13.10.2016 Views

m-132-2015

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

laporan utama<br />

KALEIDOSKOP MKD DPR RI<br />

MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN<br />

TEROBOSAN MKD UNTUK<br />

TRANSPARANSI<br />

MKD atau Mahkamah Kehormatan<br />

Dewan benar-benar mendapat perhatian<br />

publik dalam beberapa waktu terakhir.<br />

Perhatian itu dijawab pula dengan<br />

melakukan terobosan, membuka sidang<br />

pemeriksaan kepada publik. Langkah<br />

pertama dimulai pada saat mende ngar<br />

keterangan pihak pengadu Menteri<br />

ESDM Sudirman Said dalam perkara<br />

dugaan pelanggaran etik oleh Ketua DPR<br />

Setya Novanto. “Iya sidang MKD itu pada<br />

prinsipnya tertutup tetapi apabila persidangan<br />

meminta terbuka, bisa saja itu<br />

dilakukan. Prinsipnya kami mencermati<br />

kasus ini sangat menarik perhatian masyarakat<br />

sehingga ini tentu menjadi pertimbangan,”<br />

kata anggota MKD Darizal<br />

Basir di Gedung DPR, Senayan, Jakarta<br />

awal Desember <strong>2015</strong>.<br />

Wakil rakyat dari daerah pemilihan<br />

Sumbar I ini menyebut pihaknya menyadari<br />

harapan masyarakat sangat<br />

besar pada penuntasan kasus dugaan<br />

pencatutan nama Presiden Jokowi dan<br />

Wapres Jusuf Kalla oleh Ketua DPR. Ia<br />

menekankan MKD dalam proses pemeriksaan<br />

hanya fokus pada apakah ada<br />

pelanggaran etik. Masalah lain misalnya<br />

pidana merupakan ruang bagi kepolisian<br />

dan kejaksaan.<br />

Pendapat akhir 10 anggota MKD menyatakan<br />

Setya Novanto bersalah melanggar<br />

kode etik dengan sanksi ringan<br />

sedangkan 7 memilih sanksi berat. Persidangan<br />

ditutup setelah Novanto menyampaikan<br />

surat pengunduran diri<br />

sebagai Ketua DPR.<br />

Mahkamah Kehormatan DPR RI pada<br />

masa persidangan I tahun <strong>2015</strong>-2016<br />

telah menerima 17 perkara baik dengan<br />

pengaduan maupun tanpa pengaduan.<br />

Hal ini disampaikan Pimpinan MKD<br />

dalam konferensi pers di Gedung DPR,<br />

Senayan, akhir Oktober lalu. Perkara<br />

yang telah diputuskan diantaranya dinyatakan<br />

terbukti melanggar kode etik.<br />

Perkara tersebut adalah, Kasus Krisna<br />

Mukti (FPKB) yang terbukti melakukan<br />

pelanggaran kode etik terkait etika<br />

keluarga dan pribadi dan dikenakan<br />

sanksi teguran lisan. Selanjutnya perkara<br />

Frans Agung Mula Putera (FP Hanura)<br />

mendapat sanksi teguran tertulis<br />

demikian pula Zulfadhli (FPG). Sementara<br />

perkara Muhlisin (FPPP) dinyatakan<br />

tidak terbukti melakukan pelanggaran<br />

kode etik.<br />

Rapat pleno MKD juga memutuskan<br />

Ketua DPR Setya Novanto dan<br />

Wakil Ketua Fadli Zon telah melakukan<br />

pelanggaran kode etik saat melakukan<br />

pertemuan dengan pengusaha yang<br />

juga calon kandidat Presiden AS Do nald<br />

Triumph. Keputusan diambil setelah<br />

melewati pembahasan dan perdebatan<br />

Pimpinan MKD menerima palu sidang dari Wakil<br />

Ketua DPR Fahri Hamzah<br />

diantara anggota mahkamah, pada akhirnya<br />

semua sepakat dua pimpinan dewan<br />

ini melakukan pelanggaran kode<br />

etik ringan. Selanjutnya sanksi lain juga<br />

diberikan kepada Wakil Ketua DPR Fahri<br />

Hamzah yang tersandung etik saat menyatakan<br />

sebagian anggota dewan rada-rada<br />

bloon dalam sebuah talk show<br />

acara televisi.<br />

Ketua MKD Surahman Hidayat<br />

menjelaskan dalam melaksanakan tugas<br />

sejumlah pihak diajak serta diantaranya<br />

Polri, PPATK, pakar dari perguruan<br />

tinggi dan media yang membantu mengabarkan<br />

perkembangan perkara kepada<br />

masyarakat. “Kita mengharapkan<br />

dukungan DPR baik secara kelembagaan<br />

maupun personal,” tutur politisi FPKS<br />

ini. Tidak kalah penting dukungan masyarakat<br />

luas untuk bersama memba ngun<br />

dan memperkuat kelembagaan DPR<br />

RI sebagai lembaga perwakilan rakyat.<br />

MKD HASIL TERBAIK UU MD3<br />

Mahkamah Kehormatan Dewan -<br />

MKD DPR RI mengundang Pakar Hukum<br />

Tata Negara Jimly Assiddiqi untuk<br />

menggali masukan dalam upaya<br />

mengoptimalkan peran AKD yang baru<br />

dibentuk ini. Setelah berubah menjadi<br />

Mahkamah ada sejumlah penyesuaian<br />

kalau dibandingkan pendahulunya<br />

Badan Kehormatan. Prof. Jimly Assiddiqi<br />

menyebut MKD sebagai hal positif yang<br />

patut diapresiasi. “Ditengah banyak pertanyaan<br />

soal materi UU MD3 ada yang<br />

sangat bagus yaitu dimuatnya ketentuan<br />

tentang MKD,” paparnya.<br />

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi<br />

ini menyebut perkembangan di dunia<br />

saat ini orang semakin sadar hukum<br />

pidana tidak bisa lagi diandalkan untuk<br />

mengatur manusia. Hukum semakin<br />

rumit, tidak efisien dan persidangan<br />

di pengadilan bisa memakan waktu 2<br />

tahun sementara nama baik institusi<br />

tersandera. “Masalah ini yang dijawab<br />

dengan peradilan etika, bagaimana<br />

menyelamatkan nasib institusi karena<br />

jarang sekali putusan pengadilan bisa<br />

cepat. Jadi MKD ini proyek pertama DPR<br />

yang menggunakan istilah pengadilan.<br />

Saya harap bisa sukses dan mengubah<br />

wajah DPR,” kata dia. Ia menyebut keberhasilan<br />

Komite Etik di Senat Amerika<br />

Serikat. Para senator yang terhormat itu<br />

sangat segan kepada lima orang anggota<br />

Komisi Etik yang berhasil menjalankan<br />

tugasnya menjaga wibawa pejabat publik.<br />

Saat ini menurutnya di 50 negara bagian<br />

AS sudah memiliki lembaga etik dan<br />

terus berkembang.<br />

Untuk membangun pemahaman yang<br />

benar diantara anggota dewan MKD<br />

mengadakan kegiatan Sosialisasi Peraturan<br />

DPR RI tentang Kode Etik dan<br />

Tata Beracara. Pelaksanaan kegiatan<br />

dilakukan secara bertahap. Salah satu<br />

pertanyaan yang mengemuka dalam<br />

sosialisasi di Fraksi PAN akhir Mei lalu<br />

ialah tentang sanksi bagi anggota yang<br />

melanggar kode etik. Sanksi tersebut<br />

yaitu sanksi ringan berupa teguran lisan<br />

atau tertulis, sanksi sedang de ngan pemindahan<br />

keanggotaan pada alat kelengkapan<br />

DPR atau pemberhentian<br />

dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan<br />

AKD. Sedangkan sanksi berat adalah<br />

pemberhentian sementara paling singkat<br />

selama tiga bulan atau pemberhentian<br />

sebagai anggota dewan. (IKY) FOTO:<br />

IWAN ARMANIAS/PARLE/IW<br />

EDISI <strong>132</strong> TH. XLV, <strong>2015</strong><br />

29

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!