<strong>Keluar</strong> <strong>Jalur</strong> Keadilan Transisi di Indonesia Setelah Jatuhnya SoehartoPembantaian lebih dari satu juta orang pada 1965-1966, bersamaan dengan penahanan ilegalterhadap lebih dari ratusan ribu korban merupakan tragedi pelanggaran HAM terbesar dalamsejarah modern Indonesia. Namun karena tingginya kepekaan terhadap kasus ini, tragedipembantaian itu hanya mendapat perhatian kecil baik di tingkat nasional maupun internasional.Komnas HAM melakukan kajian terbatas terkait peristiwa 1965, sebagai bagian dari pemeriksaanyang lebih luas dari kejahatan era Soeharto, dengan berfokus pada kamp pembuangan pulauBuru. Komnas HAM menemukan bahwa antara tahun 1968 sampai 1979, lebih dari 10.000tahanan mengalami kekerasan dan penyiksaan sebagai akibat kebijakan negara. Komnas HAMmerekomendasikan pembentukan tim untuk menyelidiki kasus-kasus yang berkaitan dengankejahatan Orde Baru, termasuk Pulau Buru. Rekomendasi ini mendekam selama enam tahunsampai pada tahun 2008 Komnas HAM membentuk KPP-HAM kasus 1965 tanpa mandatpenyelidikan Pulau Buru. 69Sejak awal, penyelidikan diterpa tekanan dan intimidasi dari berbagai pihak resmi maupun tidakresmi. Pemberitaan tentang proses pembentukan tim ad hoc pun menimbulkan respon sangatnegatif. Kelompok yang tidak setuju dengan penyelidikan 1965 mengalihkan pembicaraannyake isu anti-komunis dan menyasar anggota tim. Komnas HAM mengalami tekanan untukmenghentikan penyelidikan dan menerima ancaman kekerasan, dan polisi tidak melakukanpenyelidikan serius atas ancaman ini. Pada Mei 2008, kelompok anti-komunis, termasuk merekayang sudah berulang kali terlibat dalam aksi kekerasan, melakukan protes di luar kantor KomnasHAM dan meminta tim ad hoc dibubarkan. Meskipun mengalami intimidasi, tim ad hoc memulaiinvestigasi di sepuluh wilayah dan sampai Juli 2010 telah mewawancarai sekitar 380 korban. 70Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, mencatat kurangnya kekebalan dan perlindungan bagikomisioner Komnas HAM dibandingkan dengan mereka yang berada di posisi serupa di negaralain, sehingga hasil pelaksanaan tugas mereka justru selalu memunculkan ancaman tuntutanpidana atau perdata atas pencemaran nama baik. 715. Kegagalan Mempublikasikan TemuanMandat tim pencari fakta juga meliputi masalah seputar diseminasi publik laporan akhir mereka,dimana sebagian besar tim pencari fakta akhirnya tidak mempublikasikan sebagian atau seluruhlaporannya. Bahkan dalam kasus ketika publikasi laporan menjadi kewajiban, aparat pemerintahseringkali menolak untuk mempublikasikan temuan tim. Hal ini merusak kepercayaanmasyarakat dan sekaligus mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan in<strong>for</strong>masi.69 Desy Nurhayati, “Rights Body to Probe Soeharto Case (Tim Hukum untuk Menyelidiki Kasus Soeharto),” The JakartaPost, 30 Januari 2008, www.thejakartapost.com/news/2008/01/29/rights-body-probe-soeharto-cases.html. Dalamwawancara ICTJ dengan Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM tanggal 9 Desember 2010, ia menyatakan bahwa KomnasHAM memilih untuk menyelidiki kasus Pulau Buru secara khusus untuk memeriksa pejabat tinggi dan kebijakan,daripada menyelidkinya sebagai bagian dari berbagai kekerasan yang terjadi di banyak wilayah di Indonesia.70 Pernyataan oleh Nur Kholis, wakil ketua Komnas HAM, dalam lokakarya dengan korban 1965 di Solo, 24 Juli 201071 Interview dengan Ifdhal Kasim, lihat catatan kaki 8.www.kontras.org37
ICTJ - KontraSKomnas HAM menyerahkan delapan laporan kepada Kejagung dengan rekomendasi untukpenyidikan dan penuntutan di pengadilan. Dalam banyak kasus, tidak ada penuntutan maupunpublikasi atas laporan tersebut, melepaskan kesempatan untuk mengungkap kebenaran. TimPenyelidikan Maluku dan TPF Munir menghasilkan laporan penting yang tidak pernah dibukake publik. Laporan Komnas HAM tentang kekerasan di Timor Timur pada tahun 1999 jugatidak pernah secara resmi dibuka ke publik, walaupun sebagian besar isi laporan tersebut sudahbocor dan pengadilan HAM ad hoc telah berlangsung.6. Minimnya Partisipasi Publik dan Keterlibatan KorbanSecara historis, komisi kebenaran telah menghadirkan keadilan restoratif dengan memberikesempatan bersuara kepada korban dan mengakui penderitaan mereka. Mekanismepengungkapan kebenaran di Indonesia telah gagal dalam mengakui kebutuhan korban ataumenjamin partisipasi publik untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.Satu-satunya komisi kebenaran resmi yang ada sampai saat ini, yaitu KKP, menggambarkanbagaimana kesempatan untuk mengakui korban dan memfasilitasi partisipasi publik tidakdigunakan. Tidak seperti komisi kebenaran di negara lain, Term of Reference KKP tidakmenyebutkan peran korban, bahkan mereka diperlakukan dengan buruk selama dengar pendapatberlangsung. Setelah melakukan perjalanan dari Timor-Leste ke Indonesia untuk memberikankesaksian tentang kekerasan yang mereka alami yang melibatkan pasukan keamanan, korbanberhadapan dengan sejumlah personel militer yang mengejek dan mengintimidasi mereka diruang sidang. Ini adalah pengalaman yang sangat traumatis bagi korban saat mereka memberikankesaksian tentang kejahatan serius, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan. Beberapakomisioner menyiratkan bahwa para korban bertanggung jawab atas kejahatan yang menimpanyakarena mereka mendukung kemerdekaan. Selain itu, penerjemahan yang tidak memadaimemaksa beberapa korban memberikan kesaksian dalam bahasa Indonesia yang minim danbukannya dalam bahasa Tetum, dan mereka yang hadir menanggapi dengan tawa dan ejekan. 7272 Lihat Megan Hirst, Too Much Friendship, Too Little Truth: Monitoring Report on the Commission of Truth and Friendship inIndonesia and Timor-Leste (Terlalu Banyak Persahabatan, Terlalu Sedikit Kebenaran: Laporan Pemantauan terhadap KomisiKebenaran dan Persahabatan di Indonesia dan Timor-Leste), ICTJ (New York: ICTJ, January 2008), halaman 18.38 www.ictj.org