2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
BAGIAN PERTAMA<br />
Pendahuluan<br />
Ketika tahun <strong>2004</strong> berganti, berarti kita<br />
telah lima tahun dalam era reformasi.<br />
Meskipun telah lima tahun, penuntasan<br />
berbagai permasalahan hak asasi manusia terasa<br />
belum begitu mengembirakan. Bahkan dalam<br />
dua tahun terakhir ini, perlindungan dan<br />
pemajuan hak asasi manusia seakan kembali<br />
ketitik terendah, karena reformasi kelembagaan<br />
dan ratifikasi instrumen norma hak asasi<br />
manusia internasional belum terjadi seperti<br />
yang diharapkan. Di samping itu, upaya untuk<br />
mencegah berulangnya pelanggaran hak asasi<br />
manusia terasa sangat lamban serta belum<br />
memiliki arah yang jelas. Dengan sendirinya kita<br />
kembali mengalami berulangnya pelanggaran<br />
hak asasi manusia yang bahkan tidak bisa kita<br />
bedakan dengan pelangaran di era Soeharto.<br />
Situasi serba lamban itu disebabkan oleh<br />
beberapa faktor yaitu: (i) Kembali menguatnya<br />
penggunaan regulasi kedaruratan yang disertai<br />
pengerahan kekuatan militer untuk<br />
menyelesaikan tuntutan kemerdekaan atau<br />
konflik sosial di beberapa daerah; (ii) Terlalu<br />
bersandarnya agenda perbaikan ekonomi<br />
nasional kepada pemilik modal; (iii)<br />
Diabaikannya hak-hak ekosob masyararakat<br />
dalam proses desentralisasi kekuasaan; dan (iv)<br />
Masih lestarinya watak patriarki dalam birokrasi<br />
negara. Keempat faktor itu pada gilirannya<br />
membuat negara lebih berpihak kepada pemilik<br />
modal di satu sisi dan menyisihkan perempuan<br />
dari proses pengambilan keputusan politik<br />
nasional di sisi lain.<br />
Dalam era reformasi ini, agenda utama yang<br />
dituntut masyarakat, terutama korban dan<br />
keluarga korban, adalah penyelesaian kasus<br />
pelanggaran hak asasi manusia pada masa<br />
Soeharto. Untuk menjawab tuntutan itu mulai<br />
diselidiki kasus kerusuhan Mei dan Penculikan<br />
aktivis pro-demokrasi, DOM Aceh dan<br />
kejahatan militer di Timor Lorosae pasca jajak<br />
pendapat. Kemudian penyelidikan berlanjut ke<br />
kasus seperti kasus penembakan mahasiswa<br />
Trisakt-Semanggi, Talangsari dan kasus-kasus<br />
pelanggaran hak asasi manusia di Papua.<br />
Sayangnya, sebagian besar hasil penyelidikan<br />
itu, di dalam pengadilan tidak mendapatkan<br />
respon yang baik. Hal itu terlihat dari bebasnya<br />
para terdakwa. Bahkan tak jarang pula ada hasil<br />
penyelidikan terkatung-katung nasibnya karena<br />
berkasnya selalu bolak-balik antara Komnas<br />
HAM dan Kejaksaan Agung. Kondisi ini-lah<br />
yang menimbulkan skeptisme dari masyarakat<br />
terhadap proses reformasi institusi peradilan.<br />
Rendahnya kepercayaan itu kemudian<br />
diperburuk oleh masihnya tingginya tingkat<br />
korup di lembaga-lembaga peradilan tersebut.<br />
Selain itu lembaga peradilan juga tidak mampu<br />
mengatasi atau menolak intervensi dari pihak<br />
eksekutif, legislatif, serta institusi militer atau<br />
polisi.<br />
Sepanjang lima tahun terakhir, pemerintah<br />
— baik di tingkat pusat, propinsi, maupun<br />
kabupaten/kota — dalam membuat kebijakan<br />
baru terlihat lebih banyak mengabaikan hak<br />
asasi manusia ketimbang memberikan<br />
perangkat melindungi. Produk undang-undang<br />
yang melindungi hak asasi manusia di awal<br />
reformasi dalam perkembangannya belum<br />
menjadi acuan bagi daerah seperti provinsi dan<br />
kabupaten/kota dalam membuat kebijakan<br />
baru. Kadang kala kebijakan yang tidak respek<br />
Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />
1