profil JAZILUL FAWAID SOSOK SANTRI DI PANGGUNG POLITIK 56 EDISI <strong>132</strong> TH. XLV, <strong>2015</strong>
Pribadinya begitu ramah dan sederhana. Tuturnya jelas, apa adanya. Ia juga sosok yang sangat religius. Inilah Jazilul Fawaid, Anggota F-PKB DPR RI. Bicara soal dunia pesantren, Jazil adalah sosok yang tepat untuk diajak bicara. Hampir separuh hidupnya berada di pesantren. Kepada Parlementaria, dia berbagi cerita menarik tentang masa kecilnya di kampung dan suka dukanya menjadi santri. Di tengah kesibukkannya yang luar biasa, Jazil menyempatkan waktu untuk wawancara eksklusif dengan Parlementaria. Sejak dilantik sebagai Anggota DPR, Jazil dipercaya menempati kursi Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR. Selain itu, ia juga duduk sebagai Anggota Komisi V DPR. MASA KECIL DI BAWEAN Bawean adalah pulau kecil di laut Jawa, tepatnya di utara Gresik. Dahulu akses kapal dari Bawean ke daratan pulau Jawa masih sulit, karena sangat bergantung pada cuaca. Butuh waktu delapan jam ke Gresik dengan kapal. Bila ombak sedang besar, dermaga terpaksa ditutup dan warga pun terisolir. Umumnya mata pencaharian masyarakat Bawean adalah nelayan dan petani. Secara administratif, Bawean masuk Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Adalah M. Sunan Hamli, seorang PNS pensiuanan guru agama yang dipindah dari Pulau Bawean ke Sidayu, Gresik. Pagi itu, ia sedang menanti kelahiran anak pertamanya bersama istri tercinta, Insiyah. Minggu pagi, ketika mentari sedang bersinar indah, tangis bayi memecah kesunyian di rumah sederhana. Kalender yang tergantung menunjukkan, 5 Desember 1971. Dibantu dukun beranak, lahirlah bayi mungil laki-laki yang diberi nama Jazilul Fawaid. Nama islami yang diharapkan banyak menebar manfaat bagi masyarakat. Lahir di masa serba sulit. Hampir tak ada fasilitas kesehatan di Bawean. Bayi mungil yang biasa disapa Jazil itu, menjadi pelipur lara kedua orangtuanya. Setelah kelahiran Jazil, masih ada dua adiknya yang lahir kemudian. Jadi, Jazil adalah sulung dari tiga bersaudara. Adik pertamanya perempuan wafat karena sakit. Tak ada upaya pengobatan maksimal yang bisa dilakukan waktu itu, karena di kampungnya tak ada dokter atau puskesmas. Jazil kecil hidup di tengah keluarga yang sangat religius. Bersama teman-teman kecilnya di kampung, ia suka sekali bermain. Sungai dan pantai adalah dua tempat favorit untuk bermain. Berenang dan memancing ikan hampir menjadi keseharian masa kecilnya. Bermain bola juga menjadi kesukaannya. Tak cuma itu, Jazil kecil pun sangat kreatif membuat mainan sendiri dari pelepah pisang untuk dijadikan sebilah pedang. Senangnya mengingat masa kecil di kampung. Waktu itu, di kampungnya belum banyak pemilik TV. Untuk mendapat hiburan tontonan TV, Jazil mampir ke rumah paman yang kebetulan bertetangga. Bila malam tiba, rumah pamannya dipenuhi tetangga yang juga ingin menonton tv ramai-ramai. Aneka Ria Safari jadi acara favorit yang disiarkan TVRI. Sesekali ada pula hiburan layar tancap. Kampung dipastikan ramai bila layar tancap digelar. Sementara itu, memulai pendidikan formalnya, Jazil kecil bersekolah di SDN 1 Daun Timur, Bawean. Bersama sahabatsahabat kecilnya, ia biasa berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya tak jauh dari rumah. Di SD ini hanya dua tahun. Jazil kemudian pindah ke Gresik dan melanjutkan kelas III SD sekaligus bersekolah juga di Madrasah Ibtidaiyah Ma’rif Islamiyah, Kertosono, Gresik. Pagi belajar di SD, sorenya di madrasah ibtidaiyah. Pengetahuan umum seperti sejarah jadi mata pelajaran yang sangat disuka Jazil. Malamnya, ia juga belajar mengaji pada sang kakek dan Ayahnya. Nilai-nilai agama sudah ditanamkan sejak dini oleh keluarganya. Kedua orangtuanya juga selalu menanamkan kejujuran. Satu hal yang tak pernah dilupakan Jazil dari nasihat sang kakek, “Jangan pernah merasa rugi saat menolong orang lain.” Nasihat itu terus membekas hingga kini. Setamat SD, Jazil kecil melanjutkan ke Pondok Pesantren Ihya’ul Ulum, Gresik di bawah asuhan KH. Ma’shum Sufyan. Di sinilah dunia pesantren mulai dikenalnya. Enam tahun lamanya ia mengenyam pendidikan pesantren. Tak hanya ilmu agama yang didapat, kemandirian hidup juga jadi pelajaran berharga yang didapat. Banyak kenangan samasa menjadi santri. Ia tak suka pada kegiatan latihan pidato di pesantrennya, karena memang tak biasa bicara di depan umum. Foto kenangan di pesantren. Jazil (paling kiri) saat mengaji kitab kuning bersama KH Ma’shum Sofyan Jazil selalu mencari cara agar ia tak mendapat giliran menjadi orator dalam latihan pidato tersebut. Namun, disiplin pondok memaksanya ia harus tetap menghadapi latihan berpidato (muhadhoroh dalam istilah pesantren). Akhirnya ia terbiasa juga dengan kegiatan muhadhoroh. Menariknya lagi, semasa di pesantren, ternyata Jazil pernah terpilih menjadi Ketua Pondok. Semacam ketua OSIS di sekolah yang memimpin adik- EDISI <strong>132</strong> TH. XLV, <strong>2015</strong> 57