26.09.2015 Views

HTTP://WWW.TEMPOINTERAKTIF.COM

Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page

Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

EROPA<br />

pemimpin terlalu pasif, jaringan<br />

akan berlepasan, dan tak ada negara.<br />

Di saat yang sama, di tingkat<br />

akar rumput terdapat jaringan irigasi<br />

subak yang otonomi serta komunitas<br />

lokal yang berjalan cukup<br />

mandiri<br />

❖ ❖ ❖<br />

Bukan hanya Bali yang diteliti<br />

Henk. Minat Henk terhadap Indonesia<br />

sangat luas. Karya penelitian<br />

Henk yang mutakhir baru saja diterbitkan<br />

dalam jurnal ilmiah Universitas<br />

Cambridge, Inggris. Judulnya<br />

Modernity and Cultural Citizenship<br />

in the Netherlands Indies:<br />

An Illustrated Hypothesis.<br />

Ini mengenai kelas menengah<br />

Indonesia di masa kolonial, yang<br />

mengidentifikasi dirinya secara kultural<br />

sebagai manusia modern. Mereka<br />

dipengaruhi iklan majalah saat<br />

itu, dari iklan cokelat hingga pasta<br />

gigi. Dari iklan bola lampu hingga<br />

kereta api.<br />

Kaum kelas menengah Indonesia<br />

di masa akhir penjajahan itu, kata<br />

Henk, menjalani semacam ”domesticated<br />

happiness”. Mereka berpartisipasi<br />

dalam kehidupan kultural<br />

modern, ”Tapi tidak dalam kehidupan<br />

politik, karena akan langsung<br />

dikirim, misalnya, ke Boven<br />

Digul,” tutur Henk.<br />

Kaum kelas menengah ini direkrut<br />

oleh penjajah Belanda untuk<br />

posisi-posisi di pemerintahan kolonial<br />

atau di jawatan. Dan nanti,<br />

pada 1950-an, kaum menengah ini<br />

pula yang memegang posisi di pemerintahan<br />

Indonesia merdeka.<br />

Pertanyaannya, tutur Henk, apakah<br />

mereka terlibat dalam pemerintahan<br />

Indonesia karena cita-cita kebangsaan<br />

mereka, atau karena mencari<br />

kesempatan memperoleh posisi<br />

belaka.<br />

Itulah salah satu karya penelitian<br />

Henk terbaru secara individual.<br />

Adapun dalam posisinya sebagai<br />

Kepala Departemen Penelitian<br />

KITLV yang dijabatnya sejak 2005,<br />

Henk menggagas, memimpin, dan<br />

menjalankan sejumlah proyek khusus.<br />

Salah satunya proyek Articulating<br />

Modernity: Popular Music in<br />

Southeast Asia, yang berlangsung<br />

sejak 2010 hingga 2013.<br />

ARIF WIBOWO<br />

Untuk proyek ini, Henk dan timnya<br />

berburu piringan hitam dan kaset<br />

di berbagai pelosok. Salah satunya<br />

tentu saja ke Jalan Surabaya, Jakarta<br />

Pusat. Mumpung masih ada.<br />

Proyek ini digagas karena ”selama<br />

ini titik berat perhatian secara resmi<br />

lebih pada musik tradisional seperti<br />

gamelan”. Padahal musik masyarakat<br />

urban, musik populer, merupakan<br />

bagian dari kehidupan keseharian.<br />

Dan bisa menunjukkan<br />

perkembangan masyarakat pendukungnya.<br />

Proyek lain adalah Recording the<br />

Future: An Audiovisual Archive of<br />

Everyday Life in Indonesia in the<br />

21st Century. Ini, tutur Henk, merupakan<br />

proyek film dokumenter yang<br />

sudah berjalan beberapa tahun, dan<br />

akan terus berjalan beberapa tahun<br />

ke depan. Mereka merekam orangorang<br />

awam di jalan, di pasar, di<br />

mana pun. Mengajak mereka berbicara<br />

tentang segala hal, tentang keseharian<br />

mereka, bagaimana mereka<br />

menghadapi masalah, apa harapan<br />

dan mimpi mereka. Gagasan tegas<br />

Henk Schulte Nordholt adalah<br />

menciptakan sejarah yang berbeda:<br />

sejarah orang-orang biasa.<br />

❖ ❖ ❖<br />

Bukan kebetulan kalau Henk<br />

Schulte Nordholt menjadi Indonesianis.<br />

Studi Indonesia seakan sudah<br />

merupakan DNA-nya. Bapak<br />

dan kakaknya juga ahli Indo-<br />

Meneliti<br />

gamelan<br />

dengan cinta.<br />

nesia terkemuka. Sang ayah, Herman<br />

Gerrit Schulte Nordholt (1911-<br />

1993), adalah antropolog budaya<br />

Flores dan Sumbawa di Universitas<br />

Amsterdam. Sebagai ambtenaar<br />

di masa kolonial, Herman Schulte<br />

Nordholt pernah lama tinggal dan<br />

berdinas di Kefamenanu, NTT, dan<br />

Sumbawa. Sempat jadi tahanan Jepang,<br />

Schulte Nordholt senior baru<br />

mudik ke Belanda pada 1947.<br />

Adapun kakaknya, Nicolaas<br />

Schulte Nordholt, adalah Indonesianis<br />

yang pernah mengajar di<br />

Universitas Kristen Satya Wacana,<br />

Salatiga, Jawa Tengah. Bukunya antara<br />

lain State-Citizen Relations in<br />

Suharto’s Indonesia (1987) dan Indonesië:<br />

mensen, politiek, economie,<br />

cultuur (1995). Nico, yang lahir<br />

pada 1940 di Flores, pernah tinggal<br />

lama di Salatiga, pada 1965 hingga<br />

1981, selain di Jakarta. Beberapa tahun<br />

terakhir ini Nico aktif memimpin<br />

petisi kaum intelektual Belanda,<br />

mendesak pemerintah mereka<br />

untuk secara resmi mengakui tanggal<br />

17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan<br />

Indonesia, dan bukan<br />

27 Oktober 1949—hari penyerahan<br />

kedaulatan.<br />

Kakak-adik Nordholt ini aktif<br />

menjadi narasumber utama berbagai<br />

televisi Belanda saat di Jakarta<br />

terjadi demonstrasi besar-besaran<br />

yang menumbangkan Soeharto.<br />

Sebagai negara bekas penjajah,<br />

Belanda tentu mengikuti secara intensif<br />

peristiwa yang penuh dimensi<br />

itu sejak awal. Televisi menyiarkan<br />

laporan perkembangan dari Indonesia<br />

setiap hari, dilengkapi diskusi<br />

dan analisis. Nicolaas dan Henk<br />

Schulte Nordholt pun waktu itu<br />

hampir setiap hari berbicara di televisi.<br />

”Kakak saya itu, begitu larisnya,<br />

sampai kewalahan dan tak bisa memenuhi<br />

semua permintaan wawancara<br />

di televisi,” ujar Henk. ”Jadinya<br />

lucu,” tutur bapak dua anak ini.<br />

”Kami berbagi tugas: saya untuk siaran<br />

pagi, dan Nico untuk siaran<br />

malam. Jadi, kalau saya keliru di<br />

pagi hari, malam harinya Nico bisa<br />

membetulkannya, ha-ha-ha….”<br />

Dan kantor pun bertambah hangat.<br />

■<br />

20 NOVEMBER 2011 TEMPO| 103

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!