26.09.2015 Views

HTTP://WWW.TEMPOINTERAKTIF.COM

Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page

Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

KOLOM<br />

sudah 66 Tahun<br />

ANTHONY REID*<br />

bayar untuk mencapai konsensus ini seharusnya membesarkan tekad<br />

orang-orang Indonesian hari ini untuk membangun masyarakat<br />

yang bebas, terbuka, dan terdidik mengenai dunia, yang mampu<br />

bersaing dan maju dalam dunia masa kini yang bersifat global.<br />

Apakah ini bisa terjadi? Terbukti, setelah 13 tahun berlalu sejak<br />

jatuhnya kekuasaan otoriter Soeharto, terjadi reformasi yang<br />

sangat mengesankan di bidang politik demokrasi dan kebebasan<br />

pers. Namun reformasi belum memberikan sebanyak yang diharapkan<br />

untuk menghasilkan sistem pendidikan yang efektif, supremasi<br />

hukum dan pengurangan korupsi, toleransi terhadap ideide<br />

dari kelompok minoritas, dan terciptanya suatu ruang publik<br />

yang kritis, di mana mitos populer yang berlaku boleh dipertanyakan<br />

dan dunia luar diikutsertakan.<br />

Sistem pendidikan selama 60 tahun terakhir sangat sukses dalam<br />

menghasilkan tingkat melek huruf dan kelancaran berbahasa<br />

Indonesia, juga menghasilkan budaya politik bersama. Tapi ia<br />

membuat orang Indonesia kurang mampu untuk mengerti atau<br />

berurusan dengan dunia luar. Justru sukses nasionalisme Indonesia<br />

dalam mengartikan orang Indonesia sebagai para penghuni<br />

suatu Nusantara yang majemuk membawa risiko untuk menjadi<br />

bagian dari masalah yang baru, dengan meningkatkan kesulitan<br />

untuk berurusan secara efektif dengan sistem global yang rumit<br />

tapi menyatu, sebagaimana sekarang kita semua alami. Model<br />

EDI RM<br />

identitas Indonesia yang relatif berjalan melalui konsensus seperti<br />

yang dimiliki hari ini tercapai, antara lain, dengan membungkam<br />

paksa mereka yang pada awalnya tidak melihat hal itu sebagai sesuatu<br />

yang menyenangkan atau bahkan mungkin.<br />

Kelompok yang paling utama ditaruh di luar pembicaraan nasional<br />

adalah minoritas yang penting, yang telah menyadari perbedaan<br />

sudah berurat berakar di orde Belanda, atau akses ke peradaban<br />

Eropa yang diberikan melalui orde itu, sehingga mereka<br />

telat menyokong republik revolusioner ini.<br />

Banyak orang Indo-Eropa, Cina, Eropa, Arab, Yahudi, Jepang,<br />

dan yang lain dari elite internasional merasa mereka harus pergi<br />

setelah 1948. Orang lain, seperti orang Kristen atau minoritas<br />

lainnya, yang menyokong federalisme sebagai cara terbaik untuk<br />

berhubungan dengan negara yang baru merdeka ini, harus diam<br />

setelah pihak mereka kalah bersaing.<br />

Mereka yang berjuang demi pendapat bahwa kekerasan anti-imperium<br />

hanya dapat dibenarkan sebagai jihad untuk kepentingan<br />

suatu negara Islam disisihkan atau dibungkam dalam perang terhadap<br />

Darul Islam, sementara banyak dari orang demokrat Indonesia<br />

yang dibungkam karena mendukung pihak PRRI yang kalah<br />

pada 1950-an.<br />

Pada akhirnya, seluruh sayap kiri yang revolusioner, termasuk<br />

banyak dari pemikir Indonesia yang paling melit dan inovatif, dibunuh,<br />

dikurung, atau ditindas dalam kekerasan besar-besaran<br />

pada 1965-1966. Selama era Soeharto, banyak tokoh minoritas<br />

di Indonesia yang paling mampu berurusan dengan dunia luar<br />

dengan percaya diri bahkan tidak ditanggapi atau menyensor diri<br />

dalam debat publik dalam negeri.<br />

Dengan persaingan dunia global masa kini yang sangat tinggi,<br />

keberhasilan menciptakan identitas nasional Indonesia memiliki<br />

sisi negatif yang baru, yaitu agak kekurangan warga global yang<br />

kosmopolitan dan rasa tidak nyaman atau kesulitan yang banyak<br />

dialami orang Indonesia ketika di luar negeri.<br />

Walaupun semakin banyak orang Indonesia belajar di luar negeri,<br />

mereka yang ada di bidang ilmu sosial menulis hampir secara eksklusif<br />

tentang negaranya sendiri, Indonesia. Hanya tinggal segelintir ilmuwan<br />

di universitas di Indonesia yang meneliti dan mengajar tentang<br />

negara selain Indonesia. Namun hampir 90 persen karya tertulis<br />

tentang Indonesia di jurnal-jurnal akademis internasional ditulis<br />

oleh orang yang tidak tinggal di Indonesia—sesuatu yang membuat<br />

Indonesia menjadi salah satu negara yang paling tidak efektif di dunia<br />

dalam menjelaskan dirinya kepada dunia.<br />

Kurun waktu 66 tahun itu telah berhasil menciptakan negara<br />

yang terdiri atas orang-orang Indonesia asli. Barangkali tugas<br />

pendidikan pada 66 tahun berikutnya adalah menciptakan warga<br />

global. Mereka yang sangat menghargai peran penengah para<br />

minoritas.<br />

*PROFESOR EMERITUS DI AUSTRALIAN NATIONAL UNIVERSITY COLLEGE OF ASIA<br />

AND THE PACIFIC<br />

20 NOVEMBER 2011 TEMPO| 95

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!