05.05.2015 Views

2004 Human Rights Report - Elsam

2004 Human Rights Report - Elsam

2004 Human Rights Report - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

karena usaha-usaha kecil mereka juga<br />

dikenakan pajak atau retribusi. Sementara<br />

pelaksanaan kebijakan memacu investasi daerah<br />

dan pembangunan sarana dan prasarana umum<br />

membuat masyarakat kembali kehilangan<br />

haknya atas tanah dan kekayaan alam yang<br />

sudah turun temurun mereka kelola. Di wilayah<br />

pedesaan atau perkampungan, sejumlah<br />

penduduk kembali melaporkan bahwa proses<br />

pemberian konsesi kehutanan, pertambangan<br />

dan perkebunan besar semakin memperkuat<br />

klaim perusahaan atas tanah maupun kekayaan<br />

alam penduduk lokal. Di perkotaan, penataan<br />

kota untuk pembangunan prasarana investasi<br />

maupaun penanganan persoalan kemacetan dan<br />

banjir, menjadi alasan kuat bagi pemerintah<br />

daerah untuk menggusur penduduk urban.<br />

Pemda kemudian memberikan tuduhan atau<br />

cap kriminal kepada penduduk urban untuk<br />

membenarkan langkah-langkah penggusuran<br />

atau pelarangan atas aktivitas penduduk. Cap itu<br />

antara lain: menduduki tanah-tanah milik<br />

BUMN atau pihak swasta, mengganggu<br />

kenyamanan pengguna jalan karena berjualan di<br />

pinggir jalan, menjadi penyebab kemacetan di<br />

jalan karena mengoperasikan kendaraan umum<br />

yang tidak ramah lingkungan serta menjadi<br />

penyebab banjir karena mendirikan rumahrumah<br />

di pinggir kali.<br />

Minimnya regulasi perlindungan hak asasi<br />

manusia ini tidak dibarengi dengan melakukan<br />

revisi atau mencabut atas sejumlah perda-perda<br />

yang bertentangan dengan hak asasi manusia di<br />

masa lalu. Sebut saja di Jakarta, regulasi daerah<br />

tentang Tata Ruang Kota dan Perda Nomor 11<br />

tahun 1988 tentang ketertiban Umum yang<br />

diproduksi pada masa rezim orde baru berkuasa<br />

hingga saat ini belum dicabut. Dan celakanya ini<br />

digunakan oleh Sutiyoso untuk kembali<br />

menggusur ribuan penduduk dan melarang<br />

pedagang kaki lima untuk beroperasi di<br />

sejumlah tempat serta digunakan untuk<br />

melarang beroperasinya becak. Di Tangerang,<br />

Perda Nomor 18 Tahun 2000 tentang<br />

ketertiban, keindahan, dan kebersihan (K3)<br />

Pemerintah Kota Tangerang, yang<br />

membenarkan praktik-praktik penggusuran<br />

hingga laporan ini dibuat juga dicabut. Bahkan<br />

para bupati saat ini menggunakan perda<br />

tersebut untuk menggusur ratusan pedagang di<br />

depan gerbang masuk pergudangan Bandara<br />

Mas, berjarak 200 meter dari pintu gerbang M-<br />

1 menuju Bandara Soekarno-Hatta. Di<br />

Kendari-Sulawesi Tenggara Gubernur hingga<br />

saat ini belum mencabut SK Gubernur Sulawesi<br />

Tenggara No 318 Tahun 2000 tentang<br />

Pembentukan Tim Penanggulangan<br />

Perambahan atau Gangguan kawasan TNRAW<br />

dan Kawasan Hutan Sekitarnya. Padahal SK ini<br />

kerap digunakan sebagai landasan tindakan<br />

pengusiran (pemindahan paksa) penduduk asli<br />

Tobu HukaEa-LaEa. Di Jawa Tengah, Perda No<br />

13 Tahun l991 tentang Ketertiban dan<br />

Keindahan Lingkungan Perkotaan, juga belum<br />

dicabut. Sementara perda ini memberikan<br />

kewenangan kepada Pemerintah kota Semarang<br />

untuk menggusur puluhan pedagang kaki lima<br />

di Jalan Sukowati. Di Sukabumi, Perda Nomor<br />

2 Tahun 1988 tentang K3, hingga saat ini belum<br />

dicabut dan menjadi pembenaran penertiban<br />

pedagang kaki lima. Dan masih banyak lagi<br />

regulasi-regulasi daerah yang bertentangan<br />

dengan hak asasi manusia namun hingga saat ini<br />

belum juga diamandemen, dan pada masa era<br />

otonomi ini justru menjadi senjata pemerintah<br />

propinsi dan kabupaten/kota untuk<br />

menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi,<br />

sosial dan budaya penduduknya sendiri dengan<br />

melancarkan praktik-praktik penggusuran<br />

paksa penduduk asli, petani, nelayan, dan<br />

komunitas urban di sebagian besar wilayah Indonesia.<br />

2. Ketiadaan Institusi perlindungan Hak<br />

asasi Manusia<br />

Reorganisasi struktur Pemerintah daerah<br />

pada masa persiapan dan pelaksanaan Otonomi<br />

daerah tidak dibarengi dengan pembangunan<br />

institusi perlindungan dan penegakan hak asasi<br />

manusia di daerah. Praktis dari pengamatan<br />

program reorganisasi struktur pemerintahan<br />

hanya berkutat pada pembenahan garis hirarki<br />

dan koordinasi antar instansi-instansi yang dulu<br />

tidak berada di bawah Pemerintah daerah.<br />

Berdasarkan pengamatan ELSAM, mayoritas<br />

propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia tidak<br />

memiliki institusi perlindungan hak asasi<br />

manusia. Hanya dua propinsi di Indonesia yang<br />

ditemukan memiliki Kantor Perwakilan<br />

Komnas HAM, dan kantor-kantor itu pun tidak<br />

mendapatkan dukungan politik dan dana yang<br />

Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />

45

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!