26.09.2015 Views

HTTP://WWW.TEMPOINTERAKTIF.COM

Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page

Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

LIPUTAN KHUSUS<br />

Indonesianis<br />

KOLOM<br />

Kaum Indonesianis<br />

Amerika Masa Kini<br />

R. WILLIAM<br />

LIDDLE*<br />

STUDI ilmu politik tentang Indonesia di Amerika Serikat<br />

sedang mekar. Berita ini tentu menggembirakan, apalagi<br />

buat saya, sebagai Indonesianis yang telah mengamati<br />

Indonesia selama lebih dari setengah abad.<br />

Di antara banyak ilmuwan politik muda Amerika Serikat<br />

yang kini aktif menulis tentang Indonesia ada empat yang<br />

paling menonjol: Ben Smith yang mengajar di Universitas Florida,<br />

Tom Pepinsky di Cornell, Tuong Vu di Oregon, dan Dan Slater<br />

di Chicago. Paling tidak, karya mereka bisa dipakai sebagai contoh<br />

untuk menjelaskan ciri-ciri khas, baik positif maupun negatif,<br />

pendekatan ilmu politik mutakhir di Amerika.<br />

Buku pertama Smith, Hard Times in the Lands of Plenty (Cornell,<br />

2007), membandingkan dampak peningkatan harga minyak<br />

pada 1970-an di Iran, tempat seorang diktator digulingkan pada<br />

1979, dengan Indonesia pada kurun waktu yang sama. Menurut<br />

Smith, diktator Soeharto bertahan karena sempat membentuk<br />

koalisi politik yang cukup luas sebelum kas negara berlimpahan<br />

dolar hasil peledakan harga minyak internasional. Sementara<br />

Syah Iran sedari awal terlalu menggantungkan nasibnya pada<br />

minyak. Ketergantungan itu menciptakan banyak musuh, baik di<br />

kalangan petani maupun kelas menengah perkotaan.<br />

Buku pertama Pepinsky, Economic Crisis and the Breakdown<br />

of Authoritarian Regimes (Cambridge, 2009), membandingkan<br />

dampak perbedaan unsur koalisi politik berdasarkan kepentingan<br />

ekonomi di Malaysia dan Indonesia pada masa krisis akhir<br />

1990-an. Menurut Pepinsky, pemerintahan otoriter Mahathir<br />

Mohamad mampu bertahan di Malaysia sebab unsur pokok koalisinya<br />

tetap menyatu, sementara koalisi Soeharto lekas runtuh.<br />

Dua pilar utama Mahathir, massa Melayu etnis dan kaum wiraswastawan<br />

baru, juga dari kelompok etnis Melayu, sama-sama<br />

mendukung kebijakannya untuk mencegah capital outflow, pelarian<br />

modal ke luar negeri. Sebaliknya, di Indonesia ada konflik tajam<br />

antara para konglomerat, yang mau mempertahankan keterbukaan<br />

pasar modal, dan sejumlah pebisnis baru, yang membatasi<br />

pelarian modal. Alhasil, kebijakan Soeharto terombang-ambing<br />

dan dukungan politiknya hilang.<br />

Tuong Vu, dalam Paths to Development in Asia (Cambridge,<br />

2010), membandingkan proses pembentukan negara pada abad<br />

ke-20 di Korea Selatan, Vietnam, Tiongkok, dan Indonesia pada<br />

masa awal pemerintahan Sukarno dan Soeharto. Argumennya<br />

adalah pola-pola hubungan intra-elite dan antara massa dan elite<br />

pada masa pembentukan negara akan menentukan dua hal: kohesi<br />

negara selanjutnya dan komitmen negara itu pada pembangunan<br />

ekonomi.<br />

Dalam hal Indonesia, Vu mempertentangkan zaman revolusi<br />

dan awal Orde Baru. Pada zaman revolusi, proses akomodasi<br />

antara kekuatan nasionalis, komunis, dan Islamis mengakibatkan<br />

negara yang lemah dan kurang kohesif. Pada awal Orde Baru,<br />

negara yang kuat dan pro-pembangunan dibentuk setelah proses<br />

konfrontasi antara kekuatan-kekuatan yang sama.<br />

Akhirnya, Dan Slater, dalam Ordering Power: Contentious Politics<br />

and Authoritarian Leviathans in Southeast Asia (Cambridge,<br />

2010), menelusuri daya tahan negara otoriter di Burma, Indonesia,<br />

Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam Selatan, dan Thailand<br />

pasca-Perang Dunia II. Bagi Slater, faktor yang paling menentukan<br />

adalah pola contentious politics, politik pertengkaran. Semakin<br />

tinggi tingkat pertengkaran antara kekuatan-kekuatan politik<br />

dalam negeri, semakin mungkin elite politik yang merasa terancam<br />

akan menciptakan sebuah protection pact, pakta perlindungan.<br />

Pakta perlindungan itu di mana-mana berbentuk sistem pemerintahan<br />

otoriter, Leviathan atau raksasa menurut Thomas Hobbes.<br />

Di Indonesia, daya tahan Orde Baru dirunut pada tingkat pertengkaran<br />

tinggi di akhir masa Demokrasi Terpimpin antara Partai<br />

Komunis Indonesia (PKI) dan kekuatan besar yang lain, termasuk<br />

tentara. Tapi Slater juga bertutur bahwa, setelah PKI dibasmi, koalisi<br />

Orde Baru kehilangan musuh dan lama-kelamaan melemah. Ketika<br />

terserang krisis moneter pada 1998, Soeharto mudah dijatuhkan<br />

karena sudah lama ditinggalkan teman-teman seperjuangan.<br />

Membaca kembali buku ciptaan para scholar muda itu reaksi<br />

saya mendua. Saya terkagum-kagum, khususnya terhadap jangkauan<br />

perbandingan mereka. Pada angkatan saya, hampir tak<br />

ada ilmuwan politik yang mampu meneliti dan menulis sekaligus<br />

tentang begitu banyak negara. Ben Anderson pun cenderung menulis<br />

terpisah-pisah tentang Indonesia, Filipina, dan Thailand.<br />

Komitmen mereka kepada causal analysis yang canggih dan<br />

modern harus dipuji juga. Mereka mencari metode baru, termasuk<br />

komparasi langsung antarnegara, untuk membuktikan hipotesis<br />

mereka secara lebih ilmiah. Tak kurang penting, argumen<br />

dan penemuan mereka mulai berdampak pada ilmu politik pada<br />

umumnya, hal yang juga jarang terjadi pada masa belia saya.<br />

Meskipun kagum, harus saya akui bahwa saya belum siap meniru<br />

pendekatan rekan-rekan muda itu dalam penelitian saya<br />

sendiri. Salah satu reaksi saya, setiap kali saya membaca kembali<br />

analisis mereka, Indonesia yang saya kenal hanya terwujud secara<br />

parsial, tidak lengkap. Seakan-akan fakta diseleksi atau ditekankan,<br />

tanpa sengaja tetapi terdorong oleh kerangka analitisnya,<br />

untuk membuktikan hipotesis atau teori yang sedang diuji.<br />

Dengan kata lain, tujuan utamanya bukan untuk mengerti politik<br />

Indonesia melainkan membangun sebuah struktur teoretis tempat<br />

Indonesia bisa diletakkan.<br />

Misalnya, argumen-argumen Smith dan Pepinsky terlalu menekankan<br />

faktor kepentingan ekonomi. Pilihan politik Presiden<br />

Soeharto, pada awal dan akhir masa pemerintahannya, jelas lebih<br />

kompleks dari itu. Sementara argumen Slater kurang (atau sama<br />

sekali tidak) menekankan faktor kepentingan ekonomi, dan terlalu<br />

menekankan faktor PKI. Bagi saya, sulit menerima argumennya<br />

bahwa Orde Baru menjadi Leviathan (kalau betul-betul menjadi<br />

Leviathan) terutama karena ketakutan para jenderal pada PKI.<br />

Pandangan Vu bahwa lemahnya pemerintahan Demokrasi<br />

Parlementer pada 1950-an disebabkan proses akomodasi pada<br />

zaman Revolusi juga kedengaran terlalu sederhana.<br />

Akhirul kata, saya tidak mau memberi kesan bersikap terlalu kritis<br />

terhadap karya scholar muda di Amerika, termasuk empat orang<br />

yang saya soroti dalam tulisan ini. Kiranya sudah jelas, mereka betulbetul<br />

sudah memperkaya khazanah pengetahuan kita semua. I wish<br />

them well, antara lain, karena penelitian saya sendiri sudah banyak<br />

dibantu dan diperbaiki oleh pendekatan dan penemuan mereka.<br />

* PROFESOR EMERITUS OHIO STATE UNIVERSITY, COLUMBUS, OHIO<br />

130 | TEMPO 20 NOVEMBER 2011

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!