2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
manusia semakin meningkat dan mempersulit<br />
agenda perbaikan hak asasi manusia di wilayahwilayah<br />
konflik. Regulasi kedaruratan dan<br />
pengerahan kekuatan militer membenarkan<br />
langkah-langkah pengabaikan hak-hak individu<br />
yang diakui oleh konstitusi dan hukum hak asasi<br />
manusia nasional. Peristiwa-peristiwa<br />
pelanggaran hak asasi manusia di wilayah<br />
konflik adalah penghilangan hak untuk hidup,<br />
penangkapan, penahanan sewenang-wenang,<br />
penyiksaan perlakuan tidak manusiawi dan<br />
hukuman kejam, penghilangan orang,<br />
pembatasan ruang gerak, menghilangkan hak<br />
untuk mengeluarkan pendapat, yang<br />
kesemuanya dibenarkan dalam rangka<br />
memulihkan keamanan dan ketertiban sipil. Di<br />
lain pihak, langkah-langkah Jakarta ini juga<br />
memancing kelompok pemberontak untuk<br />
terlibat dalam aksi-aksi kekerasan terhadap<br />
penduduk sipil, terutama penduduk sipil yang<br />
menjadi pendukung setia militer. Penerapan<br />
regulasi kedaruratan juga membuat upayaupaya<br />
penyelidikan oleh institusi hak asasi<br />
manusia menemui hambatan yang berarti dan<br />
sulit untuk mengetahui jumlah pasti korban<br />
pelanggaran hak asasi manusia untuk kategori<br />
ini. Berikut ini adalah sejumlah paparan fakta<br />
tentang pelanggaran hak asasi menonjol di<br />
wilayah-wilayah konflik sepanjang 1999-<strong>2004</strong>.<br />
1. Extrajudicial and Summary Killing<br />
Tindakan penghilangan nyawa penduduk<br />
sipil oleh militer dalam rangka pemulihan<br />
keamanan dan ketertiban menjadi peristiwa<br />
pelanggaran hak asasi manusia yang paling<br />
menonjol di Aceh, Papua, Maluku, Maluku<br />
Utara, Poso, Sambas dan Sampit. Operasi anti<br />
gerilya dan operasi pemisahan penduduk<br />
berdasarkan agama atau etnis membenarkan<br />
tindakan-tindakan brutal dari personil militer<br />
dalam bentuk pembunuhan di luar proses<br />
hukum, atau dalam istilah hak asasi manusia<br />
disebut extrajudicial killing dan summary execution.<br />
Penggunaan taktik anti gerilya dalam operasi<br />
militer di Aceh dan Papua, kerap melahirkan<br />
peristiwa pembunuhan di luar proses hukum<br />
atas orang-orang sipil yang diduga sebagai GAM<br />
ataupun OPM. Sasaran dalam taktik perang<br />
semacam ini tidak hanya gerilyawan akan tetapi<br />
juga mencakup pihak sipil. Sejumlah informasi<br />
menunjukkan adanya praktik-praktik<br />
pelanggaran kategori ini di Aceh dan Papua.<br />
Dengan pembuktian ditemukannya bendera<br />
pemberontak, memiliki peluru, tertangkap<br />
basah keluar dari hutan-hutan, lari dari sweeping<br />
militer di jalan-jalan, maupun memiliki<br />
kedekatan keluarga dengan kelompok<br />
pemberontak, cukup membuat pasukan militer<br />
dan Brimob untuk menghilangkan nyawa<br />
seseorang. 10 Di Aceh dan Papua, banyak sekali<br />
informasi tentang korban-korban pembunuhan<br />
yang sebelumnya dilaporkan dijemput oleh<br />
unit-unit intelejen di rumah, tempat bekerja dan<br />
kedai-kedai kopi. 11 Bahkan sejumlah informasi<br />
menyebutkan adanya praktik-praktik<br />
pembunuhan diluar proses hukum ini di<br />
tempat-tempat penahanan orang-orang yang<br />
dituduh anggota pemberontak.<br />
Tidak berbeda di Aceh dan Papua, dengan<br />
alasan pemulihan keamanan dan ketertiban di<br />
daerah-daerah konflik sosial, seperti Maluku,<br />
Maluku Utara, Poso, Sambas dan Sampit, militer<br />
dan Brimob kerap terlibat dalam tindak<br />
pembunuhan di luar proses pengadilan atas<br />
sejumlah penduduk sipil yang bertikai. Para<br />
pejabat militer dan polisi mengaku,<br />
penembakan brutal terhadap kerumunan<br />
penduduk di daerah-daerah perbatasan<br />
dilakukan dengan alasan menghindari aksi<br />
saling serang yang lebih besar. Dengan<br />
menuduh para korbannya “perusuh” atau<br />
“provokator” para pejabat militer/polisi<br />
mencoba membenarkan pola penanganan yang<br />
mereka ambil. Bahkan belakangan militer dan<br />
polisi menuduh pihak-pihak yang selalu kritis<br />
dengan pola penanganan penyelesaian<br />
kekerasan di wilayah konflik adalah kelompok<br />
pemberontak. Di Maluku, sejumlah orang yang<br />
tergabung dalam Forum Kedaulatan Maluku<br />
yang dalam beberapa tahun belakangan ini<br />
gencar menyuarakan kebobrokan penanganan<br />
konflik Maluku, dituding oleh militer sebagai<br />
kepanjangan tangan dari kelompok<br />
pemberontak Republik Maluku Selatan<br />
(RMS). 12 Bahkan sejumlah tokohnya ditangkap<br />
dan diadili dengan tuduhan makar.<br />
Tutup Buku dengan “Transitional Justice”?<br />
35