HTTP://WWW.TEMPOINTERAKTIF.COM
Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page
Jejak hitam hakim TIPIKOR daerah - Home Page
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka—dari<br />
Audrey Kahin hingga Rudolf Mrazek.<br />
Semuanya memberi kita ilmu tentang<br />
demokrasi dan pluralisme.<br />
Karya-karya mereka tak luput dari<br />
kritik. Beberapa buku disebut bias<br />
atau tak lagi cocok jika diteropong dari<br />
kacamata masa kini. Pengelompokan<br />
Clifford Geertz terhadap masyarakat<br />
Jawa—priayi, santri, dan abangan—<br />
sudah banyak ditolak. Tapi uraiannya<br />
mengenai Bali dalam Negara: The Theatre<br />
State in 19 th Century Bali dianggap<br />
masih relevan. Teori tentang masyarakat<br />
yang dibayangkan Ben Anderson<br />
dalam Imagined Communities<br />
hingga kini masih dipakai untuk meneropong<br />
sejarah kawasan lain di Asia<br />
Tenggara.<br />
❖ ❖ ❖<br />
PEMBACA, edisi khusus para Indonesianis<br />
ini juga dibuat karena turunnya<br />
minat terhadap studi Indonesia di<br />
mancanegara. Di Amerika, kuliah bahasa<br />
Indonesia pada musim panas sudah<br />
sepi peminat. Di Australia idem<br />
Pierre<br />
Labrousse dan<br />
Restoran Trio.<br />
GING GINANJAR<br />
ditto. Di Belanda, kita mendengar Jurusan<br />
Bahasa dan Sastra Indonesia di<br />
Universitas Leiden yang didirikan Profesor<br />
Teeuw ditutup. Koninklijk Instituut<br />
voor Taal-, Land- en Volkenkunde<br />
(KITLV)—Mekah bagi para peneliti<br />
Indonesia di Belanda karena di sana<br />
tersimpan ratusan ribu buku dan berbagai<br />
dokumen mengenai Indonesia<br />
dari awal abad ke-20 sampai kini—terancam<br />
bangkrut. Anggaran lembaga<br />
itu dipotong besar-besaran.<br />
Di Rusia, hal serupa terjadi. Di St<br />
Petersburg, ada museum antropologi<br />
dan etnografi Kunstkammer—museum<br />
dengan dinding hijau di pinggir<br />
Sungai Volga, yang pada musim dingin<br />
airnya beku seperti balok es. Museum<br />
yang didirikan Peter Agung dan dibuka<br />
pada 1714 itu menyimpan banyak<br />
barang koleksi asal Indonesia. Di sana<br />
bekerja ahli Batak bernama Dr Elena<br />
Revunenkova. Elena mampu membaca<br />
aksara Batak kuno. Ia menulis disertasi<br />
tentang ritual kapal roh-roh Batak.<br />
Menurut Elena, dulu koleksi barang<br />
etnis asal Indonesia menjadi primadona.<br />
Di ruang utama Kunstkammer<br />
yang bentuknya bundar dulu penuh<br />
dipajang barang-barang etnis dari<br />
27 provinsi Indonesia. Untuk melengkapi<br />
koleksi Indonesia, pengelola museum<br />
bahkan pernah menukar koleksi<br />
barang etnis Siberia yang dimilikinya<br />
dengan barang Indonesia yang dimiliki<br />
museum Eropa. Tapi kini sudah<br />
berbeda. Di ruang utama sekarang disuguhkan<br />
barang Asia lain, sementara<br />
barang-barang Indonesia, kecuali Batak,<br />
digudangkan.<br />
Tak semua bernuansa suram, memang.<br />
Pada Agustus, Universitas Cornell<br />
dan Universitas Yale, Amerika Serikat,<br />
mengadakan Cornell-Yale Seventh<br />
Northeastern Conference on Indonesia.<br />
Dilaksanakan di George McT.<br />
Kahin Center, Universitas Cornell, inilah<br />
ketujuh kalinya perhelatan itu diadakan.<br />
Di Jerman, Universitas Freiburg<br />
baru saja menyelenggarakan sebuah<br />
seminar Asia Tenggara yang menitikberatkan<br />
evaluasi 10 tahun desentralisasi<br />
dan otonomi di Indonesia. Sebanyak<br />
160 pakar terlibat dan 60 kertas<br />
kerja didiskusikan.<br />
Untuk membahas masalah Indonesianis<br />
ini, kami mengundang Dr Roger<br />
Tol, Direktur KITLV Jakarta. Roger<br />
Tol adalah pakar studi Bugis dan Melayu.<br />
Darinya kami mendapat kisah hidup<br />
beberapa Indonesianis di Belanda.<br />
Kami juga mengundang para Indonesianis<br />
muda yang tengah melakukan<br />
penelitian di Indonesia. Di antaranya<br />
Michael Buehler dan Kikue Hamayotsu—keduanya<br />
asisten profesor<br />
di Departemen Ilmu Politik Universitas<br />
Northern Illinois. Buehler meneliti<br />
kota-kota dan kabupaten-kabupaten<br />
yang mempraktekkan syariat Islam<br />
dan Hamayotsu meneliti partai-partai<br />
di Indonesia.<br />
Bersamaan dengan itu, kami menugasi<br />
koresponden Tempo melakukan<br />
reportase ke sarang-sarang Indonesianis<br />
di Universitas Monash, Australia;<br />
Universitas Cornell, Amerika; dan<br />
Universitas Leiden, Belanda. Kami<br />
juga mereportase universitas di Rusia,<br />
Cina, dan Korea.<br />
Kami mewawancarai berbagai Indonesianis.<br />
Ada yang sudah sepuh tapi<br />
demikian bersemangat ketika kenangannya<br />
digali kembali. Kami juga menulis<br />
kesaksian-kesaksian tentang Indonesianis<br />
besar, seperti Daniel S. Lev<br />
dan Herbert Feith, yang telah meninggal.<br />
Feith adalah Indonesianis yang kerap<br />
berkaus singlet putih dan bersarung<br />
saat naik becak atau mengayuh<br />
sepeda ontel di Yogyakarta. Lev dikenal<br />
sebagai peneliti yang kuat ngobrol<br />
sembari ngopi sampai subuh dengan<br />
kolega-koleganya. Kami juga mengundang<br />
beberapa kolumnis, baik dari<br />
luar maupun dari dalam negeri, untuk<br />
secara kritis melihat peran para Indonesianis.<br />
Pembaca, edisi khusus ini diharapkan<br />
bisa memberikan informasi tentang<br />
para Indonesianis—dulu dan sekarang.<br />
Para peneliti yang mencintai<br />
Indonesia dengan segenap jiwa dan raganya.<br />
■<br />
20 NOVEMBER 2011 TEMPO| 55