HTTP://WWW.TEMPOINTERAKTIF.COM
Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page
Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
LIPUTAN KHUSUS<br />
Indonesianis<br />
Setelah Tragedi<br />
Bom Bali<br />
PROGRAM KAJIAN INDONESIA DI SEJUMLAH KAMPUS AUSTRALIA KINI KIAN SEPI PEMINAT.<br />
SAMPAI-SAMPAI, KEPALA PROGRAMNYA MERANGKAP MENGURUSI ADMINISTRASI,<br />
MENGAJAR, MEMBERIKAN BIMBINGAN TUGAS AKHIR, DAN MELAKUKAN PENELITIAN<br />
SEKALIGUS.<br />
LEBIH dari empat tahun ini,<br />
bilik kerja Rochayah Machali<br />
menjadi tempat penampungan<br />
buku dan aneka<br />
bentuk bahan kuliah kajian<br />
Indonesia di University of New<br />
South Wales (UNSW), Sydney. Ruangan<br />
berukuran sembilan meter<br />
persegi itu memuat rak dan lemari<br />
buku di kedua sisinya. ”Perpustakaan<br />
tidak punya tempat untuk semua<br />
ini. Paling mereka simpan di ruang<br />
bawah tanah,” kata perempuan yang<br />
menjabat Kepala Program Indonesia<br />
sekaligus satu-satunya staf pengajar<br />
program itu di UNSW.<br />
Bahan perkuliahan itu, yang sebagian<br />
lainnya sudah dibuang karena<br />
tak tertampung, menjadi kenangan<br />
masa keemasan kajian Indonesia<br />
di UNSW pada dekade 1990 hingga<br />
tragedi bom Bali 2002. Rochayah<br />
masih ingat betul ketika ia baru<br />
bergabung dengan kampus itu, pada<br />
1995, para pengajar yang dimotori<br />
David Reeve—salah satu Indonesianis<br />
terkemuka di negeri koala ini, kewalahan<br />
dengan limpahan dana pemerintah<br />
Federal Australia untuk<br />
mengembangkan kurikulum kajian<br />
Indonesia. ”Kami sampai mempekerjakan<br />
mahasiswa Indonesia di<br />
sini untuk direkam suaranya sebagai<br />
penutur asli,” ujarnya.<br />
Kini, selain menjadi tempat penyimpanan<br />
material pengajaran—<br />
setelah Reeve pensiun—bilik kerja<br />
Rochayah juga kerap menjadi ruang<br />
kelas. Di ruangannya terdapat meja<br />
dan lima kursi. ”Daripada naik tangga<br />
ke kelas, mahasiswa lebih suka datang<br />
ke ruang saya,” katanya. Kamis<br />
pertengahan September lalu, misalnya,<br />
dua mahasiswa program sarjana<br />
yang mengikuti mata kuliah intermediate<br />
Indonesian memilih belajar<br />
di ruangan itu. Adapun mahasiswa<br />
yang terdaftar mengikuti mata<br />
kuliah tersebut hanya lima orang.<br />
Dengan hanya satu anggota staf,<br />
jurusan Indonesia di UNSW praktis<br />
tinggal menunggu ditutup. Bayangkan,<br />
Rochayah harus sendirian<br />
mengurus administrasi, mengajar,<br />
memberikan bimbingan tugas<br />
akhir, dan sebagai peneliti juga dituntut<br />
menghasilkan karya ilmiah.<br />
”Satu jurusan hanya punya satu dosen,<br />
menyedihkan,” tuturnya.<br />
Mengenai nasib departemen yang<br />
dipimpinnya, Rochayah pun pasrah.<br />
Menurut dia, empat tahun lalu Dekan<br />
Fakultas Sastra dan Ilmu Sosial<br />
UNSW berencana menutup Departemen<br />
Kajian Indonesia, tapi batal<br />
karena larangan pemerintah federal.<br />
Karena universitas tak mendapat<br />
izin untuk menutup langsung,<br />
Jurusan Indonesia ”ditutup” secara<br />
perlahan. Setelah David Reeve pensiun<br />
pada 2007, dekanat tidak menunjuk<br />
atau merekrut penggantinya.<br />
Seiring dengan sepinya peminat,<br />
Jurusan Indonesia, yang tadinya major<br />
(program studi mandiri), mulai<br />
2009 disusutkan menjadi minor,<br />
bagian dari kajian Asia. Dampaknya,<br />
Departemen Indonesia hanya<br />
bisa menawarkan mata kuliah bahasa<br />
dan itu pun sebatas mata kuliah pilihan.<br />
”Banyak mata kuliah yang dulu<br />
kami kembangkan kini didrop,” kata<br />
Rochayah.<br />
Penurunan minat terhadap kajian<br />
Indonesia juga terjadi di Universitas<br />
Monash. Menurut Kepala Kajian Indonesia<br />
di Universitas Monash, Paul<br />
Thomas, sebelum rezim Orde Baru<br />
tumbang pada 1998, biasanya ada<br />
Polisi tim<br />
forensik dan<br />
Polisi Federal<br />
Australia<br />
memeriksa<br />
lokasi ledakan<br />
bom di Sari Club<br />
dan Paddy’s Pub,<br />
Jalan Legian,<br />
Kuta, Bali, 15<br />
Oktober 2002.<br />
20 sampai 30 mahasiswa yang belajar<br />
tentang Indonesia, dari tingkat S-<br />
1 hingga program doktoral. Tapi sekarang<br />
hanya 9-10 mahasiswa (lihat<br />
wawancara dengan Paul Thomas).<br />
Dulu Fakultas Pengkajian Indonesia<br />
punya tempat sendiri di South<br />
Wing lantai tiga di Menzies Building<br />
di Universitas Monash di kampus<br />
pusat di Clayton. Di sana terdapat<br />
ruang kelas yang cukup untuk 40<br />
orang dan sebuah ruang kantor berukuran<br />
sekitar 4 x 6 meter. Kini Kajian<br />
Indonesia dilebur ke dalam Pusat<br />
Pengkajian Asia Tenggara yang bernaung<br />
di bawah Monash Asia Institute,<br />
yang menempati kampus Caulfield,<br />
sekitar tujuh kilometer dari<br />
kampus Clayton.<br />
Mantan dosen Studi Indonesia di<br />
Universitas Monash, Barbara Hatley,<br />
menyatakan bahwa sejak 2000-<br />
an terjadi penurunan minat terhadap<br />
bahasa dan kajian Indonesia.<br />
Pada awal 1990-an, di Monash, kegiatan<br />
seminar, workshop, dan pertunjukan<br />
teater sering digelar oleh Hatley<br />
(sekarang profesor emeritus), pakar<br />
yang juga mendalami kesenian<br />
Jawa.<br />
Waktu itu, Hatley menambahkan,<br />
suasana di Pusat Kajian Indonesia<br />
terasa hidup, seolah-olah ada denyut<br />
keindonesiaan. Banyak kegiatan seni<br />
80 | TEMPO 20 NOVEMBER 2011