2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
konflik sosial, perbaikan roda<br />
ekonomi nasional, pelaksanaan<br />
desentraslisasi serta perang<br />
melawan terorisme, pada<br />
akhirnya menyebabkan<br />
kekerasan terhadap hak-hak<br />
perempuan di Indonesia.<br />
Kejahatan yang paling menonjol<br />
ditemukan dalam lima tahun<br />
terakhir ini adalah kejahatan<br />
penyiksaan, tindakan tidak<br />
manusiawi, merendahkan<br />
martabat dan hukuman kejam.<br />
Pemantauan ELSAM atas<br />
berbagai kejahatan dalam<br />
kategori ini menyebutkan bahwa<br />
hampir sebagian besar dialami<br />
oleh kelompok perempuan.<br />
Berbagai kasus ini ditemukan<br />
di wilayah konflik bersenjata, di<br />
tempat bekerja, bahkan di dalam<br />
rumah sekalipun. Bentuk dan<br />
pola kejahatannya pun beragam,<br />
yakni dari mulai berbentuk<br />
kekerasan fisik, perkosaan,<br />
serangan seksual hingga<br />
tekanan-tekanan psikologis yang<br />
berakibat timbulnya trauma<br />
yang panjang bagi para<br />
korbannya. Berbagai tujuan<br />
pelaku yang berhasil diidentifikasi adalah bagian<br />
dari cara laki-laki untuk melakukan kontrol<br />
terhadap perempuan yang terkait dengan taktik<br />
operasi pengungkapan jaringan klandestin,<br />
termasuk juga cara memperkecil dukungan<br />
terhadap kelompok pemberontak bersenjata<br />
yakni dengan menekan perempuan untuk tidak<br />
mendukung gerakan anti pemerintah; benteng<br />
pertahanan hidup dari serangan militer yang<br />
lebih besar; termasuk juga menjadikan<br />
perempuan sebagai sandera yang bisa ditukar<br />
dengan makanan atau uang atau obat-obatan;<br />
menunjukkan eksistensi majikan kepada<br />
perempuan; serta menunjukkan kekuasaan<br />
suami kepada istri. Para pelakunya pun<br />
teridentifikasi tidak hanya melibatkan institusi<br />
pemerintah melainkan juga melibatkan aktoraktor<br />
non-negara seperti kelompok<br />
pemberontak bersenjata, perusahaan, lembaga<br />
adat atau agama serta kepala atau anggota<br />
keluarga.<br />
Kesaksian Me dalam Kasus Penyiksaan yang Terkait<br />
dengan Peristiwa Wasior 2002<br />
“Saya ditangkap oleh sekelompok anggota Brimob di<br />
Serui pada pertengahan Juli 2001, bersama-sama dengan<br />
anak saya Sisera (9 tahun), A (7 tahun) dan R (6 tahun) dan<br />
suami saya. Kami sekeluarga dibawa ke Polres Serui dan<br />
dimasukkan ke ruang tahanan. Selama ditahan, saya<br />
hanya diberi makan satu kali sehari, dan minum dengan<br />
air WC, dipaksa untuk mandi setiap pkl.05.00 pagi tanpa<br />
pakaian pengganti. Selama dalam tahanan, saya juga<br />
sering diancam untuk ditembak, bahkan pernah ujung<br />
senjata diarahkan ke dalam ruang tahanan korban. Saya<br />
ditahan enam hari ditahan di Polres Serui, lalu dibawa ke<br />
Polres Manokwari. Dan ketika tiba di Polres Manokwari,<br />
saya dan anak-anak menerima informasi dari salah<br />
seorang anggota Polisi Manokwari kalau suami saya telah<br />
meninggal karena disiksa oleh Polisi/Brimob. Seminggu<br />
kemudian (setelah suami korban dimakamkan), saya<br />
kembali dibawa ke Polres Manokwari untuk kembali<br />
diperiksa. Saya disuruh mengaku terlibat dalam kasus<br />
Wondiboy. Selama diperiksa saya dibentak dan dikatakatai<br />
dengan kata-kata kotor. Selesai diperiksa saja disuruh<br />
membuka pakaian semua hingga tinggal pakai celana dan<br />
kemudian disuruh masuk ke sel. (Wawancara korban<br />
kepada pekerja kemanusiaan di Papua, pertengahan <strong>2004</strong>.<br />
Sejumlah laporan diterjemahkan kembali dalam bahasa<br />
indonesia, sehingga struktur kalimatnya tidak sama persis<br />
dengan kesaksian asli yang menggunakan bahasa daerah.)<br />
1. Operasi Anti Gerilya dan Tindak<br />
Penyiksaan atau Perlakuan Kejam<br />
Dalam penggelaran operasi anti gerilya di<br />
Papua dan Aceh diduga keras telah terjadi<br />
praktik-praktik penyiksaan dan ill treatment<br />
yang ditujukan kepada perempuan. Dugaan<br />
keras ini terkait dengan taktik perang anti gerilya<br />
yang juga menjadikan para istri dari anggota<br />
pemberontak, terutama para pemimpinnya,<br />
sebagai target operasi. Dalam Operasi penyisiran<br />
para pelaku penyerangan markas-markas<br />
militer/polisi atau pencarian tokoh-tokoh<br />
politik dan bersenjata, para istri yang berada di<br />
rumah atau di tempat keluarga kerap turut<br />
dibawa ke pos atau kantor militer terdekat untuk<br />
dimintai keterangan seputar keberadaan<br />
suaminya. Dalam proses meminta keterangan<br />
(lebih tepat disebut intrograsi) para perempuan<br />
kerap mendapat tindak penyiksaan dan<br />
perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan<br />
martabat dari para introgrator. 6 Kelompok<br />
56 Bagian V