26.09.2015 Views

HTTP://WWW.TEMPOINTERAKTIF.COM

Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page

Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

LIPUTAN KHUSUS<br />

Indonesianis<br />

TEMPO/ALI SAID<br />

Serantang Rendang<br />

di Bandara Seattle<br />

SEPARUH HIDUP DANIEL LEV TERTAMBAT DI INDONESIA. SANGAT MENGAGUMI<br />

YAP THIAM HIEN.<br />

Prof Daniel<br />

Lev (tengah)<br />

bersama<br />

rekan,<br />

Jakarta<br />

(1971).<br />

Pengamat<br />

Indonesia<br />

asal<br />

Amerika,<br />

Daniel S. Lev<br />

(kanan atas).<br />

SETELAH mengarungi lautan<br />

selama 28 hari dengan<br />

kapal barang berbendera<br />

Denmark, Daniel Saul Lev<br />

bersama istrinya, Arlene O.<br />

Lev, menginjakkan kaki di Tanjung<br />

Priok, Jakarta. ”Seketika dia jatuh<br />

cinta pada Indonesia,” kata Arlene<br />

mengenang pengalamannya pertama<br />

kali tiba di Jakarta pada 1959.<br />

Ketika itu, Dan Lev berumur 26<br />

tahun dan Arlene 22 tahun. Mereka<br />

baru setahun menikah. Lev datang<br />

ke Indonesia untuk penelitian disertasinya<br />

di Universitas Cornell, Ithaca,<br />

Amerika Serikat. Sebelum tiba<br />

di Jakarta, ia hanya mengenal Indonesia<br />

dari buku, cerita sahabat Indonesianya,<br />

dan, tentu saja, George<br />

McTurnan Kahin, sang guru.<br />

Pada suatu hari pada 1955, menurut<br />

Arlene, Lev bertemu dengan<br />

George Kahin. Entah apa yang mereka<br />

bicarakan. Tapi, sejak bertemu<br />

dengan pendiri The Cornell Modern<br />

Indonesia Project itu, minat Lev terhadap<br />

Indonesia langsung melejit.<br />

Semula Lev mendalami studi hukum<br />

internasional, tapi kemudian banting<br />

setir ke ilmu politik. ”Dia pikir<br />

ini proyek hebat dan penting untuk<br />

membantu negara Indonesia yang<br />

belum lama berdiri,” kata Arlene.<br />

Sejak itulah Dan Lev tenggelam<br />

dalam tumpukan teks tentang Indonesia<br />

di 102 West Avenue—markas<br />

The Cornell Modern Indonesia Project.<br />

Di sana, lelaki kelahiran Ohio,<br />

23 Oktober, 1933, itu kemudian mengenal<br />

sahabat-sahabat Indonesia<br />

pertamanya, antara lain Idrus Nasir<br />

”Didi” Djajadiningrat, Selo Soemardjan,<br />

Sudjatmoko, serta Umar<br />

Kayam dan istrinya, Yus Kayam. Kelak,<br />

hubungan Lev dan Arlene dengan<br />

keluarga Umar Kayam sudah<br />

seperti saudara.<br />

Tiga tahun di Jakarta, Lev dan Arlene<br />

Lev berpindah-pindah kediaman.<br />

Mulanya mereka tinggal bersama<br />

keluarga Didi Djajadiningrat, kemudian<br />

di rumah Besar Martokoesoemo,<br />

advokat pertama Indonesia, di<br />

bilangan Menteng, sebelum akhirnya<br />

menetap di sebuah kontrakan<br />

di Kebayoran Baru. Kelak, periode<br />

pertamanya di Indonesia itu melahirkan<br />

The Transition to Guided Democracy:<br />

Indonesian Politics 1957-<br />

1959, yang menjadi buku klasik dan<br />

banyak dirujuk orang.<br />

Berulang kali datang ke Indonesia,<br />

Lev tak melulu menulis dan meneliti.<br />

Ia juga kerap bertukar pikiran<br />

dengan pemuda dan kaum cendekia<br />

Jakarta. Di sini ia berkenalan antara<br />

lain dengan Adnan Buyung Nasution<br />

dan Yap Thiam Hien. Rumah Buyung<br />

di Menteng ketika itu selalu menjadi<br />

tempat diskusi politik dan hukum<br />

yang gayeng. Bahkan, menurut Buyung<br />

suatu kali, dari diskusi-diskusi<br />

itulah tercetus gagasan pembentukan<br />

Lembaga Bantuan Hukum.<br />

Lev memang tak cuma piawai dalam<br />

studi ilmu politik. Ia juga fasih<br />

berbicara tentang hukum Indonesia.<br />

Setelah menulis The Transition,<br />

ia menulis Law and Politics in Indonesia<br />

serta Islamic Courts in Indonesia.<br />

Tak mengherankan jika ia akrab<br />

dengan banyak sarjana hukum Indonesia.<br />

Pada awalnya, Lev mengenal<br />

advokat semacam Besar, Yap, dan<br />

Buyung. Berikutnya, ia akrab pula<br />

dengan Todung Mulya Lubis, Marsillam<br />

Simanjuntak, Erman Rajagukguk,<br />

dan Arief Tarunakarya Surowidjojo.<br />

Belakangan, ketika berdiskusi,<br />

kata Arief Surowidjojo, Lev kerap<br />

berseloroh. ”Kalian ini pengecut.<br />

Kalau mau perubahan, terjunlah<br />

ke politik,” kata Arief menirukan<br />

Lev. Menurut pendiri Pusat Studi<br />

Hukum dan Kebijakan itu, Dan Lev<br />

memang berharap anak-anak muda<br />

70 | TEMPO 20 NOVEMBER 2011

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!