11.07.2015 Views

Keluar Jalur - International Center for Transitional Justice

Keluar Jalur - International Center for Transitional Justice

Keluar Jalur - International Center for Transitional Justice

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Keluar</strong> <strong>Jalur</strong> Keadilan Transisi di Indonesia Setelah Jatuhnya SoehartoAda bentuk reparasi yang berjalan sebelum MoU, dan kemudian diteruskan oleh BRA. Diyatadalah pembayaran kompensasi menurut tradisi Islam kepada anggota keluarga yang dibunuh. Dibawah skema yang diinisiasi oleh Gubernur Aceh pada tahun 2002, keluarga orang yang dibunuhatau dihilangkan menerima pembayaran sebesar tiga juta rupiah. Pemerintah Aceh mentransferdana langsung ke rekening bank para penerima dana, dan dilaporkan telah menjangkau 20.000orang. 158Bantuan yang didapat oleh korban Aceh melalui BRA atau diyat adalah sejarah pertama kalinyasebuah skema reparasi administratif diadakan dalam situasi pasca konflik di Indonesia. Terobosanyang patut dipuji ini bisa diteruskan mungkin dapat terlaksana karena situasi unik yang terciptadari tanggapan masyarakat internasional atas bencana tsunami, mediasi internasional untukproses perdamaian Aceh, dan juga kemauan baik dari pemerintah pusat untuk menciptakanperdamaian yang berkelanjutan. Pada saat yang sama, dimasukkannya reparasi untuk korban kedalam program reintegrasi untuk mantan kombatan juga membawa banyak persoalan. Tanpapengakuan, banyak korban merasa bahwa ini merupakan bantuan yang tidak ada hubungannyadengan upaya negara “memperbaiki” pelanggaran yang telah dialami korban. 159B. Penilaian tentang ReparasiBerbagai peraturan perundang-undangan dan program reparasi di Indonesia telah meningkatkanharapan namun mengabaikan hak-hak korban yang paling fundamental yaitu untukmendapatkan pemulihan dan keadilan. Seperti ruang keadilan transisi lainnya, ketiadaankehendak politik diperparah dengan tidak adanya kerangka yang jelas dan sejalan dengan standarstandarinternasional. Pada kenyataannya, kerangka perundang-undangan yang ada saat ini belummenyediakan panduan praktis yang cukup untuk menuntut reparasi. Akibatnya, hanya sedikitdari kelompok korban yang mampu menuntut dan mengakses reparasi.1. Kegagalan untuk Mencerminkan Standar InternasionalTerlepas dari berbagai inisiatif positif yang ada, peraturan perundang-undangan mengenaireparasi di Indonesia gagal menerapkan berbagai standar internasional dan tidak berfokus padakorban.Mengacaukan Istilah dan Mengaburkan Pertanggungjawaban: Menurut Peraturan Pemerintah(PP) No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi bagi Korban PelanggaranHAM yang Berat, pertanggungjawaban utama (yang secara keliru diistilahkan dengan ‘restitusi’)bermuara pada pelaku individual, sementara pertanggungjawaban kedua (yang secara kelirudiistilahkan sebagai ‘kompensasi) bermuara pada negara jika pelaku menolak atau tidak sanggup158 BRA, “Fakta Seputar Reintegrasi,” 22 Juni 2007, www.bra-aceh.org/details_news.php?bra=new&id=290.159 Ross Clark, Galuh Wandita, dan Samsidar, Considering Victims: The Aceh Peace Process from a <strong>Transitional</strong> <strong>Justice</strong>Perspective (Memperhatikan Korban: Proses Perdamaian di Aceh dari Perspektif Keadilan Transisi), ICTJ, Seri LaporanKhusus, (New York: ICTJ, Januari 2008).www.kontras.org71

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!