2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
penggunaan kekuatan militer oleh pemerintah<br />
sipil. Akibat dari itu semua kebijakan-kebijakan<br />
ini berbagai tindak pelanggaran hak asasi<br />
manusia di Indonesia dalam lima tahun<br />
terakhir. 1 Di lain pihak, kebijakan-kebijakan<br />
tersebut turut menggagalkan komitmen<br />
nasional tentang agenda penegakan hak asasi<br />
manusia di Indonesia.<br />
Bab ini berusaha menjelaskan proses<br />
menguatnya penggunaan regulasi kedaruratan<br />
dan penggunaan kekuatan bersenjata oleh<br />
negara dalam mengatasi ketegangan politik dan<br />
konflik sosial di daerah yang telah menyebabkan<br />
agenda perbaikan hak asasi manusia nasional<br />
sepanjang 1999-<strong>2004</strong> berjalan di tempat.<br />
Penggunaan regulasi kedaruratan dan<br />
penggunaan kekuatan bersenjata untuk<br />
menghadapi gejolak sosial adalah bukanlah hal<br />
baru di Indonesia. Justru sebaliknya,<br />
pengandalan kekuatan militer untuk<br />
menghadapi gerakan separatis dan konflik sosial<br />
adalah kebiasaan dari pemerintahan orde baru<br />
di mana dengan alasan memulihkan keamanan<br />
dan ketertiban, tindakan menangkap dan<br />
menahan orang tanpa batas waktu, menetapkan<br />
sensor terhadap pers, membatasi arus keluarmasuk<br />
orang di perbatasan dan mengawasi<br />
kegiatan ekonomi yang dianggap vital adalah<br />
sesuatu yang lumrah.<br />
MENGUATNYA PENGGUNAAN<br />
REGULASI KEDARURATAN DAN<br />
PENGERAHAN KEKUATAN MILITER<br />
OLEH NEGARA SEPANJANG 1999-<strong>2004</strong><br />
Kecenderungan penggunaan regulasi<br />
kedaruratan dan pengerahan kekuatan militer<br />
oleh negara sebagai respon atas kemunculan<br />
gerakan separatisme dan konflik sosial dalam<br />
lima tahun belakangan ini semakin menguat.<br />
Pola-pola penyelesaian melalui cara-cara damai<br />
sebagaimana yang nampak dominan pada awalawal<br />
pemerintahan transisi terbentuk – pada era<br />
presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid –<br />
sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh<br />
pemerintah. Bahkan, tanpa didahului dengan<br />
evaluasi yang mendalam dan independen atas<br />
sejumlah langkah-langkah penyelesaian damai<br />
yang sudah mereka tempuh, pihak pemerintah<br />
selalu mengajak untuk membenarkan langkahlangkah<br />
militer yang mereka tempuh yakni<br />
dengan menyebutkan kelompok pemberontak<br />
atau pihak-pihak sipil yang bertikai telah<br />
menolak berdamai sehingga layak untuk<br />
diselesaikan melalui langkah-langkah militer.<br />
Dengan mengumandangkan slogan “Menjaga<br />
Keutuhan Kedaulatan Negara Kesatuan<br />
Republik Indonesia — (NKRI)” para pejabat<br />
militer dan sipil mengajak publik luas untuk<br />
dukungan langkah-langkah militer tersebut.<br />
Akibatnya, langkah-langkah penyelesaian damai<br />
yang sebenarnya banyak menunjukkan<br />
keberhasilan dalam menyelesaikan persoalan<br />
pemberontakan dan konflik komunal, menjadi<br />
tidak popular di mata publik.<br />
1. Penanganan Tuntutan Kemerdekaan<br />
di Aceh dan Papua<br />
Pasca rezim orde baru tumbang, adalah<br />
Habibie, presiden pertama yang menggunakan<br />
regulasi kedaruratan dan pengerahan kekuatan<br />
militer untuk menghadapi persoalan<br />
pemberontakan dan konflik sosial di Indonesia.<br />
Dimulai dengan penerbitan Keputusan Presiden<br />
(Kepres) Nomor 107 Tahun 1999 tentang<br />
Pemberlakuan Darurat Militer di Timor<br />
Lorosae, Habibie mencoba mengakhiri tindak<br />
kekerasan yang semakin meluas di Timor Timur<br />
(sekarang Republik Demokratik Timor<br />
Lorosae) pasca Jajak Pendapat Agustus 1999,<br />
dengan mengerahkan kekuatan militernya ke<br />
Timor Timur. Dengan dalih pemerintah Indonesia<br />
mendapat mandat dari PBB dan<br />
Pemerintah Portugal untuk bertanggungjawab<br />
atas keamanan di wilayah Timor Timur selama<br />
jajak pendapat berlangsung, Habibie memilih<br />
untuk memberlakukan darurat militer di<br />
wilayah tersebut. Meski telah ditetapkan dalam<br />
30 Bagian III