<strong>Keluar</strong> <strong>Jalur</strong> Keadilan Transisi di Indonesia Setelah Jatuhnya Soehartolebih bersifat hambatan legal atau praktis, karena parlemen sudah mensahkan Undang-undangpembentukan KKR lokal. 56Diskusi dan perancangan aturan bagi pembentukan KKR nasional maupun lokal terus berlanjut,sebagian besar dipelopori oleh masyarakat sipil. Kelompok di Aceh telah membuat proposal danrancangan peraturan untuk menerapkan KKR, berdasarkan pengetahuan mereka tentang konflikdan mekanisme resolusi konflik lokal (lihat kotak 4: Tawaran KKR oleh Masyarakat SipilAceh). Kelompok korban di Aceh terus menuntut reparasi, pembentukan pengadilan HAM danKKR untuk mencegah terulangnya pelanggaran. Pada tahun 2009, sebuah perkumpulan yangterdiri dari 200 keluarga orang hilang dari 10 kabupaten di Aceh, Kagundah, menuntut reparasi.Pada bulan Desember 2010, ratusan korban berdemonstrasi di depan DPR Aceh untuk menuntutpembentukan KKR. 57 Di Papua, kelompok-kelompok masyarakat sipil juga memperjuangkanupaya pengungkapan kebenaran tentang pelanggaran sistematis di masa lalu, sebagai bagian dariproses dialog Jakarta-Papua, yang diperlukan untuk membangun masa depan yang damai. 58Kotak 4. Tawaran KKR oleh Masyarakat Sipil AcehDalam dokumen tahun 2007, “Tawaran Model Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Aceh”Koalisi Pengungkapan Kebenaran Aceh (KPK-Aceh) menemukan bahwa tanpa UU KKR,kerangka hukum yang ada memadai untuk resolusi pelanggaran HAM masa lalu di Aceh.Mengutip keputusan MPR tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dokumen tersebut menyimpulkanbahwa, “tidak ada hambatan hukum atau prosedural terkait pembentukan KKR di Aceh”,dan memuat tawaran prinsip-prinsip, tujuan, struktur, dan proses untuk sebuah komisi.Koalisi menindaklanjuti tawaran ini dengan merancang draft qanun pada tahun 2008 .Rekomendasi Koalisi kepada pemerintah adalah sebagai berikut:1. Segera membentuk KKR untuk Aceh sebagai titik awal pengungkapan kebenaran,reparasi, reintegrasi, dan re<strong>for</strong>masi kelembagaan. Pada saat yang sama, membahasisu-isu hukum di tingkat nasional untuk memastikan bahwa KKR lokal dapat berfungsisecara efektif;56 Alasan ini terkait dengan pasal 229, ayat 2, UUPA yang menyebutkan “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Acehsebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.”Dengan begitu, pemerintah menyatakan bahwa KKR Aceh adalah ‘bagian tak terpisahkan’ dari KKR nasional, sehinggatidak bisa dibentuk jika tidak ada KKR nasional. Namun pandangan lain melihat bahwa sebetulnya hal ini merujuk padaurusan administratif lembaga tersebut, dan tidak berpengaruh pada identitas legalnya.57 Kutaraja, “Korban Konflk Tuntut Hak Reparasi”, Serambi, 15 Oktober, 2009, http://www.serambinews.com/news/view/15601/korban-konflik-tuntut-hak-reparasi; Muhamad Riza, “Korban konflik Aceh tuntut KKR”, VIVAnews, 8Desember 2010, http://nasional.vivanews.com/news/read/192803-korban-konflik-aceh-tuntut-pembentukan-kkr58 Lihat Muridan S. Widjojo, dkk. (ed), 2010, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing theFuture (Peta Jalan Papua: Menawar Masa Lalu, Memperbaiki Masa Kini dan Menjaga Masa Depan), (Jakarta: LIPI, YayasanTifa dan Yayasan Obor Indonesia, 2008). Rangkuman dapat dilihat di: http://sydney.edu.au/arts/peace_conflict/docs/PAPUA_ROAD_MAP_Short_Eng.pdf; Lihat juga Laporan Workshop, “Keadilan Transisi dan Hak-hak Masyarakat Adat,”Forum NGO Papua (Foker), Komnas Perempuan, dan ICTJ, Bali 2-7 Juli, 2008, arsip ICTJ..www.kontras.org33
ICTJ - KontraS2. Segera mengambil langkah untuk membentuk pengadilan HAM Aceh dan membukakembali penyelidikan pelanggaran HAM masa lalu;3. Memastikan KKR untuk merancang sebuah program reparasi yang komprehensif,transparan, dan berperspektif gender. Berdasarkan temuan KKR tentang korban,program ini harus menyediakan reparasi secara holistik, khususnya rehabilitasipsikososial;4. Membangun kembali kepercayaan antara masyarakat lokal dan pihak berwenang,dengan cara mengatasi korupsi dan pemerasan, menjamin perlindungan hukum yangsama bagi perempuan, pemberhentian aparat keamanan yang diduga pelaku, danmeningkatkan pengawasan sipil atas sektor keamanan;5. Membangun hubungan kerja antara BRA dan KKR untuk memastikan bantuandiberikan kepada korban. 59B. Penilaian tentang Mekanisme dan Inisiatif Pengungkapan KebenaranMeski berbagai bentuk dan upaya telah dilakukan secara serius oleh beberapa anggota, inisiatifpengungkapan kebenaran di Indonesia secara umum gagal mencapai tujuannya. Berbagai timpencari fakta dan penyelidikan serta komisi menunjukkan kelemahan yang sama, termasukkegagalan untuk mengungkap sebab pelanggaran, kegagalan untuk menahan intervensi danintimidasi sektor politik dan kemanan, dan kegagalan untuk memastikan transparasi sertapartisipasi.1. Kegagalan Menemukan Penyebab Utama di Balik PelanggaranTekanan dari masyarakat sipil telah mendorong inisiatif pengungkapan kebenaran yang kasuistik,namun pendekatan sepotong-sepotong ini tidak berhasil mengungkapkan hubungan antarapelanggaran dengan kebijakan pemerintah serta institusi seperti polisi, militer, dan peradilan. 60Seperti pendekatan penyelidikan polisi pada umumnya, proses pengungkapan kebenaran selamaini lebih difokuskan pada satu tindak kejahatan saja, sehingga hanya fakta-fakta yang langsungberkaitan dengan tindak pidana tersebut saja yang dianggap relevan. Akibatnya, kebanyakanproses investigasi gagal mengungkap pola yang lebih luas dari kekerasan dan dampak kumulatifdari pelanggaran yang dilakukan aparat negara. Selain itu, penyelidikan ini biasanya menghindaripemeriksaan terhadap komandan senior sebagai orang yang bertanggung jawab atas tindakanbawahannya.59 Koalisi Pengungkapan Kebenaran Aceh (KPK-Aceh), Tawaran Model Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Aceh, (2007),http://www.kontras.org/buku/buku%20aceh%20IND.pdf60 KKP merupakan pengecualian, lihat Bab III.A.4.34 www.ictj.org