan itu pun dijatuhi hukuman. Sembilan<br />

anggota Brimob dituntut hukuman antara 1,5<br />

tahun hingga 3 tahun penjara dan dipecat dari<br />

Polri.<br />

iii. Pengadilan Militer Kasus Theys Eluay<br />

Pasca penyelidikan KPN, berkas hasil<br />

penyelidikian kemudian dilimpahkan ke<br />

Makamah Militer Surabaya dengan mengajukan<br />

22 Bagian II


4 tersangka. Sidang dibagi dalam dua berkas<br />

perkara di mana berkas pertama terdiri dari<br />

Letnan Kolonel Hartomo (40), Kapten Infantri<br />

Rionardo (32), Sersan Satu Asrial (31), dan<br />

Praka Ahmad Zulfahmi (27) dan berkas kedua<br />

terdiri dari Mayor Infantri Donny Hutabarat<br />

(35), Letnan Satu Agus Soepriyanto (31), dan<br />

Sersan Satu Lauren SL (28). Ketujuh terdakwa<br />

dikenai dakwaan primer Pasal 338 KUHP<br />

tentang dengan sengaja menghilangkan nyawa<br />

orang, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dengan<br />

ancaman pidana penjara 15 tahun dan Pasal 351<br />

KUHP Ayat (3) tentang penganiayaan yang<br />

berakibat matinya orang, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-<br />

1 KUHP dengan ancaman pidana 7 tahun<br />

penjara. Para terdakwa pada akhirnya di vonis<br />

antara 2 tahun sampai dengan 3,5 tahun. Letkol<br />

Hartomo, Mayor Donny Hutabarat, Lettu Agoes<br />

Supriyanto dan Praka Achmad Zulfahmi di<br />

mana mereka terbukti menganiaya hingga tewas<br />

Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), Theys<br />

Hiyo Eluay dengan pemecatan Sedangkan<br />

Rionardo dan Sertu Asrial serta Laurensius<br />

diganjar hukuman 3 tahun dan 2 tahun penjara.<br />

Ketiganya tidak dipecat, dan masih tetap dapat<br />

bertugas di lingkungan TNI-AD. Putusan ini<br />

sontak mengejutkan berbagai kalangan karena<br />

ternyata para pelaku tersebut dijatuhi hukuman<br />

yang sangat ringan dan tuntutan untuk<br />

pembentukan KPP HAM oleh Komnas HAM<br />

terhadap kasus ini semakin menguat. Pendapat<br />

berbeda justru datang dari institusi militer<br />

sendiri yang menyatakan bahwa para terdakwa<br />

ini adalah pahlawan karena membunuh<br />

pemimpin pemberontak dan hukuman itu<br />

untuk menyudutkan TNI. Bahkan Kepala Staff<br />

TNI AD menyatakan bahwa seharusnya<br />

tindakan para terhukum itu dibenarkan karena<br />

Theys secara terang-terangan berani menentang<br />

negara dengan mengibarkan bendera Papua<br />

merdeka, Bintang Kejora. 41<br />

iv. Pengadilan Koneksitas Kasus 27 Juli 1996<br />

Pengadilan terhadap kasus 27 Julii 1996<br />

dilakukan dengan Pengadilan Koneksitas.<br />

Pengadilan ini digelar di Pengadilan Jakarta<br />

Pusat mulai tanggal 23 Juni 2003 sampai tanggal<br />

30 Desember 2003. Para terdakwa yang diajukan<br />

ke pengadilan di dakwa dengan surat dakwaan<br />

Nomor: PDM/242/JKT.PTS/05/2003 tanggal 19<br />

Mei 2003 dengan susunan Primair Pasal 170<br />

ayat (2) ke-1 KUHP, subsidair Pasal 170 ayat (1)<br />

KUHP dan lebih subsidair Pasal 406 jo Pasal 55<br />

ayat (1) ke-1 KUHP. Namun terjadi perubahan<br />

yang dilakukan JPU sehingga dalam uraian<br />

surat dakwaan yang disusun JPU, para terdakwa<br />

telah didakwa — secara bersama-sama —<br />

dengan dakwaan primair Pasal 170 ayat (2) ke-<br />

1 KUHP, dan subsidair-nya Pasal 170 ayat (1)<br />

KUHP. Dengan dakwaan ini para terdakwa<br />

didakwa melakukan pengrusakan terhadap<br />

benda dan penganiayaan. Dalam berkas tersebut<br />

di antaranya terdapat enam tersangka yang<br />

diajukan, yaitu: Kolonel CZI (Purn.) Budi<br />

Purnama (mantan Dan Den Intel Kodam Jaya),<br />

Kapten Suharto (Mantan Dan BKI-C Den Intel<br />

Kodam Jaya), Muhammad Tanjung, Jonathan<br />

Marpaung Panahatan, Muhammad Ilyas alias<br />

Buyung, dan Djoni Moniaga alias Jojon. pada<br />

waktu sidang pertama (hari Senin 23 Juni 2003)<br />

— di saat JPU diperintahkan Majelis Hakim<br />

untuk menghadirkan terdakwa — ternyata<br />

salah seorang terdakwa yang bernama Djoni<br />

Moniaga telah meninggal dunia. Meninggalnya<br />

terdakwa Djoni Moniaga baru diketahui JPU<br />

tiga hari sebelum hari sidang pertama. Putusan<br />

pengadilan akhirnya hanya mampu<br />

menghukum beberapa terdakwa sedangkan<br />

yang lainnya bebas. Terdakwa I, II, III dan V<br />

berdasarkan unsur-unsur tindak pidana yang<br />

didakwakan dinyatakan tidak terbukti dan oleh<br />

karenanya harus dibebaskan dari semua<br />

dakwaan dan dikembalikan nama baiknya.<br />

Sedangkan untuk terdakwa IV, karena telah<br />

mengumpulkan massa untuk pengambilalihan<br />

kantor DPP PDI, melakukan pelemparan dan<br />

mengakibatkan orang dan barang rusak, maka<br />

dia dinyatakan terbukti secara sah dan<br />

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana,<br />

melakukan kekerasan barang dan orang di<br />

muka umum. Selanjutnya majelis hakim<br />

menghukum Terdakwa IV dengan pidana<br />

penjara 2 bulan dan 10 hari yang dikurangi<br />

dengan penahanan yang telah dijalaninya<br />

sebelum keputusan mempunyai kekuatan tetap.<br />

5. Reparasi Korban: Hak Atas<br />

Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi<br />

Hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi<br />

diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

23


2000 dalam Pasal 35 dan kemudian tata cara<br />

pelaksanaanya diatur dalam Peraturan<br />

Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang<br />

Pemberian Kompensasi, Restitusi dan<br />

Rehabilitasi Kepada Korban Pelanggaran HAM<br />

yang Berat. Regulasi ini memberikan jaminan<br />

bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia<br />

mendapatkan hak reparasi atas terjadinya<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang berat<br />

kepada mereka. Tiga pengadilan hak asasi<br />

manusia yang telah berjalan ternyata belum<br />

satupun yang berhasil memberikan hak-hak<br />

reparasi kepada korban dalam tahap<br />

implementasi. Pengadilan HAM ad hoc Tanjung<br />

Priok yang merupakan satu-satunya pengadilan<br />

yang memberikan putusan kompensasi kepada<br />

korban belum berhasil diimplementasikan<br />

karena masih ada hambatan prosedural. Korban<br />

pelanggaran HAM Tanjung Priok akhirnya<br />

mendapatkan putusan dari majelis hakim untuk<br />

mendapatkan kompensai dalam dua putusan, di<br />

mana satu putusan hanya menyatakan bahwa<br />

korban mendapatkan kompensasi sedangkan<br />

satu putusan lainnya dengan disertai jumlah<br />

kompensasi yang akan diterima oleh para<br />

korban.<br />

Putusan kompensasi di atas dalam<br />

pelaksanaanya terhambat karena secara<br />

normatif di mana eksekusi putusan tersebut<br />

hanya bisa dilaksanakan setelah ada keputusan<br />

pengadilan yang bersifat tetap. Artinya<br />

kompensasi akan diterima oleh korban pada saat<br />

terdakwa dinyatakan bersalah di tingkat<br />

Mahkamah Agung, sebaliknya jika ternyata<br />

terdakwa dibebaskan di tingkat banding atau<br />

Mahkamah Agung maka kompensasi tersebut<br />

akan gugur. Hal ini karena konsep kompensasi<br />

kepada korban menggantungkan faktor<br />

kesalahan dari terdakwa dan bukan karena hak<br />

yang melekat terhadap setiap korban<br />

pelanggaran hak asasi manusia. Berbeda dengan<br />

pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok,<br />

pengadilan HAM ad hoc Timor Timur tidak ada<br />

satupun keputusan mengenai kompensasi,<br />

restitusi maupun rehabilitasi kepada korban.<br />

Sampai putusan dibacakan tidak pernah ada<br />

tuntutan dari pihak jaksa untuk juga<br />

mengajukan permohonan kompensasi ke<br />

pengadilan untuk korban. Hakim juga bersikap<br />

sama di mana tidak pernah memperhatikan<br />

persoalan kompensasi kepada korban padahal<br />

dalam undang-undang ditegaskan mengenai<br />

hak-hak korban ini. Dalam pengadilan HAM<br />

Abepura, para korban berinisiatif mengajukan<br />

gugatan untuk permohonan ganti kerugian<br />

kepada korban melalui pengacara dan<br />

pendampingnya. Meskipun permohonan ini<br />

diterima oleh jaksa dan diajukan ke pengadilan<br />

tetapi pada akhirnya pengadilan menolak<br />

permohonan ganti kerugian yang diajukan oleh<br />

korban dengan dalih tidak ada ketentuan<br />

hukumnya. Korban pada akhirnya mengajukan<br />

permohonan ganti kerugian secara sendirisendiri<br />

setalah para korban ini bersaksi di depan<br />

pengadilan.<br />

Uraian di atas menunjukkan bahwa<br />

implementasi pemulihan kepada korban belum<br />

terpenuhi karena sampai dengan saat ini tidak<br />

satupun korban yang menerima kompensasi<br />

dari negara. Meskipun telah ada putusan<br />

mengenai kompensasi kepada korban tetapi<br />

karena belenggu normatif yang tidak berpihak<br />

kepada korban dan juga sikap dari aparat<br />

penegak hukum terutama jaksa dan para hakim<br />

yang tidak menganggap kompensasi kepada<br />

korban ini sebagai sesuatu yang penting dalam<br />

proses penyelesaian pelanggaran hak asasi<br />

manusia masa lalu maka implementasi hak-hak<br />

ini akan sangat sulit diwujudkan.<br />

KESIMPULAN<br />

Keberadaan komitmen penegakan hak asasi<br />

manusia ternyata tidak dengan sendirinya<br />

membuat kondisi hak asasi manusia sepanjang<br />

lima tahun terakhir berubah. Lima agenda besar<br />

penegakan hak asasi manusia yang telah<br />

dirumuskan oleh MPR sepanjang pertengahan<br />

1998 hingga akhir 2000 ternyata hanya sebagian<br />

kecil saja yang dijalankan oleh pemerintahanpemerintahan<br />

yang pernah berkuasa sepanjang<br />

1999-<strong>2004</strong>. Berbagai upaya penyelidikan atas<br />

kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang<br />

selama periode 1999-<strong>2004</strong> ini ternyata hanya<br />

diarahkan kepada peristiwa-peristiwa<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi<br />

antara pertengahan 1980-an hingga<br />

pertengahan 1990-an, sementara peristiwa<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada<br />

pertengahan 1965 hingga akhir 1970 hingga saat<br />

ini masih belum tersentuh. Problem lainnya<br />

adalah sasaran dari penyelidikan ini masih<br />

24 Bagian II


mengarah pada para pelaku lapangan, dan<br />

bukan pihak-pihak yang selama ini menjadi<br />

pelaku utama dari kejahatan-kejahatan hak asasi<br />

manusia. Buruknya lagi, langkah-langkah<br />

penyelidikan ini tidak diikuti dengan upayaupaya<br />

penghukuman atas para pelakunya.<br />

Tidak berbeda dengan agenda pertama,<br />

agenda reformasi di tingkat kebijakan seperti<br />

pembuatan sejumlah regulasi baru, pencabutan<br />

regulasi yang bertentangan dengan hak asasi<br />

manusia dan ratifikasi instrumen hak asasi<br />

manusia internasional, tidak dengan sendirinya<br />

memberikan payung hukum yang kuat dan<br />

efektif dalam usaha-usaha penegakan hak asasi<br />

manusia di tataran praktis. Meskipun beberapa<br />

dari regulasi-regulasi baru tersebut telah<br />

memberikan jaminan hak asasi manusia atau<br />

mendorong terbentuknya institusi peradilan<br />

yang fair demi supremasi hukum, pencabutan<br />

berbagai peraturan yang bertentangan dengan<br />

hak asas8i manusia, serta memaksa TNI dan<br />

Kepolisian, dan institusi peradilan untuk<br />

mereformasi diri, namun demikian regulasiregulasi<br />

baru tersebut tidak mampu<br />

menghadapi regulasi-regulasi anti hak asasi<br />

manusia yang cukup banyak diproduksi dan<br />

dipergunakan oleh DPR dan Pemerintah untuk<br />

menghadapi ketegangan politik dan konflik<br />

sosial. Substansi yang masih memiliki celah<br />

interpretasi yang cukup besar menyebabkan<br />

pelaksanaanya pun menjadi sangat tergantung<br />

kepada insitusi atau pimpinan dari institusi itu<br />

sendiri. Proses ratifikasi yang hanya<br />

mengutamakan ratifikasi instrumen hak asasi<br />

manusia internasional non-binding, membuat<br />

langkah-langkah ratifikasi ini tidak terlalu<br />

banyak memperkuat proses penegakan hak asasi<br />

manusia nasional selama ini. Penundaan<br />

ratifikasi konvensi hak sipil politik dan hak<br />

ekonomi sosial budaya, yang seyogyanya harus<br />

diratifikasi pada masa 1999-<strong>2004</strong>, adalah salah<br />

bukti bahwa langkah-langkah ratifikasi adalah<br />

kamuflase pemerintah terhadap rakyatnya<br />

sendiri dan dunia internasional.<br />

Banyaknya landasan untuk penegakan<br />

hukum tersebut ternyata tidak diimbangi<br />

dengan dukungan dan kesiapan yang memadai<br />

dari institusi pelaksananya sehingga menyebabkan<br />

penegakan hak asasi manusia terhambat. Di<br />

samping lemahnya subtansi isi di beberapa<br />

regulasi baru, kebuntuan proses reformasi di<br />

tingkat institusi-institusi negara menjadi faktor<br />

penghambat menurunnya pelaksanaan agenda<br />

penegakan hak asasi manusian periode 1999-<br />

<strong>2004</strong>. Substansi dari reformasi di tingkat<br />

institusi yakni merubah menjadi independen<br />

dan jauh dari kooptasi kekuasaan, ternyata tidak<br />

sepenuhnya dijalankan, karena sebagian besar<br />

dari fungsi dan kewenangan di masa lalu masih<br />

dipertahankan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan<br />

kasus-kasus pelanggaran hak asasi<br />

manusia di masa lalu belum dapat terungkap<br />

seluruhnya. Di samping itu, kegagalan<br />

pengadilan untuk menghukum para pelaku<br />

kejahatan adalah bagian dari tidak berjalannya<br />

proses reformasi di institusi-institusi negara,<br />

khususnya institusi peradilan.<br />

Akibat-akibat dari praktik-praktik semacam<br />

ini, kemudian melahirkan peristiwa pelanggaran<br />

hak asasi manusia yang baru sepanjang 1999-<br />

<strong>2004</strong> ini. Lahirnya peristiwa-peristiwa<br />

pelanggaran baru ini kemudian berimplikasi<br />

pada terganggunya agenda penegakan hak asasi<br />

manusia di masa mendatang, karena<br />

bertambahnya tumpukan kasus-kasus<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang harus<br />

diselesaikan. Sudah dipastikan lingkar impunity<br />

di Indonesia semakin menguat, dan kembali<br />

membahayakan kondisi hak asasi manusia<br />

nasional di masa mendatang.<br />

CATATAN:<br />

1<br />

Agenda penegakan hak asasi manusia ini yang<br />

diminta saat gelombang demonstrasi 1998 adalah<br />

menuangkan komitmen penegakkan hak asasi<br />

manusia ke dalam legislasi nasional dan kerangka<br />

besar pelaksanaan di tataran praktis.<br />

2<br />

Lih., Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak<br />

Asasi Manusia.<br />

3<br />

lih., Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN<br />

Tahun 1999 – 2000.<br />

4<br />

Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000, Pasal-pasal<br />

yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam<br />

perubahan kedua UUD 1945 ini terdapat 10 pasal yang<br />

memberikan jaminan hak kepada setiap warga negara<br />

(orang) baik yang mencakup hak-hak sipil politik<br />

maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yakni<br />

dimulai dari pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J.<br />

Dalam ketentuan tersebut juga dicantumkan pasal<br />

tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah<br />

dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan<br />

pemenuhan hak asasi manusia, juga ditegaskan bahwa<br />

untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

25


sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka<br />

pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan<br />

dituangkan dalam peraturan perundang-undangan<br />

5<br />

Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan<br />

Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik<br />

Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri,<br />

Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita,<br />

dan Jaksa Agung, telah dibentuk Tim Gabungan<br />

Pencari Fakta (TGPF) pada tanggal 23 Juli 1998. Tim<br />

Gabungan ini bekerja dalam rangka menemukan dan<br />

mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa<br />

13-15 Mei 1998. TGPF terdiri dari unsur-unsur<br />

pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi<br />

kemasyarakatan lainnya.<br />

6<br />

TGPF berkesimpulan bahwa telah terjadi tindak<br />

pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan<br />

perkosaan dan serangan seksual terhadap perempuanperempuan<br />

etnis cina dalam peristiwa 13-15 Mei 1998<br />

Lih. Laporan TGPF, Bab VI tentang Kesimpulan.<br />

7<br />

Ibid., Laporan TGPF Bab VII tentang Rekomendasi<br />

8<br />

Dasar hukum KPP HAM adalah Surat Keputusan<br />

Ketua Komnas HAM No.770/TUA/1999, kemudian<br />

disempurnakan dengan Surat Keputusan No.770/TUA/<br />

X/1999, dan disempurnakan kembali dengan Surat<br />

Keputusan. No.797/TUA/X/1999 tanggal, 22 Oktober<br />

1999.<br />

9<br />

Lih., Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan<br />

Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur,<br />

Jakarta 31 Januari 2000, bagian Kesimpulan dan<br />

Rekomendasi.<br />

10<br />

Lih., Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan<br />

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Kasus Tanjung Priok,<br />

bagian Kesimpulan dan Rekomendasi.<br />

11<br />

Polri melakukan penyidikan sejak tanggal 22 Februari<br />

– 18 April 2000, selama penyidikan, Polri memeriksa<br />

106 orang saksi, baik dari kalangan sipil maupun<br />

militer. Lihat: Laporan Tim Kajian Komnas HAM<br />

12<br />

Pembentukan tim koneksitas ini didasari<br />

pertimbangan sebagai berikut: (i) Peristiwa 27 Juli 1996<br />

melibatkan warga sipil dan aparat keamanan; (ii) Baik<br />

Penyidik dari Polri sebagai rantai dari peradilan umum<br />

maupun penyidik Puspom TNI sebagai rantai dari<br />

Peradilan Militer sangat sulit untuk meraih<br />

kepercayaan masyarakat; (iii) Apabila ada tersangka<br />

dari Polri dan militer, kedua institusi tersebut sangat<br />

sulit untuk bertindak secara independen.<br />

13<br />

Akibat adanya kebijakan untuk menyelesaikan<br />

Peristiwa 27 Juli 1996 dalam pengadilan koneksitas,<br />

maka penyidikan pun harus dilakukan oleh penyidik<br />

koneksitas. Sehingga hasil penyidikan Polri terdahulu<br />

boleh dikatakan diulang lagi.<br />

14<br />

Sebelumnya Danpuspom TNI, Djasri Marin juga telah<br />

tiba di Papua untuk memimpin Tim Invenstigasi<br />

penyelidikan pembunuhan ini dengan 12 orang<br />

anggota atas perintah Panglima TNI.<br />

15<br />

UU ini terdiri dari 10 Bab dan 105 pasal. Secara tegas<br />

UU ini menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan,<br />

penegakan dan pemenuhannya terutama menjadi<br />

tanggung jawab pemerintah. Selanjutnya hak-hak<br />

yang dilindungi oleh UU meliputi hak untuk hidup, hak<br />

berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak<br />

mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak<br />

atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas<br />

kesejahteraan, dan hak turut serta dalam<br />

pemerintahan. Secara khusus pula UU ini mengatur<br />

tentang hak perempuan dan hak terhadap anak. UU ini<br />

juga mengatur tentang tugas Komnas HAM yang<br />

meliputi pengkajian, penelitian, penyuluhan,<br />

pemantauan dan mediasi tentang hak asasi manusia.<br />

Bagian khusus dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang<br />

HAM juga mengatur mengenai pengadilan HAM di<br />

mana untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat<br />

dibentuk pengadilan HAM dalam ruang lingkup<br />

pengadilan umum<br />

16<br />

Perpu ini lahir karena desakan yang kuat dari pihak<br />

Internasional tentang penggelaran pengadilan para<br />

pelaku pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur<br />

pasca Jajak Pendapat sesegera mungkin. Desakan itu<br />

melalui resolusi No. 1272 di mana Dewan Keamanan<br />

PBB mengutuk kekerasan yang terjadi di Timor-timur<br />

dan meminta semua pihak yang bertanggungjawab<br />

untuk dibawa ke Pengadilan Indoneisa melalui Menlu<br />

Alwi Shihab kemudian menyatakan bahwa mekanisme<br />

hukum nasional adalah mekanisme eksklusif untuk<br />

membawa pelaku pelanggaran HAM berat tersebut ke<br />

pengadilan.<br />

17<br />

Statuta Roma 1998 menyebutkan 4 jenis kejahatan<br />

yang termasuk kejahatan yang sangat serius yaitu: (i)<br />

kejahatan genosida, (ii) kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan, (iii) kejahatan perang; dan (iv) kejahatan<br />

agresi.<br />

18<br />

Sebagai catatan, dua Keppres ini terbit sehari<br />

sebelum sidang pertama digelar di pengadilan HAM<br />

ad hoc Jakarta Pusat.<br />

19<br />

UU KKR sidahkan pada tanggal 7 September <strong>2004</strong><br />

dan diundangkan pada tanggal 6 Oktober <strong>2004</strong>.<br />

20<br />

Ketentuan tentang referendum ini dibentuk untuk<br />

memperkuat atau mempersulit adanya perubahan<br />

UUD 1945 yang pada masa rezim orde baru sangat<br />

disakralkan. Dengan adanya ketentuan tentang referendum<br />

ini maka perubahan atas UUD 1945<br />

memerlukan syarat-syarat tambahan dan akan<br />

mempersulit jika akan melakukan perubahan UUD<br />

1945.<br />

21<br />

Lihat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 011-017/<br />

PUU-I/2003 yang menyebutkan bahwa UU nomor 12<br />

tahun 2003 (Pasal 60 huruf G) mengenai larangan<br />

anggota organisasi terlarang menjadi anggota DPR,<br />

DPRD dan DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan<br />

UUD 1945 dan beberapa ketentuan mengenai hak asasi<br />

manusia.<br />

22<br />

Lihat Program Ran HAM <strong>2004</strong> –2009.<br />

23<br />

Konvensi-konvensi tersebut disahkan dengan UU<br />

No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention<br />

No. 138 concerning minimum age for admission to<br />

employment (konvensi ILO mengenai usia minimum<br />

untuk diperbolehkan bekerja) dan UU No. 21 tahun<br />

1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 111<br />

concerning discrimination in respect of employment<br />

and occupation (konvensi ILO mengenai diskriminasi<br />

dalam pekerjaan dan jabatan) dan UU No. 1 Tahun 2000<br />

tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 concern-<br />

26 Bagian II


ing the prohibition and immediate action for the<br />

elimination of the worst forms of child labour<br />

(Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan Dan<br />

Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk<br />

Pekerjaan Terburuk Untuk Anak).<br />

24<br />

Lih., bagian pertimbangan TAP MPR No. VI/MPR/2000<br />

dan TAP MPR No. VII/MPR/2000, lih., juga kebijakan<br />

tentang pembenahan di Institusi Kejaksaan dan<br />

Pengadilan<br />

25<br />

Ibid.,<br />

26<br />

Dua undang-undang tersebut, mengatur tentang<br />

lembaga kepolisian termasuk kewenangan dan tugas<br />

institusi kepolisian. UU ini secara tegas menyatakan<br />

bahwa peran dan tugas Polri adalah a) memelihara<br />

keamanan dan ketertiban masyarakat, b) menegakkan<br />

hukum dan c) memberikan perlindungan,<br />

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.<br />

27<br />

UU tentang pertahanan negara menyebutkan<br />

tentang peran dan tugas TNI yang meiputi: 1) TNI<br />

berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan<br />

Republik Indonesia, 2) TNI bertugas melaksanakan<br />

kebijakan pertahanan untuk; a) mempertahankan<br />

kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, b)<br />

melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, c)<br />

melaksanakan operasi militer selain perang dan d) ikut<br />

serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan<br />

perdamaian regional dan internasional. Dalam UU ini,<br />

salah satu poin penting adalah bahwa otoritas militer<br />

berada dalam otoritas sipil di mana segala langkah dan<br />

tindakan (pengarahan pasukan, dsb) yang dilakukan<br />

oleh institusi militer harus dengan persetujuan dari<br />

otoritas sipil.<br />

28<br />

Berdasarkan pasal 9 ayat 1 UU kepolisian<br />

menyatakan bahwa seluruh anggota kepolisian tunduk<br />

pada kekuasaan peradilan umum.<br />

29<br />

Lihat pasal 2 UU TNI, tentara yang profesional yaitu<br />

tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara<br />

baik dan dijamin kesejahteraannya, tidak berpolitik<br />

praktis, mengikuti kebijakan politik negara yang<br />

menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak<br />

asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan hukum<br />

internasional yang telah diratifikasi.<br />

30<br />

dalam salah satu pasalnya masih memberikan<br />

definisi yang luas tentang ancaman yang<br />

memungkinkan TNI mengambil tindakan jika dirasakan<br />

ada ancaman yang muncul. Lihat pasal 4 UU No. 3<br />

Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang<br />

menyatakan bahwa pertahanan negara bertujuan<br />

untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara,<br />

keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,<br />

dan keselamatan seganap bangsa dari segara<br />

bentuk Ancaman. Dalam penjelasan pasal 4 disebutkan<br />

bahwa ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan,<br />

baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang<br />

dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan<br />

wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.<br />

Dengan demikian ancaman bisa datang dari dalam<br />

negeri dan ini akan merancukan antara kewenangan<br />

Polri dengan TNI.<br />

31<br />

Lihat Laporan HAM 2003, “Melemahnya Daya<br />

Penegakan HAM: Hutang, Kemiskinan dan Kekerasan”,<br />

ELSAM, Januari <strong>2004</strong>.<br />

32<br />

Muncul perlawanan dari kalangan perwira tinggi<br />

militer tentang upaya dari politisi sipil menghapuskan<br />

KOTER. Hal ini terlihat dalam UU No. 34 tahun<strong>2004</strong><br />

yang semakin memperkuat keberadaan KOTER.<br />

33<br />

Hingga saat ini, hanya para prajurit di bawah yang<br />

sering diajukan ke Makamah Militer. Lih.,<br />

Proses Peradilan Kasus Perkosaan Di Aceh Semasa<br />

Darurat Militer Dan Pembunuhan Theis Eluay Di Papua,<br />

di mana para pelaku yang diajukan ke pengadilan<br />

hanya para prajurit golongan bawah.<br />

34<br />

Upaya perbaikan di bidang peradilan melalui<br />

undang-undang sudah dimulai sejak adanya UU No. 35<br />

tahun 1999. Undang-undang tersebut mengatur bahwa<br />

kekuasaan di bidang peradilan akan sepenuhnya<br />

dijalankan oleh MA RI.<br />

35<br />

Problem sistemik pengadilan secara luas mencakup<br />

beberapa hal misalnya maraknya korupsi di<br />

lingkungan peradilan, lemahnya kualifikasi sumber<br />

daya manusia di pengadilan, rendahnya kualitas dan<br />

besarnya disparitas putusan hakim, hingga inefisiensi<br />

pengadilan secara organisasi.<br />

36<br />

Lebih jauh dapat dinilai bahwa kejaksaaan tidak<br />

mandiri secara fungsional yang disebabkan oleh: (a)<br />

kelemahan sistem rekrutmen, mutasi, promosi, dan<br />

pengawasan jaksa; (b) lemahnya sistem rekrutmen dan<br />

pemberhentian jaksa agung; (c) kelemahan dalam<br />

manajemen kasus (adanya kewajiban rencana<br />

penuntutan); (d) tidak adanya akuntabilitas individual<br />

dalam menangani perkara; (e) budaya militeristik dan<br />

sistem komando yang diterapkan. Kelemahan<br />

eksternal yang mencolok adalah kondisi politik negara<br />

masa lalu yang otoriter. Lihat Kritik Terhadap Paket Ruu<br />

Bidang Peradilan Dan Kejaksaan, Indonesia Corruption<br />

Watch (ICW), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional<br />

(KRHN), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk<br />

Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Kajian<br />

Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (DEMOS),<br />

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI),<br />

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).<br />

37<br />

Catatan ELSAM atas proses pengadilan HAM ad hoc<br />

baik Tanjung Priok mapun Timor Timur menunjukkan<br />

bahwa jaksa tampak bekerja setengah hati dalam<br />

membuktikan kesalahan terdakwa, jaksa tidak cukup<br />

mampu menghadirkan barang bukti yang memadai<br />

dan lemah dalam mempertahankan argumentasi<br />

dalam surat dakwaan.<br />

38<br />

Hampir sebagian besar staf di bagian hak asasi<br />

manusia tidak memiliki latar belakang pendidikan dan<br />

pengalaman di bidang hak asasi manusia, karena<br />

sebagian dari mereka adalah berasal dari sejumlah<br />

departeman kementerian yang pada masa Gus Dur<br />

dibubarkan. Departemen-departemen itu antara lain<br />

departemen sosial, transmigrasi dan departemen<br />

penerangan.<br />

39<br />

Perubahan ini disebabkan karena perubahan locus<br />

dan tempus delicti.<br />

40<br />

Sebelumnya ada Keppres yang secara khusus untuk<br />

pengadilan HAM ad hoc, Presiden telah menerbitkan<br />

Keppres RI No. 31 Tahun 2001 Tentang Pembentukan<br />

Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta<br />

Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, pengadilan Negeri<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

27


Makassar dan Pengadilan Negeri Medan.<br />

41<br />

Pendapat KSAD menanggapi vonis terhadap anggota<br />

Kopassus. Pendapat senada disampaikan oleh Danjen<br />

Kopassus yang mengaku sedih atas penjatuhan vonis<br />

tersebut. Koran Tempo, 24 April 2003<br />

28 Bagian II


BAGIAN KETIGA<br />

Menguatnya Penggunaan Regulasi Keadaan<br />

Darurat dan Pengerahan Kekuatan Militer<br />

Kondisi Hak Asasi Manusia di Wilayah-wilayah<br />

Konflik<br />

PENGANTAR<br />

Masalah besar yang menghalangi<br />

pelaksanaan agenda penegakkan hak<br />

asasi manusia di Indonesia dalam<br />

lima tahun terakhir adalah menguatnya<br />

penggunaan regulasi keadaan darurat dan<br />

pengerahan kekuatan militer dalam penanganan<br />

persoalan sparatisme dan konflik sosial di<br />

beberapa tempat. Slogan menjaga ‘Negara<br />

Kesatuan Republik Indonesia’ dan<br />

‘menghancurkan provokator’ yang selalu<br />

disuarakan oleh para pejabat sipil dan militer<br />

ketika menyikapi persoalan sparatisme dan<br />

konflik sosial di beberapa daerah pada akhirnya<br />

membenarkan penerapan regulasi keadaan<br />

darurat dan pengerahan kekuatan militer<br />

sebagai jawaban atas tuntutan kemerdekaan di<br />

Aceh dan Papua dan penyelesaian aksi-aksi<br />

kekerasan oleh laskar-laskar bersenjata di<br />

Maluku, Poso dan Sampit.<br />

Memang di satu sisi sepenjang 1999-<strong>2004</strong><br />

pemerintah telah mengupayakan langkahlangkah<br />

penyelesaian persoalan separatisme dan<br />

konflik sosial melalui cara damai. Instruksi<br />

presiden tentang penyelesai masalah Aceh,<br />

Papua, Maluku dan Poso melalui cara-cara<br />

damai adalah langkah maju lainnya dari<br />

pemerintah. Langkah penting dan sangat<br />

menonjol adalah perjanjian penghentian<br />

permusuhan dengan Gerakan Aceh Merdeka<br />

untuk mencari solusi penyelesaian konflik Aceh<br />

yang sudah berlangsung selama lebih dari 20<br />

tahun terakhir. Perjanjian Malino I dan II untuk<br />

mendorong penyelesain persoalan konflik antar<br />

kelompok di Maluku dan Poso secara damai<br />

adalah langkah penting yang perlu dicatat.<br />

Sejumlah langkah-langkah penyelesaian secara<br />

damai ini secara siginifikan kemudian<br />

mengurangi intensitas kekerasan di sejumlah<br />

daerah konflik dalam kurun waktu yang lama.<br />

Dan sebaliknya, ketika upaya-upaya damai<br />

terhenti, kekerasan pun meningkat dan kembali<br />

membawa penduduk sipil berada dalam tekanan<br />

militer pemerintah, tentara pemberontak, milisi<br />

sipil dan laskar-laskar bersenjata.<br />

Tapi di sisi lain penerapan regulasi<br />

kedaruratan dan pengerahan kekuatan militer<br />

melemahkan upaya-upaya perbaikan kondisi<br />

hak asasi manusia nasional yang telah dirintis<br />

sejak tumbangnya Orde Baru. Namun demikian<br />

pembaharuan baru di bidang kebijakan ini tidak<br />

membuat negara menghentikan kejahatan<br />

pelanggaran hak asasi manusia terhadap<br />

penduduk sipil. Regulasi kedaruratan dan<br />

pengerahan kekuatan militer jelas-jelas<br />

membuat hukum hak asasi manusia nasional<br />

yang baru saja terbentuk itu tidak dapat<br />

diterapkan di daerah-daerah berkonflik.<br />

Penggelaran operasi militer di Papua dan<br />

pemberian kewenangan kepada pihak militer<br />

dan polisi untuk menyelesaikan pertikaian jelasjelas<br />

membenarkan langkah-langkah seperti<br />

membatasi ruang gerak, menghilangkan hak<br />

untuk mengeluarkan pendapat, dan<br />

membenarkan tindakan-tindakan<br />

menghilangkan nyawa orang untuk<br />

memulihkan keamanan dan ketertiban sipil.<br />

Pemberlakuan keadaan darurat militer dan<br />

pelaksanaan operasi militer di Aceh, yang<br />

merupakan operasi militer terbesar setelah<br />

invasi ke Timor Leste pada 1975, adalah<br />

semacam tanda kembali menguatnya<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

29


penggunaan kekuatan militer oleh pemerintah<br />

sipil. Akibat dari itu semua kebijakan-kebijakan<br />

ini berbagai tindak pelanggaran hak asasi<br />

manusia di Indonesia dalam lima tahun<br />

terakhir. 1 Di lain pihak, kebijakan-kebijakan<br />

tersebut turut menggagalkan komitmen<br />

nasional tentang agenda penegakan hak asasi<br />

manusia di Indonesia.<br />

Bab ini berusaha menjelaskan proses<br />

menguatnya penggunaan regulasi kedaruratan<br />

dan penggunaan kekuatan bersenjata oleh<br />

negara dalam mengatasi ketegangan politik dan<br />

konflik sosial di daerah yang telah menyebabkan<br />

agenda perbaikan hak asasi manusia nasional<br />

sepanjang 1999-<strong>2004</strong> berjalan di tempat.<br />

Penggunaan regulasi kedaruratan dan<br />

penggunaan kekuatan bersenjata untuk<br />

menghadapi gejolak sosial adalah bukanlah hal<br />

baru di Indonesia. Justru sebaliknya,<br />

pengandalan kekuatan militer untuk<br />

menghadapi gerakan separatis dan konflik sosial<br />

adalah kebiasaan dari pemerintahan orde baru<br />

di mana dengan alasan memulihkan keamanan<br />

dan ketertiban, tindakan menangkap dan<br />

menahan orang tanpa batas waktu, menetapkan<br />

sensor terhadap pers, membatasi arus keluarmasuk<br />

orang di perbatasan dan mengawasi<br />

kegiatan ekonomi yang dianggap vital adalah<br />

sesuatu yang lumrah.<br />

MENGUATNYA PENGGUNAAN<br />

REGULASI KEDARURATAN DAN<br />

PENGERAHAN KEKUATAN MILITER<br />

OLEH NEGARA SEPANJANG 1999-<strong>2004</strong><br />

Kecenderungan penggunaan regulasi<br />

kedaruratan dan pengerahan kekuatan militer<br />

oleh negara sebagai respon atas kemunculan<br />

gerakan separatisme dan konflik sosial dalam<br />

lima tahun belakangan ini semakin menguat.<br />

Pola-pola penyelesaian melalui cara-cara damai<br />

sebagaimana yang nampak dominan pada awalawal<br />

pemerintahan transisi terbentuk – pada era<br />

presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid –<br />

sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh<br />

pemerintah. Bahkan, tanpa didahului dengan<br />

evaluasi yang mendalam dan independen atas<br />

sejumlah langkah-langkah penyelesaian damai<br />

yang sudah mereka tempuh, pihak pemerintah<br />

selalu mengajak untuk membenarkan langkahlangkah<br />

militer yang mereka tempuh yakni<br />

dengan menyebutkan kelompok pemberontak<br />

atau pihak-pihak sipil yang bertikai telah<br />

menolak berdamai sehingga layak untuk<br />

diselesaikan melalui langkah-langkah militer.<br />

Dengan mengumandangkan slogan “Menjaga<br />

Keutuhan Kedaulatan Negara Kesatuan<br />

Republik Indonesia — (NKRI)” para pejabat<br />

militer dan sipil mengajak publik luas untuk<br />

dukungan langkah-langkah militer tersebut.<br />

Akibatnya, langkah-langkah penyelesaian damai<br />

yang sebenarnya banyak menunjukkan<br />

keberhasilan dalam menyelesaikan persoalan<br />

pemberontakan dan konflik komunal, menjadi<br />

tidak popular di mata publik.<br />

1. Penanganan Tuntutan Kemerdekaan<br />

di Aceh dan Papua<br />

Pasca rezim orde baru tumbang, adalah<br />

Habibie, presiden pertama yang menggunakan<br />

regulasi kedaruratan dan pengerahan kekuatan<br />

militer untuk menghadapi persoalan<br />

pemberontakan dan konflik sosial di Indonesia.<br />

Dimulai dengan penerbitan Keputusan Presiden<br />

(Kepres) Nomor 107 Tahun 1999 tentang<br />

Pemberlakuan Darurat Militer di Timor<br />

Lorosae, Habibie mencoba mengakhiri tindak<br />

kekerasan yang semakin meluas di Timor Timur<br />

(sekarang Republik Demokratik Timor<br />

Lorosae) pasca Jajak Pendapat Agustus 1999,<br />

dengan mengerahkan kekuatan militernya ke<br />

Timor Timur. Dengan dalih pemerintah Indonesia<br />

mendapat mandat dari PBB dan<br />

Pemerintah Portugal untuk bertanggungjawab<br />

atas keamanan di wilayah Timor Timur selama<br />

jajak pendapat berlangsung, Habibie memilih<br />

untuk memberlakukan darurat militer di<br />

wilayah tersebut. Meski telah ditetapkan dalam<br />

30 Bagian III


keadaan darurat militer, aksi-aksi kekerasan<br />

kelompok pro-integerasi terhadap penduduk<br />

sipil tidaklah berhenti. Justru sebaliknya, aksi<br />

kekerasan tersebut semakin meluas hingga<br />

membuat sebagian besar kota-kota di wilayah<br />

tersebut berubah menjadi lautan api dan juga<br />

melahirkan gelombang eksodus besar-besaran<br />

penduduk sipil ke wilayah Timor Barat. Ribuan<br />

penduduk sipil dilaporkan terbunuh dalam aksi<br />

kekerasan tersebut, dan 200 ribu lainnya dipaksa<br />

mengungsi ke daerah Timor Barat. Meski<br />

langkah ini mendapat kecaman dari dunia<br />

internasional, namun preseden ini menjadi awal<br />

penggunaan regulasi kedaruratan dan<br />

pengerahan kekuatan militer untuk<br />

menghadapi gejolak politik dan konflik sosial di<br />

berbagai daerah oleh pemerintahan selanjutnya.<br />

Di Aceh, kebuntuan pelaksanaan kesepakatan<br />

penghentian permusuhan 2 , antara Militer Indonesia<br />

dengan militer Gerakan Aceh Merdeka<br />

(GAM), menjadi dasar pemerintah Indonesia<br />

untuk memberlakukan status darurat di wilayah<br />

tersebut. Langkah perundingan yang<br />

merupakan babak baru dalam penyelesaian<br />

Aceh secara damai oleh pemerintah dalam 20<br />

tahun terakhir runtuh dalam hitungan hari<br />

karena pemerintah RI bersikeras agar GAM<br />

menerima konsep otonomi sebagai solusi<br />

tunggal penyelesaian Aceh. Akibatnya, CoHA<br />

yang selama lebih dari tiga bulan berhasil<br />

menurunkan tensi kekerasan di Aceh gagal<br />

untuk dipertahankan dan berbalik menjadi<br />

pemicu peristiwa kekerasan yang lebih besar<br />

dari sebelumnya. Runtuhnya CoHA inilah yang<br />

kemudian menjadi dasar bagi pemerintahan<br />

Megawati untuk kembali memilih cara-cara<br />

militer sebagai jalan keluar penyelesaian Aceh.<br />

Diawali dengan menerbitkan Keputusan<br />

Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang<br />

Penetapan Status Darurat Militer di Aceh<br />

pertengahan Mei, selanjutnya Megawati<br />

memerintahkan pasukan (insert<br />

tabel)militernya yang sudah lebih dahulu<br />

berada di sekitar propinsi-propinsi yang<br />

bertetangga dengan propinsi Nanggroe Aceh<br />

Darurssalam untuk melakukan aksi<br />

penyerangan terhadap kantong-kantong<br />

pertahanan GAM. Untuk mendukung<br />

penyerbuan tersebut, Megawati menunjuk<br />

Panglima Komando Daerah Militer setempat<br />

sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah<br />

(PDMD), dan memberikan wewenang kepada<br />

PDMD untuk mengambil langkah-langkah<br />

pembatasan terhadap aktivitas penduduk sipil<br />

guna mendukung operasi tempur yang sedang<br />

berjalan. Sejak saat itu, aksi kekerasan terhadap<br />

penduduk sipil di Aceh kembali terjadi dalam<br />

skala yang lebih besar dari sebelumnya. 3<br />

Di Papua, meski pola penanganan Jakarta<br />

atas tuntutan kemerdekaan tidak menggunakan<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

31


kerangka darurat militer, namun demikian<br />

secara prinsip tidak ada perbedaan dengan pola<br />

penanganannya terhadap Aceh. Pendekatan<br />

melalui langkah-langkah militer dalam bentuk<br />

pengiriman ribuan pasukan militer untuk<br />

mendukung penggelaran Operasi Militer Selain<br />

Perang (OMSP) adalah langkah dominan<br />

ketimbang langkah-langkah penyelesaian secara<br />

damai. 4<br />

Tuntutan kemerdekaan penduduk Papua<br />

yang lahir akibat proses integrasi tahun 1963,<br />

yang diduga keras sarat dengan manipulasi<br />

militer Indonesia, mulai menguat pasca<br />

kejatuhan Soeharto. Dengan mengusung isu-isu<br />

kekerasan dan kejahatan militer pada masa<br />

Penerapan Daerah Operasi Militer, organisasiorganisasi<br />

kemerdekaan bawah tanah kembali<br />

muncul ke permukaan dan mencoba<br />

menggalang kekuatan melancarkan aksi-aksi<br />

damai untuk menyuarakan tuntutan referendum<br />

kepada Jakarta. Menguatnya tuntutan<br />

kemerdekaan tersebut kemudian menimbulkan<br />

kecemasan di kalangan para pejabat sipil/militer,<br />

terutama para pejabat yang memiliki investasi<br />

besar di pulau terbesar di Indonesia tersebut.<br />

Kegelisahan ini mencapai puncaknya ketika<br />

Abdurrahman Wahid yang naik menggantikan<br />

presiden Habibie, menolak untuk<br />

menyelesaikan persoalan tuntutan kemerdekaan<br />

di Papua dengan cara-cara militer. Dengan<br />

mengeluarkan Keppres tentang Pemberian<br />

Otonomi Khusus, Abdurrahman Wahid dengan<br />

tegas menolak permintaan-permintaan<br />

sejumlah pejabat militer/sipil untuk<br />

menyelesaikan persoalan di Papua melalui<br />

pengerahan kekuatan militer. Selanjutnya untuk<br />

memperkuat langkah-langkahnya tersebut,<br />

Abdurrahman Wahid memerintahkan kepada<br />

para komandan polisi dan militer di Papua<br />

untuk tidak mengganggu aksi-aksi demonstrasi<br />

dan pengibaran bendera Bintang Kejora oleh<br />

organisasi-organisasi pro-kemerdekaan setiap<br />

awal Desember. Bahkan Abdurrahman Wahid<br />

tak segan-segan untuk mengecam berbagai<br />

tindak kekerasan yang dilakukan oleh militer/<br />

Brimob terhadap penduduk sipil dan tak segan<br />

untuk menyetujui pembentukan tim<br />

penyelidikan atas sejumlah tindak kekerasan<br />

yang terjadi kepada Komnas HAM. 5<br />

Abdurrahman Wahid juga mengajak elit<br />

lokal papua untuk masuk dalam pemerintahan<br />

agar dapat terlibat dalam menentukan<br />

pembangunan Papua sesuai dengan adat dan<br />

kebudayaannya. Di masa Megawati pun cara<br />

penyelesaian Papua tetap memilih cara-cara<br />

damai, dan menolak desakan para pejabat<br />

militer untuk menggunakan kekuatan militer.<br />

Sayangnya, langkah-langkah penting ini tidak<br />

dapat berjalan dengan mulus karena tidak<br />

mendapat dukungan dari elit lokal yang<br />

mendapat dukungan dari pejabat militer<br />

setempat.<br />

Para pejabat militer yang berkolaborasi<br />

dengan elit sipil masih menggunakan cara-cara<br />

militer ketika menghadapi berbagai gejolak<br />

politik daerah, seperti pembatasan dan<br />

mengkriminalkan para tokoh Papua yang<br />

bersuara keras terhadap langkah-langkah<br />

pemerintah daerah. 6 Meski hingga kini belum<br />

ada penerapan darurat militer, aksi-aksi<br />

provokasi ini berhasil membuat peristiwa<br />

kekerasan di berbagai wilayah Papua meluas,<br />

dan menjadi argumen kuat militer untuk<br />

meningkatkan aktivitas pasukannya di propinsi<br />

tersebut. 7 Sejumlah pekerja hak asasi manusia di<br />

Jayapura kerap melaporkan bahwa satuansatuan<br />

khusus anti pemberontak dalam jumlah<br />

yang kecil (10-20 personel) telah memenuhi<br />

wilayah-wilayah yang diduga menjadi basis<br />

kekuatan gerakan pro merdeka. 8 Selain itu<br />

sejumlah pejabat militer dan sipil daerah<br />

dilaporkan kerap terlibat dalam pembentukan<br />

satuan-satuan milisi sipil. 9 Meski secara de jure<br />

pola penanganan Jakarta atas persoalan Papua<br />

tidak membenarkan cara-cara militer, namun<br />

bertambahnya kekuatan militer di Papua serta<br />

ketidakmampuan pemerintahan Jakarta untuk<br />

mengontrol aktivitas militer di lapangan, secara<br />

de facto dapat dikatakan bahwa pola<br />

penanganan tuntutan kemerdekaan di Papua<br />

sesunggugnya tetap memilih cara-cara<br />

pengerahan kekuatan militer.<br />

2. Penanganan Konflik Sosial<br />

Tidak berbeda dengan pola penanganan<br />

gerakan kemerdekaan, penyelesaian kekerasan<br />

komunal di beberapa daerah oleh pemerintah<br />

Jakarta selalu ditekankan pada penggunaan<br />

langkah-langkah pengerahan militer.<br />

Pemerintah Jakarta sering mengabaikan<br />

32 Bagian III


penyelesaian persoalan substansi yang menjadi<br />

penyebab terjadinya kekerasan antara<br />

komunitas yakni tuntutan penduduk lokal akan<br />

pembentukan pemerintahan daerah yang<br />

demokratis dan pembersihan praktik-praktik<br />

diskriminasi yang telah menyebabkan mereka<br />

kehilangan hak sipil, politik dan ekonomi<br />

selama puluhan tahun. Berbagai inisiatif<br />

penyelesaian secara damai pun telah mereka<br />

tinggalkan dengan alasan yang sama persis<br />

ketika menghadapi masalah pemberontakan.<br />

Konflik di Maluku dan Maluku Utara yang<br />

dipicu oleh perkelahian dua orang pemuda ini,<br />

membawa dua propinsi tersebut berada dalam<br />

kontrol militer yang sangat panjang. Dimulai<br />

sejak akhir Desember 1998, kekerasan komunal<br />

terus berlanjut hingga pertengahan tahun 2002.<br />

Sepanjang itu pula pola-pola penyelesaian<br />

melalui pengerahan kekuatan militer dijalankan<br />

lebih dari dua tahun. Berbagai inisiatif<br />

penyelesaian secara damai oleh pemerintah awal<br />

1999 hingga pertengahan 2000 ditinggalkan<br />

begitu saja karena gagal untuk membuat kedua<br />

kelompok tetap bertikai. Bahkan perjanjian<br />

Malino II yang digagas untuk menyelesaikan<br />

konflik tersebut pun dianulir oleh Jakarta yakni<br />

dengan mengerahkan pasukan militer ke<br />

Maluku untuk memaksa diam kelompokkelompok<br />

yang tidak setuju dengan konsep<br />

perdamaian yang ditawarkan oleh pemerintah.<br />

Dimulai dengan<br />

mengirimkan pasukan<br />

pada awal Januari 1999,<br />

kemudian berlanjut<br />

dengan menetapkan<br />

Maluku dalam keadaan<br />

Bantuan Militer<br />

(BANMIL) hingga Juni<br />

1999. Meski demikian<br />

cara-cara penyelesaian<br />

tersebut ternyata tidak<br />

membuat peristiwa<br />

kekerasan berhenti dan<br />

malah sebaliknya<br />

kekerasan justru<br />

semakin meningkat dan<br />

meluas hampir ke<br />

seluruh pulau yang<br />

masuk dalam propinsi<br />

Maluku. Strategi Jakarta<br />

memecah Maluku<br />

menjadi dua propinsi, yakni Maluku dan<br />

Maluku Utara, juga gagal meredam konflik,<br />

karena pemekaran ini ternyata hanya<br />

mengakomodir tuntutan elit politik lokal.<br />

Meluasnya kekerasan pertengahan 1999 yang<br />

kemudian menjadi pembenar atas pemekaran<br />

Korem Pattimura menjadi setingkat KODAM<br />

pun tidak juga berhasil menyelesaikan konflik<br />

secara tuntas dan justru mengantar Maluku dan<br />

Maluku Utara<br />

dalam status Darurat Sipil akibat peristiwa<br />

kekerasan pada Juni 2000 melumpuhkan<br />

pemerintahan sipil di wilayah tersebut. Melalui<br />

Keppres Nomor 88 Tahun 2000, presiden<br />

Abdurrahman Wahid menetapkan Maluku dan<br />

Maluku Utara dalam keadaan Darurat Sipil,<br />

agar langkah penghentian aksi kekerasan oleh<br />

pasukan keamanan dapat berjalan dengan<br />

efektif. Setidaknya kurang lebih tiga tahun,<br />

propinsi Maluku dan Maluku Utara dinyatakan<br />

dalam keadaan Darurat Sipil. Ribuan pasukan<br />

militer dan Brimob kemudian memenuhi desadesa<br />

di Maluku dan Maluku Utara.<br />

Tidak berbeda dengan Maluku, Peristiwa<br />

kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah tidak pernah<br />

berhenti sekalipun Jakarta telah berulang kali<br />

mengirimkan pasukan militer dan polisi ke<br />

daerah tersebut. Pola pemisahan tempat tinggal<br />

dan tembak di tempat bagi para penduduk yang<br />

mencoba menyeberang ke wilayah yang<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

33


erbeda, hanya membuat kecurigaan dua pihak<br />

yang bertikai semakin mengkristal. Operasioperasi<br />

intelejen yang digelar untuk mendeteksi<br />

pihak-pihak yang bermain dalam kekerasan pun<br />

gagal untuk mengungkap para pihak tersebut,<br />

dan justru membuat disinformasi di dua<br />

kelompok semakin meningkat dan memicu<br />

keduanya untuk saling menyerang. Berbagai<br />

upaya mengundang pihak yang bertikai oleh<br />

komandan militer tidak membuahkan<br />

perdamaian yang kekal, karena pihak yang<br />

mendamaikan tidak pernah memenuhi janji<br />

mereka kepada pihak yang bertikai, untuk<br />

mengusut provokator dari peristiwa kekerasan<br />

tersebut. Perjanjian Malino I adalah bukti di<br />

mana pihak pemerintah gagal untuk memenuhi<br />

janji mereka kepada dua pihak yang bertikai<br />

untuk mengusut siapa pihak yang harus<br />

bertanggungjawab dalam peristiwa kekerasan di<br />

wilayah Poso.<br />

Berbagai kegagalan perjanjian damai yang<br />

kembali memicu peristiwa kekerasan yang lebih<br />

besar, tidak membuat Jakarta merubah pola<br />

penyelesaian penanganan kekerasan di wilayahwilayah<br />

konflik. Pengiriman pasukan militer<br />

dan polisi terus mereka jalankan, sementara<br />

penambahan pasukan ini tidak secara signifikan<br />

menghentikan aksi-aksi kekerasan di wilayah<br />

konflik. Di Sampit dan Sambas, pengiriman<br />

pasukan militer ke dua tempat tersebut tidak<br />

membuat aksi-aksi kekerasan dan pengusiran<br />

penduduk Madura mereda. Sebaliknya aksi-aksi<br />

kekerasan tersebut semakin meningkat hingga<br />

menyebabkan puluhan ribu warga Madura<br />

eksodus ke sejumlah daerah untuk<br />

menyelamatkan diri. Keterlibatan elit politik<br />

lokal dalam mobilisasi laskar-laskar perang<br />

jarang dijadikan fokus penyelesaian kekerasan,<br />

dan sebaliknya Jakarta justru balik menyalahkan<br />

para penduduk sipil yang mengungsi karena<br />

perilaku negatif mereka di masa lalu.<br />

Pembenaran atas pelarangan penduduk untuk<br />

kembali ke wilayah asal pun mereka amini<br />

dengan dalih keadaan yang sudah kondusif akan<br />

terganggu jika para penduduk bermasalah<br />

tersebut kembali ke tempat asal mereka. Tak<br />

heran jika kemudian para pejabat daerah itu<br />

membuat sebuah syarat-syarat ketat untuk<br />

mensortir para penduduk yang akan kembali ke<br />

daerahnya, ketimbang menyelidiki para pejabat<br />

yang terlibat dalam aksi kekerasan dan<br />

pengusiran tersebut.<br />

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA<br />

Menguatnya penggunaan regulasi<br />

kedaruratan dan pengerahan kekuatan militer<br />

membuat peristiwa pelanggaran hak asasi<br />

34 Bagian III


manusia semakin meningkat dan mempersulit<br />

agenda perbaikan hak asasi manusia di wilayahwilayah<br />

konflik. Regulasi kedaruratan dan<br />

pengerahan kekuatan militer membenarkan<br />

langkah-langkah pengabaikan hak-hak individu<br />

yang diakui oleh konstitusi dan hukum hak asasi<br />

manusia nasional. Peristiwa-peristiwa<br />

pelanggaran hak asasi manusia di wilayah<br />

konflik adalah penghilangan hak untuk hidup,<br />

penangkapan, penahanan sewenang-wenang,<br />

penyiksaan perlakuan tidak manusiawi dan<br />

hukuman kejam, penghilangan orang,<br />

pembatasan ruang gerak, menghilangkan hak<br />

untuk mengeluarkan pendapat, yang<br />

kesemuanya dibenarkan dalam rangka<br />

memulihkan keamanan dan ketertiban sipil. Di<br />

lain pihak, langkah-langkah Jakarta ini juga<br />

memancing kelompok pemberontak untuk<br />

terlibat dalam aksi-aksi kekerasan terhadap<br />

penduduk sipil, terutama penduduk sipil yang<br />

menjadi pendukung setia militer. Penerapan<br />

regulasi kedaruratan juga membuat upayaupaya<br />

penyelidikan oleh institusi hak asasi<br />

manusia menemui hambatan yang berarti dan<br />

sulit untuk mengetahui jumlah pasti korban<br />

pelanggaran hak asasi manusia untuk kategori<br />

ini. Berikut ini adalah sejumlah paparan fakta<br />

tentang pelanggaran hak asasi menonjol di<br />

wilayah-wilayah konflik sepanjang 1999-<strong>2004</strong>.<br />

1. Extrajudicial and Summary Killing<br />

Tindakan penghilangan nyawa penduduk<br />

sipil oleh militer dalam rangka pemulihan<br />

keamanan dan ketertiban menjadi peristiwa<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang paling<br />

menonjol di Aceh, Papua, Maluku, Maluku<br />

Utara, Poso, Sambas dan Sampit. Operasi anti<br />

gerilya dan operasi pemisahan penduduk<br />

berdasarkan agama atau etnis membenarkan<br />

tindakan-tindakan brutal dari personil militer<br />

dalam bentuk pembunuhan di luar proses<br />

hukum, atau dalam istilah hak asasi manusia<br />

disebut extrajudicial killing dan summary execution.<br />

Penggunaan taktik anti gerilya dalam operasi<br />

militer di Aceh dan Papua, kerap melahirkan<br />

peristiwa pembunuhan di luar proses hukum<br />

atas orang-orang sipil yang diduga sebagai GAM<br />

ataupun OPM. Sasaran dalam taktik perang<br />

semacam ini tidak hanya gerilyawan akan tetapi<br />

juga mencakup pihak sipil. Sejumlah informasi<br />

menunjukkan adanya praktik-praktik<br />

pelanggaran kategori ini di Aceh dan Papua.<br />

Dengan pembuktian ditemukannya bendera<br />

pemberontak, memiliki peluru, tertangkap<br />

basah keluar dari hutan-hutan, lari dari sweeping<br />

militer di jalan-jalan, maupun memiliki<br />

kedekatan keluarga dengan kelompok<br />

pemberontak, cukup membuat pasukan militer<br />

dan Brimob untuk menghilangkan nyawa<br />

seseorang. 10 Di Aceh dan Papua, banyak sekali<br />

informasi tentang korban-korban pembunuhan<br />

yang sebelumnya dilaporkan dijemput oleh<br />

unit-unit intelejen di rumah, tempat bekerja dan<br />

kedai-kedai kopi. 11 Bahkan sejumlah informasi<br />

menyebutkan adanya praktik-praktik<br />

pembunuhan diluar proses hukum ini di<br />

tempat-tempat penahanan orang-orang yang<br />

dituduh anggota pemberontak.<br />

Tidak berbeda di Aceh dan Papua, dengan<br />

alasan pemulihan keamanan dan ketertiban di<br />

daerah-daerah konflik sosial, seperti Maluku,<br />

Maluku Utara, Poso, Sambas dan Sampit, militer<br />

dan Brimob kerap terlibat dalam tindak<br />

pembunuhan di luar proses pengadilan atas<br />

sejumlah penduduk sipil yang bertikai. Para<br />

pejabat militer dan polisi mengaku,<br />

penembakan brutal terhadap kerumunan<br />

penduduk di daerah-daerah perbatasan<br />

dilakukan dengan alasan menghindari aksi<br />

saling serang yang lebih besar. Dengan<br />

menuduh para korbannya “perusuh” atau<br />

“provokator” para pejabat militer/polisi<br />

mencoba membenarkan pola penanganan yang<br />

mereka ambil. Bahkan belakangan militer dan<br />

polisi menuduh pihak-pihak yang selalu kritis<br />

dengan pola penanganan penyelesaian<br />

kekerasan di wilayah konflik adalah kelompok<br />

pemberontak. Di Maluku, sejumlah orang yang<br />

tergabung dalam Forum Kedaulatan Maluku<br />

yang dalam beberapa tahun belakangan ini<br />

gencar menyuarakan kebobrokan penanganan<br />

konflik Maluku, dituding oleh militer sebagai<br />

kepanjangan tangan dari kelompok<br />

pemberontak Republik Maluku Selatan<br />

(RMS). 12 Bahkan sejumlah tokohnya ditangkap<br />

dan diadili dengan tuduhan makar.<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

35


2. Penangkapan dan Penahanan<br />

Sewenang-wenang<br />

Selain penghilangan nyawa orang, peristiwa<br />

penangkapan dan penahanan sewenang-wenang<br />

juga mencuat sebagai kasus paling banyak<br />

terjadi di wilayah konflik. Pemisahan penduduk<br />

sipil dengan kelompok pemberontak serta<br />

pencarian provokator di wilayah-wilayah<br />

konflik komunal, membenarkan militer dan<br />

polisi melakukan penangkapan dan penahanan<br />

sewenang-wenang terhadap orang-orang yang<br />

dianggap memiliki kaitan dengan kelompok<br />

pemberontak maupun orang-orang yang<br />

ditengarai sebagai pemicu kerusuhan.Tindakantindakan<br />

ini dilakukan dengan mengabaikan<br />

prosedur hukum yang berlaku, seperti jarang<br />

menunjukkan identitas diri kepada keluarga<br />

para korban ketika menangkap maupun<br />

menjelaskan tempat penahanan para<br />

korbannya. Di Aceh, ribuan orang ditangkap<br />

dan ditahan tanpa prosedur hukum karena<br />

kedapatan tidak memiliki KTP Merah Putih<br />

atau karena kedapatan oleh anggota militer baru<br />

keluar dari hutan. 13 Di Papua, sejumlah orang<br />

ditangkap dan ditahan oleh pasukan militer dan<br />

Brimob karena Fam (identitas suku) mereka<br />

sama dengan orang-orang yang sedang dicari<br />

oleh pemerintah. 14 Sekalipun dalam beberapa<br />

kesempatan pemerintah mengumumkan telah<br />

melakukan penangkapan dan penahanan atas<br />

sejumlah orang, namun demikian<br />

pengumuman ini tidak disertai dengan<br />

penyebutan tempat penahanan. Bahkan dalam<br />

beberapa pihak sangat meragukan informasi<br />

tentang jumlah tahanan oleh para pejabat sipil<br />

dan militer. 15 Penerapan darurat militer di Aceh<br />

membuat kantor-kantor militer dari tingkat<br />

Koramil hingga Kodam kembali memfungsikan<br />

ruang tahanannya guna menampung orang-orang<br />

yang diduga sebagai anggota GAM.<br />

Sejumlah pihak juga menyebutkan adanya<br />

ruang tahanan di pos militer dan brimob yang<br />

kerap digunakan untuk menahan orang-orang<br />

yang diduga sebagai anggota GAM. Di Aceh,<br />

militer dan Brimob diduga telah menjadikan<br />

sejumlah rumah dan gedung-gedung<br />

pemerintah yang tidak terpakai sebagai tempat<br />

penahanan orang-orang yang ditangkap dengan<br />

tuduhan GAM. 16 Sementara di Papua, sejumlah<br />

informasi menyebutkan satuan Kopassus telah<br />

membuat sejumlah rumah-rumah kosong di<br />

sekitar kabupaten Wamena menjadi rumah<br />

tahanan orang-orang sipil yang diduga sebagai<br />

anggota OPM.<br />

3. Penyiksaan, tindakan kejam tidak<br />

manusiawi, merendahkan martabat dan<br />

hukuman kejam<br />

Kejahatan penyiksaan terhadap para tahanan<br />

oleh militer dan polisi Indonesia dalam<br />

kerangka mengorek keterangan tentang<br />

keberadaan atau kekuatan kelompok<br />

pemberontak menjadi fokus banyak pihak.<br />

Buruknya pola pengawasan internal di tubuh<br />

militer dan polisi, memungkinkan kejahatan<br />

penyiksaan terjadi di daerah-daerah konflik.<br />

Meskipun pemerintah mengelak tuduhan ini,<br />

berbagai fakta awal yang dikemukakan oleh<br />

organisasi hak asasi manusia nasional dan<br />

internasional menunjukkan indikasi kuat<br />

adanya tindak kejahatan penyiksaan di sejumlah<br />

tempat-tempat penahanan milik militer dan<br />

polisi. Fakta ini semakin menguat ketika<br />

wawancara diam-diam atas sejumlah<br />

narapidana politik Aceh yang dipindahkan ke<br />

pulau Jawa, baru-baru ini membenarkan adanya<br />

tindak kejahatan penyiksaan selama berada<br />

dalam tahanan milik militer atau polisi.<br />

Berbagai fakta juga menyebutkan adanya<br />

indikasi kuat peristiwa kejahatan penyiksaan,<br />

tindakan tidak manusiawi, merendahkan<br />

martabat dan hukuman kejam yang dilakukan<br />

oleh anggota militer dan polisi pada saat<br />

operasi-operasi penyisiran kelompok<br />

pemberontak. Di Wamena, buntut dari peristiwa<br />

penyerangan markas Komando Distrik Wamena<br />

oleh kelompok pemberontak, puluhan orang<br />

dilaporkan menjadi korban penyiksaan,<br />

perlakuan kejam, tidak manusiawi<br />

merendahkan martabat dan hukuman kejam<br />

dari satuan Kopasus dan Brimob, Mei 2003. 17 Di<br />

Aceh, operasi penyisiran yang digelar oleh<br />

pasukan militer di daerah Aceh Timur,<br />

berbuntut dengan tindakan tidak manusiawi<br />

atas sejumlah penduduk sipil di daerah tersebut.<br />

Di Sumatera Utara, Unit Anti Terror Brimob<br />

Binjai dilaporkan telah menyiksa 6 orang<br />

penduduk sipil yang diduga anggota jaringan<br />

terorisme. 18 Di Solo dan beberapa daerah<br />

lainnya, unit anti terror polisi juga dilaporkan<br />

36 Bagian III


telah melakukan tindak penyiksaan terhadap<br />

para tahanan tersangka peledakan bom untuk<br />

mengorek informasi tentang keberadaan<br />

jaringan tersebut. 19<br />

4. Orang Hilang dan Penemuan Mayat<br />

Kasus-kasus orang hilang di wilayah konflik<br />

juga menjadi perhatian banyak pihak khususnya<br />

sejumlah organisasi hak asasi manusia.<br />

Kejahatan penghilangan orang di daerah konflik<br />

terus meningkat tajam, terutama pasca<br />

pemberlakukan keadaan darurat maupun<br />

pengiriman-pengiriman satuan-satuan anti<br />

pemberontak di wilayah konflik. Beroperasinya<br />

satuan-satuan khusus anti pemberontak di Aceh<br />

dan Papua, diduga telah meningkatkan<br />

kejahatan penghilangan orang di Papua dan<br />

Aceh. Beberapa laporan organisasi hak asasi<br />

manusia lokal, menyebutkan adanya unit-unit<br />

militer yang bertugas menjemput orang-orang<br />

yang diduga anggota kelompok pemberontak.<br />

Di Papua, Theis Hiyo Eluay, Ketua Presidium<br />

Dewan Adat Papua, ditemukan tewas setelah<br />

beberapa hari sebelumnya dijemput di<br />

rumahnya oleh beberapa orang yang mengaku<br />

anggota kopasus. 20 Nasib serupa juga dialami<br />

oleh Wanggai, pemimpin populer Papua, 1998<br />

dan Willem Onde 2001. Di Aceh, puluhan<br />

keluarga mengaku anggota keluarganya hilang<br />

setelah sejumlah orang yang menumpangi<br />

mobil kijang berkaca gelap membawanya dari<br />

rumah. Sebagian dari orang-orang ini kemudian<br />

ditemukan tewas di areal persawahan,<br />

mengapung di sungai, bawah jembatan, tak jauh<br />

dari tempat tinggal mereka beberapa hari setelah<br />

mereka dinyatakan hilang. 21<br />

5. Pembatasan Ruang Gerak dan<br />

Pencabutan Hak Untuk Mengeluarkan<br />

Pendapat<br />

Pemberlakukan keadaan darurat,<br />

penggelaran operasi anti gerilya dan pemisahan<br />

penduduk atas dasar agama dan etnis, dengan<br />

otomatis menghilangkan hak-hak individu<br />

untuk bergerak dan mengeluarkan pendapat,<br />

seperti yang tercantum dalam konstitusi dan<br />

hukum hak asasi manusia nasional. Dengan<br />

alasan keamanan dan ketertiban, penguasa<br />

militer maupun sipil mengeluarkan sejumlah<br />

pembatasan dan pelarangan terhadap aktivitas<br />

penduduk di wilayah konflik. Strategi<br />

pemisahan antara penduduk sipil dengan<br />

kelompok pemberontak dan blokade wilayah<br />

yang dilancarkan pihak militer di Aceh dan<br />

Papua membuat penduduk lokal tidak bisa<br />

bepergian ke luar desa. Penguasa militer<br />

mengharuskan penduduk untuk mengurus<br />

surat jalan jika ingin bepergian ke luar desa, agar<br />

lolos dari pemeriksaan di setiap pos-pos militer<br />

yang mereka lalui. Aktivitas sosial penduduk,<br />

seperti penyelenggaraan pernikahan maupun<br />

acara-acara keagamaan harus mendapatkan izin<br />

dari penguasa militer atau sipil setempat, jika tak<br />

ingin acara mereka dibubarkan dan<br />

pengundangnya pun ditangkap dengan tuduhan<br />

makar. Pembatasan ini pun juga termasuk<br />

pelarangan orang luar daerah dan orang asing<br />

datang ke wilayah yang dinyatakan dalam<br />

keadaan darurat, sehingga membuat orang-orang<br />

lokal tidak bisa berhubungan dengan<br />

keluarga maupun sanak famili mereka yang<br />

tinggal di luar propinsi.<br />

Di Aceh, PDMD mengeluarkan maklumat<br />

berkaitan dengan pelarangan penyelenggaraan<br />

pertemuan publik, termasuk pengadaan training<br />

maupun workhsop-workshop, khususnya<br />

yang bertema hak asasi manusia. Di samping itu,<br />

PDMD juga melarang organisasi nonpemerintah<br />

(Ornop) internasional beroperasi di<br />

Aceh. PDMD juga membatasi keluar masuk orang<br />

ke Aceh, termasuk berlayar di perairan<br />

wilayah Aceh. Kebijakan-kebijakan ini<br />

kemudian berakibat pada semakin mengecilnya<br />

ruang gerak penduduk sipil baik dalam bidang<br />

politik, ekonomi sosial dan budaya. Seperti<br />

misal, banyak penduduk lokal yang tidak dapat<br />

mencari nafkah sehingga membuat mereka<br />

kesulitan untuk membeli kebutuhan pokok. 22<br />

Beberapa kegiatan training yang dilakukan oleh<br />

institusi pemerintah sipil, organisasi<br />

kepemudaan dan organisasi hak asasi<br />

manusia di Aceh juga dibubarkan karena tidak<br />

memiliki izin dari penguasa militer setempat. 23<br />

Pembatasan ini juga melebar hingga<br />

pembatasan aktivitas organisasi hak asasi<br />

manusia dan penanganan pengungsi di Aceh,<br />

terutama organisasi-organisasi internasional.<br />

Tidak berbeda dengan Aceh, praktik-praktik<br />

pembatasan terhadap aktivitas politik, ekonomi,<br />

sosial dan budaya penduduk sipil<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

37


mengakibatkan penduduk lokal harus<br />

menanggung persoalan-persoalan baru,<br />

terutama di bidang ekonomi. Pembatasanpembatasan<br />

ini dikeluarkan melalui regulasi<br />

daerah. Di seluruh Papua, aktivitas politik dan<br />

sosial penduduk lokal terganggu karena<br />

munculnya Surat Keputusan Bersama tentang<br />

Pelarangan Peringatan Hari Kematian Theis dan<br />

Penyelenggaran Hari Kemerdekaan Papua. SK<br />

tersebut dengan serta merta menjadi alat untuk<br />

membubarkan dan menangkap para peserta<br />

demonstrasi di seluruh wilayah Papua. 24 Di<br />

samping menggunakan regulasi daerah,<br />

pembatasan-pembatasan ini juga dilakukan<br />

dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan<br />

ancaman yang ditujukan kepada pemimpin atau<br />

tokoh masyarakat yang tidak segaris dengan<br />

kebijakan pemerintah sipil daerah atau pejabat<br />

militer. Januari 2001, Kejaksaan Tinggi (Kejati)<br />

Papua, H Bismar Mannu SH mengeluarkan<br />

statement bahwa Theis cs terbukti melakukan<br />

makar. 25 Di Pegunungan Bintang dan Mulia,<br />

penerapan strategi militer untuk memblokade<br />

wilayah pasca penyerangan anggota militer di<br />

wilayah tersebut membuat penduduk lokal<br />

kesulitan memenuhi kebutuhan pokok mereka<br />

karena pasokan-pasokan bahan pokok<br />

dibatasi. 26<br />

6. Kejahatan Terhadap Pekerja<br />

Kemanusiaan<br />

Menguatnya penggunaan langkah-langkah<br />

militer untuk menangani ketegangan politik dan<br />

sosial di beberapa daerah juga berakibat<br />

semakin rentannya aksi-aksi kekerasan terhadap<br />

para pekerja kemanusiaan. Kontrol militer<br />

terhadap wilayah-wilayah yang dinyatakan<br />

sebagai daerah operasi militer, membuat ruang<br />

gerak dari para pekerja kemanusiaan semakin<br />

terbatas. Para pekerja hak asasi manusia kerap<br />

dilarang untuk menjalankan kerja-kerja<br />

pemantauan peristiwa pelanggaran hak asasi<br />

manusia dengan dalih daerah tersebut<br />

merupakan daerah tertutup. Para penguasa<br />

militer setempat mengeluarkan kebijakan dalam<br />

bentuk maklumat atau memblokade yang<br />

melarang organisasi-organisasi hak asasi<br />

manusia beroperasi di wilayah tersebut.<br />

Sejumlah pekerja hak asasi manusia di wilayah<br />

konflik, kerap mendapat terror dan ancaman<br />

dari orang-orang tidak dikenal yang isi dari<br />

ancaman tersebut meminta agar mereka segera<br />

berhenti melakukan pencatatan atas fakta-fakta<br />

pelanggaran hak asasi manusia di wilayah<br />

konflik. Di samping itu, Polisi dan militer lokal<br />

kerap mengeluarkan ancaman akan menangkap<br />

38 Bagian III


sejumlah pekerja hak asasi manusia. 27<br />

Di Aceh, dengan menuduh sebagai kaki<br />

tangan pemberontak GAM, militer menangkap<br />

dan memenjarakan sejumlah pekerja hak asasi<br />

manusia. Di Papua, Blokade militer terhadap<br />

wilayah Pegunungan Mulia, pasca peristiwa<br />

pembunuhan penduduk sipil oleh orang-orang<br />

tidak dikenal, membuat sejumlah aktivis hak<br />

asasi manusia yang akan melakukan investigasi<br />

pelanggaran hak asasi manusia gagal untuk<br />

melakukan investigasi karena blokade militer<br />

yang cukup ketat. Di poso, seorang pendeta yang<br />

kerap bersuara keras tentang tindak pelanggaran<br />

hak asasi manusia terhadap penduduk sipil,<br />

kemudian ditangkap, setelah mobil yang<br />

ditumpanginya tiba-tiba ditemukan senjata api<br />

saat pasukan militer dan polisi melakukan<br />

sweeping. Di Ambon, pertengahan 2000, tiga<br />

orang pekerja hak asasi manusia ditangkap oleh<br />

anggota militer karena dituduh sebagai<br />

provokator dan kemudian selama di pos militer<br />

pekerja kemanusiaan tersebut dipukuli hingga<br />

babak belur. 28 Kriminalisasi ini menyebabkan<br />

para pekerja hak asasi manusia di wilayah<br />

konflik terpaksa keluar dari wilayah-wilayah<br />

konflik agar terhindar dari ancaman tersebut.<br />

Tak heran jika kemudian peristiwa-peristiwa<br />

pelanggaran hak asasi manusia di daerah-daerah<br />

konflik sulit untuk diketahui.<br />

Di samping itu, praktik-praktik kekerasan<br />

terhadap para pekerja kemanusiaan juga tidak<br />

hanya terjadi di wilayah konflik saja. Sejumlah<br />

pekerja hak asasi manusia yang secara rutin<br />

melaporkan informasi berkaitan dengan<br />

pelanggaran hak asasi manusia di daerah-daerah<br />

konflik pun juga turut menjadi sasaran dari<br />

tindak kekerasan dan terror dari orang-orang<br />

yang tidak dikenal. Baru-baru ini, seorang tokoh<br />

hak asasi manusia, Munir SH, dibunuh oleh orang<br />

tidak dikenal dalam perjalanan menuju<br />

Belanda untuk melanjutkan studi. Sebelumnya,<br />

Munir dikenal tokoh yang cukup berani untuk<br />

memberitakan peristiwa-peristiwa pelanggaran<br />

hak asasi manusia di wilayah konflik.<br />

RESPON NEGARA ATAS KEJAHATAN<br />

HAK ASASI MANUSIA<br />

Dalih pemberlakuaan kebijakan darurat<br />

militer/sipil di wilayah konflik menjadi tempat<br />

aman para pihak di institusi militer dan Polri<br />

yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi<br />

manusia untuk berlindung dari langkahlangkah<br />

penyelidikan pihak Komnas HAM.<br />

Seolah seperti kebal dari hukum, para perwira<br />

militer/Polri melihat langkah-langkah<br />

penanganan wilayah konflik yang mereka ambil<br />

adalah demi menjaga keutuhan NKRI, sehingga<br />

tidak patut diklaim sebagai pelaku pelanggaran<br />

hak asasi manusia. Di Aceh, penguasa darurat<br />

militer membantah hasil penyelidikan Komnas<br />

HAM dengan dalih informasi-informasi yang<br />

diperoleh tidak berimbang dan lebih berat<br />

memojokkan institusi TNI/Polri. 29 Di Papua,<br />

dengan arogan militer menyangsikan fakta-fakta<br />

penyelidikan yang dilakukan oleh organisasiorganisasi<br />

HAM dan mereka balik menuduh<br />

pihak-pihak yang mengungkap kasus-kasus orang<br />

hilang ini adalah pihak yang mencoba<br />

memperkeruh keadaan atau memojokkan<br />

institusi militer dan polisi. Selanjutnya TNI balik<br />

mengancam akan menuntut pihak-pihak yang<br />

menuduh TNI terlibat dalam peristiwa<br />

pelanggaran hak asasi manusia di Aceh maupun<br />

Papua ke pengadilan. 30 Baru-baru ini, pihak<br />

Penguasa Darurat Sipil dan Pejabat TNI di<br />

Jakarta mengancam akan menuntut balik <strong>Human</strong><br />

<strong>Rights</strong> Watch (HRW) jika informasi adanya<br />

praktik-praktik penyiksaan sejumlah<br />

narapidana politik tidak terbukti. 31 . Sekalipun<br />

banyak informasi awal yang memperkuat<br />

adanya indikasi kejahatan penyiksaan, tidak<br />

membuat pemerintah Indonesia segera<br />

membentuk tim penyelidikan independen<br />

untuk menyelidikan kasus tersebut. Klaim<br />

bahwa pemerintah, terutama TNI dan Polri,<br />

telah membentuk tim penyelidik internal<br />

mereka mengelak desakan pembentukan tim<br />

independen kasus-kasus penyiksaan.<br />

Sikap arogan dari militer inilah yang<br />

kemudian membuat praktik-praktik<br />

pelanggaran hak asasi manusia di wilayah<br />

konflik terus terjadi dan sulit untuk diungkap.<br />

Hingga saat ini minim sekali para pelaku<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang berhasil<br />

diadili. Bahkan lolosnya sejumlah perwira<br />

militer dari pengadilan HAM Ad hoc<br />

pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timor,<br />

membuat para perwira yang diduga terlibat<br />

pelanggaran hak asasi manusia di wilayah<br />

Konflik, semakin berani menantang pihakpihak<br />

yang ingin memperkarakannya. Hasil<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

39


pengadilan itu pun secara tidak langsung<br />

membuat justifikasi bahwa tindak kekerasan<br />

dan brutal anggota militer/polisi di wilayah<br />

konflik adalah tindakan yang tepat dan bukan<br />

tindakan pelanggaran hak asasi manusia, karena<br />

tindakan itu ditujukan dalam rangka menjaga<br />

keutuhan NKRI.<br />

KESIMPULAN<br />

Penerapan regulasi kedaruratan dan<br />

pengerahan kekuatan militer untuk<br />

menyelesaikan pemberontakan dan konflik<br />

komunal adalah pilihan yang tidak tepat.<br />

Langkah-langkah seperti itu justru kembali<br />

membuka peluang kebangkitan otoriterisme<br />

kembali hidup di Indonesia. Akibat lainnya,<br />

penggunaan langkah-langkah militer untuk<br />

menyelesaikan pemberontakan dan konflik<br />

komunal justru menimbulkan pelanggaran hak<br />

asasi manusia baru, dan membuat upaya<br />

penyelesaian semakin menjauh dari akar<br />

masalahnya. Di lain pihak, penggunaan<br />

langkah-langkah militer juga membuat upayaupaya<br />

perbaikan kondisi hak asasi manusia<br />

nasional terus menurun, karena lingkar impunity<br />

yang diciptakan oleh kondisi kedaruratan<br />

itu sendiri semakin kuat dan permanen.<br />

CATATAN:<br />

1<br />

Lih., Mengembalikan Penyelesaian Aceh Melalui<br />

Cara-cara Damai, Brifieng paper ELSAM, November<br />

2003.<br />

2<br />

Dikenal publik dengan sebutan CoHA.<br />

3<br />

Lih., Mengapa Kesepakatan Penghentian Permusuhan<br />

Sulit Dipertahankan?, ELSAM, Briefing Paper, Mei 2003<br />

4<br />

Lih., Memoria Pasionis, Gambaran Hak Asasi<br />

Manusia Papua Tahun 2001, Sekretarian Keadilan dan<br />

Perdamaian Keuskupan Papua, 2001; “Papua Barat:<br />

Gerakan Kemerdekaan Meraih Momentum,” Down To<br />

Earth Nr 45 Mei 2000; “Mabes TNI Kirim Pasukan Ke<br />

Papua,” www.dephan.go.id, 9 Agustus 2003<br />

5<br />

Abdurrahman Wahid selalu mendukung Komnas<br />

HAM untuk membentuk Komisi Penyelidikan<br />

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM). KPP HAM<br />

Abepura adalah salah satu bentuk kongkrit dukungan<br />

Abdurrahman Wahid terhadap upaya penyelidikan<br />

peristiwa penyerangan dan pemukulan secara brutal<br />

Brimob Papua terhadap para demonstran di Abepura 7<br />

Desember 2000.<br />

6<br />

Bentuk pengabaian ini antara lain adalah pembuatan<br />

Surat Keputusan Bersama Tentang Pelarangan<br />

Perayaan Hari Kematian Theis Eluay (11 November)<br />

dan Perayaan Kemerdekaan Papua (1 Desember)<br />

Gubernur, Pangdam, Kapolda, Kejati Papua dan juga<br />

penggelaran operasi intelejen liar di beberapa daerah,<br />

kasus pembunuhan Theis November 2002 oleh<br />

anggota Satgas Cendrawasih diduga tanpa<br />

sepengetahuan pemerintahan sipil Jakarta.<br />

7<br />

Meluasnya berbagai tindak kekerasan di Papua,<br />

menyebabkan aktivitas pengiriman pasukan militer<br />

dan Brimob ke Papua terus meningkat. Alasan<br />

menghentikan kerusuhan atau memperkua penjagaan<br />

di wilayah perbatasan, menjadi argumen kuat atas<br />

pengiriman-pengiriman pasukan ke Papua dalam<br />

beberapa tahun terakhir.<br />

8<br />

Wawancara ELSAM dengan Pekerja Hak Asasi<br />

Manusia Asal Papua, di Jakarta Awal Desember <strong>2004</strong>,<br />

juga Lih., Memoria Passionis di Papua, Kondisi Sosial<br />

Politik dan Hak Asasi Manusia Gambaran 2001,<br />

Sekretarian Keuskupan Papua, Jakarta 2002<br />

9<br />

Aktivitas para pejabat sipil (Walikota dan Bupati)<br />

mengorganisir pemuda untuk menjadi milisi<br />

meningkat pesat sejak pertengahan 2002 sampai<br />

sekarang. Pembentukan milisi ini mendapat dukungan<br />

kuat dari para pejabat militer dan polisi di tingkat<br />

kabupaten, seperti Komandan Kodim dan Kapolres.<br />

Sejumlah pemimpin partai atau anggota DPRD lokal<br />

juga ikut andil dalam pembentukan milisi-milisi ini.<br />

Bahkan mantan Komandan milisi Aitarak di Timor<br />

Leste, Eurico Gueteres, pernah terlihat dalam acara<br />

peresmian Front Pembela Merah Putih di Timika 12<br />

November 2003. Lih., Van Den Broek, Theo, Situasi<br />

Akhir Tahun 2003 di Papua, Refleksi, Sekretarian<br />

Perdamaian dan Keadilan (SKP) Keuskupan Jayapura,<br />

November 2003.<br />

10<br />

Dokumentasi kekerasan ELSAM Wilayah Aceh,<br />

Tentang Monitoring Darurat Militer, periode Mei 2003 -<br />

April <strong>2004</strong> dan Dokumentasi kekerasan ELSAM<br />

Wilayah Papua, 1999-<strong>2004</strong>.<br />

11<br />

Ibid.<br />

12<br />

The Situation in Ambon/Mallucas-<strong>Report</strong> No.343,1<br />

Agustus 2003<br />

13<br />

Op. Cit., Brifieng Paper ELSAM No 2, 2003<br />

14<br />

Lih, laporan, “Suasana Kemasyarakatan di<br />

Pegunungan Bintang,” Sekretarian Keadilan dan<br />

Perdamaian (SKP) Jayapura, Februari 2002 dan “Papua<br />

Aktual April-Juni <strong>2004</strong>, SKP; “Laporan Kekerasan di<br />

Kecamatan Ilaga Kabupaten Puncak Jayawijaya,” SKP<br />

Keuskupan Jayapura, April 2002 dan “Laporan Awal<br />

Kasus Wamena,” Koalisi LSM untuk Perlindungan dan<br />

Penegakan HAM di Papua, Jayapura 6 Mei 2003.<br />

15<br />

Lih., Perang Tersembunyi, Aceh dalam Darurat<br />

Militer, <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> Wacth <strong>Report</strong>, 2002<br />

16<br />

“PDMP siapkan penampungan sementara untuk GSA<br />

yang menyerah,” Kompas Cyber Media, 28 Juni 2003<br />

17<br />

Op. Cit., Laporan Awal Kasus Wamena.<br />

18<br />

Fact-sheet TIM Pengacara Muslim tentang kronologi<br />

penangkapan dan penyiksaan orang-orang yang<br />

diduga anggota terroris, tertanggal Februari <strong>2004</strong>.<br />

19<br />

Ibid.<br />

40 Bagian III


20<br />

“ Markas Satgas Cendrawasih Disegel Polisi Militer,”<br />

Kompas, 2 Maret 2002.<br />

21<br />

Dokumen Kekerasan ELSAM Tentang Darurat Militer<br />

di Aceh Periode Mei 2003- Mei <strong>2004</strong>.<br />

22<br />

Lih., “Perang dan Ketahanan Pangan,” Down to<br />

Earth, Nr 55 Agustus 2003.<br />

23<br />

Wawancara dengan wartawan lokal di Aceh, Juli<br />

<strong>2004</strong>.<br />

24<br />

Sepanjang 2003 dan <strong>2004</strong>, praktik-praktik kebebasan<br />

berekspresi dan berpendapat di Papua menurun<br />

drastis, tidak seperti tahun sebelumnya, karena polisi<br />

mengancam akan menangkap dan menahan bagi siapa<br />

saja yang melakukan demonstrasi di jalan. Para<br />

peserta yang tertangkap kemudian banyak yang<br />

dituduh menjadi kaki tangan OPM. Wawancara dengan<br />

pekerja hak asasi manusia asal Papua, di Jakarta,<br />

November <strong>2004</strong>.<br />

25<br />

“Memoria Passionis: Kondisi Sosial Politik dan Hak<br />

Asasi Manusia Gambaran 2001", SKP dan LSSP,<br />

Jakarta 2002., hlm 9<br />

26<br />

“Tiga Warga Kuyawage Dilaporkan Mati Kelaparan,<br />

Setelah Dinyatakan Daerah Tertutup,” Kompas, 24 Mei<br />

2003.<br />

27<br />

Puluhan pekerja kemanusiaan di Aceh, saat Darurat<br />

Militer berlangsung harus eksodus ke luar Aceh,<br />

karena nama-nama mereka disebut oleh polisi sebagai<br />

target operasi. Hal serupa juga terjadi di Papua, Maluku<br />

dan Poso. Wawancara dengan 10 orang pekerja hak<br />

asasi manusia asal Aceh Papua, Maluku dan Poso di<br />

Jakarta dan Bangkok, Desember 2003.<br />

28<br />

Wawancara dengan pekerja hak asasi manusia di<br />

Ambon, April 2000<br />

29<br />

Pangab Jenderal Sutarto dan KASAD Jenderal<br />

Rymizard Ryacudu menolak laporan Tim Pencari Fakta<br />

Komnas HAM yang diketuai oleh MM Bilah dengan<br />

alasan laporan tersebut tidak valid dan sangat<br />

memihak kelompok GAM. Lih., Wawancara Abdul<br />

Hakim Garuda Nusantara, “Komnas HAM Sudah<br />

Cukup hati-hati,” Majalah Tempo No 17/XXXII/23-29<br />

Juni 2003.<br />

30<br />

Lih., Papua Aktual April-Juni <strong>2004</strong>, SKP Keuskupan<br />

Jayapura, Juli <strong>2004</strong>., hlm 20.<br />

31<br />

Lih., “ HRW Tuding TNI Siksa Tahanan GAM,” Koran<br />

Tempo, 28 September <strong>2004</strong><br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

41


BAGIAN KEEMPAT<br />

Atas Nama Memacu Pertumbuhan Ekonomi<br />

dan Pembangunan Daerah: Kasus-Kasus<br />

Pengusiran Paksa Penduduk Lokal oleh<br />

Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota di<br />

Indonesia Dalam Kerangka Otonomi Daerah<br />

PENGANTAR<br />

Banyak kalangan berharap otonomi daerah<br />

akan mendatangkan perbaikan kondisi<br />

hidup rakyat di berbagai daerah di Indonesia.<br />

Salah satunya adalah perbaikan terhadap<br />

kondisi hak asasi manusia. Namun setelah lima<br />

tahun proses otonomi itu berjalan harapan itu<br />

sepertinya kian pudar. Faktor penting yang menyebabkan<br />

belum terealisasinya perlindungan<br />

dan pemenuhan hak-hak asasi masyarakat itu<br />

adalah masih kuatnya kecendrungan<br />

keberpihakan penyelenggara pemerintahan<br />

terhadap kepentingan investasi atau modal.<br />

Keberpihakan penyelenggara negara di tingkat<br />

daerah terhadap kepentingan investor itu bisa<br />

dilihat dari kerapnya terjadi peristiwa<br />

penggusuran, pengabaian penyelesaian kasuskasus<br />

perampasan tanah masa lalu, penertiban<br />

pedagang informal dan penghilangan hak-hak<br />

penduduk asli untuk mengelola sumber-sumber<br />

kekayaan alamnya. Implementasi otonomi<br />

daerah yang keliru ini di sisi lain juga<br />

menimbulkan kesulitan bagi masyarakat kelas<br />

bawah untuk mendapatkan akses pada<br />

pelayanan publik yang baik, seperti kesehatan,<br />

pendidikan, perumahan dan pekerjaan. Gejala<br />

umum ini bisa kita temui di hampir seluruh<br />

provinsi dan kabupaten/kota saat ini.<br />

Secara umum bagian ini mencoba melihat<br />

bagaimana otonomi daerah itu<br />

dimplementasikan, terutama implikasinya<br />

terhadap pemajuan dan perlindungan hak asasi<br />

manusia di daerah. Selain itu juga mencoba<br />

menguraikan kemajuan-kemajuan di bidang<br />

hak asasi manusia yang telah mampu dicapai<br />

oleh implementasi otonomi daerah tersebut.<br />

IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH DI<br />

BERBAGAI DAERAH<br />

Desentralisasi kekuasaan merupakan<br />

tuntutan utama yang disuarakan oleh kelompok<br />

pro-reformasi di daerah-daerah. Kuatnya<br />

tuntutan desentralisasi itu bertolak dari<br />

pengalaman buruk di masa lalu ketika<br />

berhadapan dengan pemerintahan yang<br />

sentralis yang memonopoli seluruh urusan<br />

daerah. Sebagai langkah awal demokratisasi<br />

penyelengaraan negara, otonomi daerah<br />

diharapkan bisa mengurangi kemiskinan dan<br />

pemerataan pembangunan.<br />

Gelombang tuntutan yang terus membesar<br />

bahkan disertai ancaman untuk melepaskan diri<br />

dari NKRI, pada akhirnya membuat Jakarta<br />

harus meluluskan tuntutan tersebut. Dengan<br />

mengeluarkan UU Nomor 22 Tahun1999<br />

tentang Otonomi Daerah, Jakarta sepakat untuk<br />

melimpahkan sebagian besar kekuasaannya<br />

kepada pemerintah daerah. Untuk mendukung<br />

UU Nomor 22 Tahun1999, Jakarta kemudian<br />

mengeluarkan UU Nomor 25 Tahun 1999<br />

tentang Perimbangan Keuangan Antara<br />

Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejumlah<br />

regulasi dalam bentuk Keppres dan Inpres juga<br />

dikeluarkan oleh Jakarta untuk menunjang<br />

implementasi Otda. Selepas UU tersebut<br />

dikeluarkan, tepatnya sejak 2000, seluruh<br />

pemerintah daerah kemudian melakukan<br />

langkah-langkah persiapan sebagai<br />

pengejawantahan atas UU tersebut yakni<br />

mengambil langkah-langkah persiapan seperti:<br />

memproduksi perda yang akan menunjang<br />

proses Otda di tingkat daerah, melakukan<br />

pemekaran wilayah-wilayah administrasi,<br />

42 Bagian IV


merumuskan ulang tugas dan kewenangan<br />

kantor wilayah, dinas dan badan usaha daerah .<br />

Pelaksanaan Otda di beberapa daerah<br />

ditandai dengan produksi Perda tentang sistem<br />

organisasi pemerintah daerah, pengaturan<br />

pengelolaan situs-situs ekonomi lokal, termasuk<br />

di sini Perda pengambilalihan sejumlah situs<br />

yang dulu dikuasai oleh pemerintah pusat, dan<br />

Perda tentang penanaman modal asing/nasional<br />

di daerah. Sejalan dengan itu pemerintah daerah<br />

pun kemudian menggencarkan penggalian<br />

potensi-potensi kekayaan alam dan nonkekayaan<br />

alam yang dapat menambah<br />

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perda-perda<br />

tentang pajak dan retribusi pun kemudian<br />

membanjiri seluruh propinsi dan kabupaten di<br />

Indonesia. Belakangan perda-perda ini justru<br />

membuat ekonomi tinggi di hampir seluruh<br />

daerah. 1<br />

Selanjutnya, penerapan Otda juga ditandai<br />

dengan pemekaran atas puluhan wilayah di<br />

berbagai tempat, bahkan sejumlah propinsi<br />

turut pula memekarkan diri dengan alasan<br />

wilayahnya terlalu luas yang akan berdampak<br />

pada kegagalan dalam pemerataan<br />

pembangunan. 2 Lebih dari tiga propinsi di Indonesia<br />

yang membelah menjadi dua propinsi<br />

sebagai bagian dari proses penerapan Otda.<br />

Sementara, hampir seluruh propinsi kemudian<br />

memekarkan daerah kabupaten dan kota di<br />

wilayahnya untuk menyongsong penerapan<br />

Otda Mei 2001. Belakangan diketahui<br />

pemekaran ini hanya strategi untuk mensiasati<br />

kecilnya Dana Alokasi Umum (DAU) dari<br />

pemerintah pusat. 3 Pemekaran ini pun<br />

kemudian juga diteruskan reorganisasi atas<br />

institusi-institusi pemerintah daerah di tingkat<br />

Propinsi dan Kabupaten/Kota, termasuk juga<br />

jajaran kantor wilayah, dinas-dinas pelaksana<br />

teknis yang dulu berada di bawah kendali<br />

pemerintah pusat. Langkah-langkah<br />

reorganisasi tersebut antara lain: menyusun<br />

garis hirarki dan koordinasi antara instansi<br />

daerah dan merumuskan ulang tugas dan<br />

kewenangan dari masing-masing instansi.<br />

Seiring dengan proses pelaksanan Otda<br />

tersebut, berbagai ketegangan politik dan sosial<br />

pun terjadi di daerah. Bermula dari ketegangan<br />

antara pemerintah daerah dengan Jakarta<br />

menyangkut komposisi perimbangan keuangan<br />

antara pemerintah pusat dan daerah kemudian<br />

meluas menjadi ketegangan antar elit daerah<br />

berkaitan dengan perebutan jabatan-jabatan<br />

strategis di daerah. Ketegangan-ketegangan ini<br />

tak jarang berujung pada lahirnya kekerasan<br />

massal. Isu etnis, agama, atau ras kemudian naik<br />

kepermukaan sebagai cerminan pertarungan<br />

politik antar elit daerah. Konflik di Maluku,<br />

Poso, dan Sampit semakin membesar ketika<br />

otonomi daerah diterapkan karena kelompok<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

43


elit lokal yang ikut bertikai kembali<br />

menggunakan pendukungnya untuk kembali<br />

melakukan tindak kekerasan terhadap para<br />

lawan politiknya. Berbagai informasi dari lima<br />

wilayah tersebut menunjukkan adanya indikasi<br />

kuat keterlibatan sejumlah elit politik lokal<br />

dalam memobilisasi massa untuk melakukan<br />

tindak kekerasan. 4<br />

Mei 2001, Otonomi daerah resmi dijalankan<br />

dan untuk pertama kalinya Pemerintah daerah<br />

memiliki kewenangan atas wilayahnya sendiri.<br />

Segera setelah pemberlakuan Undang-undang<br />

Nomor 22 Tahun 1999 penarikan pajak,<br />

retribusi daerah mulai dilakukan oleh<br />

pemerintah terhadap seluruh sektor di setiap<br />

daerah. kemudian untuk meningkatkan PAD,<br />

sejumlah situs-situs ekonomi pun mulai<br />

ditawarkan dan diserahkan kepada para<br />

pemodal. Pembangunan prasarana dan sarana<br />

sebagai prasyarat memacu laju investasi ke<br />

daerah pun mulai dijalankan oleh dinas-dinas<br />

teknis yang berada dalam hirarki gubernur atau<br />

bupati/walikota. Proses pelaksanaan inilah yang<br />

kemudian kembali membuat aksi kekerasan<br />

terhadap penduduk lokal kembali terulang. Di<br />

samping itu, fakta lain juga menyebutkan bahwa<br />

pelaksanaan Otonomi daerah justru menjadi<br />

menyuburkan praktik korupsi, kolusi dan<br />

nepotisme baru di lingkungan pemerintahan<br />

daerah. Pejabat di DPRD, Pemerintah daerah<br />

propinsi dan kabupaten/kota, serta kantor dinas<br />

di daerah melakukan praktik-praktik korupsi<br />

atas sejumlah pendanaan proyek-proyek<br />

pembangunan dan anggaran belanja daerah<br />

maupun kegiatan-kegiatan studi banding di<br />

dalam maupun luar negeri. 5 Hingga<br />

pertengahan <strong>2004</strong> ini puluhan kasus korupsi<br />

oleh pejabat pemerintah terungkap, namun<br />

demikian hanya sedikit saja yang diusut hingga<br />

ke pengadilan.<br />

PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN<br />

HAM DALAM OTONOMI DAERAH<br />

Dalam kesempatan ini Perda diaudit dengan<br />

menggunakan hukum hak asasi manusia<br />

nasional sebagai parameter termasuk sinkronisasi<br />

perda-perda yang bertentangan dengan konstitusi<br />

dan hukum hak asasi manusia; memproduksi<br />

regulasi daerah yang lebih menguatkan<br />

implementasi hukum hak asasi manusia<br />

nasional; mendirikan Komisi Hak Asasi Manusia<br />

Daerah; Menyelenggarakan pelatihan hak asasi<br />

manusia bagi aparatur pemda; Menyusun buku<br />

saku untuk pegawai pemerintah daerah; serta<br />

mengeluarkan laporan tentang kondisi hak asasi<br />

manusia di daerahnya, ELSAM mencoba<br />

melakukan observasi atas sejumlah langkahlangkah<br />

atas sejumlah pemerintah daerah.<br />

Dimulai dengan mengumpulkan dokumen<br />

resmi, ELSAM kemudian memperkuat analisis<br />

dokumen tersebut dengan melakukan<br />

wawancara singkat dengan organisasi hak asasi<br />

manusia di tingkat daerah.<br />

Norma hak asasi manusia internasional dan<br />

nasional mewajibkan kepada negara, untuk<br />

mengambil langkah-langkah perlindungan hak<br />

asasi manusia, baik melalui langkah-langkah<br />

legislatif maupun langkah-langkah lain yang<br />

memperkuat langkah-langkah legislatif<br />

tersebut. Istilah negara, disini adalah pemerintah<br />

nasional dan pemerintah-pemerintah daerah<br />

hingga tingkat kecamatan. Jadi jelas bahwa<br />

pemerintah daerah terikat dengan ketentuan ini.<br />

Sebagai penguasa lokal Gubernur atau Bupati<br />

semesti mengambil langkah-langkah<br />

pembuatan kebijakan di tingkat daerah serta<br />

langkah-langkah lain yang dapat memperkuat<br />

upaya-upaya penghormatan dan perlindungan<br />

terhadap hak asasi manusia.<br />

1. Perda yang Anti Hak Asasi Manusia<br />

Dalam lima tahun terakhir, produk regulasi<br />

daerah yang memperkuat implementasi hukum<br />

hak asasi manusia nasional di tingkat daerah<br />

masih terbatas. Konsentrasi terbesar atas<br />

produksi regulasi daerah lebih dititikberatkan<br />

pada bidang ekonomi dan pemekaran wilayah. 6<br />

Selain itu, upaya-upaya sinkronisasi atas<br />

sejumlah regulasi daerah dengan hukum hak<br />

asasi manusia nasional juga tidak ditemukan.<br />

Produksi regulasi daerah khusus tentang perlindungan<br />

hak-hak perempuan pun, juga tidak<br />

ditemukan di semua Pemda. Padahal kasuskasus<br />

kejahatan terhadap perempuan di<br />

berbagai daerah telah menjadi endemik. Di<br />

sejumlah daerah, produk-produk regulasi baru<br />

ini dilaporkan turut andil dalam melahirkan<br />

peristiwa pelanggaran hak asasi manusia.<br />

Penarikan pajak dan retribusi menyebabkan<br />

penghasilan penduduk lokal mulai berkurang<br />

44 Bagian IV


karena usaha-usaha kecil mereka juga<br />

dikenakan pajak atau retribusi. Sementara<br />

pelaksanaan kebijakan memacu investasi daerah<br />

dan pembangunan sarana dan prasarana umum<br />

membuat masyarakat kembali kehilangan<br />

haknya atas tanah dan kekayaan alam yang<br />

sudah turun temurun mereka kelola. Di wilayah<br />

pedesaan atau perkampungan, sejumlah<br />

penduduk kembali melaporkan bahwa proses<br />

pemberian konsesi kehutanan, pertambangan<br />

dan perkebunan besar semakin memperkuat<br />

klaim perusahaan atas tanah maupun kekayaan<br />

alam penduduk lokal. Di perkotaan, penataan<br />

kota untuk pembangunan prasarana investasi<br />

maupaun penanganan persoalan kemacetan dan<br />

banjir, menjadi alasan kuat bagi pemerintah<br />

daerah untuk menggusur penduduk urban.<br />

Pemda kemudian memberikan tuduhan atau<br />

cap kriminal kepada penduduk urban untuk<br />

membenarkan langkah-langkah penggusuran<br />

atau pelarangan atas aktivitas penduduk. Cap itu<br />

antara lain: menduduki tanah-tanah milik<br />

BUMN atau pihak swasta, mengganggu<br />

kenyamanan pengguna jalan karena berjualan di<br />

pinggir jalan, menjadi penyebab kemacetan di<br />

jalan karena mengoperasikan kendaraan umum<br />

yang tidak ramah lingkungan serta menjadi<br />

penyebab banjir karena mendirikan rumahrumah<br />

di pinggir kali.<br />

Minimnya regulasi perlindungan hak asasi<br />

manusia ini tidak dibarengi dengan melakukan<br />

revisi atau mencabut atas sejumlah perda-perda<br />

yang bertentangan dengan hak asasi manusia di<br />

masa lalu. Sebut saja di Jakarta, regulasi daerah<br />

tentang Tata Ruang Kota dan Perda Nomor 11<br />

tahun 1988 tentang ketertiban Umum yang<br />

diproduksi pada masa rezim orde baru berkuasa<br />

hingga saat ini belum dicabut. Dan celakanya ini<br />

digunakan oleh Sutiyoso untuk kembali<br />

menggusur ribuan penduduk dan melarang<br />

pedagang kaki lima untuk beroperasi di<br />

sejumlah tempat serta digunakan untuk<br />

melarang beroperasinya becak. Di Tangerang,<br />

Perda Nomor 18 Tahun 2000 tentang<br />

ketertiban, keindahan, dan kebersihan (K3)<br />

Pemerintah Kota Tangerang, yang<br />

membenarkan praktik-praktik penggusuran<br />

hingga laporan ini dibuat juga dicabut. Bahkan<br />

para bupati saat ini menggunakan perda<br />

tersebut untuk menggusur ratusan pedagang di<br />

depan gerbang masuk pergudangan Bandara<br />

Mas, berjarak 200 meter dari pintu gerbang M-<br />

1 menuju Bandara Soekarno-Hatta. Di<br />

Kendari-Sulawesi Tenggara Gubernur hingga<br />

saat ini belum mencabut SK Gubernur Sulawesi<br />

Tenggara No 318 Tahun 2000 tentang<br />

Pembentukan Tim Penanggulangan<br />

Perambahan atau Gangguan kawasan TNRAW<br />

dan Kawasan Hutan Sekitarnya. Padahal SK ini<br />

kerap digunakan sebagai landasan tindakan<br />

pengusiran (pemindahan paksa) penduduk asli<br />

Tobu HukaEa-LaEa. Di Jawa Tengah, Perda No<br />

13 Tahun l991 tentang Ketertiban dan<br />

Keindahan Lingkungan Perkotaan, juga belum<br />

dicabut. Sementara perda ini memberikan<br />

kewenangan kepada Pemerintah kota Semarang<br />

untuk menggusur puluhan pedagang kaki lima<br />

di Jalan Sukowati. Di Sukabumi, Perda Nomor<br />

2 Tahun 1988 tentang K3, hingga saat ini belum<br />

dicabut dan menjadi pembenaran penertiban<br />

pedagang kaki lima. Dan masih banyak lagi<br />

regulasi-regulasi daerah yang bertentangan<br />

dengan hak asasi manusia namun hingga saat ini<br />

belum juga diamandemen, dan pada masa era<br />

otonomi ini justru menjadi senjata pemerintah<br />

propinsi dan kabupaten/kota untuk<br />

menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi,<br />

sosial dan budaya penduduknya sendiri dengan<br />

melancarkan praktik-praktik penggusuran<br />

paksa penduduk asli, petani, nelayan, dan<br />

komunitas urban di sebagian besar wilayah Indonesia.<br />

2. Ketiadaan Institusi perlindungan Hak<br />

asasi Manusia<br />

Reorganisasi struktur Pemerintah daerah<br />

pada masa persiapan dan pelaksanaan Otonomi<br />

daerah tidak dibarengi dengan pembangunan<br />

institusi perlindungan dan penegakan hak asasi<br />

manusia di daerah. Praktis dari pengamatan<br />

program reorganisasi struktur pemerintahan<br />

hanya berkutat pada pembenahan garis hirarki<br />

dan koordinasi antar instansi-instansi yang dulu<br />

tidak berada di bawah Pemerintah daerah.<br />

Berdasarkan pengamatan ELSAM, mayoritas<br />

propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia tidak<br />

memiliki institusi perlindungan hak asasi<br />

manusia. Hanya dua propinsi di Indonesia yang<br />

ditemukan memiliki Kantor Perwakilan<br />

Komnas HAM, dan kantor-kantor itu pun tidak<br />

mendapatkan dukungan politik dan dana yang<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

45


cukup dari pemerintah daerahnya. Dari<br />

indikator tersebut nampak jelas bahwa<br />

reorganisasi struktur pemerintahan daerah<br />

memang tidak diorientasikan kepada upaya<br />

pembangunan dan perlindungan hak asasi<br />

manusia di daerah. Dan akibatnya, banyak<br />

korban hak asasi manusia di daerah yang diam,<br />

karena tidak mengetahui ke mana mereka harus<br />

melapor jika hak-haknya terlanggar. Ketiadan<br />

institusi perlindungan hak asasi manusia ini<br />

semakin diperburuk dengan minimnya<br />

penyelenggaraan program-program pelatihan<br />

hak asasi manusia bagi aparatur daerah.<br />

Pembuatan buku saku hak asasi manusia bagi<br />

para pegawai Pemerintah daerah pun sampai<br />

laporan ini ditulis tidak pernah ditemukan.<br />

3. Penguatan Institusi Kekerasan oleh<br />

Pemerintah Daerah<br />

Hal penting lainnya adalah pelaksanan<br />

otonomi daerah turut berkontribusi atas<br />

menguatnya satuan-satuan semi-militer, di<br />

setiap Pemerintah daerah. Adalah Satuan Polisi<br />

Pamong Praja (Satpol PP) yang dalam lima<br />

tahun terakhir menjadi institusi sipil yang oleh<br />

pemerintah daerah didorong menjadi satuan<br />

semi-militer. Pasal 120 undang-undang<br />

Otonomi Daerah tentang keberadaan Satpol PP<br />

dan meningkatnya perlawanan penduduk<br />

terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh<br />

Pemerintah daerah menjadi<br />

dalih pembenaran untuk<br />

membangun satuan-satuan<br />

keamanan sipil di jajaran<br />

pemerintahannya menjadi<br />

satuan-satuan semi-militer.<br />

Dengan memekarkan jumlah<br />

anggotanya, Satpol PP – dulu<br />

jumlah personilnya tidak lebih<br />

dari 40-an orang – menjadi<br />

ratusan orang pemerintah<br />

daerah mencoba membangun<br />

sebuah pasukan sipil terlatih<br />

yang bisa digunakan untuk<br />

mengamankan regulasi daerah<br />

yang mereka telurkan.<br />

Pemekaran ini pun kemudian<br />

berlanjut dengan pemberian<br />

pelatihan kemiliteran dan<br />

penanganan huru-hara kepada<br />

para personilnya dan pemberian alat-alat<br />

penanganan huru-hara seperti tameng dan<br />

pentungan dalam operasi-operasi penertiban.<br />

Dengan mengundang Polri atau TNI,<br />

pemerintah daerah meminta dua institusi<br />

kekerasan tersebut untuk memberikan pelatihan<br />

militer dan penanganan huru-hara kepada unitunit<br />

Satpol PP di jajarannnya. Bahkan di<br />

beberapa daerah, sejumlah pemerintah propinsi<br />

dan pemerintah kabupaten/kota diketahui<br />

mempersenjatai satuan-satuan Satpol PP<br />

mereka dengan senjata api dengan alasan<br />

menjaga keselamatan anggotanya dari amukan<br />

penduduk lokal dalam pelaksanaan penertiban. 7<br />

Dan sejak saat itu pula praktik-praktik<br />

penertiban oleh pemerintah daerah kerap<br />

diwarnai oleh tindakan brutal dan kejam oleh<br />

Satpol PP. 8<br />

Di samping mempergunakan Satpol PP untuk<br />

melakukan eksekusi penggusuran dan penertiban,<br />

satuan ini juga digunakan oleh pejabat daerah<br />

untuk menghadapi kritik-kritik yang dilancarkan<br />

oleh penduduk lokal maupun aksi-aksi<br />

demonstrasi para korban penggusuran atau<br />

penertiban. Di jawa Barat Satpol PP digunakan<br />

untuk menghadapi kritik-kritik aktivis prodemokrasi<br />

terhadap kebijakan atau perilaku<br />

otoriter dari para pejabat pemerintah. 9 Di Jakarta<br />

Satpol PP, Bantuan Polisi (Banpol), digunakan<br />

untuk menjadi satuan pengamanan demonstrasi<br />

46 Bagian IV


pedagang kakilima di Kantor Walikota Jakarta<br />

Pusat yang meminta pengembalian barang<br />

dagangan mereka yang digaruk Satpol PP dalam<br />

aksi penertiban sebelumnya. 10 Di Purwokerto,<br />

Satpol PP dilibatkan dalam pengamanan<br />

demonstrasi mahasiswa dan pedagang Pasar<br />

Wage. Dalam peristiwa tersebut polisi dan Satpol<br />

PP membubarkan demonstrasi dengan brutal 11 .<br />

PERISTIWA-PERISTIWA PENGUSIRAN<br />

PAKSA PERIODE 1999-<strong>2004</strong><br />

Besarnya produksi regulasi daerah mengenai<br />

pemacuan ekonomi dan pembangunan daerah<br />

serta pembenaran pembentukan satuan-satuan<br />

semi-militer oleh Pemerintah daerah<br />

selanjutnya menjadi penyebab praktik-praktik<br />

pengusiran paksa penduduk asli, petani,<br />

nelayan, dan komunitas urban di seluruh<br />

propinsi. Praktik-praktik pengusiran ini pun<br />

jarang memperhatikan norma-norma hukum<br />

hak asasi manusia nasional dan internasional.<br />

Hal ini semakin diperparah dengan tindakan<br />

brutal dan tidak manusiawi yang ditunjukkan<br />

oleh Satpol PP yang dibantu oleh Polri, TNI<br />

maupun kelompok-kelompok pengaman<br />

swasta.<br />

Dalam lima tahun terakhir, setidaknya lebih<br />

dari 100 kasus pengusiran paksa yang disertai<br />

dengan tindakan brutal terjadi di sejumlah<br />

propinsi dengan latar belakang yang berbedabeda,<br />

seperti penertiban kawasan hutang<br />

lindung, areal pemukiman kumuh dan<br />

kawasan perdagangan liar, serta penertiban<br />

sejumlah angkutan umum yang dianggap<br />

sebagai penyebab terjadinya kemacetan lalu<br />

lintas, maupun dalam rangka pemberian<br />

sumber-sumber ekonomi daerah kepada<br />

pihak swasta. Institusi-institusi dominan yang<br />

terlibat dalam peristiwa-peristiwa ini selain<br />

masih melibatkan Polisi dan TNI, Satpol PP,<br />

Polisi Khusus Kehutanan atau Jagawana,<br />

Banpol dan satuan-satuan pengaman swasta.<br />

Berikut ini adalah ilustrasi sejumlah kasuskasus<br />

pengusiran paksa besar di berbagai<br />

daerah sepanjang 1999-<strong>2004</strong>.<br />

22 November <strong>2004</strong>, polisi membubarkan<br />

aksi unjuk rasa menolak uji coba<br />

pengoperasian TPST Bojong oleh penduduk<br />

Bojonggede secara paksa. Dalam peristiwa<br />

tersebut, 5 orang mengalami luka akibat<br />

tembakan polisi yang bertugas mengamankan<br />

TPST. Setelah bentrokan, polisi menyisir<br />

rumah-rumah dan menangkap 35 warga<br />

Bojong. Selain itu, dilaporkan pula 133 orang<br />

penduduk bojong hilang dalam peristiwa<br />

tersebut.<br />

Mei 2003 di Kecamatan Reok, Kabupaten<br />

Manggarai, aparat Kepolisian Manggarai<br />

dibantu oleh Brimob Polda NTT, Polsek Reok,<br />

dan Koramil Reok memaksa penduduk asli<br />

Gendang Mahima mengosongan lahan di<br />

kawasan Tanah Erpacht. Dalam aksi tersebut<br />

polisi dan militer melakukan pembakaran dua<br />

buah rumah dan tanaman miliki penduduk.<br />

Dalam peristiwa tersebut, Polisi juga dilaporkan<br />

menganiaya puluhan penduduk asli dan<br />

menangkap 73 orang penduduk asli Gendang<br />

Mahima, 56 laki-laki dan 16 perempuan,<br />

termasuk 1 orang ibu dengan bayinya yang<br />

sedang menyusui. Selanjutnya, penduduk asli<br />

yang ditangkap dipenjarakan di Rutan Kelas IIB<br />

Langgo Ruteng dengan tuduhan penjarahan.<br />

21 Juli 2003 aparat Polres Bulukumba dan<br />

didukung oleh personil Polda Sulawesi Selatan,<br />

Brimob Polwil Bone, Polres Sinjai, dan Polres<br />

Bantaeng melakukan penyerangan terhadap<br />

petani penduduk asli Kajang dan aktivis di<br />

wilayah Kabupaten Bulukumba Sulawesi<br />

Selatan. Dilaporkan 2 orang tewas dalam<br />

peristiwa tersebut sebanyak 28 orang ditangkap,<br />

serta 24 orang aktivis dan petani dimasukan<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

47


dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) aparat<br />

kepolisian.<br />

26 Agustus 2003, ribuan aparat gabungan<br />

dari Polres Jakarta Barat, Banpol, Trantib, serta<br />

Linmas melakukan penggusuran terhadap<br />

rakyat miskin. di Jembatan Besi, Pelbak,<br />

Tambora, Jakarta Barat. Penggusuran ini<br />

dilakukan karena kawasan tersebut dinyatakan<br />

kawasan pemukiman liar oleh Pemerintah Kota<br />

Jakarta Barat. Dilaporkan sekitar 10.000 jiwa<br />

kehilangan tempat tinggal dalam peristiwa<br />

tersebut. Sebagai catatan bahwa aksi<br />

penggusuran di Jakarta oleh Pemerintah<br />

Propinsi DKI Jakarta sudah berlangsung sejak<br />

2001.<br />

16 Oktober 2003, puluhan polisi atas<br />

perintah Pengadilan Negeri Makassar, menyusul<br />

putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi<br />

warga Karuwisi menggusur rumah-rumah<br />

rakyat miskin di Kelurahan Karuwisi,<br />

Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar.<br />

Sebanyak 20 rumah dihancurkan sehingga<br />

mengakibatkan kurang lebih 100 jiwa<br />

kehilangan tempat tinggal. Pihak Harmunis<br />

sendiri sebagai pihak yang dimenangkan oleh<br />

MA dan sejak lama mendapat dukungan dari PT<br />

Haji Kalla dilaporkan sudah mencoba mengusir<br />

penduduk dari wilayah tersebut sejak 1996.<br />

November 2001, di Banten, sebanyak 49 orang<br />

petani Desa Cibaliung Kecamatan<br />

Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, ditangkap<br />

dengan tuduhan melakukan penebangan dan<br />

pencurian kayu miliki milik Perhutani.<br />

Penangkapan ini seiring dengan terjadinya<br />

penyerbuan polisi ke desa tersebut sehari<br />

sebelumnya.<br />

Tahun 2000, Di Kendari, Sulawesi Tenggara;<br />

SK Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 318<br />

Tahun 2000 yg isinya tentang Pembentukan Tim<br />

Penanggulangan Perambahan atau Gangguan<br />

kawasan TNRAW dan Kawasan Hutan<br />

sekitarnya, digunakan sebagai landasan<br />

tindakan pembongkaran dan penghancuran<br />

rumah-rumah masyarakat adat Tobu HukaEa-<br />

LaEa, serta upaya pengusiran (pemindahan<br />

paksa) mereka dari kampung mereka. 12 Akibat<br />

dari itu, ratusan penduduk kehilangan tempat<br />

tinggal.<br />

Juni 2000, kepolisian Barito Utara dan<br />

Brimob dengan dukungan dari pejabat<br />

Pemerintah daerah Tk II Barito Utara dan Pam<br />

swakarsa yang dibentuk oleh PT. IMK kembali<br />

memaksa penduduk Desa Tengkanong dan<br />

Permata Kecamatan Permata Intan, Kabupaten<br />

Barito Utara, Kalimantan Tengah untuk<br />

meninggalkan pemukiman mereka.<br />

Penggusuran tersebut dilakukan dengan caracara<br />

brutal, di mana warga dipaksa keluar<br />

dengan todongan senjata pasukan Brimob.<br />

Dalam peristiwa tersebut, 15 orang yang<br />

menolak mengosongkan areal tersebut<br />

kemudian ditangkap dan ditahan di Mapolres<br />

Barito Utara.<br />

Akibat dari peristiwa-peristiwa tersebut,<br />

sejumlah hak-hak penduduk lokal seperti hak<br />

atas perumahan dan pekerjaan menjadi hilang.<br />

Diperkirakan ratusan ribu orang kehilangan<br />

tempat tinggal dan pekerjaan akibat praktikpraktik<br />

penggusuran. Selain itu, hilangnya hak<br />

atas pekerjaan dan perumahan ini berimbas<br />

pada hilangnya hak atas kesehatan dan<br />

pendidikan bagi anak-anak mereka. Di samping<br />

pelanggaran atas hak-hak tersebut, ratusan orang<br />

kehilangan hak sipil dan politiknya karena<br />

praktik penggusuran selalu diwarnai dengan<br />

tindak kekerasan.<br />

PENGINGKARAN PEMERINTAH<br />

DAERAH ATAS KEJAHATAN HAK ASASI<br />

MANUSIA<br />

Kecenderungan saat ini, pemerintah propinsi<br />

dan pemerintah kabupaten/kota kerap<br />

mengingkari keterlibatan mereka dalam<br />

pelanggaran hak asasi manusia. Dengan<br />

menyatakan bahwa kekerasan dan kejahatan hak<br />

asasi manusia tidak benar – mereka kerap<br />

48 Bagian IV


mengatakan proses penggusuran sudah sesuai<br />

dengan prosedur dan regulasi daerah – mereka<br />

balik mengecam pihak-pihak yang menuduh<br />

mereka terlibat dalam kejahatan tersebut.<br />

Bahkan tak jarang mereka mengabaikan<br />

kecaman dari pemerintah pusat atas perilaku<br />

brutal mereka dalam praktik-praktik<br />

penggusuran dan penanganan konflik agraria<br />

atau sumber kekayaan alam lainnya. Beberapa<br />

contoh kasus-kasus pengingkaran mereka ini<br />

adalah kasus pencemaran lingkungan PT<br />

Newmount Mining di Sulawesi Utara yang<br />

berakibat terlanggarnya hak atas kesehatan<br />

penduduk lokal, di mana Pemerintah Propinsi<br />

Sulawesi Utara menolak pengumuman<br />

pemerintah pusat tentang adanya pencemaran<br />

di Teluk Buyat. 13 Penolakan ini mereka lakukan<br />

dengan membuat penelitian tandingan yang<br />

melibatkan Universitas Sam Ratulangi dan Universitas<br />

Manado berikut para ahlinya. Di<br />

Sulawesi Selatan, Pemerintah daerah menolak<br />

terlibat dalam aksi kekerasan polisi terhadap<br />

penduduk lokal dalam aksi demonstrasi<br />

menuntut pengembalian tanah-tanah adat yang<br />

dibeli dengan tidak wajar oleh PT Lonsum,<br />

dengan alasan penduduklah yang melakukan<br />

aksi pengrusakan terhadap fasilitas PT Lonsum,<br />

Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan sehingga<br />

tepat jika dikerahkan pasukan Brimob ke<br />

wilayah tersebut. 14 Di Jakarta, pemerintah<br />

propinsi menolak jika praktik-praktik<br />

penggusuran yang mereka lakukan telah<br />

melanggar hak asasi manusia. Dengan<br />

menyebutkan bahwa pelaksanaan penggusuran<br />

adalah bagian dari upaya mengurangi jumlah<br />

penduduk di Jakarta, Gubernur DKI Jakarta,<br />

Sutiyoso, menolak jika penertiban kawasan liar<br />

telah menyalahi prosedur hukum. 15<br />

PENGUSIRAN PAKSA: KEJAHATAN<br />

BERAT HAK ASASI MANUSIA OLEH<br />

PEMERINTAH DAERAH<br />

Hukum hak asasi manusia internasional<br />

dengan tegas memasukkan tindakan pengusiran<br />

paksa sebagai kejahatan hak asasi manusia<br />

berat. 16 Masuknya pengusiran paksa ke dalam<br />

kategori kejahatan berat karena tindakan itu<br />

selalu identik dengan kesengajaan dengan alasan<br />

penataan kota, atau pembangunan sejumlah<br />

fasilitas bisnis besar. 17 Di samping itu akibat<br />

yang ditimbulkan tindakan ini menyebabkan<br />

akibat-akibat yang serius bagi para korbannya.<br />

Akibat-akibat itu, antara lain: hilangnya property<br />

pribadi, kelompok atau suku, menyebabkan<br />

penderitaan secara fisik karena kerap<br />

menggunakan kekerasan. Oleh karena itu<br />

dalam instrumen hak ekonomi sosial budaya<br />

dan diperkuat oleh berbagai ketentuan hukum<br />

internasional lainnya, tindakan ini dinyatakan<br />

sebagai kejahatan berat hak asasi manusia. 18<br />

Sementara itu kategori tindakan yang bisa<br />

dimasukkan dalam kejahatan ini adalah<br />

penempatan kembali, pengusiran dari suatu<br />

tempat, pemindahan ke lokasi baru,<br />

pemusnahan etnis, penertiban pemukiman<br />

penduduk atau lokasi perdangan yang dianggap<br />

liar, transmigrasi paksa dan penataan ulang<br />

wilayah sewenang-wenang. 19 Dalam beberapa<br />

kasus, pengusiran paksa dibenarkan oleh PBB,<br />

namun untuk melakukan itu ada sejumlah<br />

prasyarat yang harus dipenuhi oleh negara atau<br />

non-negara ketika melakukan pengusiran<br />

paksa. 20<br />

Melihat peristiwa pengusiran penduduk oleh<br />

pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dalam<br />

menjalankan pembangunan di daerah<br />

menunjukkan bahwa Pemerintah daerah<br />

terlibat dalam kejahatan berat hak asasi<br />

manusia. Sejumlah peristiwa penggusuran atau<br />

pengusiran penduduk lokal dalam kerangka<br />

pembangunan pusat-pusat bisnis atau<br />

pengembalian lahan-lahan kepada perusahaan<br />

yang diberikan kuasa penguasaan dan<br />

pengelolaan jelas-jelas jauh dari ketentuanketentuan<br />

yang tercantum dalam hukum hak<br />

asasi manusia internasional. Hampir dalam<br />

praktik pengusiran di seluruh daerah, para<br />

pelakunya tidak memenuhi standar-standar<br />

hukum hak asasi manusia internasional tentang<br />

prosedur pengusiran paksa.<br />

1. Pengumuman yang Mendadak<br />

Sekalipun para pejabat di Pemerintah daerah<br />

mengaku telah mengumumkan rencana<br />

penggusuran di suatu tempat, namun hampir<br />

kebanyakan korban penggusuran selalu<br />

mengatakan sebaliknya, yakni Pemerintah<br />

daerah jarang sekali memberikan pengumuman<br />

tentang rencana pengusiran kepada publik jauhjauh<br />

hari sebelumnya. Kebanyakan penguman<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

49


itu diumumkan seminggu sebelum eksekusi.<br />

Bahkan sebagian korban mengaku bahwa surat<br />

edaran yang disebutkan pemerintah sebagai<br />

pengumuman, tidak bisa dianggap<br />

pengumuman karena lebih bernada ancaman. 21<br />

Di Jakarta, para korban penggusuran mengaku<br />

hanya diberikan waktu sekitar dua minggu oleh<br />

pemerintah untuk mengosongkan tempat<br />

tinggalnya. 22 Hal senada juga disebutkan oleh<br />

warga Penambungan, Makasar, di mana mereka<br />

mengaku tidak menerima pengumuman tertulis<br />

dari pemerintah daerah tentang rencana<br />

penggusuran kawasan pemukiman mereka. 23 Di<br />

Salatiga, para pedagang kakilima di sepanjang<br />

Jalan Sudirman-Salatiga mengaku tidak<br />

diberitahu bahwa wilayahnya akan digusur.<br />

Ketika akan berjualan di daerah tersebut, para<br />

pedagang tidak menjumpai gerobak-gerobak<br />

dagangan milik mereka. Setelah diusut, ternyata<br />

Satpol PP Pemerintah Kota Salatiga yang telah<br />

membawa gerobak dagangan milik mereka.<br />

2. Ketidakmauan Pemerintah Daerah<br />

Untuk Menggelar Debat Publik<br />

Demikian pula dengan kewajiban membuka<br />

ruang untuk memperdebatkan rencana tersebut<br />

ke publik, nyaris tidak terjadi. Pemerintah<br />

daerah selalu bersikukuh bahwa urusan<br />

penggusuran adalah urusan pemerintah dan<br />

bukan penduduk. Sehingga pendapat miring<br />

banyak pihak tentang penggusuran kerap<br />

diabaikan. Dan tak jarang pula Pemerintah<br />

daerah balik menuding pihak-pihak yang anti<br />

penggusuran sebagai provokator atau<br />

menunggangi. Di Jakarta, dalam menyikapi<br />

pendapat kritis masyarakat atas tindakan<br />

penggusuran yang dilakukannya, pemerintah<br />

DKI cenderung mengabaikannya. 24 Bahkan<br />

Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan arogan<br />

menafikkan ketentuan ini dalam kasus-kasus<br />

penggusuran atas sejumlah kawasan ekonomi<br />

dan pemukiman yang dinyatakan liar. 25<br />

3. Ketidakadaan Proses Negosiasi<br />

Tidak berbeda dengan ketentuan<br />

sebelumnya, ketentuan untuk melakukan<br />

negosiasi dengan pihak-pihak yang akan diusir<br />

hingga mencapai kesepakatan, praktis juga<br />

diabaikan. Proses negosiasi yang disebut oleh<br />

pemerintah telah dijalankan sebenarnya bukan<br />

negosiasi melainkan memaksa penduduk untuk<br />

menerima harga tanah atau dana kerohiman<br />

semau mereka. Di Jakarta, para korban gusuran<br />

mengaku bahwa tidak ada proses negosiasi, yang<br />

ada pemberitahuan warga akan diberikan dana<br />

kompensasi yang sudah ditentukan jika mau<br />

pindah. Di Bekasi, para korban mengaku bahwa<br />

mereka tidak diajak negosiasi ketika petugas dari<br />

pemerintah kota Bekasi membongkar tempat<br />

berdagang mereka. Dengan menuturkan bahwa<br />

mereka sudah membayar sewa sebesar 500 ribu<br />

rupiah per bulan mereka heran dengan tindakan<br />

pembongkaran sepihak dari Pemerintah Kota<br />

Bekasi. 26 Di Yogyakarta, meski para pedagang<br />

kakilima di kawasan Abadi, Samirono, menolak<br />

untuk digusur Pemerintah Propinsi DIY tetap<br />

melakukan penggusuran atas kawasan<br />

tersebut. 27<br />

4. Pendeknya Pemberian Tenggat Waktu<br />

Selanjutnya ketentuan untuk memberikan<br />

tenggat waktu minimal enam bulan sebelum<br />

eksekusi, secara umum tidak pernah dijalankan.<br />

Praktik-praktik pengusiran selalu terjadi dua<br />

minggu setelah pernyataan resmi dari pejabat<br />

setempat. Bahkan di beberapa tempat proses<br />

pengusiran ini terjadi ketika si pemilik sedang<br />

pulang ke desa atau tidak ada di tempat. 28 Di<br />

Jakarta Utara, warga Kampung Nelayan di<br />

bantaran Kali Adem, Penjaringan, Jakarta Utara<br />

mengaku bahwa Pemerintah Kota Jakarta Utara<br />

tidak memberikan tenggat waktu yang memadai<br />

bagi mereka sebelum eksekusi penggusuran di<br />

wilayah mereka. Melalui Surat Edaran Camat<br />

Penjaringan Nomor 259/1003 yang terbit 19<br />

September 2000, dan dilanjutkan dengan surat<br />

pemberitahuan Walikota Jakarta Utara Nomor<br />

1622/077.7 tentang Pembongkaran, Pemerintah<br />

Kota Jakarta Utara memberi tenggat waktu 3 x<br />

24 Jam bagi penduduk untuk membongkar<br />

rumah-rumah mereka yang dinyatakan sebagai<br />

rumah-rumah liar. 29<br />

5. Kompensasi yang Tidak Memadai<br />

Pemberian kompensasi pun jauh dari nilai<br />

ekonomi yang berlaku saat kejadian dan tidak<br />

sebanding dengan kekayaan yang dimiliki oleh<br />

para korban sebelumnya. 30 Di Tanjung Priok,<br />

sejumlah warga Lorong W Barat mengaku<br />

50 Bagian IV


ahwa Pemerintah daerah tidak memberikan<br />

dana kompensasi yang memadai. 31 Dengan<br />

hanya menyanggupi akan membayar uang<br />

kerohiman 500 ribu rupiah, Pemerintah Kota<br />

Jakarta Utara meminta warga untuk pindah.<br />

Bahkan untuk kasus-kasus penertiban para<br />

pedagang kakilima, hampir tidak ada<br />

kompensasi untuk mereka. Di Pulogadung,<br />

Jakarta Timur, para penduduk di wilayah<br />

tersebut mengaku hanya menerima uang 300<br />

ribu rupiah sebagai bentuk kompensasi dari<br />

Pemerintah Kota Jakarta Timur. Tak heran jika<br />

kemudian para korban ini banyak yang tidak<br />

mampu menyewa tempat tinggal baru. Bahkan<br />

dalam kasus-kasus penertiban pedagang<br />

kakilima, sebagian besar Pemerintah daerah<br />

jarang memberikan kompensasi, baik dalam<br />

bentuk uang ataupun lokasi baru.<br />

KESIMPULAN<br />

Penerapan desentralisasi daerah dalam<br />

kerangka otonomi daerah di Indonesia pada<br />

akhirnya justru melahirkan tindak kejahatan<br />

pelanggaran hak asasi manusia di tingkat<br />

daerah. Kebijakan-kebijakan Pemerintah daerah<br />

tidaklah berbeda dengan apa yang pernah<br />

dilakukan oleh pemerintah pusat pada masa<br />

lalu, yakni kental dengan penggunaan praktikpraktik<br />

kekerasan dalam proses pembangunan.<br />

Alasan memacu laju investasi yakni dengan<br />

mengundang investor ke daerah dan<br />

menggenjot pembangunan infrastruktur<br />

pemerintahan yang otonom kemudian menjadi<br />

tedeng aling-aling bagi pemerintah daerah untuk<br />

melakukan praktik-praktik pelanggaran hak<br />

asasi manusia di daerahnya sendiri. Otonomi<br />

daerah pun gagal membangun mekanisme perlindungan<br />

dan penegakan pelanggaran hak asasi<br />

manusia yang seharusnya turut dilakukan ketika<br />

membangun institusi dan struktur<br />

pemerintahan otonom. Akibat dari ini,<br />

penduduk lokal kembali harus menjadi bulanbulanan<br />

tindak kekerasan dan pelanggaran hak<br />

asasi manusia aparatur pemerintah propinsi dan<br />

kabupaten/kota.<br />

CATATAN:<br />

1<br />

Lih., Otonomi Daerah dan Iklim Usaha: Hasil Temuan<br />

Semeru, 3 April 2001.<br />

2<br />

Beberapa propinsi yang membelah diri antara lain:<br />

Jawa Barat, Riau, dan Sulawesi Utara, Maluku.<br />

Sementara pemekaran Kabupaten dan Kota hampir<br />

terjadi di seluruh propinsi di Indonesia.<br />

3<br />

Op.cit., Otonomi Daerah dan Iklim Usaha, 3 April<br />

2001.<br />

4<br />

Farid, Hilmar, Laporan Militerisasi di Indonesia, Juli<br />

<strong>2004</strong>, tidak diterbitkan untuk umum.<br />

5<br />

Hampir setiap propinsi pada awal-awal penerapan<br />

otonomi melakukan serangkaian studi banding ke luar<br />

negeri. Beberapa di antara mereka ini mendapatkan<br />

kritik yang luar biasa dari rakyatnya sendiri. Daerahdaerah<br />

itu antara lain, Jakarta, Kalbar, Kaltim, Riau, dan<br />

Padang.<br />

6<br />

Op.Cit., Otonomi Daerah dan Iklim Usaha, 3 April<br />

2001: Hampir 200 Perda diproduksi oleh Pemprop,<br />

lebih banyak mengatur tentang Pajak, Retribusi dan<br />

Pungutan Lain. Semua ini ditujukan agar dapat<br />

menangkap keuntungan dari seluruh potensi kekayaan<br />

lokal.<br />

7<br />

lih., “ Satpol PP Nganjuk Pegang Pistol,” Surya<br />

Online, 20 April <strong>2004</strong>; “Satpol PP Kota Palembang<br />

Dapat 15 Pistol,” Sinar Pagi, 9 Januari <strong>2004</strong>; “Diprotes<br />

Satpol PP Berpistol,” Jawapost.com, 15 Mei <strong>2004</strong>;<br />

8<br />

Dokumentasi ELSAM periode 1999-<strong>2004</strong><br />

menunjukkan hampir seluruh pemerintah daerah, baik<br />

propinsi maupun daerah, menggunakan Satpol PP<br />

dalam eksekusi-eksekusi penertiban yang sarat dengan<br />

tindakan kejam dan tidak manusiawi.<br />

9<br />

Di Jawa Barat, Satpol PP Kota Bandung membakar<br />

karya seni instalasi seniman Tisna Sanjaya tanpa<br />

alasan yang jelas. Karya-karya Tisna yang dibakar<br />

adalah karyat-karya yang bertema kritik sosial. Lih.<br />

“Tisna Jaya Melapor ke Polisi, Kasus Pembakaran<br />

Diselesaikan Secara Hukum,”<br />

Pikiran Rakyat Online, 11 Februari <strong>2004</strong>.<br />

10<br />

“Pedagang Kakilima Bentrok Dengan Petugas,<br />

Diduga Dimotori oleh Preman,” KCM, 19 April 2001.<br />

11<br />

“ Mahasiswa Tuntut Bupati Mundur,” Suara<br />

Merdeka, 29 Desember <strong>2004</strong><br />

12<br />

SK Gubernur tersebut menjelaskan institusi-intisusi<br />

daerah yang terlibat dalam operasi penertiban<br />

tersebut. Insitusi-institusi tersebut antara lain:<br />

Pembantu Gubernur Untuk Wilayah Kepuluan (selaku<br />

Ketua Tim), Kapolda Sultra, Danrem 143/HO, Bupati<br />

Buton, Bupati Kendari, Kakanwil Dephutbun Prop.<br />

Sultra, Ka. Dishut Prop. Sultra, Polisi Pamong Praja<br />

Pemerintah daerah Tk I Sultra, Brimob Polda Sultra,<br />

Polisi Hutan Janggawana TNRAW, dan Polres.<br />

13<br />

Presentasi Suara Nurani dalam pertemuan<br />

konsultasi mitra EED di Bogor, 12-15 Desember <strong>2004</strong>.<br />

14<br />

Wawancara dengan aktivis Walhi, di Jakarta 2003<br />

15<br />

Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso memastikan, pada<br />

<strong>2004</strong> penggusuran tetap terus dilakukan. “Penduduk<br />

Jakarta sudah over capacity. Jika tidak dilakukan<br />

penertiban, akan lebih parah,” kata Sutiyoso, di Balai<br />

Kota Jakarta. Lih., “<strong>2004</strong>, Penggusuran di Jakarta Tetap<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

51


Berjalan,” Tempo Interaktif, 19 Desember <strong>2004</strong>.<br />

16<br />

Forced Eviction Violation of <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong>, Global<br />

Survey on Forced Eviction No.8, COHRE June 2002.,<br />

Hlm.8<br />

17<br />

Ibid., Dari studi kasus-kasus pengusiran paksa di<br />

dunia, hampir seluruh praktik-praktik pengusiran<br />

paksa selalu mendapat legitmasi dari otoritas lokal<br />

dalam bentuk regulasi nasional, propinsi dan<br />

kabupaten.<br />

18<br />

Beberapa Instrumen dan Resolusi PBB yang<br />

menegaskan tentang kasus-kasus pengusiran paksa<br />

adalah kejahatan berat hak asasi manusia adalah sbb:<br />

Pasal 11 ayat 1 Konvensi Internasional Hak Ekonomi<br />

Sosial Budaya; Resolusi UN Commission on <strong>Human</strong><br />

<strong>Rights</strong> No 73/1993 mengenai penegasan bahwa di<br />

manapun pengusiran paksa terjadi dinyatakan sebagai<br />

Kejahatan Berat Hak Asasi Manusia. Sub-UN Commission<br />

on The Promotion and Protection of <strong>Human</strong><br />

<strong>Rights</strong> mengenai No 9/1998 tentang Forced Eviction,<br />

dan Resolusi No 26/1998 Tentang Restitusi perumahan<br />

dan property dalam konteks pemulangan IDPs dan<br />

Pengungsi.<br />

19<br />

Leckie, Scott, When Push Come to Shove, Forced<br />

Eviction and <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong>., Habitat International<br />

Coalition, 1995, hlm. 11<br />

20<br />

Ibid. Leckie, Scott, hlm. 92-93: ketentuan yang harus<br />

dipenuhi oleh negara atau non-negara ketika<br />

melakukan pengusiran paksa adalah: rencana<br />

pengusiran harus dibuat oleh publik dan harus<br />

diperdebatkan kepada publik juga; menggunakan<br />

Negosiasi dengan pihak-pihak yang akan diusir, Jika<br />

kesepakatan gagal dicapai pihak negara atau nonnegara<br />

harus mendorong proses negosiasi hingga<br />

mencapai kesepakatan, memberikan tenggat waktu<br />

minimal enam bulan sebelum eksekusi, memberikan<br />

kompensasi yang relevan dan memadai dan minimal<br />

sebanding dengan harta kekayaan yang ditinggalkan.<br />

21<br />

Wawancara ELSAM dengan korban gusuran di<br />

Kantor Komnas HAM Jakarta, Juli 2003<br />

22<br />

Ibid.<br />

pedagang kakilima di pelabuhan Makassar awal<br />

Desember <strong>2004</strong> terjadi ketika para pedagang sedang<br />

keluar mencari makan siang.<br />

29<br />

“Warga Kampung Nelayan Ketakutan, “ Kompas, 15<br />

Oktober 2003.<br />

30<br />

Kompensasi selama ini tidak ada dalam proses ganti<br />

rugi. Di Jakarta, para penduduk yang tinggal di<br />

kawasan yang disebut sebagai pemukiman liar oleh<br />

pemerintah daerah hanya mendapat uang kerohiman<br />

yang jumlahnya tidak akan bisa untuk mengontrak<br />

rumah baru apalagi sampai membelinya.<br />

31<br />

“Warga Lorong W Barat Tanjung Priok Tolak<br />

Penggusuran,” Tempo Interaktif, 25 November <strong>2004</strong>.<br />

23<br />

Lih., Kronologis Pembongkaran Rumah dan Aksi<br />

Warga Pannambungan-Lette, di http://<br />

uplink.urbanpoor.or.id.<br />

24<br />

Sepanjang 2001-<strong>2004</strong>, banyak sekali pengamat<br />

ekonomi, sosial dan politik yang mengkritik langkah<br />

penggusuran, namun demikian kritikan ini tidak<br />

ditindaklanjuti oleh pemprop DKI dengan menggelar<br />

dialog publik untuk mendapatkan persetujuan publik<br />

atas langkah-langkahnya.<br />

25<br />

Lih., “Pemerintah daerah Jakarta Pusat Akan Gusur<br />

Kakilima,” Tempo Interaktif, 22 November <strong>2004</strong><br />

26<br />

“Penertiban Pedagang Kakilima di Bekasi Diwarnai<br />

Ketegangan,” Kompas, 4 Mei 2002<br />

27<br />

“PKL Samirono Kembali Gelar Aksi,” Suara Merdeka,<br />

19 April <strong>2004</strong><br />

28<br />

Di Jakarta, sejumlah aksi-aksi pengusiran pada akhir<br />

2001 dan 2001 kerap terjadi ketika pemilik sedang<br />

pulang kampung untuk merayakan lebaran (hari raya<br />

besar Islam). Sementar di Makassar, pengusiran<br />

52 Bagian IV


BAGIAN KELIMA<br />

Tak Ada Satu pun Tempat Aman Untuk Kami:<br />

Kasus-kasus Penyiksaan dan Ill-Treatment<br />

terhadap Perempuan Periode 1999-<strong>2004</strong><br />

PENGANTAR<br />

Indonesia telah meratifikasi Konvensi<br />

penghapusan segela bentuk diskriminasi<br />

terhadap perempuan. Namun demikian<br />

ratifikasi tersebut tidak serta merta membuat<br />

perempuan dapat menikmati atas hak-haknya<br />

yang dijamin dalam instrumen tersebut.<br />

Berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan<br />

masih tetap berlangsung dan kecenderungannya<br />

sudah menjadi endemik. Kegagalan untuk<br />

menghancurkan sistem militeristik yang<br />

menjunjung tinggi kelaki-lakian sebagai sesuatu<br />

yang unggul dalam tubuh pemerintahan adalah<br />

faktor utama penyebab tindak kekerasan<br />

terhadap perempuan di Indonesia. Aparatur<br />

negara, institusi adat, dan bersama-sama<br />

keluarga melanggengkan tindak kekerasan<br />

terhadap manusia yang berjenis kelamin<br />

perempuan. Di rumah, pabrik, sekolah, rumah<br />

sakit, pasar, kantor pemerintah, dan kantor<br />

polisi sekalipun, bukanlah tempat yang aman<br />

bagi perempuan. Di mana pun ia berdiri<br />

ancaman tindak kekerasan terhadap dirinya<br />

berpeluang sangat besar, karena mereka adalah<br />

seorang perempuan.<br />

Hampir ribuan perempuan di Indonesia<br />

dilaporkan telah menjadi tindak kejahatan<br />

penyiksaan dan ill treatment. Penyiksaan ini<br />

dilakukan sebagai salah satu cara untuk<br />

mengontrol kehidupan perempuan ataupun<br />

bentuk hukuman atas kesalahan mereka atas<br />

nilai-nilai yang berkembang di keluarga atau<br />

komunitas. Di wilayah konflik, perempuan<br />

disiksa oleh militer atau kelompok pemberontak<br />

karena mereka tidak mau mendukung taktiktaktik<br />

perang dari salah satu pihak yang bertikai.<br />

Di daerah perkotaan, para pekerja rumah tangga<br />

perempuan disiksa karena ia bodoh dan tidak<br />

cakap untuk memuaskan majikannya. Sejumlah<br />

perempuan juga disiksa karena mencoba<br />

melarikan diri dari rumah-rumah<br />

penampungan calon tenaga kerja luar negeri<br />

yang sangat buruk fasilitasnya. Di pusat-pusat<br />

industri perempuan disiksa atau mendapatkan<br />

perlakuan tidak manusiawi karena mencoba<br />

menuntut hak-hak normatif mereka. Di rumahrumah,<br />

para perempuan juga disiksa karena<br />

mereka dianggap sebagai istri yang tidak patuh<br />

dan mau melayani suaminya.<br />

Pemaparan di atas adalah terkait erat dengan<br />

langkah-langkah negara dalam lima tahun<br />

terakhir ini dalam hal penanganan krisis<br />

ekonomi, menjaga NKRI, desentralisasi serta<br />

perang melawan pengangguran dan kemiskinan.<br />

Penanganan krisis ekonomi yang kemudian<br />

dilanjutkan dengan membuka peluang<br />

semudah-mudahnya bagi para investor<br />

membenarkan pemerintah untuk<br />

mempekerjakan perempuan dengan upah yang<br />

rendah. Upaya pemerintah untuk meningkatkan<br />

pendapatan negara, baik pusat dan daerah,<br />

membenarkan negara untuk terus mengekspor<br />

perempuan ke negara-negara penerima tenaga<br />

kerja kasar dan murah seperti Arab, Malaysia,<br />

Singapura, dan Hongkong. Negara juga turut<br />

berkontribusi terhadap tindak penyiksaan<br />

terhadap perempuan di keluarga karena dengan<br />

sengaja membiarkan perilaku patriarki yang<br />

terus dianut oleh orang tua, tokoh agama dan<br />

masyarakat serta para guru di sekolah. Langkah<br />

konsolidasi territori Indonesia yang kemudian<br />

terganggu oleh pemberontakan, membenarkan<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

53


negara terus melakukan Proxy Violence 1<br />

terhadap perempuan di wilayah tersebut untuk<br />

dapat membongkar jaringan pemberontak.<br />

Kelompok bersenjata dengan dalih<br />

memperjuangkan kemerdekaan, memaksa<br />

perempuan untuk menjadi pekerja seks atau<br />

memaksa mereka untuk menikahi para serdadu<br />

di wilayah konflik, agar memperoleh informasiinformasi<br />

penting berkaitan dengan kekuatan<br />

tentara pemerintah.<br />

Bagian ini akan memaparkan tentang<br />

praktik-praktik penyiksaan terhadap<br />

perempuan yang telah menjadi endemik di Indonesia.<br />

Bagian ini juga bermaksud<br />

memaparkan tentang kaitan-kaitan kebijakan<br />

negara dalam lima tahun terakhir dengan<br />

peristiwa penyiksaan dan ill treatment.<br />

UPAYA-UPAYA PENEGAKAN HAK-HAK<br />

PEREMPUAN<br />

Tidak banyak upaya-upaya perbaikan hakhak<br />

perempuan di Indonesia dalam lima tahun<br />

terakhir, baik di legal reform, institusional reform<br />

maupun upaya-upaya penghukuman atas<br />

para pelaku kekerasan terhadap perempuan.<br />

Sebaliknya praktikpraktik<br />

kekerasan<br />

terhadap perempuan<br />

terus meningkat<br />

sejalan dengan<br />

sejumlah kebijakan<br />

yang diambil oleh<br />

negara terkait dengan<br />

agenda perbaikan<br />

ekonomi nasional,<br />

langkah-langkah<br />

penanganan wilayah<br />

konflik, maupun<br />

dalam penerapan<br />

k e b i j a k a n<br />

desentralisasi atau<br />

otonomi daerah.<br />

Langkah-langkah<br />

tersebut secara<br />

langsung atau tidak<br />

terkait erat dengan<br />

praktik-praktik<br />

kekerasan terhadap<br />

perempuan yang<br />

akan dijelaskan lebih<br />

detail dalam bagian lain dalam laporan ini.<br />

Secara umum, agenda perbaikan dan perlindungan<br />

hak-hak perempuan di level legislasi<br />

masih jauh dari yang diharapkan oleh banyak<br />

pihak. Problem-problem kekerasan terhadap<br />

perempuan yang belakangan muncul dalam<br />

skala yang massif dan meluas di tanah air tidak<br />

membuat produksi legislasi di tingkat nasional<br />

meningkat. Hal yang sama juga terjadi di daerah,<br />

ketika penerapan otonomi daerah tidak<br />

membuat parlemen lokal bersama-sama<br />

pemerintah propinsi dan kabupaten/kota<br />

terpacu untuk memproduksi regulasi khusus<br />

tentang perlindungan dan pencegahan praktikpraktik<br />

kekerasan terhadap perempuan, baik itu<br />

yang dilakukan oleh aparatur negara, kelompok<br />

pemberontak bersenjata, kelompok-kelompok<br />

bersenjata berbasis agama atau etnis maupun<br />

oleh perusahaan dan kelompok-kelompok<br />

pengaman sewaan. Akibatnya, di level nasional<br />

dan daerah hingga saat ini belum memiliki<br />

mekanisme perlindungan dan pencegahan<br />

perempuan dari praktik-praktik kekerasan.<br />

Setidaknya baru dua produk legislasi tentang<br />

perlindungan dan pencegahan di tingkat<br />

54 Bagian V


nasional yang berhasil diproduksi dalam lima<br />

tahun terakhir. Dua produk legislasi tersebut<br />

adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun <strong>2004</strong><br />

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah<br />

Tangga dan Undang-undang Nomor 39 Tahun<br />

<strong>2004</strong> tentang Perlindungan Tenaga Kerja<br />

Perempuan di Luar Negeri. Sehingga hingga saat<br />

ini hanya ada tiga produk legislasi nasional<br />

tentang perlindungan dan pencegahan<br />

kekerasan terhadap perempuan. Di samping<br />

mandul, parlemen dan pemerintah juga tidak<br />

memiliki inisiatif untuk mencabut sejumlah<br />

regulasi peninggalan Soeharto yang jelas-jelas<br />

membenarkan praktik diskriminasi terhadap<br />

perempuan dan selama ini digunakan sebagai<br />

payung<br />

pembenar oleh negara maupun non-negara<br />

untuk melakukan praktik-praktik kekerasan<br />

terhadap perempuan. 2 Berbagai produk legislasi<br />

di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/<br />

kota, belakangan juga mejadi penyebab<br />

terjadinya praktik-praktik kekerasan terhadap<br />

perempuan baru di berbagai tempat. Produkproduk<br />

ini membenarkan negara ataupun aktor<br />

non-negara tetap membenarkan praktikpraktik<br />

kekerasan dan pembatasan- pembatasan<br />

terhadap aktivitas perempuan di rumah,<br />

organisasi tingkat kampung hingga nasional,<br />

pasar maupun parlemen. Di samping itu<br />

sejumlah pemerintah propinsi dan kabupaten/<br />

kota juga memproduksi sejumlah regulasi<br />

daerah yang membenarkan praktik-praktik<br />

eksploitasi perempuan dalam bentuk legalisasi<br />

pengiriman tenaga kerja perempuan sehingga<br />

memperluas pertumbuhan perusahaanperusahaan<br />

penyalur tenaga kerja bermasalah. 3<br />

Alasan ingin mengentaskan kemiskinan yang<br />

terjadi di daerah menjadi dasar pembenaran<br />

bagi sejumlah pemerintah daerah untuk terus<br />

mengirim tenaga kerja perempuan ke luar<br />

negeri, sementara di lain pihak pemerintah<br />

daerah sendiri tidak memberikan perlindungan<br />

yang memadai atas proses pengiriman tersebut.<br />

Sementara di level institusi, praktis seluruh<br />

agenda reformasi di institusi pemerintahan<br />

tidak pernah memasukkan agenda perlindungan<br />

dan pencegahan hak-hak perempuan sebagai<br />

program prioritas. Reformasi institusi di level<br />

pemerintah dan parlemen hingga saat ini masih<br />

berkutat pada persoalan-persoalan penataan<br />

hirarki atau koordinasi antar departemen atau<br />

instansi, baik itu dalam program reformasi di<br />

tingkat insititusi nasional maupun dalam<br />

implementasi kebijakan otonomi daerah.<br />

Terlihat di tingkat nasional adalah bahwa tidak<br />

ada satupun institusi khusus yang memiliki<br />

mandat untuk melakukan penyelidikan atau<br />

monitoring terhadap kondisi perempuan di<br />

wilayah departemen, perusahaan, pusat-pusat<br />

pertokoan, pusat-pusat penampungan calon<br />

tenaga kerja maupun tempat-tempat lain yang<br />

diindikasikan menjadi tempat yang sarat dengan<br />

praktik kekerasan. Dalam hal ini, Komisi<br />

Nasional Kekerasan Terhadap Perempuan atau<br />

lebih dikenal Komnas Perempuan pun hingga<br />

saat ini belum diberikan mandat yang cukup<br />

dan memadai untuk menjalankan tugasnya<br />

memantau atau menyelidiki tindak kekerasan<br />

terhadap perempuan di Indonesia. 4<br />

Sementara di level parlemen, situasinya pun<br />

tidak berbeda dengan di tubuh institusi<br />

pemerintahan. Parlemen hingga saat ini belum<br />

memiliki komisi yang secara khusus membahas<br />

persoalan-persoalan perempuan maupun<br />

kekerasan-kekerasan terhadap perempuan lain.<br />

Parlemen, baik itu di tingkat nasional maupun<br />

daerah, selalu menempatkan persoalanpersoalan<br />

perempuan di komisi-komisi yang<br />

sangat tidak berkompeten membahas<br />

persoalan-persoalan perempuan karena<br />

mayoritas dari mereka nyaris tidak mengenal<br />

atau bahkan memahami kompleksitas dari<br />

persoalan-persoalan perempuan. 5 Tak heran jika<br />

kemudian produksi regulasi di tingkat nasional<br />

dan daerah menjadi sangat terbatas, karena<br />

praktis parlemen hanya menunggu usulan dari<br />

pemerintah tanpa berfikir untuk mengambil<br />

inisiatif awal untuk memproduksi regulasi<br />

nasional tentang perlindungan hak-hak<br />

perempuan.<br />

AKIBAT BURUKNYA PELAKSANAAN<br />

PERBAIKAN HAK-HAK PEREMPUAN :<br />

KASUS-KASUS PENYIKSAAN DAN ILL<br />

TREATMENT TERHADAP PEREMPUAN<br />

DI INDONESIA<br />

Buruknya langkah-langkah perbaikan<br />

kondisi hak-hak perempuan oleh pemerintah<br />

dan parlemen, serta penerapan sejumlah<br />

kebijakan negara yang terkait dengan<br />

penyelesaian persoalan ketegangan politik/<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

55


konflik sosial, perbaikan roda<br />

ekonomi nasional, pelaksanaan<br />

desentraslisasi serta perang<br />

melawan terorisme, pada<br />

akhirnya menyebabkan<br />

kekerasan terhadap hak-hak<br />

perempuan di Indonesia.<br />

Kejahatan yang paling menonjol<br />

ditemukan dalam lima tahun<br />

terakhir ini adalah kejahatan<br />

penyiksaan, tindakan tidak<br />

manusiawi, merendahkan<br />

martabat dan hukuman kejam.<br />

Pemantauan ELSAM atas<br />

berbagai kejahatan dalam<br />

kategori ini menyebutkan bahwa<br />

hampir sebagian besar dialami<br />

oleh kelompok perempuan.<br />

Berbagai kasus ini ditemukan<br />

di wilayah konflik bersenjata, di<br />

tempat bekerja, bahkan di dalam<br />

rumah sekalipun. Bentuk dan<br />

pola kejahatannya pun beragam,<br />

yakni dari mulai berbentuk<br />

kekerasan fisik, perkosaan,<br />

serangan seksual hingga<br />

tekanan-tekanan psikologis yang<br />

berakibat timbulnya trauma<br />

yang panjang bagi para<br />

korbannya. Berbagai tujuan<br />

pelaku yang berhasil diidentifikasi adalah bagian<br />

dari cara laki-laki untuk melakukan kontrol<br />

terhadap perempuan yang terkait dengan taktik<br />

operasi pengungkapan jaringan klandestin,<br />

termasuk juga cara memperkecil dukungan<br />

terhadap kelompok pemberontak bersenjata<br />

yakni dengan menekan perempuan untuk tidak<br />

mendukung gerakan anti pemerintah; benteng<br />

pertahanan hidup dari serangan militer yang<br />

lebih besar; termasuk juga menjadikan<br />

perempuan sebagai sandera yang bisa ditukar<br />

dengan makanan atau uang atau obat-obatan;<br />

menunjukkan eksistensi majikan kepada<br />

perempuan; serta menunjukkan kekuasaan<br />

suami kepada istri. Para pelakunya pun<br />

teridentifikasi tidak hanya melibatkan institusi<br />

pemerintah melainkan juga melibatkan aktoraktor<br />

non-negara seperti kelompok<br />

pemberontak bersenjata, perusahaan, lembaga<br />

adat atau agama serta kepala atau anggota<br />

keluarga.<br />

Kesaksian Me dalam Kasus Penyiksaan yang Terkait<br />

dengan Peristiwa Wasior 2002<br />

“Saya ditangkap oleh sekelompok anggota Brimob di<br />

Serui pada pertengahan Juli 2001, bersama-sama dengan<br />

anak saya Sisera (9 tahun), A (7 tahun) dan R (6 tahun) dan<br />

suami saya. Kami sekeluarga dibawa ke Polres Serui dan<br />

dimasukkan ke ruang tahanan. Selama ditahan, saya<br />

hanya diberi makan satu kali sehari, dan minum dengan<br />

air WC, dipaksa untuk mandi setiap pkl.05.00 pagi tanpa<br />

pakaian pengganti. Selama dalam tahanan, saya juga<br />

sering diancam untuk ditembak, bahkan pernah ujung<br />

senjata diarahkan ke dalam ruang tahanan korban. Saya<br />

ditahan enam hari ditahan di Polres Serui, lalu dibawa ke<br />

Polres Manokwari. Dan ketika tiba di Polres Manokwari,<br />

saya dan anak-anak menerima informasi dari salah<br />

seorang anggota Polisi Manokwari kalau suami saya telah<br />

meninggal karena disiksa oleh Polisi/Brimob. Seminggu<br />

kemudian (setelah suami korban dimakamkan), saya<br />

kembali dibawa ke Polres Manokwari untuk kembali<br />

diperiksa. Saya disuruh mengaku terlibat dalam kasus<br />

Wondiboy. Selama diperiksa saya dibentak dan dikatakatai<br />

dengan kata-kata kotor. Selesai diperiksa saja disuruh<br />

membuka pakaian semua hingga tinggal pakai celana dan<br />

kemudian disuruh masuk ke sel. (Wawancara korban<br />

kepada pekerja kemanusiaan di Papua, pertengahan <strong>2004</strong>.<br />

Sejumlah laporan diterjemahkan kembali dalam bahasa<br />

indonesia, sehingga struktur kalimatnya tidak sama persis<br />

dengan kesaksian asli yang menggunakan bahasa daerah.)<br />

1. Operasi Anti Gerilya dan Tindak<br />

Penyiksaan atau Perlakuan Kejam<br />

Dalam penggelaran operasi anti gerilya di<br />

Papua dan Aceh diduga keras telah terjadi<br />

praktik-praktik penyiksaan dan ill treatment<br />

yang ditujukan kepada perempuan. Dugaan<br />

keras ini terkait dengan taktik perang anti gerilya<br />

yang juga menjadikan para istri dari anggota<br />

pemberontak, terutama para pemimpinnya,<br />

sebagai target operasi. Dalam Operasi penyisiran<br />

para pelaku penyerangan markas-markas<br />

militer/polisi atau pencarian tokoh-tokoh<br />

politik dan bersenjata, para istri yang berada di<br />

rumah atau di tempat keluarga kerap turut<br />

dibawa ke pos atau kantor militer terdekat untuk<br />

dimintai keterangan seputar keberadaan<br />

suaminya. Dalam proses meminta keterangan<br />

(lebih tepat disebut intrograsi) para perempuan<br />

kerap mendapat tindak penyiksaan dan<br />

perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan<br />

martabat dari para introgrator. 6 Kelompok<br />

56 Bagian V


pemberontak juga kerap menjadikan<br />

perempuan sebagai sasaran tindak penyiksaan<br />

dan perlakuan kejam tidak manusiawi.<br />

Tindakan ini mereka lakukan dengan cara<br />

menculik perempuan-perempuan yang diduga<br />

menjadi mata-mata militer Indonesia dan<br />

kemudian membawanya ke dalam hutan dengan<br />

berjalan kaki puluhan kilometer. Selama dalam<br />

perjalanan tersebut perempuan tersebut diawasi<br />

dan mendapatkan pengawalan ketika ingin<br />

membersihkan diri. Sejumlah bentakan juga<br />

kerap mereka lakukan agar para sandera<br />

perempuan tersebut takut untuk melarikan diri.<br />

Dari sejumlah informasi yang berhasil<br />

dikumpulkan. pola penyiksaan dan perlakuan<br />

tidak manusiawi dan di wilayah konflik<br />

memiliki beberapa bentuk meliputi: dipukul,<br />

ditelanjangi, dipopor dengan senjata, ditendang<br />

dengan sepatu lars, diberi makan satu kali sehari,<br />

dilarang atau dibatasi ke WC, ditodong dengan<br />

senjata, disiram dengan air dingin, diperkosa,<br />

disuruh menyaksikan rekan setahanan disiksa<br />

atau diperkosa, dibentak, dibiarkan dalam<br />

keadaan telanjang di dalam tahanan atau tempat<br />

penyekapan, ditontoni saat sedang buang air kecil<br />

dan besar, diperintahkan berjalan jauh tanpa<br />

istirahat yang cukup, dibatasi menggunakan<br />

perlengkapan kewanitaan (pembalut atau<br />

peralatan yang lain) dan tak jarang dibunuh<br />

dengan cara ditembak.<br />

Khusus untuk tindak perkosaan sebagai<br />

bagian dari tindak penyiksaan, kasus-kasus ini<br />

meningkat pesat di Aceh dan Papua. Di Aceh,<br />

Komnas HAM mengaku mendapat laporan<br />

setidaknya 100 perempuan Aceh telah menjadi<br />

korban perkosaan, oleh militer/polisi dan<br />

kelompok pemberontak. 7<br />

2 Kasus-kasus Penyiksaan, tindakan<br />

tidak manusiawi, merendahkan martabat<br />

dan hukuman kejam di Tempat Bekerja<br />

Sejak diterpa krisis ekonomi, praktis roda<br />

ekonomi nasional mengalami kemacetan yang<br />

luar biasa. Akibatnya terjadi pengangguran<br />

besar-besaran dan pertambahan jumlah orang<br />

miskin yang luar biasa. Di lain pihak programprogram<br />

pemulihan ekonomi juga turut<br />

menambah jumlah pengangguran dan angka<br />

penduduk miskin. Persoalan ini pun juga<br />

membuat sektor pertanian ikut terpuruk dan<br />

menyebabkan banyak penduduk desa<br />

kehilangan mata pencaharian. Hilangnya<br />

pekerjaan ini menyebabkan perempuanperempuan<br />

di desa kemudian memilih untuk<br />

pergi ke kota atau ke luar negeri untuk menjadi<br />

pekerja rumah tangga. Banjir pekerja rumah<br />

tangga ini kemudian menjadikan bisnis<br />

penyalur tenaga kerja meningkat.<br />

Peningkatan kemunculan bisnis ini<br />

kemudian menimbulkan persoalan baru di<br />

mana, praktik-praktik kekerasan dalam bentuk<br />

penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi,<br />

merendahkan martabat dan hukuman kejam<br />

terhadap pekerja rumah tangga atau pekerja<br />

kasar di perkebunan atau perusahaan besar oleh<br />

para penyalur maupun majikan meningkat<br />

pesat. Sejumlah informasi menunjukkan bahwa<br />

tindak penyiksaan dan perlakuan kejam dan<br />

tidak manusiawi terhadap perempuan juga<br />

berlangsung di lokasi tempat bekerja. Korban<br />

terbesar dari kelompok ini adalah kelompok<br />

pekerja rumah tangga, para buruh perkebunan,<br />

buruh perusahaan dan pekerja seks komersial.<br />

Tempat kejadian dari kasus-kasus semacam ini<br />

paling banyak ditemui di lokasi apartement<br />

maupun rumah-rumah mewah, perkebunan<br />

besar, perusahaan besar, dan lokasi-lokasi<br />

prostitusi di Indonesia, Singapura, Malaysia,<br />

Hongkong dan Arab Saudi. Khusus untuk di<br />

perkebunan, praktik-praktik ini disebabkan<br />

karena kebanyakan dari para pekerja tersebut<br />

adalah para pekerja yang tidak memiliki ijin<br />

bekerja dari pemerintah setempat atau over stay<br />

karena tidak bisa pulang ke kampung asal<br />

karena tidak memiliki uang cukup.<br />

Dari sejumlah<br />

kasus yang berhasil<br />

dikumpulkan dan<br />

dipelajari, tindakan<br />

ini digunakan<br />

sebagai hukuman<br />

atas kelalaian atas<br />

kesalahan dari para<br />

pekerja rumah<br />

tangga pada saat<br />

menjalankan<br />

tugasnya. Tindakan<br />

ini juga terkait<br />

dengan metode<br />

kontrol terhadap<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

57


Kumpulan Kasus-kasus Penyiksaan dan Perkosaan Para Tenaga Kerja Indonesia di<br />

Kuwait 2003.<br />

Dalam jumpa pers di Wisma Bonang, Jakarta Pusat, salah satu TKW bernama Rina<br />

Arsita menuturkan bagaimana ia diperkosa majikan dan tiga anak lelakinya.<br />

“Mulanya Adnan, anak majikan saya, menyuruh membereskan kamar,” kata Rina,<br />

“tiba-tiba saya dibekap dan diperkosa.” Gadis asal Cianjur itu tak bisa berbuat apaapa<br />

karena Adnan mengancam akan membunuh dia.<br />

Petaka berikutnya terjadi ketika Rina keluar kamar mandi. Khalid, adik Adnan,<br />

merangsek dan memerkosanya. Anak majikannya yang ketiga memaksa Rina<br />

melakukan hubungan badan ketika ia sedang memasak. Di bawah ancaman, Rina<br />

pasrah diperlakukan apa pun. Penderitaannya kian lengkap ketika beberapa hari<br />

kemudian, Rina juga dipaksa majikannya.<br />

“Bagaimana mungkin saya berontak,” kata Rina yang fasih bahasa Arab ini, “tubuh<br />

mereka besar, sedangkan saya wanita dan lemah, apalagi diancam dibunuh.”<br />

Perlakuan itu sebenarnya pernah diadukan, tapi istri majikannya malah menuduh<br />

Rina menebar fitnah. “Mana mungkin suami dan anak-anakku memerkosa<br />

pembantu?” kata majikan perempuannya seperti ditirukan Rina.<br />

Pengaduan itu justru membuat Rina disiksa. Muka dan tubuhnya dihajar dengan<br />

sandal kayu sampai ia tak sadarkan diri. Rina kemudian kabur ke kantor polisi, tapi<br />

malah dipenjara karena paspornya ditahan majikan.<br />

Derita Rina juga dialami Sumini. Gadis asal Pati, Jawa Tengah, itu justru digagahi<br />

enam polisi ketika ia kabur dari tempatnya bekerja. Nestapa itu bermula ketika<br />

Ahmad, polisi setempat, menangkap Sumini karena ia tak memiliki kartu identitas.<br />

Bukannya dibawa ke kantor polisi, Sumini malah diboyong ke bar. “Di kamar bar itu<br />

saya diperkosa bersama lima temannya,” kata Sumini sambil terisak-isak. (Koran<br />

Tempo, 9 Oktober 2003)<br />

perempuan agar takut menuntut hak-hak<br />

mereka kepada majikannya. Di beberapa kasus<br />

juga ditemukan, tindakan ini dilakukan untuk<br />

menjaga agar praktik perkosaan yang dilakukan<br />

oleh majikan laki-laki tidak dilaporkan oleh<br />

korban kepada majikan perempuan.<br />

Dari berbagai kasus yang dikumpulkan dan<br />

dipelajari, pola penyiksaan dan perlakuan kejam<br />

dan tidak manusiawi ini mencakup: diancam<br />

akan dibunuh, dipukul dengan pengempuk<br />

daging (berbentuk palu), dicabuti alis matanya,<br />

kepala dibentur-benturkan ke dinding, disetrika,<br />

diikat dengan tali, dipukul dengan bola bilyard<br />

yang dibungkus dengan kain, dikunci di dalam<br />

kamar mandi, atau diperkosa berkali-kali. Di<br />

Cianjur, Seorang PRT, disiksa oleh majikannya<br />

dengan cara, disiram dengan air panas, disetrika,<br />

dan dipukuli. 8 Pelaku juga mengancam korban<br />

jika mengadukan perbuatannya ke pada orang<br />

lain. Di Bandung, seorang perempuan disiksa<br />

oleh suaminya karena hamil. 9 Perempuan itu<br />

disiksa dengan cara dipukul dan ditendang<br />

hingga mengalami infeksi telinga, luka memar di<br />

pinggul wajah dan kepala bagian belakang. Di<br />

Bandar Lampung, seorang perempuan disiksa<br />

oleh suaminya karena meminta uang belanja. 10<br />

perempuan tersebut disiksa dengan cara<br />

dipukuli hingga mengalami memar di bagian<br />

wajah dan kepala bagian belakang.<br />

3. Kasus-kasus Penyiksaan, perlakuan<br />

tidak manusiawi, merendahkan martabat<br />

dan hukuman Kejam di Dalam Rumah<br />

Tangga.<br />

Krisis ekonomi juga berakibat pada<br />

meningkatnya tindak penyiksaan, perlakuan<br />

tidak manusiawi, merendahkan martabat dan<br />

hukuman kejam terhadap perempuan di dalam<br />

rumah tangga. Kasus-kasus yang lebih dikenal<br />

sebagai domestic violence ini meningkat pesat<br />

sejak krisis ekonomi yang semakin permanen<br />

ini. Sejumlah organisasi pembela hak<br />

perempuan mengaku bahwa informasi praktik-<br />

58 Bagian V


Kasus Penyiksaan Ace oleh Suaminya di<br />

Pontianak, September 2003<br />

Ace sudah berkeluarga dengan AS selama 6<br />

tahun. Selama enam tahun itu, ia yang<br />

memenuhi kebutuhan keluarga karena<br />

suaminya menganggur. Pada suatu saat,<br />

Ace pulang terlambat dari tempat kerjanya<br />

karena satu hal. Keterlambatan Ace itu<br />

membuat AS marah dan kemudian<br />

menyiksa Ace dengan cara ditampar,<br />

dipukul, ditendang, dipukul dengan botol,<br />

dan dicambuk. Akibat kejadian tersebut, Ace<br />

mengalami luka berat di sekujur tubuhnya.<br />

Belakangan diketahui bahwa tindakan AS<br />

tersebut bukanlah yang pertama akan tetapi<br />

sudah berlangsung selama enam tahun.<br />

Korban mengaku selama enam tahun<br />

tersebut sudah 31 kali ia disiksa suaminya.<br />

praktik kejahatan kategori ini oleh para suami<br />

meningkat pesat. Tindakan ini ditujukan oleh<br />

para suami sebagai bagian dari hukuman atas<br />

kesalahan, ketidaksukaan sikap atau pernyataan<br />

yang dilontarkan oleh istri atau anak<br />

perempuannya. Selain itu, tindakan ini juga<br />

dilakukan sebagai bagian dari cara suami<br />

mencapai kenikmatan dalam hubungan seks.<br />

Mempelajari laporan dari para korban ini<br />

didapatkan pola kekerasan dalam kejahatan ini<br />

meliputi; memukul dengan benda-benda keras<br />

atau alat pemukul, menendang, menempeleng<br />

bagian kepala, membentur-benturkan kepala ke<br />

dinding, menyundut rokok, menyayat dengan silet<br />

atau benda tajam, disiram dengan air panas atau<br />

dingin, memaksa hubungan seks melalui anus<br />

dan atau memasukkan benda-benda keras ke<br />

dalam vagina serta pembatasan atau pelarangan<br />

untuk berhubungan dengan pihak di luar rumah,<br />

mengunci istri dalam kamar. Seorang pembela<br />

hak-hak perempuan di Bali mengungkapkan<br />

tentang adanya laporan perlakuan penyiksaan<br />

oleh seorang suami kepada istrinya dalam<br />

bentuk menyundut pantat istri dengan rokok<br />

ketika berhubungan seks. 11 Di Cilandak-Jakarta,<br />

seorang perempuan dipukul, ditendang dan<br />

dibentur-benturkan kepalanya ketembok secara<br />

terus menerus jika menolak untuk<br />

berhubungan seks. 12 Seorang Ibu di Jakarta<br />

menerima tekanan psikologis yang luar biasa<br />

akibat suaminya terus menyalahkan dirinya<br />

seperti seorang penjahat karena ia dianggap<br />

tidak becus mengurus anak sehingga anak<br />

mereka terjerat persoalan narkoba. 13<br />

Praktik-praktik kejahatan ini jarang sekali<br />

terungkap karena masih dianggap sebagai<br />

wilayah domestik. Selain itu juga perlu dicatat<br />

bahwa sistem pemerintahan terendah yakni<br />

pemerintah desa juga sangat jarang terlibat<br />

untuk menindaklanjuti laporan-laporan<br />

adanya indikasi kejahatan penyiksaan dalam<br />

keluarga.<br />

PENGINGKARAN NEGARA ATAS<br />

KEJAHATAN PENYIKSAAN,<br />

PERLAKUAN TIDAK MANUSIAWI,<br />

MERENDAHKAN MARTABAT DAN<br />

HUKUMAN KEJAM TERHADAP<br />

PEREMPUAN<br />

Dalam tindak penyiksaan dan perlakuan<br />

kejam, merendahkan martabat dan tidak<br />

manusiawi, sikap pemerintah Indonesia masih<br />

bungkam. Mereka justru menutup-nutupi dan<br />

cenderung memblok informasi-informasi<br />

berkaitan dengan tindak kejahatan seperti ini,<br />

terutama informasi-informasi tentang tindak<br />

penyiksaan, perlakuan kejam dan tindak<br />

manusiawi di wilayah konflik yang<br />

menggunakan metode perkosaan. Laporan<br />

sejumlah Ornop tentang adanya kasus-kasus<br />

perkosaan disangkal oleh penguasa militer di<br />

Aceh dengan alasan informasi tersebut tidak<br />

valid. 14 Meski dalam kasus di Aceh Utara,<br />

pemerintah dalam hal ini TNI menggelar<br />

penyelidikan dan pengadilan atas dugaan kasus<br />

perkosaan dan serangan seksual dalam rangka<br />

mendapatkan informasi tentang keberadaan<br />

kelompok pemberontak, namun upaya-upaya<br />

ini dianggap jauh dari keadilan korban. Para<br />

pelaku tidak dijerat dengan hukum hak asasi<br />

manusia nasional melainkan dengan<br />

menggunakan hukum militer yang hingga saat<br />

ini belum mengadopsi hukum hak asasi<br />

manusia nasional dan internasional. 15 Tak heran<br />

jika kemudian hukuman yang ditimpakannya<br />

pun sangat ringan karena hukum militer sangat<br />

lemah untuk bisa menjerat para pelaku<br />

kejahatan dalam kategori ini. Sejumlah pekerja<br />

hak asasi manusia dan pembela hak-hak<br />

perempuan bahkan menilai bahwa upaya<br />

penyelidikan ini merupakan bagian dari cara<br />

pemerintah meredam protes dunia<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

59


internasional. Di lain pihak, kelompok<br />

pemberontak pun melakukan upaya-upaya<br />

pengingkaran atas kejahatan penyiksaan dan<br />

perlakuan kejam dan tidak manusiawi terhadap<br />

perempuan-perempuan yang diduga sebagai<br />

mata-mata pemerintah. Dengan mengatakan<br />

para perempuan tersebut adalah mata-mata<br />

pemerintah, kelompok pemberontak mengelak<br />

telah memaksa para perempuan yang mereka<br />

culik untuk berjalan jauh tanpa istirahat yang<br />

cukup. 16 Di samping itu upaya lain untuk<br />

menutup-nutupi kasus-kasus semacam ini<br />

adalah dengan mengancam para pembela hakhak<br />

perempuan yang ingin mengungkap<br />

sejumlah kasus-kasus penyiksaan. Baik militer/<br />

polisi dan kelompok pemberontak, kerap<br />

mengancam para pembela hak-hak perempuan<br />

dan hak asasi manusia yang vokal<br />

mengumumkan indikasi kuat tentang praktikpraktik<br />

penyiksaan, tindakan kejam,<br />

merendahkan martabat dan hukuman kejam<br />

yang melibatkan anggota mereka. 17<br />

Demikian pula dengan kasus-kasus serupa di<br />

wilayah non-konflik, pemerintah juga<br />

cenderung bersikap serupa. Kasus-kasus seperti<br />

ini cenderung disebut sebagai kasus-kasus<br />

kriminal biasa – istilah mereka kasus<br />

penganiayaan – sehingga penanganannya pun<br />

sangat tidak memuaskan para korban.<br />

Kecenderungan untuk menafikkan kasus-kasus<br />

ini juga terlihat yakni dengan upaya-upaya<br />

melindungi para tersangka dengan cara<br />

mementahkan kesaksian para korbannya<br />

kurang didukung dengan hasil otopsi. 18 Bahkan<br />

langkah-langkah perlindungan terhadap para<br />

korban oleh sejumlah organisasi perempuan<br />

dan hak asasi manusia pun kerap mereka kecam<br />

dengan berbagai alasan. 19 Akibatnya banyak<br />

sekali praktik-praktik pengendapan proses<br />

penyelidikan atas kejahatan ini atau pelaku lolos<br />

dari jeratan hukum karena kurang bukti atau<br />

penghukuman yang sangat minim bagi para<br />

pelaku, terjadi sepanjang lima tahun terakhir.<br />

Khusus untuk kasus-kasus penyiksaan,<br />

perlakuan kejam, tidak manusiawi<br />

merendahkan martabat dan hukuman kejam<br />

yang terjadi di dalam rumah tangga; upaya<br />

pemerintah untuk menutup-nutupinya masih<br />

sangat kuat seperti ketika orde baru masih<br />

berkuasa. Meski akhir <strong>2004</strong> ini parlemen<br />

mengesahkan undang-undang mengenai perlindungan<br />

perempuan dari tindak kekerasan dalam<br />

rumah tangga, pandangan dominan di kalangan<br />

pejabat pemerintah bahwa kejahatan untuk<br />

kategori ini adalah bukan kekerasan melainkan<br />

upaya suami mendidik istri, masih cukup kuat.<br />

Ketakutan bahwa para suami yang melakukan<br />

kekerasan akan dihukum cukup kuat<br />

berkembang sehingga ada upaya untuk<br />

menghentikan penerapan undang-undang<br />

kekerasan dalam rumah tangga ditangguhkan.<br />

Ini terlihat dengan sikap sebagian pihak di<br />

kalangan pejabat penegak hukum yang masih<br />

menunda pemberlakuan undang-undang ini<br />

dengan alasan belum adanya peraturan<br />

pemerintah tentang pekerja sosial. Padahal<br />

menurut para pembela hak-hak perempuan<br />

alasan penundaan ini sangat tidak masuk akal<br />

mengingat peraturan pemerintah tersebut<br />

bukanlah ketentuan hukum yang dapat<br />

menghambat penerapan dari undang-undang<br />

tersebut. 20<br />

KESIMPULAN<br />

Dari pemaparan tersebut menunjukkan<br />

bahwa praktik-praktik penyiksaan, perlakuan<br />

kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat<br />

dan hukum kejam, terjadi di seluruh level<br />

kehidupan. Kuatnya faham patriarki di tubuh<br />

pemerintahan yang kemudian diadopsi oleh<br />

masyarakat ke dalam relasi interaksi laki-laki<br />

dan perempuan sehari-hari, menjadi dasar<br />

pembenaran atas praktik-praktik kekerasan<br />

dalam kategori ini. Praktik-praktik kekerasan<br />

terhadap perempuan dalam penerapan darurat<br />

militer atau operasi militer kemudian diadopsi<br />

oleh para pemilik modal dalam menjalankan<br />

praktik kerja dengan buruh-buruh perempuan,<br />

dan oleh masyarakat dalam menjalankan relasi<br />

laki-laki dan perempuan tidak seimbang,<br />

menjadi akar utama atas terjadinya praktikpraktik<br />

kejahatan penyiksaan, perlakuan tidak<br />

manusiawi, merendahkan martabat dan<br />

hukuman kejam terhadap perempuan.<br />

Kondisi ini semakin diperburuk dengan<br />

minimnya inisiatif negara untuk mengambil<br />

langkah-langkah perlindungan dan<br />

penghormatan hak-hak perempuan dalam<br />

pelaksanaan agenda reformasi nasional.<br />

Minimnya produksi regulasi serta gagalnya<br />

mereduksi watak patriarki dalam struktur<br />

60 Bagian V


pemerintahan nasional hingga di level<br />

pemerintah desa akhirnya membuat kejahatan<br />

dalam kategori ini semakin menguat hingga ke<br />

seluruh sendi kehidupan masyarakat dan<br />

kemudian menjadi tindak kejahatan yang<br />

endemik. Pada akhirnya banyak perempuan di<br />

Indonesia yang berujar “Tidak ada satu tempat<br />

aman pun bagi kami di tanah Indonesia ini.”<br />

CATATAN:<br />

1<br />

Terjemahan Indonesianya adalah “kekerasan antara.”<br />

Kekerasan antara yang dimaksud di sini adalah bahwa<br />

kekerasan ini dilakukan untuk membuat para<br />

pemberontak berhenti melakukan aksi-aksi<br />

penyerangan kepada markas militer atau pasukanpasukan<br />

militer.<br />

2<br />

Lih, Widodo, Sri Wiyanti, “Pembakuan Peran dan<br />

Kebijakan-kebijakan di Indonesia,” Agustus 1998;<br />

Wilujeng Henry, SH., Habsjah, Attashendarti., Setya<br />

Wibawa, Dhevi., “Dampak Pembakuan Peran Jender<br />

Terhadap Kondisi Kerja Kaum Perempuan Kelas Bawah<br />

di DKI Jakarta”, Januari 2002<br />

3<br />

Inserta tentang Pemda NTB yang mencoba membuat<br />

perda tentang Pengiriman TKI ke luar negeri.<br />

4<br />

Regulasi nasional pembentukan Komnas Perempuan<br />

hanya memberikan mandat kepada Komisi dalam<br />

lingkup pendidikan, penelitian dan pelaporan rutin<br />

tentang situasi hak-hak perempuan di Indonesia.<br />

Belum ada upaya dari pemerintah dan parlemen untuk<br />

melakukan evaluasi atas regulasi tersebut.<br />

5<br />

Pada periode 1999-<strong>2004</strong> kewenangan penanganan<br />

persoalan-persoalan perempuan masih berada di<br />

bawah Komisi VIII yang membidangi bidang<br />

pertambang dan energi. Penempatan ini menunjukkan<br />

bahwa persoalan perempuan memang bukan menjadi<br />

agenda besar dari kerja DPR-RI 1999-<strong>2004</strong>.<br />

6<br />

Anggota Komnas HAM, Zoemrotin K Susilo<br />

menuturkan: ada pemeriksaan terhadap kaum<br />

perempuan yang diduga sebagai Inong Balee (tentara<br />

perempuan GAM). Pemeriksaan dilakukan aparat<br />

dengan cara yang tidak simpatik, karena pemeriksaan<br />

mengharuskan yang diperiksa untuk membuka bagian<br />

dada. Pasalnya, ada kecurigaan kalau di bagian dada<br />

terdapat tanda bulan bintang. “Ada kakak beradik yang<br />

mengalami seperti itu. Bahkan ketika ibunya memohon<br />

agar membuka, juga tidak dibolehkan,” ujarnya. Lih.,<br />

“Komnas HAM Sudah Cek Ulang Kekerasan Seksual di<br />

Aceh,” Sinar Harapan, 20 Juni 2003.<br />

7<br />

Lih., “Soal Perkosaan 100 Perempuan Aceh, Komnas<br />

Selidiki, Korps TNI Membantah,” Kompas, 2 September<br />

2003.<br />

8<br />

Kumpulan Dokumentasi, Tentang Kekerasan<br />

Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga di 13 Kota<br />

Besar di Indonesia Periode 2003-<strong>2004</strong>, milik Mitra<br />

Perempuan WCC, Institut Perempuan Bandung,<br />

Lentera Perempuan Purwokerto, SPEK-HAM Surakarta,<br />

WCC Jombang, KKTG Aceh, Cahaya Perempuan<br />

Bengkulu, Damar Lampung, WCC Palembang, YLBH-<br />

PIK Pontianak, Swara Parangpuan Manado, LBH-P2i<br />

Makasar, Rumah Perempuan Makasar.<br />

9<br />

Ibid.<br />

10<br />

Ibid.<br />

11<br />

Penuturan Pembela Hak-hak Perempuan dalam rapat<br />

konsultasi mitra EED di Bogor, 12-15 Desember <strong>2004</strong>.<br />

12<br />

Wawancara korban dengan voulenteer Suara Ibu<br />

Peduli di Jakarta, Pertengahan 2003.<br />

13<br />

Penuturan Perempuan dalam Acara Tutur<br />

Perempuan, di Jakarta, September <strong>2004</strong>.<br />

14<br />

Pangkoops Mayjen Bambang Darmono: “Tuduhan<br />

ketujuh LSM itu tidak benar.Laporan itu tidak benar, itu<br />

hanya isu murahan. Saya tidak suka kalau hanya<br />

mengumbar isu, berdasarkan data lewat SMS yang<br />

dikirim sekelompok orang”. Menurut ia, kejadian yang<br />

menimpa gadis bernama M (16) pada malam perayaan<br />

17 Agustus itu dilakukan lima pelaku yang kesemuanya<br />

adalah warga sipil. Lih., “Komnas Cari Saksi<br />

Perkosaan,” Media Indonesia, 2 September 2003.<br />

15<br />

Prajurit Kepala Seprianus Lau Webang 3 tahun 6<br />

bulan, sedangkan Husni Dwila divonis 3 tahun, dan<br />

Awaluddin divonis 2 tahun 6 bulan. Vonis kepada<br />

masing-masing terdakwa lebih rendah 6 bulan dari<br />

tuntutan oditur militer. Majelis Hakim juga<br />

memerintahkan ketiganya untuk tetap ditahan., lih.,<br />

“Anggota TNI Pemerkosa Wanita Aceh Dihukum<br />

Penjara dan Dipecat,” Kompas, 20 Juli 2003.<br />

16<br />

Pertengahan Juni, GAM dilaporkan telah menculik<br />

dua orang istri perwira militer dengan tuduhan kedua<br />

orang tersebut menjadi mata-mata RI. Kedua<br />

perempuan tersebut kemudian dipaksa untuk berjalan<br />

jauh masuk hutan dan tinggal berpindah-pindah<br />

berbulan-bulan dengan pembatasan atas kebutuhankebutuhan<br />

kewanitaan mereka.<br />

17<br />

Para pembela hak-hak perempuan dan hak asasi<br />

manusia di Aceh, Papua, Poso, Maluku, dan Sampit<br />

kerap diancam orang-orang tidak kenal ketika<br />

mencoba mengumumkan indikasi kuat kasus-kasus<br />

penyiksaan, tindakan kejam, perlakuan tidak<br />

manusiawi serta hukum kejam yang dialami oleh<br />

perempuan.<br />

18<br />

Para pejabat penegak hukum kerap mementahkan<br />

kesaksian korban dengan cara melontarkan komentarkomentar<br />

yang bisa membuat publik menjadi ragu<br />

dengan kesaksian korban. Seperti dalam kasus<br />

penyiksaan Yuliasih di Jakarta oleh majikannya,<br />

September 2003, Kepala Unit Kriminal Umum Polres<br />

Jakarta Timur Ajun Komisaris Soeharto, 15 September<br />

2003 mencoba mementahkan kesaksian korban<br />

dengan mengatakan: “ Itu semua baru dugaan, karena<br />

hasil visum belum kami terima.” Lih., “Lagi PRT<br />

Disiksa Majikannya,” Kompas, 16 September 2003<br />

19<br />

Lih., “Depnaker Pertanyakan Motif Penjemputan 19<br />

TKI oleh LSM,” Tempo Interaktif, 9 Oktober 2003:<br />

Melalui Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga<br />

Kerja Luar Negeri, pemerintah mempertanyakan motif<br />

penjemputan 19 orang TKI oleh organisasi pembela<br />

hak-hak perempuan dan hak asasi manusia. Dirjen<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

61


tersebut juga menyatakan bahwa apa yang dilakukan<br />

oleh organisasi-organisasi tersebut menyalahi aturan<br />

pemerintah tentang penjemputan para tenaga kerja<br />

yang baru pulang dari luar negeri.<br />

20<br />

Wawancara dengan pekerja pembela hak-hak<br />

perempuan di jakarta, November -Desember <strong>2004</strong><br />

62 Bagian V


BAGIAN KEENAM<br />

Kesimpulan dan Rekomendasi<br />

Selama periode 1999 – <strong>2004</strong>, komitmen<br />

nasional penegakan HAM telah<br />

mengalami kemajuan yang signifikan.<br />

Komitemen penegakan HAM ini tercantum<br />

dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh<br />

lembaga negara dan pemerintah. Sumbersumber<br />

yang menjadi masalah terjadinya<br />

pelanggaran HAM telah menjadi komitmen<br />

untuk dibenahi. Reformasi regulasi yang<br />

menjamin tegaknya HAM telah berjalan dan<br />

secara normatif telah banyak regulasi yang<br />

memberikan perlindungan terhadap hak asasi<br />

manusia. Korban pelanggaran hak asasi manusia<br />

juga secara normatif mendapatkan jaminan<br />

untuk pemulihan kepada mereka. Korban telah<br />

dijamin oleh UU bahwa mereka berhak<br />

mendapatkan keadilan dan reparasi. Jaminan<br />

bahwa keadilan kepada korban ini akan<br />

diwujudkan adalah adanya reformasi regulasi<br />

yang memberikan perlindungan hak asasi<br />

manusia regulasi atas peradilan yang adil serta<br />

regulasi yang mengatur tentang hak-hak<br />

korban.<br />

Tersedianya regulasi yang memadai ternyata<br />

tidak serta merta membawa keadilan bagi<br />

korban, karena jajaran birokrasi, judiciary<br />

(Kehakiman), Kejaksaan, dan Polisi tidak siap<br />

untuk melaksanakan regulasi-regulasi tersebut.<br />

Disamping itu juga masih kentalnya resistensi<br />

dari institusi yang terkena imbas dari reformas<br />

regulasi tersebut. Praktis, macetnya reformasi<br />

institusi tersebut tidak ekuivalen dengan<br />

kemajuan regulasi. Hasilnya adalah tidak<br />

tuntasnya kasus-kasus pelanggaran hak asasi<br />

manusia yang terjadi sehingga capaian kearah<br />

keadilan dan pemulihan kepada korban gagal.<br />

Pada tingkat implementasi, ternyata proses<br />

keadilan kepada korban tidak juga beranjak<br />

naik. Pengadilan-pengadilan yang dilakukan<br />

untuk mengadili pelaku tidak lebih hanya<br />

peradilan yang “asal ada” untuk memenuhi<br />

ketentuan undang-undang atau tuntutan<br />

korban. Kebenaran tidak terungkap, pelaku<br />

dinyatakan bebas dan korban tidak<br />

mendapatkan kompensasi adalah akhir cerita<br />

yang bisa ditebak sejak awal.<br />

Lambatnya proses perbaikan hak asasi<br />

manusia di Indonesia semakin diperburuk oleh<br />

langkah-langkah pemerintahan transisi untuk<br />

menghadapi berbagai persoalan politik<br />

ekonomi menonjol dalam lima tahun terakhir.<br />

Penerapan regulasi kedaruratan dan pengerahan<br />

kekuatan militer untuk menyelesaikan berbagai<br />

persoalan pemberontakan, konflik sosial dan<br />

perang melawan terorisme adalah sebuah<br />

kemunduran dari langkah-langkah penegakan<br />

hak asasi manusia oleh pemerintah transisi.<br />

Penggunaan langkah-langkah militer dalam<br />

penyelesaian persoalan pemberontakan konflik<br />

komunal dan perang melawan terorisme justru<br />

menjadi penyebab peristiwa pelanggaran hak<br />

asasi manusia baru.<br />

Tercatat masih terdapat pelanggaran HAM<br />

yang menonjol terjadi sepanjang 1999-<strong>2004</strong><br />

yakni masih terjadinya pembunuhan kilat dan<br />

diluar proses hukum, penangkapan dan<br />

penahanan sewenang-wenang, penyiksaan,<br />

tindakan kejan dan tidak menusiawi,<br />

merendahkan martabat dan hukuman kejam,<br />

orang hilang pembatasan ruang gerak dan<br />

pencabutan hak untuk mengelurakan pendapat<br />

dan kejahatan-kejahatan terhadap pekerja<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

63


kemanusiaan. Pelanggaran HAM yang terjadi<br />

tersebut tidak direspon oleh negara secara<br />

memadai karena tertutup oleh kepentingan<br />

untuk menjaga keutuhan negara kesatuan RI.<br />

Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi tidak<br />

direspon atau diselesaikan secara tuntas di mana<br />

berbagai upaya penyelidikan selalu terhambat<br />

dan legitimasi untuk melakukan kekerasan<br />

adalah cara yang tepat karena tindakan ini<br />

ditujukan untuk menjaga keutuhan NKRI.<br />

Kondisi di atas semakin menjauhkan<br />

pemerintah terhadap akar pokok masalah dari<br />

persoalan pemberontakan, konflik sosial dan<br />

keberadaan organisasi-organisasi keagamaan<br />

garis keras di Indonesia. Langkah-langkah<br />

seperti itu hanya menghasilkan kembali<br />

terbukanya peluang kebangkitan sistem otoriter<br />

di Indonesia.<br />

Di lain pihak, proses desentralisasi kekuasaan<br />

dalam kerangka Otonomi daerah di Indonesia<br />

pada akhirnya justru membuat penduduk lokal<br />

semakin tidak percaya dengan pemerintah<br />

daerah. Tak ubahnya seperti rezim Suharto,<br />

dengan alasan memacu pertumbuhan ekonomi<br />

daerah, pemerintah daerah kembali<br />

menghadapi perlawanan penduduk lokal atas<br />

sejumlah rencana pembanguan daerah dengan<br />

cara-cara kekerasan. Implementasi otonomi<br />

daerah selanjutnya menimbulkan upaya-upaya<br />

pemerintah daerah untuk menggencarkan<br />

penggalian atas potensi kekayaan alam dan<br />

kekayaan non-alam untuk menambah<br />

pendapatan daerah. Tindakan-tindakan<br />

tersebut menimbukan ketegangan-ketegangan<br />

antara pemerintah daerah dengan pusat<br />

menyamgkut perimbangan keuangan. Konflik<br />

lainnya adalah ketegangan ditingkat elit lokal<br />

yang memperebutkan kekuasaan. Lagi-lagi<br />

masyarakat yang menjadi korban atas<br />

pertarungan politik dan kekuasaan ini. Otonomi<br />

daerah pun gagal membangun mekanisme perlindungan<br />

dan penegakan pelanggaran hak asasi<br />

manusia yang seharusnya turut dilakukan ketika<br />

membangun institusi dan struktur<br />

pemerintahan otonom. Dalam janga watu<br />

tersebut, muncul berbagai regulasi daerah yang<br />

anti hak asasi manusia dan makin maraknya<br />

pengusiran paksa. Pengusiran paksa dari tahun<br />

1999-<strong>2004</strong> semakin menunjukkan grafik yang<br />

meningkat. Pengusiran paksa ini dilakukan<br />

dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan<br />

hukum dan di mana tidak ada cukup negosiasi<br />

antara warga dengan pemerintah dan tidak<br />

memadainya ganti rugi kepada korban.<br />

Pemerintah daerah pun terus-menerus<br />

melakukan pengingkaran atas terjadinya<br />

kejahatan hak asasi manusia ini. Akibat dari<br />

proses otonomi daerah yang tidak berjalan<br />

secara baik ini, penduduk lokal kembali harus<br />

menjadi bulan-bulanan tindak kekerasan dan<br />

pelanggaran hak asasi manusia aparatur<br />

pemerintah propinsi dan kabupaten.<br />

Minimnya produksi regulasi serta kegagalan<br />

mereduksi watak patriarki dalam struktur<br />

pemerintahan nasional hingga desa akhirnya<br />

membuat kejahatan dalam kategori ini semakin<br />

menguat hingga ke seluruh sendi kehidupan<br />

masyarakat dan kemudian menjadi tindak<br />

kejahatan yang endemik. Proses upaya-upaya<br />

perbaikan perlindungan hak-hak terhadap<br />

perempuan yang terdiri atas refomasi hukum,<br />

reformasi institusi, pengungkapan kasus dan<br />

penghukuman tidak berjalan secara linear.<br />

Bahkan tidak ada satupun kompensasi, restitusi<br />

dan rehabilitasi kepada korban kekerasan<br />

terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan<br />

bahwa perlindungan terhadap hak-hak<br />

perempuan masih rendah dan akibatknya gejala<br />

kekerasan akan terus terjadi sehingga sampai<br />

saat ini bisa dikatakan tidak ada tempat aman<br />

bagi perempuan. Kuatnya faham patriarki di<br />

tubuh pemerintahan yang kemudian diadopsi<br />

oleh masyarakat ke dalam relasi interaksi lakilaki<br />

perempuan sehari-hari, menjadi dasar<br />

pembenaran atas praktik-praktik kekerasan<br />

terhadap perempuan. Praktik-praktik kejahatan<br />

terhadap perempuan dalam penerapan darurat<br />

militer atau operasi militer kemudian diadopsi<br />

oleh para pemilik modal dalam menjalankan<br />

praktik kerja dengan buruh-buruh perempuan,<br />

dan oleh masyarakat dalam menjalankan relasi<br />

yang tidak seimbang antara laki-laki dengan<br />

perempuan, menjadi akar utama atas terjadinya<br />

praktik-praktik kejahatan penyiksaan,<br />

perlakuan tidak manusiawi, merendahkan<br />

martabat dan hukuman kejam terhadap<br />

perempuan. Kondisi ini semakin diperburuk<br />

dengan kegagalan dari negara untuk mengambil<br />

langkah-langkah perlindungan dan<br />

penghormatan hak-hak perempuan dalam<br />

proses menjalankan agenda reformasi nasional.<br />

Negara secara terus menerus melakukan<br />

64 Bagian VI


pengingkaran atas kejahatan penyiksaan,<br />

perlakuan tidak manusiawi, merendahkan<br />

martabat dan hukuman kejam terhadap<br />

perempuan. Berbagai upaya penyelidikan untuk<br />

menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap<br />

perempuan selalu menghadapi hambatan<br />

terutama jika kasus-kasus tersebut terjadi di<br />

wilayah konflik. Meskipun ada beberapa kasus<br />

kekerasan terhadap perempuan tetapi proses<br />

penghukuman terhadap para pelaku jauh dari<br />

kesan adil karena hukuman yang dijatuhkan<br />

sangat ringan. Data menunjukkan bahwa<br />

pengungkapan kasus kekerasan terhadap<br />

perempuan berada dalam skala yang tinggi<br />

namun penghukuman terhadap pelaku<br />

menempati skala yang terendah.<br />

REKOMENDASI:<br />

Kepada Pemerintah Nasional:<br />

1. Melanjutkan proses reformasi regulasi yang<br />

belum lengkap diantaranya terhadap berbagai<br />

UU yang belum dibentuk yang seharusnya<br />

menjadi bagian dari regulasi yang lain. UU<br />

tersebut diantaranya adalah UU Perlindungan<br />

Saksi dan Korban, UU mengenai Kompensasi,<br />

Restitusi dan Rehabilitas, UU mengenai<br />

Ratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik,<br />

UU mengenai Ratifikasi Konvensi hak-hak<br />

Ekonomi, Sosial dan Budaya.<br />

2. Melakukan amandemen terhadap regulasi/<br />

UU yang masih banyak mempunyai kendala<br />

subtansial dan tidak sinkron dengan regulasi<br />

lainnya. UU tersebut diantaranya Kitab<br />

Undang-undang Hukum Pidana, UU Hukum<br />

Acara Pidana, UU No. 39 Tahun 1999 tentang<br />

Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000<br />

tentang Pengadilan HAM, Kitab Undang-<br />

Undang Hukum Pidana Militer<br />

3. Mencabut regulasi yang masih tersisa yang<br />

bertentangan dengan HAM terutama yang<br />

bertentang dengan Ketentuan mengenai hak<br />

asasi manusia di UUD 1945.<br />

4. Lembaga-lembaga pelaksana regulasi harus<br />

melakukan reformasi internal untuk<br />

menghilangkan warisan watak orde baru<br />

sehingga reformasi regulasi yang terjadi juga<br />

diimbangi dengan perubahan internal di<br />

lembaga-lembaga tersebut.<br />

5. Mengembalikan penyelesaian persoalan<br />

sparatisme dan konflik sosial serta perang<br />

melawan terorisme melalui cara-cara damai,<br />

dan sebisa mungkin meminimalisir penggunaan<br />

kekuatan bersenjata dalam penyelesaian<br />

sparatisme dan konflik sosial serta perang<br />

melawan terorisme.<br />

6. Mempercepat proses reformasi di tubuh<br />

kepolisian yakni dengan membuat :<br />

a) Mengefektifkan mekanisme pertanggungjawaban<br />

internal hingga dapat<br />

menyeret para pelanggar dari kalangan<br />

perwira menengah dan atas<br />

b) Membenahi prosedur-prosedur<br />

pengamanan demonstrasi dan<br />

penggusuran, penertiban kawasan<br />

perdagangan liar dan konflik-konflik<br />

sumber kekayaan alam<br />

c) Membenahi standar-standar tentang<br />

pengerahan kekuatan Brimob dalam<br />

penanganan huru hara dan operasi-operasi<br />

penegakan hukum, termasuk di sini<br />

memperkuat mekanisme pertanggungjawaban<br />

internal di lingkungan kesatuan<br />

tersebut.<br />

d) Meningkatkan kapasitas pemahaman<br />

hak asasi manusia di kalangan anggota<br />

yang juga didukung dengan peningkatan<br />

kesejahteraan keluarga.<br />

e) Membuat buku saku hak asasi manusia<br />

bagi anggota Polri di lapangan.<br />

7. Mempercepat proses reformasi di tubuh<br />

TNI yakni dengan:<br />

a) Mempercepat proses reformasi di<br />

institusi tersebut dengan menjadikan dasar<br />

UU Nomor 3 Tahun 2002 dan UU Nomor<br />

34 Tahun <strong>2004</strong> sebagai kerangka acuan<br />

percepatan proses reformasi internal.<br />

b) Mengefektifkan mekanisme pertanggungjawaban<br />

internal, terutama untuk<br />

menjerat para pelaku dari kalanganj<br />

perwira menengah dan tinggi, termasuk<br />

juga membenahi administrasi peradilan di<br />

institusi peradilan militer.<br />

c) Meningkatkan pelatihan-pelatihan hak<br />

asasi secara berkala di kalangan prajurit<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

65


terutama di kalangan perwira muda.<br />

8. Mempercepat proses reformasi di institusi<br />

kejaksaan yakni dengan:<br />

a) Membuka akses kepada publik atas<br />

transparansi penanganan kasus-kasus yang<br />

selama ini tidak jelas penanganannya dan<br />

mandeg di Kejaksaan Agung.<br />

b) Membuat petanggungjawaban atau<br />

akuntabilitas dengan menjelaskan kepada<br />

publik tentang berbagai proses penuntutan<br />

yang mengalami kegagalan terutama<br />

dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang<br />

berat.<br />

c) Membuat kursus hak asasi manusia<br />

berkala bagi Jaksa.<br />

9. Mempercepat proses reformasi di institusi<br />

pengadilan yakni dengan:<br />

a) Melanjutkan proses reformasi internal<br />

lembaga pengadilan di bawah kewenangan<br />

Mahkamah Agung baik bidang<br />

administrasi pengadilan maupun<br />

peningkatan sumber daya manusianya.<br />

b) Menggelar kursus hak asasi manusia<br />

bagi hakim secara berkala.<br />

c) Membuka akses publik yang seluasluasnya<br />

atas proses peradilan.<br />

Kepada Pemerintah Daerah:<br />

1. Melakukan audit terhadap regulasi daerah<br />

dengan menggunakan konstitusi dan hukum<br />

hak asasi manusia sebagai indikator audit dan<br />

selanjutnya mencabut regulasi daerah yang<br />

bertentangan dengan konstitusi dan hukum hak<br />

asasi manusia nasional<br />

2. Membuat regulasi-regulasi di tingkat<br />

daerah untuk mendorong pelaksanaan hukum<br />

hak asasi manusia nasional di tingkat daerah<br />

3. Mengembalikan fungsi Satuan Polisi<br />

Pamong Praja sebagai satuan pengaman internal.<br />

4. Menyelenggarakan training hak asasi<br />

manusia bagi aparatur pemerintahan daerah<br />

secara berkala dengan mengundang para<br />

pengajar dari kalangan akademisi dan praktisi<br />

hak asasi manusia.<br />

5. Membuka Kantor Perwakilan Komisi<br />

Nasional Hak Asasi Manusia di Wilayahnya dan<br />

bekerjsama dengan Komnas HAM untuk<br />

melakukan pemantauan kondisi hak asasi<br />

manusia di daerahnya secara periodik.<br />

6. Mempublikasikan laporan kondisi hak<br />

asasi manusia di daerahnya secara periodik<br />

kepada publik lokal.<br />

Kepada DPRD di Seluruh Indonesia:<br />

1. Membentuk Komisi hak asasi manusia,<br />

seperti yang sudah dilakukan oleh DPRD<br />

Propinsi Papua<br />

2. Mengambil insiatif pembuatan regulasiregulasi<br />

hak asasi manusia di tingkat daerah.<br />

3. Mengawasi pelaksanaan perlindungan hak<br />

asasi manusia yang dilakukan oleh kepala<br />

daerah.<br />

4. Bekerjasama dengan Komnas HAM untuk<br />

merumuskan kerangka pembangunan hak asasi<br />

manusia di tingkat daerah.<br />

REKOMENDASI KHUSUS<br />

Kepada Pemerintah Nasional<br />

1. Menggelar penyelidikan kasus-kasus<br />

penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi,<br />

merendahkan martabat dan hukum kejam<br />

terhadap kelompok perempuan untuk<br />

membuktikan informasi kejahatan semacam ini<br />

di berbagai daerah.<br />

2. Mempercepat proses perbaikan kondisi<br />

hak-hak perempuan, dengan mengambil<br />

langkah-langkah pembuatan kebijakan di<br />

tingkat nasional.<br />

3. Mengefektifkan fungsi Komnas Perempuan<br />

yakni dengan memberikan mandat Penyelidikan<br />

atas kasus-kasus kejahatan terhadap<br />

perempuan.<br />

Kepada TNI/POLRI:<br />

1. Mendorong penghormatan hak-hak<br />

perempuan di kalangan prajurit/anggota-nya,<br />

khususnya bagi mereka yang sedang bertugas di<br />

daerah-daerah konflik<br />

2. Bekerjasama dengan Komnas HAM untuk<br />

menyelidiki kasus-kasus penyiksaan, perlakuan<br />

tidak manusiawi, merendahkan martabat dan<br />

66 Bagian VI


hukuman kejam terhadap perempuan yang<br />

diduga dilakukan oleh anggota TNI/Polri di<br />

daerah-daerah konflik.<br />

3. Memasukkan ketentuan perlindungan<br />

hak-hak perempuan dalam amandemen kitab<br />

undang-undang hukum pidana militer<br />

4. Menyelenggarakan pendidikan yang<br />

berkala berkaitan dengan perlindungan,<br />

penghormatan dan pemajuan hak-hak<br />

perempuan.<br />

Kepada Pemerintah Daerah:<br />

1. Mempercepat proses perbaikan kondisi<br />

hak-hak perempuan, dengan mengambil<br />

langkah-langkah pembuatan kebijakan di<br />

tingkat daerah untuk mendorong dan<br />

memperkuat pelaksanaan regulasi perlidnungan<br />

hak-hak perempuan nasional<br />

2. Mendirikan Komisi pemantuan hak-hak<br />

perempuan di tingkat daerah dan memasukan<br />

biaya operasional komisi tersebut ke dalam<br />

anggaran belanja negara/daerah.<br />

Kepada DPR dan DPRD:<br />

Membentuk komisi khusus yang bertugas<br />

merumuskan kebijakan tentang perlindungan<br />

hak-hak perempuan dan mengawasi<br />

pelaksanaan perlindungan dan penghormatan<br />

hak-hak perempuan di tingkat nasional dan<br />

daerah.<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

67

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!