2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
REGULASI TANPA DIDUKUNG<br />
PEMBENAHAN INSTITUSI<br />
Dukungan berbagai regulasi di bidang<br />
penegakan dan penghormatan hak asasi<br />
manusia tersebut, yang mencerminkan tekad<br />
politik negara transisi menerapkan ‘transitional<br />
justice’, ter nyata mandeg karena reformasi<br />
institusi-institusinya berjalan di tempat.<br />
Institusi-institusi seperti kepolisian, kejaksaan,<br />
dan kehakiman berjalan bagaikan siput, amat<br />
lambat. Begitu pula reformasi institusi TNI dan<br />
intelijen negara, juga berjalan dengan lambat.<br />
Pembenahan institusi-institusi ini memerlukan<br />
kepemimpinan politik yang berani mengambil<br />
tindakan yang radikal, antara lain, dengan<br />
melakukan pensiunan dini terhadap mereka<br />
yang terlibat dengan berbagai kasus korupsi dan<br />
pelanggaran hak asasi di masa Orde Baru. Tetapi<br />
persis policy inilah yang tak berani diambil!<br />
Ambil contoh reformasi kehakiman.<br />
Reformasi di sektor ini telah berhasil<br />
menempatkan Mahkamah Agung sebagai<br />
puncak tertinggi kekuasaan kehakiman melalui<br />
UU No 4/<strong>2004</strong>. Tetapi sayangnya, regulasi yang<br />
berusaha mereformasi institusi tersebut tidak<br />
disertai pula dengan reformasi secara internal<br />
lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.<br />
Substansi reformasi agar lembaga ini lebih<br />
independen dan jauh dari kooptasi kekuasaan<br />
ternyata tidak sepenuhnya dijalankan, karena<br />
sebagian besar dari fungsi dan kewenangan di<br />
masa lalu masih dipertahankan. Lembaga ini<br />
gagal melakukan pembenahan ke dalam, antara<br />
lain, dengan melakukan pensiunan dini<br />
terhadap hakim-hakim yang korup dan pelaku<br />
kekerasan pengadilan di masa Orde Baru.<br />
Reformasi disektor ini nyaris seperti<br />
memasukkan anggur lama ke dalam botol baru!<br />
Inilah yang menjadi salah satu penyebab kasuskasus<br />
pelanggaran hak asasi manusia yang<br />
diadili oleh lembaga ini gagal memberi keadilan.<br />
Reformasi kelembagaan memang sarat<br />
dengan kepentingan politik. Hingga hari ini<br />
lembaga kejaksaan belum tersentuh oleh<br />
gebrakan reformasi. Padahal lembaga ini<br />
merupakan ujung tombak penegakan hukum,<br />
tetapi lembaga ini dikoopatasi oleh kepentingan<br />
politik elit yang berkuasa di masa Orde Baru.<br />
ATAS NAMA OTONOMI DAERAH DAN<br />
KONFLIK<br />
Agenda pembangunan hak asasi manusia di<br />
tingkat nasional ternyata belum bisa<br />
diimplemetasikan oleh pemerintah daerah.<br />
Kebijakan otonomi daerah malah menyebabkan<br />
pemerintah daerah – baik itu di tingkat propinsi<br />
maupun kabupaten/kota — mengeluarkan<br />
regulasi-regulasi yang bertentangan dengan hak<br />
asasi manusia sehingga penggusuran,<br />
pengusiran secara paksa, penghancuran<br />
institusi-institusi lokal turut mewarnai<br />
rangkaian pelanggaran hak asasi manusia dalam<br />
periode 1999-<strong>2004</strong>. Di tingkat pemerintah<br />
daerah sangat minim institusi-institusi perlindungan<br />
hak asasi manusia. Malah sebaliknya<br />
pemerintah daerah berlomba untuk<br />
menguatkan institusi-institusi kekerasan seperti<br />
Satuan Tugas Polisi Pamong Praja guna<br />
mengawal dan mengamankan kebijakan yang<br />
dibuatnya. Parahnya lagi, dengan<br />
mengalaskan”sesuai prosedur” pemerintah<br />
daerah sering mengingkari praktik-praktik<br />
pelanggaran hak asasi manusia yang<br />
dilakukannya.<br />
Dalam menangani Aceh, pemerintah pusat<br />
melalui Keppres Nomor 28 Tahun 2003<br />
menentapkan status Darurat Militer, yang menyebabkan<br />
pengerahan pasukan militer besarbesaran<br />
ke Aceh. Begitu pula dalam menangani<br />
Papua, pemerintah mengirimkan ribuan<br />
pasukan militer untuk mendukung Operasi<br />
Militer Selain Perang di sana guna menghadapi<br />
perlawanan kelompok OPM. Hal yang sama<br />
juga diterapkan dalam menangani konflik<br />
komunal di Maluku dan Poso yang<br />
berkepanjangan, lagi-lagi pemerintah<br />
menggunakan kekuatan militer. Pola-pola<br />
penyelesaian melalui cara-cara damai<br />
sebagaimana yang nampak pada awal<br />
pemerintahan transisi terbentuk lambat laun<br />
ditinggalkan.<br />
Dengan slogan “menjaga keutuhan NKRI”<br />
pejabat-pejabat tinggi militer dan sipil seolaholah<br />
menjadi matra untuk menghalalkan caracara<br />
kekerasan digunakan. Akibatnya Extrajudicial<br />
and summary killing; penangkapan dan<br />
penahanan sewenang-wenang; penyiksaan,<br />
tindakan kejam, tidak manusiawi, merendahkan<br />
martabat dan hukuman kejam; orang hilang<br />
v