2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
2004 Human Rights Report - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
EXECUTIVE SUMMARY<br />
Laporan ini merupakan hasil pengamatan<br />
atau observasi Lembaga Studi dan<br />
Advokasi Masyarakat (ELSAM) atas<br />
kewajiban negara (state obligation) dalam<br />
memajukan, melindungi, dan memenuhi hak<br />
asasi manusia. Jangka waktu yang dipilih<br />
memang terbilang panjang, yakni mulai 1999<br />
hingga <strong>2004</strong>; sepanjang masa reformasi bergulir.<br />
Tujuannya adalah untuk melihat kemajuan apa<br />
yang telah dicapai pada kurun itu, dan dari<br />
sinilah titik pijak untuk melihat prospek<br />
pemenuhan kewajiban negara pada babakan<br />
baru tahun 2005: apakah agenda penegakan hak<br />
asasi manusia yang telah dicanangkan, yakni<br />
agenda ‘transisional justice‘ sudah dicapai atau<br />
belum, apa yang perlu dilakukan selanjutnya?,<br />
atau kita telah melupakannya alias “tutup<br />
buku”?.<br />
Dalam rentang waktu sejak bergulirnya<br />
reformasi, 1999-<strong>2004</strong>, ELSAM mengamati<br />
pemenuhan kewajiban negara dalam hal<br />
pemajuan, perlindungan, dan penegakan hak<br />
asasi manusia telah mengingkari konsensus<br />
‘Reformasi’, yakni mewujudkan ‘keadilan<br />
transisional’ (transitional justice). Keadilan<br />
transisional yang dimaksud di sini adalah,<br />
keberanian politik untuk sekali dan selamanya<br />
memutuskan rantai impunitas atas dasar suatu<br />
keadilan yang kontekstual yang didambakan<br />
rakyat, yaitu keadilan bagi si korban dan<br />
hukuman bagi si pelaku. Tekad politik untuk<br />
mewujudkan ‘transisional justice’ inilah yang<br />
praktisnya macet, khususnya terlihat dengan<br />
gamblang pada lembaran tahun <strong>2004</strong>. Yang<br />
terlihat cuma tindakan-tindakan setengah hati,<br />
retoris, dan berlindung di belakang tameng<br />
ketidakjelasan hukum positif yang berlaku.<br />
Hukum berubah menjadi tempat berdalih,<br />
bukannya jalan menuju keadilan.<br />
AWAL YANG MENJANJIKAN<br />
Di awal runtuhnya rezim otoriter-Soeharto<br />
(1965-1998) terlihat semangat yang besar untuk<br />
menerapkan ‘keadilan transisional’. Negara baru<br />
atau rezim transisi mencetuskan tekad politik<br />
dan komitmen untuk menyelesaikan<br />
pelanggaran berat hak asasi manusia di masa<br />
Orde Baru, dan meletakkan dasar bagi budaya<br />
penghormatan hak asasi manusia ke depan.<br />
Tekad politik dan komitmen tersebut terlihat<br />
dari, antara lain, penyelidikan pelanggaran hak<br />
asasi manusia Mei 1998, bumi-hangus Timor-<br />
Timur pasca jajak-pendapat, dan kekerasan<br />
masa DOM Aceh; amandemen konstitusi<br />
bermuatan hak asasi manusia; produksi regulasi<br />
dan ratifikasi instrumen-instrumen perlindungan<br />
hak asasi manusia; reformasi institusiinstitusi<br />
yang selama Orde Baru terlibat dalam<br />
pelanggaran hak asasi manusia (seperti polisi,<br />
intelijen negara, dan TNI); dan menghadirkan<br />
pengadilan atas pelanggaran hak asasi manusia,<br />
yang diharapkan dapat mencegah keberulangan<br />
pelanggaran hak asasi manusia di masa depan.<br />
Pemaparan di atas kongkritnya dapat dilihat<br />
dari produksi kebijakan di sepanjang tahun<br />
1998-2000. Kita mulai dari Ketetapan MPR,<br />
yaitu mulai dari TAP MPR Nomor XVII/MPR/<br />
1998 tentang Hak Asasi Manusia; TAP MPR<br />
Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar<br />
Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2000; TAP<br />
MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan<br />
Persatuan dan Kesatuan Nasional; TAP MPR<br />
iii