2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
penyelesaian persoalan substansi yang menjadi<br />
penyebab terjadinya kekerasan antara<br />
komunitas yakni tuntutan penduduk lokal akan<br />
pembentukan pemerintahan daerah yang<br />
demokratis dan pembersihan praktik-praktik<br />
diskriminasi yang telah menyebabkan mereka<br />
kehilangan hak sipil, politik dan ekonomi<br />
selama puluhan tahun. Berbagai inisiatif<br />
penyelesaian secara damai pun telah mereka<br />
tinggalkan dengan alasan yang sama persis<br />
ketika menghadapi masalah pemberontakan.<br />
Konflik di Maluku dan Maluku Utara yang<br />
dipicu oleh perkelahian dua orang pemuda ini,<br />
membawa dua propinsi tersebut berada dalam<br />
kontrol militer yang sangat panjang. Dimulai<br />
sejak akhir Desember 1998, kekerasan komunal<br />
terus berlanjut hingga pertengahan tahun 2002.<br />
Sepanjang itu pula pola-pola penyelesaian<br />
melalui pengerahan kekuatan militer dijalankan<br />
lebih dari dua tahun. Berbagai inisiatif<br />
penyelesaian secara damai oleh pemerintah awal<br />
1999 hingga pertengahan 2000 ditinggalkan<br />
begitu saja karena gagal untuk membuat kedua<br />
kelompok tetap bertikai. Bahkan perjanjian<br />
Malino II yang digagas untuk menyelesaikan<br />
konflik tersebut pun dianulir oleh Jakarta yakni<br />
dengan mengerahkan pasukan militer ke<br />
Maluku untuk memaksa diam kelompokkelompok<br />
yang tidak setuju dengan konsep<br />
perdamaian yang ditawarkan oleh pemerintah.<br />
Dimulai dengan<br />
mengirimkan pasukan<br />
pada awal Januari 1999,<br />
kemudian berlanjut<br />
dengan menetapkan<br />
Maluku dalam keadaan<br />
Bantuan Militer<br />
(BANMIL) hingga Juni<br />
1999. Meski demikian<br />
cara-cara penyelesaian<br />
tersebut ternyata tidak<br />
membuat peristiwa<br />
kekerasan berhenti dan<br />
malah sebaliknya<br />
kekerasan justru<br />
semakin meningkat dan<br />
meluas hampir ke<br />
seluruh pulau yang<br />
masuk dalam propinsi<br />
Maluku. Strategi Jakarta<br />
memecah Maluku<br />
menjadi dua propinsi, yakni Maluku dan<br />
Maluku Utara, juga gagal meredam konflik,<br />
karena pemekaran ini ternyata hanya<br />
mengakomodir tuntutan elit politik lokal.<br />
Meluasnya kekerasan pertengahan 1999 yang<br />
kemudian menjadi pembenar atas pemekaran<br />
Korem Pattimura menjadi setingkat KODAM<br />
pun tidak juga berhasil menyelesaikan konflik<br />
secara tuntas dan justru mengantar Maluku dan<br />
Maluku Utara<br />
dalam status Darurat Sipil akibat peristiwa<br />
kekerasan pada Juni 2000 melumpuhkan<br />
pemerintahan sipil di wilayah tersebut. Melalui<br />
Keppres Nomor 88 Tahun 2000, presiden<br />
Abdurrahman Wahid menetapkan Maluku dan<br />
Maluku Utara dalam keadaan Darurat Sipil,<br />
agar langkah penghentian aksi kekerasan oleh<br />
pasukan keamanan dapat berjalan dengan<br />
efektif. Setidaknya kurang lebih tiga tahun,<br />
propinsi Maluku dan Maluku Utara dinyatakan<br />
dalam keadaan Darurat Sipil. Ribuan pasukan<br />
militer dan Brimob kemudian memenuhi desadesa<br />
di Maluku dan Maluku Utara.<br />
Tidak berbeda dengan Maluku, Peristiwa<br />
kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah tidak pernah<br />
berhenti sekalipun Jakarta telah berulang kali<br />
mengirimkan pasukan militer dan polisi ke<br />
daerah tersebut. Pola pemisahan tempat tinggal<br />
dan tembak di tempat bagi para penduduk yang<br />
mencoba menyeberang ke wilayah yang<br />
Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />
33