HTTP://WWW.TEMPOINTERAKTIF.COM
Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page
Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
LIPUTAN KHUSUS<br />
Indonesianis<br />
RUSIA<br />
Drugov yang Bertahan<br />
LELAKI itu begitu fasih bersilat<br />
lidah dalam bahasa Indonesia.<br />
Meskipun asli Rusia,<br />
lelaki bernama lengkap<br />
Alexey Drugov itu selalu<br />
rindu Indonesia. Lahir di Moskow,<br />
12 April 1937, Drugov adalah satu<br />
dari segelintir Indonesianis asal Rusia<br />
yang setia mendalami Indonesia<br />
sejak 1960.<br />
Ketertarikannya pada studi Indonesia<br />
sesungguhnya tanpa disengaja.<br />
Selepas sekolah menengah atas pada<br />
1954, Drugov melanjutkan studi di<br />
Moscow Institute of Foreign Relations<br />
yang berada di bawah Departemen<br />
Luar Negeri Uni Soviet. Studi<br />
jurusan bahasa Indonesia adalah<br />
pilihan yang ditentukan kampusnya.<br />
Sistem komunisme yang kaku<br />
membuatnya tak bisa memilih jurusan<br />
menurut keinginannya sendiri.<br />
”Waktu itu tidak ada alasan untuk<br />
memilih,” tutur Drugov.<br />
Menamatkan kuliah pada 1960,<br />
ketertarikan Drugov pada Indonesia<br />
kian besar. Drugov sempat menjadi<br />
tentara dengan pangkat letnan<br />
muda dan dikirim ke Vladivostok<br />
selama satu tahun untuk mendidik<br />
anggota kapal selam, torpedo, dan<br />
roket untuk angkatan laut. Sempat<br />
bertugas di Moskow, Drugov yang<br />
fasih berbahasa Indonesia kemudian<br />
dikirim ke Indonesia pada 1962.<br />
”Saya menjadi juru bahasa Indonesia<br />
kepala militer Rusia (saat itu Uni Soviet)<br />
yang diperbantukan untuk Indonesia<br />
di Jakarta,” kata Drugov.<br />
Setiap kali pejabat Uni Soviet bertemu<br />
dengan petinggi Indonesia,<br />
dialah yang menjadi penerjemah.<br />
Tugasnya sebagai penerjemah membuatnya<br />
kerap bergaul dengan sejumlah<br />
tokoh penting Indonesia saat<br />
itu, seperti Presiden Sukarno, Jenderal<br />
A.H. Nasution, Jenderal Ahmad<br />
Yani, Laksamana R.E. Martadinata,<br />
dan Marsekal Omar Dhani.<br />
Sebelum pecah peristiwa Gerakan<br />
30 September pada 1965, hubungan<br />
Rusia dan Indonesia memang<br />
mesra. Terutama dalam kurun waktu<br />
1950 hingga awal 1960-an. Hampir<br />
semua menteri Indonesia pernah<br />
berkunjung ke Rusia. ”Bahkan Jenderal<br />
A.H. Nasution ke Rusia sampai<br />
lima kali,” kata Victor Sumsky, Indonesianis<br />
terkemuka dari Moscow<br />
Prof Drugov<br />
di ruang<br />
kerjanya.<br />
”Karya para Indonesianis<br />
dari Rusia tersebut sampai<br />
sekarang masih tersimpan di<br />
Perpustakaan Lenin.”<br />
ALEXEY DRUGOV<br />
State University of International Relations.<br />
Puncak kemesraan hubungan Indonesia-Rusia<br />
terjadi pada 1950-an,<br />
ketika Indonesia memasuki periode<br />
demokrasi terpimpin. ”Momen yang<br />
paling menghubungkan kedekatan<br />
Jakarta-Moskow saat itu adalah saat<br />
Uni Soviet membantu Indonesia dalam<br />
pembebasan Irian Barat,” kata<br />
Sumsky.<br />
Bantuan yang paling nyata dari<br />
Uni Soviet untuk Indonesia waktu<br />
itu adalah senjata. ”Bantuan ini terjadi<br />
karena komitmen kedua negara<br />
saat itu untuk melawan imperialisme<br />
Barat,” Drugov menjelaskan.<br />
Mulai saat itulah peran para Indonesianis<br />
Rusia begitu luar biasa.<br />
Menurut Drugov, pemikiran para<br />
Indonesianis Rusia memiliki signifikansi<br />
terhadap hubungan antara Uni<br />
Soviet dan Indonesia saat itu. ”Hasil<br />
penelitian mereka semua tentu saja<br />
menjadi pertimbangan negara untuk<br />
menentukan sikap dalam berhubungan<br />
dengan Indonesia,” katanya.<br />
Keputusan Uni Soviet untuk membantu<br />
Bung Karno dalam pembebasan<br />
Irian Barat bisa dipahami sebagai<br />
keputusan politik yang berasal<br />
dari pertimbangan riset para Indonesianis<br />
Rusia saat itu.<br />
Perjalanan intelektual para Indonesianis<br />
dari Rusia terus berlanjut.<br />
Sejumlah nama muncul. Sebut saja<br />
Tsyganov, yang meneliti sejarah perang<br />
kemerdekaan Indonesia. ”Karya<br />
para Indonesianis dari Rusia tersebut<br />
sampai sekarang masih tersimpan<br />
di Perpustakaan Lenin,”<br />
kata Drugov. Drugov sendiri telah<br />
menghasilkan karya buku, di antaranya<br />
Indonesia Setelah Tahun 1965,<br />
Demokrasi Terpimpin, Sistem Politik<br />
Indonesia, Budaya Politik di Indonesia.<br />
Kajian Indonesia menjadi sepi seiring<br />
dengan memburuknya hubungan<br />
diplomatik Indonesia-Rusia.<br />
Beberapa ilmuwan bahkan berpaling<br />
ke kajian Malaysia dan negara-negara<br />
Asia Tenggara lain. Ironisnya,<br />
ketika kini hubungan diplomatik<br />
membaik, justru dukungan terhadap<br />
dunia akademis secara keseluruhan<br />
pupus.<br />
Tapi Drugov terus bertahan.<br />
■<br />
120 | TEMPO 20 NOVEMBER 2011