2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
dan penemuan mayat; pembatasan ruang gerak<br />
dan pencabutan hak untuk mengeluarkan<br />
pendapat masih terus terjadi.<br />
HAK-HAK PEREMPUAN: “ALAS KAKI<br />
SIANG HARI, ALAS TIDUR MALAM<br />
HARI “<br />
Sejak runtuhnya Orde Baru perlindungan<br />
dan penghormatan terhadap hak-hak<br />
perempuan tidak mengalami peningkatan yang<br />
cukup signifikan, baik di tataran legal reform<br />
maupun institusional reform. Perempuan masih<br />
dilihat dalam perspektif “alas kaki di waktu<br />
malam, alas tidur di waktu malam”; hak-hak<br />
mereka masih terpasung di bawah kekuasaan<br />
yang patriarki!<br />
Reformasi di bidang legislasi masih jauh dari<br />
apa yang diharapkan. Setidaknya baru dua<br />
produk legislasi tentang perlindungan dan<br />
pencegahan di tingkat nasional yang berhasil<br />
diproduksi dalam lima tahun terakhir, Undangundang<br />
Nomor 23 Tahun <strong>2004</strong> tentang<br />
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />
dan Undang-undang Nomor 39 Tahun <strong>2004</strong><br />
tentang Perlindungan Tenaga Kerja Perempuan<br />
di Luar Negeri. Sehingga hingga saat ini —<br />
bersama Konvensi penghapusan segala bentuk<br />
diskriminasi terhadap perempuan yang telah<br />
diratifikasi — hanya ada tiga produk legislasi<br />
nasional tentang perlindungan dan pencegahan<br />
kejahatan terhadap perempuan. Oleh karenanya<br />
DPR dan Pemerintah dapat dikatakan mandul<br />
dalam memproduksi regulasi yang melindungi<br />
dan menghormati hak-hak perempuan. Di<br />
samping itu, pemerintah dan DPR juga tidak<br />
berdaya untuk mencabut beberapa regulasi di<br />
masa Soeharto yang diskriminatif terhadap<br />
perempuan.<br />
Lemahnya upaya-upaya peningkatan<br />
penghormatan dan perlindungan terhadap hakhak<br />
perempuan telah menimbulkan begitu<br />
banyak praktik-praktik penyiksaan dan ill-treatment<br />
terhadap perempuan. Sehingga kejahatan<br />
penyiksaan, tindakan tidak manusiawi,<br />
merendahkan martabat dan hukuman kejam<br />
terhadap perempuan terus terjadi bahkan<br />
bersifat massif dan berskala besar. Dalam lima<br />
tahun ini masih belum ada tempat yang aman<br />
bagi perempuan, terutama di wilayah-wilayah<br />
konflik, di tempat kerja, bahkan dalam rumah<br />
tangga sekalipun.<br />
PENUTUP: TUTUP BUKU DENGAN<br />
“TRANSITIONAL JUSTICE”?<br />
Implementasi agenda penegakan hak asasi<br />
manusia, sebagai perwujudan dari agenda<br />
Reformasi, terlihat berjalan di tempat.<br />
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi<br />
manusia masa lalu (dan saat ini) dilakukan<br />
dengan selektif, hanya ditujukan bagi<br />
pelanggaran pada pertengahan 80-an hingga<br />
akhir 90-an. Itupun dengan hukuman yang jauh<br />
dari rasa keadilan, dan hanya dikenakan pada<br />
aktor lapangan sedangkan aktor pembuat<br />
kebijakan tidak tersentuh sama sekali! Selective<br />
justice begitu kentara, sehingga impunity masih<br />
dinikmati oleh pelaku yang berkedudukan<br />
tinggi. Pengadilan HAM Timtim dan Tanjung<br />
Priok menjadi bukti yang sulit dipungkiri<br />
tentang bagaimana praktik impunity tersebut<br />
terus berlanjut. Pemerintahan hasil pemilu<br />
<strong>2004</strong>, SBY-JK, terlihat tidak berani menyentuh<br />
wilayah peka ini: 100 hari program<br />
pemerintahannya hampir tidak menyentuh<br />
sama sekali ranah ini!<br />
Rentang waktu lima tahun ternyata bukan<br />
waktu yang cukup bagi Pemerintah, baik itu<br />
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,<br />
untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi<br />
hak asasi manusia. Masih banyak komitmen<br />
pemerintah yang belum dikerjakan dengan<br />
tuntas, khususnya agenda-agenda “transitional<br />
justice”. Akibatnya kondisi hak asasi manusia<br />
tidak begitu berbeda denga Orde Baru. Produksi<br />
regulasi yang bertentangan dengan hak asasi<br />
manusia, reformasi institusi-institusi pelanggar<br />
hak asasi manusia yang setengah hati,<br />
pengadilan yang tak berdaya menghukun<br />
pelanggar hak asasi manusia, penggunaan caracara<br />
militer dalam menangani konflik, perilaku<br />
patriarki pemerintah yang merasuk ke berbagai<br />
lapisan masyarakat telah menggenapkan<br />
rangkaian kegagalan penghormatan dan perlindungan<br />
hak asasi manusia di Indonesia.<br />
Pemerintahan yang baru, SBY-JK, terlihat<br />
gamang mendekati masalah serius ini. Selama<br />
100 hari program kerjanya, pemerintahan SBY-<br />
JK tidak memiliki strategi dan visi menuntaskan<br />
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, dan<br />
membangun perbaikan keadaan hak asasi<br />
vi