2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
kemanusiaan. Pelanggaran HAM yang terjadi<br />
tersebut tidak direspon oleh negara secara<br />
memadai karena tertutup oleh kepentingan<br />
untuk menjaga keutuhan negara kesatuan RI.<br />
Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi tidak<br />
direspon atau diselesaikan secara tuntas di mana<br />
berbagai upaya penyelidikan selalu terhambat<br />
dan legitimasi untuk melakukan kekerasan<br />
adalah cara yang tepat karena tindakan ini<br />
ditujukan untuk menjaga keutuhan NKRI.<br />
Kondisi di atas semakin menjauhkan<br />
pemerintah terhadap akar pokok masalah dari<br />
persoalan pemberontakan, konflik sosial dan<br />
keberadaan organisasi-organisasi keagamaan<br />
garis keras di Indonesia. Langkah-langkah<br />
seperti itu hanya menghasilkan kembali<br />
terbukanya peluang kebangkitan sistem otoriter<br />
di Indonesia.<br />
Di lain pihak, proses desentralisasi kekuasaan<br />
dalam kerangka Otonomi daerah di Indonesia<br />
pada akhirnya justru membuat penduduk lokal<br />
semakin tidak percaya dengan pemerintah<br />
daerah. Tak ubahnya seperti rezim Suharto,<br />
dengan alasan memacu pertumbuhan ekonomi<br />
daerah, pemerintah daerah kembali<br />
menghadapi perlawanan penduduk lokal atas<br />
sejumlah rencana pembanguan daerah dengan<br />
cara-cara kekerasan. Implementasi otonomi<br />
daerah selanjutnya menimbulkan upaya-upaya<br />
pemerintah daerah untuk menggencarkan<br />
penggalian atas potensi kekayaan alam dan<br />
kekayaan non-alam untuk menambah<br />
pendapatan daerah. Tindakan-tindakan<br />
tersebut menimbukan ketegangan-ketegangan<br />
antara pemerintah daerah dengan pusat<br />
menyamgkut perimbangan keuangan. Konflik<br />
lainnya adalah ketegangan ditingkat elit lokal<br />
yang memperebutkan kekuasaan. Lagi-lagi<br />
masyarakat yang menjadi korban atas<br />
pertarungan politik dan kekuasaan ini. Otonomi<br />
daerah pun gagal membangun mekanisme perlindungan<br />
dan penegakan pelanggaran hak asasi<br />
manusia yang seharusnya turut dilakukan ketika<br />
membangun institusi dan struktur<br />
pemerintahan otonom. Dalam janga watu<br />
tersebut, muncul berbagai regulasi daerah yang<br />
anti hak asasi manusia dan makin maraknya<br />
pengusiran paksa. Pengusiran paksa dari tahun<br />
1999-<strong>2004</strong> semakin menunjukkan grafik yang<br />
meningkat. Pengusiran paksa ini dilakukan<br />
dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan<br />
hukum dan di mana tidak ada cukup negosiasi<br />
antara warga dengan pemerintah dan tidak<br />
memadainya ganti rugi kepada korban.<br />
Pemerintah daerah pun terus-menerus<br />
melakukan pengingkaran atas terjadinya<br />
kejahatan hak asasi manusia ini. Akibat dari<br />
proses otonomi daerah yang tidak berjalan<br />
secara baik ini, penduduk lokal kembali harus<br />
menjadi bulan-bulanan tindak kekerasan dan<br />
pelanggaran hak asasi manusia aparatur<br />
pemerintah propinsi dan kabupaten.<br />
Minimnya produksi regulasi serta kegagalan<br />
mereduksi watak patriarki dalam struktur<br />
pemerintahan nasional hingga desa akhirnya<br />
membuat kejahatan dalam kategori ini semakin<br />
menguat hingga ke seluruh sendi kehidupan<br />
masyarakat dan kemudian menjadi tindak<br />
kejahatan yang endemik. Proses upaya-upaya<br />
perbaikan perlindungan hak-hak terhadap<br />
perempuan yang terdiri atas refomasi hukum,<br />
reformasi institusi, pengungkapan kasus dan<br />
penghukuman tidak berjalan secara linear.<br />
Bahkan tidak ada satupun kompensasi, restitusi<br />
dan rehabilitasi kepada korban kekerasan<br />
terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan<br />
bahwa perlindungan terhadap hak-hak<br />
perempuan masih rendah dan akibatknya gejala<br />
kekerasan akan terus terjadi sehingga sampai<br />
saat ini bisa dikatakan tidak ada tempat aman<br />
bagi perempuan. Kuatnya faham patriarki di<br />
tubuh pemerintahan yang kemudian diadopsi<br />
oleh masyarakat ke dalam relasi interaksi lakilaki<br />
perempuan sehari-hari, menjadi dasar<br />
pembenaran atas praktik-praktik kekerasan<br />
terhadap perempuan. Praktik-praktik kejahatan<br />
terhadap perempuan dalam penerapan darurat<br />
militer atau operasi militer kemudian diadopsi<br />
oleh para pemilik modal dalam menjalankan<br />
praktik kerja dengan buruh-buruh perempuan,<br />
dan oleh masyarakat dalam menjalankan relasi<br />
yang tidak seimbang antara laki-laki dengan<br />
perempuan, menjadi akar utama atas terjadinya<br />
praktik-praktik kejahatan penyiksaan,<br />
perlakuan tidak manusiawi, merendahkan<br />
martabat dan hukuman kejam terhadap<br />
perempuan. Kondisi ini semakin diperburuk<br />
dengan kegagalan dari negara untuk mengambil<br />
langkah-langkah perlindungan dan<br />
penghormatan hak-hak perempuan dalam<br />
proses menjalankan agenda reformasi nasional.<br />
Negara secara terus menerus melakukan<br />
64 Bagian VI