HTTP://WWW.TEMPOINTERAKTIF.COM
Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page
Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
AUSTRALIA<br />
Sepeda Ontel dan Arloji Tua Itu…<br />
MENAMPUNG AKTIVIS PROKEMERDEKAAN TIMOR TIMUR. SELALU MEMBERIKAN UANG TAMBAHAN UNTUK TUKANG BECAK<br />
DAN TUKANG TAMBAL BAN SEPEDA LANGGANANNYA.<br />
Herbert Feith dengan sepedanya di Monash<br />
University Melbourne, Australia, 1992.<br />
TEMPO/ AGUS BASRI<br />
KETIKA Yogyakarta masih lelap, tepat pukul dua dinihari,<br />
Herbert Feith sudah memulai hari dengan membaca.<br />
Dengan tekun dan teliti, Herbert membuat catatan pada<br />
kertas kecil. Setelah itu, tidur lagi. Subuh, Herbert bangun lagi<br />
untuk lari pagi di sekitar Bulaksumur, dekat kampus Universitas<br />
Gadjah Mada.<br />
Itulah yang dicatat Dominggus Elcid Li, pemuda Nusa Tenggara<br />
Timur, kini mahasiswa doktoral sosiologi University of<br />
Manchester, Inggris, tentang Herbert Feith. Pada 1999, setelah<br />
jajak pendapat Timor Timur, Elcid masih kuliah S-1 di Universitas<br />
Atma Jaya Yogyakarta dan untuk beberapa lama menginap<br />
di rumah Herbert dan istrinya, Betty. Pada saat yang sama<br />
pula, Herbert dan Betty menampung<br />
sebuah keluarga Timor Timur prokemerdekaan.<br />
”Beta agak ngeri juga. Soalnya, rumah<br />
yang prointegrasi ada di depan,”<br />
kata Elcid pekan lalu kepada Tempo.<br />
Bagi para sahabatnya, Herb Feith<br />
adalah orang sederhana yang bergaul<br />
dengan siapa saja. Saat ia tinggal<br />
di Yogyakarta, rumah dinasnya di<br />
kawasan Bulaksumur menjadi tempat<br />
singgah anak sekolah, mahasiswa,<br />
dosen, peneliti, wartawan, dan<br />
aktivis. Karena Herb selalu menekankan<br />
kesederhanaan, ketika ke Jakarta<br />
mengunjungi sahabat-sahabatnya,<br />
para wartawan senior, diplomat, dan<br />
sesama peneliti, dia dikenal jarang<br />
mau menggunakan tisu. Herb selalu<br />
siap dengan selampe kumal yang warnanya<br />
sudah memudar yang dia kantongi.<br />
Di Yogyakarta, Herb identik dengan<br />
sepeda ontel tua. Dengan mengenakan<br />
batik lusuh dan menaruh tas cokelat di jok belakang,<br />
”Dia mengayuh pedalnya ke mana saja untuk mengajar, menghadiri<br />
seminar, mengunjungi kenalan, atau berbelanja pisang,”<br />
ujar Elcid.<br />
Herb tiba di Yogyakarta pada 1986. Dia mengajarkan ilmu<br />
politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas<br />
Gadjah Mada dan aktif di Pusat Studi Perdamaian UGM. Adalah<br />
Ichlasul Amal, ketika itu Rektor UGM, yang mengundangnya.<br />
”Saya minta dia mengajar di Indonesia setelah dia pensiun<br />
dini pada 1984,” kata Ichlasul. Herb memutuskan pensiun dini<br />
karena peminat mata kuliah tentang Indonesia di Australia terus<br />
berkurang.<br />
Ichlasul mengenal Herb saat mengerjakan skripsinya di<br />
UGM, berjudul ”Partai Politik dan Politik Luar Negeri Indonesia”,<br />
pada 1966. Dia banyak menggunakan buku karya Herb<br />
sebagai referensi. Belakangan, ketika Ichlasul melanjutkan sekolah<br />
ke Monash University di Melbourne, Victoria, Australia,<br />
pada 1972, Herb menjadi pembimbing disertasinya. Sejak itu,<br />
keduanya menjadi sahabat.<br />
Pertama kali tiba di Yogyakarta, Herb berdiam di rumah Ichlasul<br />
selama dua bulan. Hal yang selalu Ichlasul ingat adalah<br />
tali jam tangan kulit milik Herb yang sudah sangat kumal dan<br />
banyak tambalan serta bajunya yang tipis-tipis karena terlalu<br />
sering dipakai, dicuci, dan disetrika. ”Pembantu saya sampai<br />
takut mencucinya, takut sobek,” ceritanya sembari tergelak.<br />
Rekan Ichlasul, Yahya Muhaimin, juga tak bisa melupakan<br />
arloji Herb. Dia melihat arloji itu pertama kali sewaktu mereka<br />
bertemu di UGM. Menurut Yahya, tali jam tangan itu telah mengelupas<br />
hampir jadi dua bagian. Jamnya<br />
sendiri sudah sangat kuno. Yahya mengaku<br />
ingat, dia sempat berbisik kepada Ichlasul,<br />
”Mal, dosenmu kok melarat banget,<br />
ra patut nganggo jam ngono kui, mbok ditukokke.”<br />
Yahya, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial<br />
dan Ilmu Politik UGM, pernah bertemu<br />
dengan Herb pada 1980. Saat itu, Yahya<br />
dan Ichlasul ke Australia dan singgah ke<br />
rumah Herb. ”Waktu itu saya betul-betul<br />
kaget,” kata Yahya. Sama sekali tak terbayangkan<br />
seorang profesor yang begitu terkenal<br />
tinggal di apartemen yang kusam,<br />
muram, dan sangat sederhana.<br />
Di kediamannya itu, Herb bahkan tak<br />
punya rak buku. Jadi, ketika dia menunjukkan<br />
koleksi bukunya, buku-buku itu<br />
diambil dari kardus-kardus yang tergeletak<br />
begitu saja di ruang tamu. Sebelum<br />
kembali ke Australia pada 1999, dia menyumbangkan<br />
sebagian bukunya ke beberapa<br />
perpustakaan di Yogyakarta.<br />
Menurut Elcid, sikap Herb itu bukan karena<br />
tak punya cukup uang, melainkan karena mudah jatuh kasihan.<br />
Herb selalu memberikan uang tambahan untuk tukang<br />
becak dan tukang tambal ban sepeda langganannya.<br />
Kesederhanaan pula yang membuat Herb memilih mengendarai<br />
sepeda ontel ketimbang mobil. Tapi, naik mobil ataupun<br />
sepeda, menurut Ichlasul, Herb bukan pengendara yang baik.<br />
”Dia sembrono!” kata Ichlasul. Ichlasul ingat benar, suatu ketika<br />
mereka keluar bareng naik mobil dengan seorang teman.<br />
Herb yang menyetir. ”Tiba-tiba dia menoleh ke teman di samping<br />
saya, tidak lihat ke depan.”<br />
Barangkali kesembronoan itu pula yang mengantar Herbert<br />
Feith pergi pada usia 71 tahun, mendahului para sahabatnya.<br />
Pada 15 November 2001, dalam perjalanan dari Monash University<br />
pulang ke rumahnya di Glen Iris, dia dan sepeda ontelnya<br />
ditabrak kereta api.<br />
■<br />
20 NOVEMBER 2011 TEMPO | 89